◀ | Jilid : 10 Juz : 5 | An-Nisa : 101 | ▶ |
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
Kemenag RI 2019 : Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar salat jika kamu takut diserang orang-orang yang kufur. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.TAFSIR AL-MAHFUZH | REFERENSI KITAB TAFSIR |
Ayat ke-101 ini sebenarnya sudah tidak terkait langsung dengan ayat sebelumnya yang membicarakan tentang kewajiban hijrah. Ayat ini justru bicara tentang perang di jalan Allah, khususnya tentang kebolehannya untuk meringankan shalat atau qashar shalat.
Awalnya ada dua syarat kebolehan shalat qashar, yaitu selain harus dalam perjalanan, juga harus ketika sedang terjadi perang. Namun Allah SWT kemudian meringankan syaratnya, yaitu hanya safar saja, sedangkan perang tidak harus lagi menjadi syarat kebolehan shalat qashar.
Kata wa idza (وَإِذَا) artinya dan apabila. Kata dharabtum (ضَرَبْتُمْ) artinya : kamu bepergian. Kata fil-ardhi (فِي الْأَرْضِ) artinya : di bumi.
Sudah dibahas sebelumnya bahwa kata dharaba dalam bahasa Arab bisa bermakna luas. Lebih dari sepuluh makna yang berbeda, tergantung konteksnya. Bisa bermakna memukul, memberi perumpamaan, menimpakan bencana, mengayunkan pedang, menyekutukan Allah, menutup telinga, membuka jalan, mengenakan kerudung, membangun dinding, membantah, bepergian atau safar dan bisa bermakna berniaga atau berdagang.
1. Memukul
Terkadang kata dharaba (ضرب) bermakna : memukul. Misalnya ketika Allah SWT memerintahkan kepada Musa untuk mengayunkan tongkatnya ke laut, sehingga kemudian laut itu membelah.
فَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ ۖ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu". Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (QS. Asy-Syuara : 63)
2. Memberi Perumpamaan
Namun terkadang maknanya memberi perumpamaan, sebagaimana di ayat berikut :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا
Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. (QS. Al-Baqarah : 26)
3. Menimpakan Bencana
Terkadang Al-Quran menyebut kata ini dengan makna menimpa, sebagaimana pada ayat berikut :
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ
Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, (QS. Al-Baqarah : 61)
4. Mengayunkan Pedang
Terkadang makna kata ini bisa juga mengayunkan pedang atau memenggal leher lawan dalam arti membunuh, sebagaimana yang tertuang dalam ayat berikut :
فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ
Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (QS. Al-Anfal : 12)
5. Menyekutukan Allah
Bahkan ada ayat yang menyebutkan kata ini dengan makna : menyekutukan Allah :
فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ
Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. (QS. An-Nahl : 74)
6. Menutup Telinga
Yang agak unik di dalam surat Al-Kahfi ketika Allah SWT menutup telinga para pemuda Ashabul Kahfi, diungkapkan dengan kata dharaba juga.
فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا
Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, (QS. Al-Kahfi : 11)
7. Membuka Jalan
Di dalam surat Thaha ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Musa untuk melintasi Laut Merah dan membuka jalan, rupanya perintahnya juga menggunakan kata dharaba ini juga.
وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِي الْبَحْرِ يَبَسًا لَا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَىٰ
Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: "Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering dilaut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)". (QS. Thaha : 77)
8. Mengenakan Kerudung
Ketika memerintahkan para wanita untuk memakai kerudung agar kepalanya tertutup, Allah SWT menggunakan perintah dengan kata dharaba :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, (QS. An-Nur : 31)
Ketika para wanita dilarang menghentak-hentakkan kaki mereka ke tanah sekedar agar terdengar suara perhiasan mereka. Allah SWT menggunakan kata dharaba ini juga.
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (QS. An-Nur : 31)
9. Membangun Dinding
Sedangkan dalam surat Al-Hadid, kata dharaba bermakna membangun dinding :
فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ
Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. (QS. Al-Hadid : 13)
10. Membantah
Dalam surat Az-Zukhruf, kata dharaba berkonotasi : membantah.
وَقَالُوا أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ ۚ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?" Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (QS. Az-Zukhruf : 58)
11. Bepergian atau Safar
Namun ada beberapa ayat yang menggunakan kata dharaba ini dengan makna safar atau bepergian, biasanya bergandengan dengan kata fil ardhi (في الأرض). Misalnya ayat-ayat berikut :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu),. (QS. An-Nisa : 101)
إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ
Jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. (QS. Al-Maidah : 106)
12. Berdagang
Namun ada juga kata (ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ) yang justru dimaknai sebagai usaha atau mencari rejeki, yaitu pada ayat berikut :
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; (QS. Al-Baqarah : 273)
Namun ini bisa dijelaskan bahwa di masa kenabian dulu, bangsa Arab khususnya orang-orang Quraisy itu mendapatkan rejeki dari berdagang. Dan perdagangan mereka itu identik dengan perjalanan jauh ke mancanegara, baik di musim dingin ataupun musim panas.
