Al-Baqarah : 33
Al-Baqarah 2 : 33 | 40

قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ ۖ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ

Kemenag 2019 : Dia (Allah) berfirman, “Wahai Adam, beri tahukanlah kepada mereka namanama benda itu!” Setelah dia (Adam) menyebutkan nama-nama itu, Dia berfirman, “Bukankah telah Kukatakan kepadamu bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang selalu kamu sembunyikan?” (QS. Al-Baqarah : 33)
Prof. Quraish Shihab : Dia berfirman: “Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama (benda-benda) ini" Maka, setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama (benda-benda) itu. Dia berfirman: Bukankah sudah Kukatakan kepada kamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang telah kamu sembunyikan?`
Prof. HAMKA : Berfirman Dia, "Wahai, Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu semuanya!" Maka tatkala telah diberitahukannya kepada mereka nama-nama itu semua, berfirmanlah Dia, "Bukankah telah Aku katakan kepada kamu bahwa sesungguhnya Aku lebih mengetahui rahasia semua langit dan bumi, dan lebih Aku ketahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.
قَالَ يَا آدَمُ

Lafadz qaala (قال) adalah fi'il madhi, sedangkan bentuk mudhari'nya adalah yaquulu (يقول), maknanya adalah berkata. Dalam hal ini berkata adalah Allah SWT sendiri kepada Nabi Adam alaihissalam. Ayat ini dari sisi Ilmu Tauhid menjadi dalil bahwa salah satu sifat Allah SWT adalah berkata-kata. Dari sekian banyak perkataan Allah, salah satunya adalah ketika Allah SWT berkata kepada Adam, sebagaimana bunyi ayat ini.

Lafadz yaa (يا) merupakan harfun-nida' atau bentuk cara sapaan kepada orang yang diajak bicara secara langsung, seperti berhadap-hadapan. Dalam hal ini yang diajak bicara secara langsung adalah Nabi Adam, sebagai al-munada atau yang disapa. 

Secara zhahir teks ayatnya, nampaknya percakapan ini tidak lewat perantaraan malaikat. Pembicaraan ini terjadi secara langsung. Namun para ulama bidang akidah nanti akan berdebat panjang kali lebar tentang apakah boleh dipahami secara apa adanya sesuai teks, ataukah harus ditakwil agar terhindar dari tasybih. 

أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ

Lafazh anbi'hum (أنْبِئْهُمْ) berasal dari kata naba' yang bermakna berita. Bentuk kata kerjanya adalah (أنبأ - يُنْبِئ) yang berarti memberitakan. Allah SWT memerintahkan Adam agar memberitakan tentang nama-nama segala sesuatu yang telah sebelumnya Allah SWT ajarkan kepadanya.

Menarik untuk dikaji bahwa nama-nama segala sesuatu itu awalnya Allah SWT ajarkan kepada Adam lewat lafazh 'allama (عَلَّمَ). Namun setelah Adam diajarkan lewat proses pengajaran, Allah SWT perintahkan kepada Adam untuk memberitakan kepada malaikat dengan ungkapan anba'a (أنْبَأَ). Tentu saja antara mengajarkan dan memberitakan merupakan dua hal yang berbeda. Mengajarkan itu berarti mengetahui secara mendalam, sedangkan memberitahukan itu terkesan hanya sekilas saja. 

Disini nampak perbedaan antara mengetahui dalam arti mendalami ilmu dengan sekedar tahu dalam arti mendengar kabar sekilas lintas.

Perintah Allah SWT kepada Adam agar memberitakan tentang nama-nama segala sesuatu kepada para malaikat tidak dalam rangka mengajarkan semuanya secara mendalam, melainkan sekedar memberi kabar dan gambaran secara umum saja. Setidaknya kemudian para malaikat tahu bahwa Adam itu menguasai ilmu tentang nama-nama segala sesuatu, sedangkan mereka tidak mampu.

Kita bisa membayangkan ada seorang pakar ilmu kedokteran yang punya spesialisasi dan keahlian dengan sangat mendalam ilmunya di bidang penyakit tertentu sedangkan memberi semacam kuliah umum kepada khalayak dan masyarakat awam. Tentu saja masyarakat awam tidak akan lantas jadi dokter apalagi menjadi dokter spesialis hanya lewat penyajian kuliah umum semacam itu.  

Namun setidaknya masyarakat awam punya sedikit pengetahuan dasar tentang penyakit itu dan langkah-langkah yang harus dilakukan terkait dengannya. Itu saja yang bisa diharapkan dari para pendengar awam dan tidak lebih.

