(Juga) orang-orang yang sabar, benar, taat, dan berinfak, serta memohon ampunan pada akhir malam.
Prof. Quraish Shihab :
yakni orang-orang yang sabar, benar, taat, bernafkah, dan yang beristighfar di waktu sahur".
Prof. HAMKA :
(Yaitu) orang-orang yang sabar dan orang-orang yang jujur dan orang-orang yang sungguh-sungguh taat dan orang-orang yang membelanjakan harta dan orang-orang yang memohon ampun di ujung malam.
Di ayat sebelumnya yaitu ayat ke-16 telah diceritakan profil ulil abshar, dimana mereka digambarkan suka meminta ampun dan minta perlindungan dari adzab neraka.
Maka di ayat ke-17 ini kita diberikan tambahan informasi berharga tentang sifat-sifat selanjutnya dari ulul abshar, yaitu mereka yang sabar, jujur, tulus ikhlas, gemar berinfak dan tetap minta ampun di malam hari.
الصَّابِرِينَ
Lafazh ash-shabirin (الصَّابِرِينَ) adalah isim fail dalam bentuk jamak. Asalnya dari kata (الصَّبْر) yang sebenarnya bermakna sabar. Namun kata sabar dalam bahasa Indonesia ternyata tidak selalu sebangun dan seruang dengan sabar dalam bahasa Arab.
Contohnya kalau kita buka beberapa kitab tafsir klasik, sabar di ayat ini dikaitkan dengan istilah sabar dari maksiat dan syahwat. Maksudnya tidak tergoda untuk mengerjakan maksiat, juga tidak mudah terbawa mengikuti nafsu syahwat.
Padahal dalam dalam bahasa Indonesia, sabar itu tidak digunakan dengan makna menghindari diri dari maksiat, tetapi sabar lebih sering dimaknai tidak terburu-buru, atau tidak marah-marah, atau untuk menggambarkan sikap yang santai dan mengalah.
Apabila gelora syahwat sudah bergejolak, dan jiwa pun sudah tunduk untuk melakukan kemaksiatan maka kesabaranlah yang akan membendungnya. Sifat sabar pulalah yang menetapkan (mengokohkan) iman dan memelihara ketaatan pada batas~batas yang telah ditetapkan syariat (hukum agama). Sabarlah yang dapat memelihara martabat manusia di waktu mendapat kesulitan di dunia, dan memelihara hak~hak orang dari gangguan tangan orang yang rakus. Sifat sabar merupakan syarat bagi tercapainya sifat~sifat jujur, taat, dan istigfar.
وَالصَّادِقِينَ
Makna as-shadiqin (الصَّادِقِينَ) adalah orang yang bersifat benar, sebagaimana tertuang dalam Tafsir Kemenag RI dan juga dalam terjemahannya.
Prof. Qurasih Shihab menuliskan bahwa yang dimaksud dengan as-shadiqin (الصَّادِقِينَ) adalah para pembenar, yakni ucapan mereka sesuai dengan isi hati mereka dan mereka pun berusaha mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.
Buya HAMKA mengungkapkan bahwa maknanya adalah bersikap jujur atau mereka yang berlaku shidiq atau jujur. Menurutnya ini adalah standar moral dasar dari sifat orang-orang yang beragama, yaitu tidak bohong dan dusta, tetapi jujur apa adanya. Jujur atau dalam bahasa Arabnya shadiq, artinya benar dan membenarkan. Benar ke luar dan ke dalam, tidak berubah yang di mulut dengan yang di hati.
Buya HAMKA juga mengatakan bahwa shadiqin adalah orang membenarkan segala apa pun yang dituntunkan Nabi saw., yang diwahyukan Allah dengan kata dan perbuatan. Dan, mereka buktikan dengan perbuatan apa yang dibenarkan oleh hati.
Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. (QS. Ali Imran : 95)
وَالْقَانِتِينَ
Makna al-qanitin (الْقَانِتِينَ) adalah orang yang taat. Dalam Tafsir Kementerian Agama RI disebutkan bahwa makna taat adalah ketekunan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan tunduk dan khusyuk kepada Allah. Tunduk dan khusyuk adalah jiwa dan intisari ibadah. Tanpa tunduk dan khusyuk ibadah menjadi hampa, bagaikan pohon tiada berbuah.
Prof. Quraish Shihab menuliskan bahwa al-qanitin adalah orang yang taat tulus ikhlas melakukan segala kegiatan secara berkesinambungan demi meraih ridha Allah.
Buya HAMKA menyebutkan orang itu punya sikap taat yang sungguh-sungguh dalam mengerjakan apa yang diperintahkan dan menghentikan yang dilarang. Meletakkan di muka serta mendahulukan kehendak Allah dan Rasul daripada kehendak sendiri.
وَالْمُنْفِقِينَ
Lafazh al-munfiqin (الْمُنْفِقِينَ) adalah ism fail dari asalnya (أَنْفَقَ - يُنْفِقُ). Secara bahasa bermakna orang yang berinfaq.
Namun dalam Tafsir Kemenag RI disebutkan maksudnya orang yang membelanjakan harta di jalan Allah, baik yang bersifat wajib, maupun yang sunah, karena mengeluarkan harta untuk amal kebajikan sangat ditekankan dan dianjurkan oleh agama.
Buya HAMKA menyebutkan bahwa al-munfiqin adalah orang-orang yang membelanjakan harta, yaitu dermawan, sudi bersedekah, suka berzakat, tidak bakhil, memberikan bantuan kepada fakir dan miskin, dan amal-amal kebaikan yang lain.
وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
Lafazh al-mustaghfirin (الْمُسْتَغْفِرِينَ) adalah isim fail dalam bentuk jamak dari asalnya (استغفر - يستغفر) . Maknanya adalah orang-orang yang meminta ampunan.
Lafazh ashar (الْأَسْحَارِ) artinya beberapa saat menjelang terbitnya fajar, yaitu 1/3 malam terakhir atau 1/6 malam terakhir. Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya menjadi waktu sahur, memang itulah waktu yang paling utama untuk makan sahur.
Sebagian ulama mengatakan maksudnya shalat tahajud di akhir malam. Shalat ini diikuti dengan bacaan istigfar dan doa. Terdapat di dalam kitab hadis Sahih Bukhari dan Muslim, dan dalam kitab-kitab musnad serta sunan, riwayat dari sejumlah sahabat.
'Tuhan kita Yang Mahasuci dan Mahatinggi, turun pada setiap malam ke langit dunia pada waktu sepertiga akhir malam. Dia berfirman : "Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya. Siapa yang meminta ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya': (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun istigfar (minta ampun) yang dimaksud oleh agama ialah istigfar yang disertai tobat nasuha, serta. menyesuaikan perbuatan dengan ketentuan agama. Tobat nasuha adalah tobat dengan benar-benar menghentikan perbuatan dosa dan tidak mengulangi lagi, serta berusaha menggantinya dengan perbuatan yang baik.
Tanda kesempurnaan iman seseorang ialah bahwa ia selalu mengharapkan ampunan dari Tuhan, serta selalu bersifat sabar, benar, taat, dermawan dan tekun beribadah di malam hari.