Kata fa laisa (فَلَيْسَ) artinya : maka tidak. Kata ‘alaikum (عَلَيْكُمْ) artinya : atas kamu. Kata junahun (جُنَاحٌ) artinya : dosa. Maksudnya kamu tidak berdosa atau tidak ada dosa bagimu.
Penggalan ini menyebutkan bahwa tidak ada dosa, maka secara umumnya berarti hukumnya mubah atau boleh. Para ulama mengatakan bahwa tidak berdosa itu maknanya bukan lebih utama, melainkan pilihan yang sifatnya meringankan alias rukhshah.
Imam Syafi'i menyaratkan minimal perjalanan itu hukumnya mubah, baik perjalanan dagang, perjalanan haji, silaturrahmi dan tidak harus dalam bentuk jihad di jalan Allah.
Adapun perjalanan maksiat, seperti perampokan jalanan atau budak yang kabur dari tuannya, maka keringanan itu tidak berlaku. Mengingat bahwa keringanan diberikan untuk mempermudah itu tidak berlaku bila dalam rangka maksiat kepada Allah.
Namun sebagian kalangan menyebutkan bahwa keringanan tetap diberikan, meskipun perjalanan itu maksiat. Dasarnya bahwa jika seseorang mencuri sepatu dan memakainya, ia tetap diperbolehkan mengusapnya ketika berwudhu. Hal itu mengingat bahwa syarat kebolehan itu adalah penutup kakinya, walaupun mencuri sepatunya haram.
Keringanan Atau Keharusan?
Di kalangan ulama berkembang perbedaan pendapat tentang apakah shalat qashar itu merupakan keringanan ataupun keharusan. Rinciannya sebagai berikut :
1. Keharusan
Abu Hanifah berpendapat bahwa mengqashar shalat itu hukumnya wajib bagi musafir. Jika seorang musafir shalat empat rakaat tanpa duduk di rakaat kedua, maka salatnya batal. Namun, jika dia duduk di antara keduanya (rakaat kedua dan ketiga) seukuran tasyahud, maka salatnya sah. Istilah lain yang sering digunakan adalah azimah.
Dalil yang mereka gunakan adalah salah satu hadits di bahwa ini, dimana mereka menarik kesimpulan hukum menjadi wajib, bukan sunnah atau pilihan.
أَوَّلُ مَا فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ فَأَقَرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَأَتَمَّتْ صَلاَةُ الحَضَرِ
Awal mula diwajibkan shalat itu 2 rakaat kemudian ditetapkan bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak safar). (HR Bukhari Muslim)
فَرَّضَ اللهُ الصَّلاَةَ عَلىَ لِسَانِ نَبِيِّكُمْ فيِ الحَضَرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَفيِ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفيِ الخَوْفِ رَكْعَةً
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu‘anhu berkata:”Alah SWT telah mewajibkan di atas lidah Nabi kalian bahwa shalat dalam hadhar (tidak safar) sebanyak4 rakaat, dalam safar 2 rakaat dan dalam keadaan kahuf (takut) satu rakaat (HR. Muslim)
Dua hadits di atas memang tegas menyebut istilah 'mewajibkan', sehingga barangkali inilah yang dijadikan dalil bagi mazhab Hanafi untuk mewajibkan qashar shalat dalam perjalanan.
2. Keutamaan
Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa mengqashar shalat bukan kewajiban, namun bagi musafir hukumnya sunnah alias lebih utama.
Dasarnya adalah tindakan Rasulullah SAW yang secara umum selalu mengqashar shalat dalam hampir semua perjalanan beliau. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu.
صَحِبْتُ النَّبِيَّ فَكَانَ لاَ يُزِيْدُ فيِ السَّفَرِ عَلىَ رَكْعَتَيْنِ وَأَبُو بَكْرِ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ كَذَلِكَ
Abdullah bin Umar berkata,"Aku menemani Rasulullah SAW, beliau tidak pernah menambah shalat lebih dari 2 rakaat dalam safar, demikian pula Abu Bakar, Umar dan Utsman." (HR. Bukhari Muslim)
3. Pilihan Mana Suka
Sedangkan pendapat mazhab As-Syafi’i mengatakan bahwa mengqashar shalat bagi musafir adalah keringanan. Dan karena itu mengqashar atau tidak mengqashar itu sama saja, tidak ada keutamaan apalagi keharusan. Silahkan lakukan mana suka saja.