Adapun bila ingin jadi dokter, tentu tidak lewat kuliah umum, tetapi lewat serangkaian proses perkuliahan dengan berbagai macam praktek kedokteran sebagaimana lazimnya proses pendidikan di fakultas kedokteran. 

Namun setidaknya masyarakat awam tahu bahwa ilmu yang dimiliki oleh dokter ahli yang memberi kuliah umumnya bukan ilmu yang main-main, sehingga tidak boleh meremehkan kemampuannya. Masyarakat harus memberikan respek dan penghormatannya kepada dokter ahli yang sudah pakar. 

Kurang lebih seperti itulah pelajaran dan hikmah yang bisa kita tarik dari kisah malaikat dan Nabi Adam. Wallahu a'lam

فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ

Lafazh falamma (فَلَمَّا) bermakna : ketika atau tatkala. Dan lafazh anba'ahum bi asama'ihim (أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ) bermakna : memberitahukan nama-nama itu. 

Kalimat ini menjelaskan kepada kita bahwa Nabi Adam menjalankan perintah Allah SWT pertama kali, yaitu memberitahukan kemampuannya kepada para malaikat. Dan hal ini tidak ada hubungannya dengan sikap sombong dan membanggakan diri dari Nabi Adam kepada para malaikat. Sebab latar belakangnya memang perintah Allah SWT langsung. 

قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ

Lafazh qaala (قال) maknanya : "Dia berkata", dalam hal ini yang berkata adalah Allah SWT kepada para malaikat-Nya. Sedangkan lafazh alam aqul lakum (أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ) bermakna : "Bukankah sudah Aku katakan kepada kamu".

Sebelum Nabi Adam diperintahkan untuk memberitahukan kemampuannya, rupanya Allah SWT sudah pernah berkata kepada para malaikat sebelumnya. Sehingga kalimat ini nampaknya ingin menegaskan bahwa Allah SWT kemudian membuktikan kekeliruan dugaan para malaikat.

 

غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Lafazh ghaibus-samawati (غيب السماوات) secara bahasa adalah : hal-hal yang ghaib di langit, sedangkan lafazh ghaibul-ardhi (غيب الأرض) adalah segala hal ghaib yang terjadi di bumi. Namun terkait apa yang dimaksud dari hal ghaib di langit dan di bumi, para mufassir punya beberapa versi penafsiran yang berbeda.

1. Pendapat Pertama

Yang dimaksud dengan ghaibus-samawati (غيب السماوات) adalah peristiwa Nabi Adam dan Hawa memakan buah terlarang di surga. Ini merupakan dosa pertama yang dilakukan di atas langit.

Sedangkan yang dimaksud dengan ghaibul-ardhi (غيب الأرض) adalah anak Adam yang membunuh saudaranya sendiri. Ini adalah dosa pertama yang dilakukan di bumi.

2. Pendapat Kedua

Yang dimaksud dengan ghaibus-samawati (غيب السماوات) adalah segala yang Allah SWT tentukan dalam urusan makhluknya, sedangkan yang dimaksud dengan ghaibul-ardhi (غيب الأرض) adalah apa yang Allah lalukan setelah ditentukan.

3. Pendapat Ketiga

Yang dimaksud dengan ghaibus-samawati (غيب السماوات) adalah hal ghaib bagi malaikatnya yang terdekat dan pembawa Arsy, sedangkan yang dimaksud dengan ghaibul-ardhi (غيب الأرض) adalah apa yang Allah SWT sembunyikan bagi para nabi dan rasul di bumi. 

وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ

Lafazh maa tubduna (ما تبدون) bermakna apa-apa yang terungkap nyata dan nampak kelihatan. Sebagian mufassir mengatakan maksudnya adalah ucapan para malakat sebelumna terkait dijadikannya Adam sebagai khalifah : "Apakah Engkau akan menjadikan orang yang akan berbuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah sebagai khalifah?".

Sedangkan lafazh wa maa kuntum taktumun (وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ) bermakna apa-apa yang kamu sembunyikan. Sebagian mufassir mengatakan bahwa yang disembunyikan adalah pendirian Iblis yang tidak menerima Adam dijadikan khalifah. Dalam hal ini iblis tidak secara terang-terangan menolak lewat kata-kata, namun dia menolak untuk memberi hormat kepada Adam, dan itulah bentuk penolakan iblis terhadap Adam untuk menjadi khalifah.

 

Al-Baqarah : 33
TAFSIR MODERN
1. Tafsir Al-Mahfuz : Dr. Ahmad Sarwat, Lc.,MA
2. Tafsir Kemenag : Team Kemenag RI
3. Tafsir Al-Mishbah : Prof. Quraish Shihab
4. Tafsir Al-Azhar : Prof. HAMKA
5. Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Zuhaili
TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur