| ◀ | Jilid : 1 Juz : 1 | Al-Baqarah : 34 | ▶ |
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Kemenag RI 2019: (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka, mereka pun sujud, kecuali Iblis. ) Ia menolaknya dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir.| TAFSIR AL-MAHFUZH | REFERENSI KITAB TAFSIR |
وَإِذْ قُلْنَا
Lafazh idz (إذ) yang terdapat di antara huruf waw dan qulna dipahami oleh para ulama secara berbeda.
Abu Ubaidah mengatakan lafazh itu adalah shilah zaidah (صلة زائدة), yaitu penyambung yang sifatnya hanya tambahan saja dan sama sekali tidak mempengaruhi makna. Maknanya tetap sama ada atau tidak ada lafazh itu menjadi :"Dan ketika tuhanmu berfirman".
Namun pendapat lain mengatakan lafadz 'idz' disitu bukan shilah zaidah melainkan kalimah maqshurah (كلمة مقصورة) atau kata yang dikurangi. Dalam hal ini mereka katakan maknanya adalah : ingatlah ketika, sehingga makna secara utuhnya menjadi : "Dan ingatlah ketika Kamu berkata". Dalam terjemahan kadang makna implisit ini dituliskan di dalam kurung menjadi '(ingatlah)'.
اسْجُدُوا لِآدَمَ
Lafazh usjudu (اسجدوا) adalah fi'il amr yang merupakan perintah untuk bersujud. Dalam hal ini Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam yang telah Allah SWT angkat sebagai khalifah.
Al-Mawardi dalam An-Nukat wal 'Uyun mengatakan bahwa dalam hal ini ada dua pendapat, apakah sujud yang dimaksud merupakan sujud penghormatan ataukah sujud dalam bentuk shalat tapi menjadikan Adam sebagai kiblat dalam shalat para malaikat.
Namun kebanyakan ulama sepakat bahwa perintah bersujud disini merupakan sujud penghormatan. Sebagaimana yang dilakukan saudara-saudara Yusuf kepadanya ketika menghormat.
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا
Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. (QS. Yusuf : 100)
Namun bukankah tetap dilarang bersujud kepada manusia?
Ada dua jawaban dalam masalah ini.
1. Jawaban Pertama
Benar sekali dan memang Nabi SAW sendiri yang melarang sujud kecuali hanya kepada Allah SWT saja, apapun alasan sujud itu sendiri. Nabi SAW bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang manusia untuk bersujud kepada manusia lainnya, niscaya akan aku suruh seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya” (HR. Tirmidzi)
Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu' menjelaskan hal ini :
وأما ما يفعله عوام الفقراء وشبههم من سجودهم بين يدي المشايخ – وربما كانوا محدثين – فهو حرام بإجماع المسلمين
“Adapun yang dilakukan oleh orang awam dan semisal mereka yaitu sujud kepada syaikh mereka –bisa jadi mereka ahli hadits” maka hukumnya haram dengan ijma’ kaum muslimin.” [Al-Majmu’ 2/79]
Lalu kenapa Allah SWT memerintahkan para malaikat bersujud kepada Adam, padahal sujud itu hanya boleh kepada Allah SWT?
Jawabannya bahwa ini merupakan perbedaan hukum syariat antara waktu. Buat umat terdahulu, sujud kepada manusia selain Allah SWT masih dibolehkan, asalkan niat dan tujuannya sekedar untuk penghormatan. Karena itulah kita temukan kedua orang tua Nabi Yusuf dan saudara-saudaranya bersujud kepadanya. Alasannya karena syariat yang berlaku di masa itu masih membolehkan.
: (لما قدم معاذ من الشام, سجد للنبي صلى الله عليه وسلم، قال: ما هذا يا معاذ ؟ قال: أتيت الشام, فوافقتهم يسجدون لأساقفتهم وبطارقتهم، فوددت في نفسي أن نفعل ذلك بك، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فلا تفعلوا، فإني لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لغير الله، لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها، والذي نفس محمد بيده، لا تؤدي المرأة حق ربها حتى تؤدي حق زوجها، ولو سألها نفسها وهي على قتب لم تمنعه).
Tatkala Mu’adz tiba dari Syam, dia bersujud kepada Nabi SAW, maka Nabi pun bertanya, “Apa ini, wahai Mu’adz?” Mu’adz menjawab, “Aku datang ke Syam dan kudapati orang-orang di sana bersujud kepada Asaqifah (para uskup) dan Bathariqah (para panglima perang) sehingga hatiku berkeinginan agar kami pun melakukannya kepadamu.” Rasulullah SAW bersabda, “Jangan kalian lakukan hal itu! Sesungguhnya, seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya kuperintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya. Demi (Allah) yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri (dianggap) telah menunaikan hak Rabb-nya sebelum dia menunaikan hak suaminya. Kalau pun suaminya itu meminta kepadanya dalam keadaan di atas hewan tunggangan, maka dia tak boleh menolaknya. (HR. Ibnu Majah)
Begitu juga ketika para penyihir Fir'aun bersujud kepada Nabi Musa alaihissalam setelah merasa salah dan kalah dari mukijzatnya. Sujud mereka bukan berarti menyembah Nabi Musa, melainkan sujud dalam rangka hormat.
وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ
Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud. (QS. Al-Araf : 120)
Terdapat ayat yang nyaris mirip dengan ayat ini dalam surat Asy-Syua'ara ayat 46.
Dan urusan perbedaan syariat antara umat Nabi Muhammad SAW dengan syariat umat-umat terdahulu cukup panjang lebar dibahas para ulama ahli ushul fiqih. Beberapa diantaranya adalah :
2. Jawaban Kedua
Jawaban kedua bahwa sujud yang dimaksud bukanlah posisi sujud seperti dalam shalat, tetapi sujud yang merupakan kata kiasan atau metafora saja. Posisinya tidak bersujud tapi sekedar membungkuk.
Dan sujud yang bukan sujud tapi hanya merundukkan kepala atau badan itu tergambarkan dalam Al-Quran juga, yaitu Allah SWT memerintahkan kepada Bani Israil ketika memasuki pintu gerbang kota.
وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَٰذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا
Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud. (QS. Al-Baqarah : 58)
Secara logika pasti tidak masuk akal kalau masuk gerbang kota dilakukan sambil bersujud. Yang paling logis sambil membungkuk atau merendahkan badan, bahkan mungkin sambil tiarap. Tapi tidak mungkin sujud sambil berjalan.
Maka jawaban kedua ini juga masuk akal, bahwa perintah sujud yang dimaksud bukan gerakan sujud seperti dalam shalat, tetapi gerakan lain dalam arti menghormati yang tidak ada kaitannya dengan gerakan sujud dalam shalat. Wallahua'lam
فَسَجَدُوا
Sujudnya para malaikat itu tentu saja tidak harus dibayangkan seperti sujudnya kita. Sebab secara anatomi, bentuk malaikat itu tidak seperti anatomi tubuh manusia. Yang pasti semua makhluk Allah SWT bersujud kepada-Nya secara keseluruhan. Namun mereka punya cara sujud masing-masing yang boleh jadi saling berbeda.
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلَائِكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para ma]aikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. (QS. An-Nahl : 49)
Namun bagaimana bentuk sujud para malaikat kepada Nabi Adam, tentu hanya Allah SWT saja yang tahu. Dan bisa saja sujudnya seperti sujud manusia, bukankah sujudnya Nabi Muhammad SAW didasarkan dari melihat tata cara shalat malaikat Jibril.
صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Malaikat memang bisa berubah wujud dan penampakan, seperti yang terjadi pada malaikat Jibril alaihissalam. Dalam kisah hamilnya Maryam digambarkan Jibril menampakkan diri sebagai seorang laki-laki.
فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. (QS. Maryam : 17)
Di masa kenabian Muhammad SAW, Jibirl juga pernah menampakkan diri dengan wujud seorang laki-laki yang asing, dengan rambut yang teramat hitam serta pakaian yang teramat putih, namun tidak ada tanda-tanda bahwa dia adalah seorang pengelana yang menempuh perjalanan jauh.
Sujud Penghormatan
Lepas dari bagaimana bentuk sujud malaikat kepada Nabi Adam, yang jelas sujudnya bukan sujud penyembahan melainkan sujud penghormatan. Dan sujud penghormatan ini hanya dibolehkan berlaku pada umat terdahulu. Adapun buat kita umat Muhammad SAW, sujud kepada selain Allah, apapun niat dan tujuannya, tetap tidak diperkenankan.
Lalu bagaimana dengan membungkuk seperti ruku' yang banyak dilakukan umat manusia kepada orang tua atau bahkan raja? Malahan dalam budaya Jawa adalah sungkem yang juga mirip dengan membungkuk kepada orang tua. Apakah posisi sungkem ini termasuk hal yang dilarang juga dalam agama Islam?
Jawabannya para ulama beda pendapat, sebagian ada yang berpandangan posisi ruku' itu dianggap sama saja dengan posisi sujud, sehingga hukum keharamannya diqiyaskan. Artinya buat mereka, ruku atau membungkuk seperti orang Jepang saling membungkuk itu difatwakan keharamannya.
Namun nampaknya tidak semua sepakat model qiyas semacam itu. Sebab yang dilarang hanya posisi sujud saja, sedangkan di luar sujud, tiap bangsa punya gestur masing-masing dalam rangka menghormati orang yang mereka hormati, baik dengan menganggukkan kepala, atau membungkuk, atau bahkan sungkem.
إِلَّا إِبْلِيسَ
Lafahz illa (إلا) adalah bentuk istitsna' yaitu pengecualian dari sesuatu. Dalam hal ini yang dikecualikan adalah iblis, dimana yang lainnya bersujud kepada Adam kecuali Iblis yang tidak ikut bersujud.
Iblis :Bahasa Arab Atau Serapan?
Lafazh iblis (إبليس) menjadi perdebatan para ulama, apakah merupakan bahasa Arab yang punya kata dasar lallu bisa dibentuk menjadi kata lain ataukah kata serapan dari bahasa lain sehingga tidak ada pembentukan katanya.
Pendapat yang mengatakan bahwa Iblis itu kata serapan mengatakan bahwa dalam Al-Quran ditemukan banyak istilah yang bukan asli dari bahasa Arab, misalnya nama para nabi seperti Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan lainnya. Dan salah satu contoh lagi adalah : iblis.
Sedangkan pendapat yang mengatakan iblis itu bahasa Arab berhujjah bahwa dalam ayat Al-Quran ada ism fa'il yang kata dasarnya dari iblis :
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al-Anam : 44)
Jadi secara bahasa, kata iblis itu maknanya adalah putus asa.
Iblis : Malaikat Atau Bukan?
Perbedaan pendapat di kalangan para ulama juga berkisar tentang asal usul Iblis ini, apakah dia asalnya seorang malaikat lalu membangkang, ataukah dia bukan malaikat?
1. Pendapat Pertama
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama yang diwakili oleh mufassir di level shahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud. Selain itu juga merupakan pendapat Said bin Al-Musayyib dan Ibnu Juraij di kalangan tabi'in.
Pendapat ini menegaskan bahwa Iblis itu aslinya juga bagian malaikat, bahkan derajatnya terbilang yang paling tinggi di atas rata-rata para malaikat. Namun karena dia membangkang, maka dimurkailah iblis itu. Jadi menurut pendapat ini iblis itu adalah bagian dari malaikat dan bukan makhluk lain seperti jin dan lainnya.
Lalu yang mendasari pendapat ini bahwa Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam dan tidak secara zhahirnya tidak ada penjelasan bahwa Allah SWT memerintahkan makhluk lain untuk bersujud. Namun begitu iblis tidak sujud, justru dimurkai Allah.
Jelas sekali ini adalah petunjuk paling sederhana yang mendasari kepada pendapat pertama ini meyakini apa yang mereka pegang. Secara logika bahasa, masuk akal kalau dikatakan iblis itu bagian dari malaikat.
Seandainya iblis bukan bagian dari malaikat, logikanya ketika iblis tidak bersujud tidak mengapa. Kan memang tidak diperintahkan untuk bersujud. Kenapa jadi sasaran kesalahan?
2. Pendapat Kedua
Pendapat ini menolak pandangan dari mereka yang bilang bahwa Iblis itu bagian dari malaikat, tetapi iblis adalah makhluk lain yang berbeda dari malaikat. Pendapat kedua ini punya beberapa arguemtasi yang mendukung logika mereka.
Pertama : di dalam surat Al-Kahfi ditegaskan bahwa iblis itu termasuk jin.
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. (QS. Al-Kahfi : 50)
Kedua : Al-Quran menjelaskan bahwa malaikat itu tidak mungkin membangkang, sebab mereka adalah hamba-hamba Allah yang mulia dan selalu taat kepada-Nya.
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Malaikat-malaikat itu tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim : 6)
Logikanya tidak mungkin Allah SWT menciptakan malaikat tapi membandel dan membangkang, karena sejak awal malaikat memang tidak diberi hawa nafsu dan sifat membangkang.
Ketiga : malaikat itu beda jauh dengan jin, sehingga tidak mungkin Allah SWT menciptakan makhluk yang awalnya malaikat lalu di tengah jalan tiba-tiba Allah ubah jadi jin. Sebab bahan baku keduanya sejak awal sudah berbeda. Malaikat itu diciptakan dari cahaya sedangkan jin diciptakan dari api, sebagaimana ayat berikut.
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ
Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (QS. Al-Hijr : 27)
Dalam hadits Aisyah juga disebutkan sabda Nabi SAW berikut ini :
خُلِقَتِ المَلائِكَةُ مِن نُورٍ وخُلِقَ الجانُّ مِن مارِجٍ مِن نارٍ
Malaikat itu diciptakan dari cahaya sedangkan jin diciptakan dari api.
أَبَىٰ
Lafazh abaa (أبى) secara bahasa bermakna : menolak, yaitu menolak untuk mentaati apa yang diperintahkan sebagaimana diungkapkan dalam ayat lain :
يُرْضُونَكُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَىٰ قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ
Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah : 8)
Namun juga bisa dimaknai sebagai keengganan untuk melakukan sesuatu, sebagaimana disebutkan di akhir surat Al-Baqarah :
وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ
Janganlah penulisnya enggan untuk menuliskannya sebagaimana diajarkan Allah. (QS. Al-Baqarah : 282)
Dalam hal ini penolakan dan keenggapan iblis adalah ketika diperintah untuk melakukan sujud kepada Nabi Adam alahissalam sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut :
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُولُ يَا وَيْلَهُ- وفي رواية: يَا وَيْلِي- أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِي النَّارُ
Ketika manusia membaca surat atau ayat sajdah lalu dia bersujud, iblis pun berpaling sambil menangis dan berkeluh-kesah : celaka aku. Anak Adam diperintah sujud lalu dia sujud maka masuk surga. Sementara dulu Aku diperintah sujud tapi aku menolak maka aku masuk neraka (HR. Muslim)
وَاسْتَكْبَرَ
Lafaz istakbara (وَاسْتَكْبَرَ) berasal dari kata kibir yang artinya besar dan istakbara bermakna : merasa dirinya besar. Dalam bahasa kita dikenal dengan sebutan kibir atau takabbur.
Dan sikap merasa diri lebih besar inilah sesungguhnya menjadi motivasi kenapa Iblis enggan dan menolak untuk sujud kepada Adam. Dan sikap ini tercermin dalam perkataan Iblis sendiri yang bisa kita baca di ayat lain, diantaranya ayat berikut ini :
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS. Shad : 76)
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ أَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا
Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" (QS. Al-Isra : 61)
قَالَ لَمْ أَكُنْ لِأَسْجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقْتَهُ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ
Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk" (QS. Al-Hijr : 33)
Sifat Kibir Menghalangi Surga
Dalam hal ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa manusia itu tidak boleh punya sifat kibir atau merasa diri lebih besar dari makhluk yang lain. Sebab sifat kibir itu hanyalah merupakan hak Allah SWT semata. Adapun makhluknya tidak ada yang boleh bersikap demikian.
Dalam banyak ajaran Nabi SAW sebagaimana tertuang dalam hadits-hadits syarif ada banyak disebutkan sikap kibir itu menghalangi surga.
عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)
وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Lafazh kaana (كان) secara ilmu nahwu menunjukkan sesuatu yang sudah lampau. Sedangkan lafazh minal-kafirin (من الكافرين) maknya : termasuk dari orang kafir. Lalu makna yang tersirat di balik penggunaan lafazh : kaana minal kafirin dalam bentuk lampau?
Pendapat pertama : mengatakan bahwa bentuk lampau itu menunjukkan bahwa iblis itu sejak awal termasuk kelompok kafir, bahkan sebelum ada perintah untuk bersujud kepada Adam.
Oleh karena itu, menurut kelompok ini, sejak awal iblis memang bukan bagian dari malaikat. Iblis itu sejak awal diciptakan memang sudah kafir dan bertambah lagi kekafirannya ketika menentang tidak mau diperintah sujud kepada Adam.
Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa Iblis itu aslinya diciptakan Allah sebagai kafir, lalu dia berusaha untuk berperilaku baik seperti para malaikat yang harus taat terus menerus kepada Allah SWT. Namun ternyata iblis tidak mampu untuk seterusnya berperilaku seperti malaikat terus menerus. Akhirnya terbukti ketika diperintah sujud kepada Adam, maka iblis pun menampakkan jati diri aslinya yaitu memang kafir sejak awal.
Pendapat Kedua : bahwa penggunaan lafazh kaana tidak menunjukkan bentuk lampau, namun untuk menunjukkan penekanan saja bahwa iblis saat itu benar-benar sudah jadi kafir karena tidak mau sujud kepada Adam. Seolah-olah sudah kafir sejak awal, kurang lebih begitu.
Seperti ungkapan kita hari ini ketika memaki orang dengan menggunakan kata : dasar, seperti pada caican : "Dasar kampungan". Cacian ini diucapkan ketika ada orang berlaku norak dan kampungan, lalu dikatakan seolah-olah dia aslinya orang norak yang kampungan. Wallahu a'lam bishshawab