Mau mengqashar silahkan dan tidak mau mengqashar pun silahkan juga. Tidak ada keutamaan apalagi kewajiban. Namanya juga keringanan, kalau sampai diwajibkan justru tidak jadi keringanan malah jadi beban yang memberatkan.
Para shahabat Nabi SAW dalam banyak perjalanan, kadang mereka mengqashar tapi kadang juga tidak mengqasharnya. Sehingga mengqashar atau tidak merupakan pilihan. Mereka tidak saling memandang aib atas apa yang dilakukan teman mereka.
Selain itu Aisyah dan Rasulullah SAW pernah mengadakan perjalanan, dimana mereka saling berbeda dalam shalat, yang satu mengqashar yang lain tidak mengqashar.
خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ فيِ عُمْرَةٍ فيِ رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ وَصُمْتُ وَقَصَّرَ وَأَتْمَمْتُ. فَقُلْتُ : بِأَبيِ وَأُمِّي أَفْطَرْتَ وَصُمْتُ وَقَصَّرْتَ وَأَتْمَمْتُ. فَقَالَ: أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَة
Aku pernah melakukan umrah bersama Rasullah SAW di bulan Ramadhan, beliau SAW berbuka dan aku tetap berpuasa, beliau mengqashar shalat dan aku tidak. Maka Aku berkata,"Dengan ibu dan ayahku, Anda berbuka dan aku berpuasa, Anda mengqashar dan Aku tidak". Beliau menjawab,"Kamu baik, wahai Aisyah". (HR. Ad-Daruquthuny)
Kata an taqshuru (أَنْ تَقْصُرُوا) artinya untuk mengurangi. Kata minash-shalati (مِنَ الصَّلَاةِ) artinya : dari shalat.
Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsir Mafatih Al-Ghaibi[1] menuliskan bahwa istilah qashr yang artinya mengurangi itu dipahami secara berbeda oleh para ulama, yaitu antara jumhur ulama dan sebagian kecil lainnya.
1. Pendapat Jumhur Ulama
Yang merupakan pendapat jumhur ulama alias mayoritas, adalah bahwa maksud dari "qashar" (meringkas) adalah pengurangan jumlah rakaat. Hanya saja mereka berbeda pendapat ini menjadi dua pandangan:
Sebagian mengatakan bahwa maksudnya adalah shalat musafir, yaitu setiap salat yang jumlah rakaatnya empat dalam keadaan mukim (tidak bepergian), menjadi dua rakaat dalam keadaan bepergian.
Berdasarkan pendapat ini, qashar hanya berlaku untuk salat Zuhur, Asar, dan Isya. Sedangkan untuk Maghrib dan Shubuh, qashar tidak berlaku.
Namun sebagian lagi mengatakan bahwa ayat ini tidak dimaksudkan untuk shalat musafir, tetapi untuk shalat khauf, yaitu shalat dalam keadaan takut. Pendapat ini dipegang oleh Ibn Abbas, Jabir bin Abdullah, dan sekelompok ulama. Ibn Abbas berkata,
فَرَضَ اللَّهُ صَلاةَ الحَضَرِ أرْبَعًا، وصَلاةَ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ، وصَلاةَ الخَوْفِ رَكْعَةً عَلى لِسانِ نَبِيِّكم مُحَمَّدٍ
"Allah menetapkan shalat mukim sebanyak empat rakaat, shalat musafir dua rakaat, dan shalat khauf satu rakaat melalui lisan Nabi kalian, Muhammad SAW."
Kedua pendapat ini berangkat dari pemahaman bahwa maksud qashar adalah mengurangi jumlah rakaat.
2. Pendapat Kedua
Di luar pendapat jumhur ulama, ada juga pendapat lain yang berbeda, yaitu mereka mengatakan bahwa maksud dari qashar adalah meringankan tata cara pelaksanaan shalat, seperti cukup shalatnya dengan isyarat sebagai ganti dari rukuk dan sujud. Atau dengan diperbolehkannya shalat sambil berjalan, atau shalat dengan pakaian yang terkena darah.
Ini adalah bentuk shalat yang dilakukan dalam kondisi pertempuran yang sangat intens. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn Abbas dan Thawus.
Para pendukung pendapat ini berargumen bahwa ketakutan terhadap musuh tidak akan hilang hanya dengan melaksanakan shalat dua rakaat secara sempurna. Hal ini hanya dapat diatasi dalam situasi ketakutan yang ekstrem saat pertempuran berlangsung.
Namun, argumen ini dianggap lemah karena bisa saja dikatakan bahwa jika shalat musafir memiliki jumlah rakaat yang sedikit, maka seseorang dapat melaksanakannya tanpa diketahui oleh musuhnya. Sebaliknya, jika jumlah rakaatnya banyak, durasi shalat menjadi lama sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan dalam waktu singkat atau saat musuh lengah.
Namun pendapat yang paling kuat dan didukung oleh jumhur ulama adalah pendapat yang mengatakan bahwa qashar yang dimaksud memang qashar dalam artian mengurangi shalat ruba’iyah yang terdiri dari empat rakaat menjadi dua rakaat. Dasarnya adalah hal-hal berikut ini :
1. Pertama
Diriwayatkan dari Ya'la bin Umayyah, bahwa dia berkata: "Aku berkata kepada Umar bin Khattab r.a., 'Bagaimana kita melakukan qashar sedangkan kita dalam keadaan aman? Bukankah Allah berfirman:
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ
Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar salat jika kamu takut diserang orang-orang yang kufur.
Umar menjawab, 'Aku pun merasa heran seperti apa yang kau herankan, maka aku bertanya kepada Nabi SAW, dan beliau bersabda:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِها عَلَيْكم فاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
'Itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya.'”
Hadis ini menunjukkan bahwa qashar yang dimaksud dalam ayat adalah pengurangan jumlah rakaat, dan hal itu sudah dipahami oleh mereka dari makna ayat tersebut.
2. Kedua
Qashar berarti melakukan sebagian dari sesuatu dan cukup dengan itu. Adapun melakukan sesuatu yang lain, itu tidak disebut qashar atau iqtishar alias pembatasan.
Adapun mengganti gerakan ruku’ dan sujud dengan isyarat tubuh, atau diperbolehkannya berjalan dalam shalat, atau shalat dengan pakaian yang terkena darah, semuanya bukanlah bentuk qashar, melainkan penetapan hukum baru dan penggantian sesuatu dengan yang lain.
Oleh karena itu, menafsirkan qashar sebagai pengurangan rakaat lebih diutamakan.
3. Ketiga
Kata "min" dalam firman-Nya: "minas-shalah" (مِنَ الصَّلاةِ) menunjukkan makna sebagian, yang mengisyaratkan bolehnya hanya melakukan sebagian salat. Dengan demikian, dari sisi ini, tafsir qashar sebagai pengurangan rakaat lebih diutamakan daripada penafsiran qashar sebagai mengganti rukuk dan sujud dengan isyarat.
4. Keempat
Kata qashar dalam kebiasaan mereka khusus digunakan untuk pengurangan jumlah rakaat. Oleh karena itu, ketika Nabi SAW salat Zuhur dua rakaat, Dzul Yadain berkata, "Apakah sahlat telah diqashar ataukah engkau lupa?"
5. Kelima
Qashar dalam makna perubahan bentuk salat sudah disebutkan dalam ayat setelah ayat ini. Oleh karena itu, ayat ini harus dimaksudkan untuk menjelaskan qashar dalam makna pengurangan rakaat agar tidak terjadi pengulangan.
[1] Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H)
Kata in khiftum (إِنْ خِفْتُمْ) artinya : jika kamu takut. Kata an yaftina-kum (أَنْ يَفْتِنَكُمُ) artinya : mendatangkan fitnah bagi kamu. Maknanya diserang. Kata alladzina kafaru (الَّذِينَ كَفَرُوا) artinya : orang-orang yang kafir.
Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan ketika Nabi SAW berada di 'Usfan, sementara kaum musyrik berada di Dajnân. Lalu mereka berhadapan. Nabi SAW melaksanakan shalat Zuhur bersama para sahabatnya sebanyak empat rakaat dengan ruku’, sujud, dan berdiri yang mereka lakukan bersama-sama. Maka kaum musyrik berniat untuk menyerang perbekalan dan barang-barang berat mereka.
Awalnya penggalan ini menjadi syarat dari diberlakukannya shalat qashar. Namun terbukti bahwa kemudian syarat jika takut diperangi musuh sudah tidak lagi menjadi dasar. Sehingga yang menjadi dasar kebolehan shalat qashar tinggal hanya perjalanan saja, alias safar.
Jarak Safar
Namun para ulama berbeda pendapat terkait jarak minimal sebuah perjalanan itu dianggap safar yang membolehkan qashar.
Jumhur ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat bahwa safar itu minimal berjarak empat burud.
Dasar ketentuan minimal empat burud ini ada banyak, di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
يَاأَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا فيِ أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلىَ عُسْفَان
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan". (HR. Ad-Daruquthuny)
Selain dalil hadits di atas, dasar dari jarak minimal 4 burud adalah apa yang selalu dilakukan oleh dua ulama besar dari kalangan shahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. Mereka berdua tidak pernah mengqashar shalat kecuali bila perjalanan itu berjarak minimal 4 burud. Dan tidak ada yang menentang hal itu dari para shahabat yang lain.
Dalil lainnya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Atsram, bahwa Abu Abdillah ditanya,
"Dalam jarak berapa Anda mengqashar shalat?". Beliau menjawab,"Empat burud". Ditanya lagi,"Apakah itu sama dengan jarak perjalanan sehari penuh?". Beliau menjawab,"Tidak, tapi empat burud atau 16 farsakh, yaitu sejauh perjalanan dua hari".
Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km[1].
Meski jarak itu bisa ditempuh hanya dengan satu jam naik pesawat terbang, tetap dianggap telah memenuhi syarat perjalanan. Karena yang dijadikan dasar bukan lagi hari atau waktu, melainkan jarak tempuh.
Sebagai perbandingan saja, kalau kita sekarang ini tinggal di Jakarta, sampai dimanakah batas jarak qashar yang dibenarkan?
Seringkali daerah puncak dianggap sudah mencapai jarak dibolehkannya Qashar. Tetapi apa benar, mari coba kita teliti lebih jauh.
Penulis menggunakan peta di hp yang bisa mengukur jarak, yaitu antara dua titik yaitu masjid Istiqlal di pusat Jakarta dengan masjid At-Ta’awun di kawasan puncak. Hasilnya sebagaimana terlihat dari gambar ini, jaraknya baru mencapai 83 km saja, belum sampai 88,704 km. Maka kalau safar kita hanya seputaran kawasan puncak, belum bisa dianggap safar yang membolehkan qashar shalat. Harus ditambah lagi kira-kira 5-6 km lagi agar bisa masuk kategori itu.
Dan semua ulama sepakat bahwa meski pun disebut masa perjalanan dua hari, namun yang dijadikan hitungan sama sekali bukan masa tempuh. Tetapi yang dijadikan hitungan adalah jarak yang bisa ditempuh di masa itu selama dua hari perjalanan.
Pertanyannya, kalau memang yang dimaksud dengan jarak disini bukan waktu tempuh dua hari, lalu mengapa dalilnya malah menyebutkan waktu dan bukan jarak.
Jawabnya karena di masa Rasulullah SAW dan beberapa tahun sesudahnya, orang-orang terbiasa menyebutkan jarak antar satu negeri dengan negeri lainnya dengan hitungan waktu tempuh, bukan dengan skala kilometer atau mil.
Di masa sekarang ini, kita masih menemukan masyarakat yang menyebut jarak antar kota dengan hitungan waktu. Salah satunya di Jepang yang sangat maju teknologi perkereta-apiannya. Disana orang-orang terbiasa menyebut jarak satu kota dengan kota lainnya dengan hitungan jam. Maksudnya tentu bukan dengan jalan kaki melainkan dengan naik kereta cepat Sinkansen.
Sedangkan perjalanan dua hari di masa Rasulullah SAW tentunya dihitung dengan berjalan kaki dengan langkah yang biasanya. Meski pun naik kuda atau unta, sebenarnya relatif masa tempuhnya kurang lebih sama. Karena kuda atau unta bila berjalan di padang pasir tentu tidak berlari, sebab tenaganya akan cepat habis.
Perjalanan antar negeri di masa itu yang dihitung hanya perjalanan siang saja, sedangkan malam hari tidak dihitung, karena biasanya malam hari para khafilah yang melintasi padang pasir beristirahat.
Masa tempuh seperti ini kalau dikonversikan dengan jarak tempuh sebanding dengan jarak 24 mil. Dan sebanding pula dengan jarak 4 burud, juga sebanding dengan 16 farsakh. Jarak ini juga sama dengan 48 mil hasyimi.
2. Hanafi : Jarak 3 Hari Perjalanan
Abu Hanifah dan para ulama Kufah mengatakan minimal jarak safar yang membolehkan qashar itu adalah bila jaraknya minimal sejauh perjalanan tiga hari, baik perjalanan itu ditempuh dengan menunggang unta atau berjalan kaki, keduanya relatif sama. Dan tidak disyaratkan perjalanan itu siang dan malam, tetapi cukup sejak pagi hingga zawal di siang hari.
Safar selama tiga hari ini kira-kira sebanding dengan safar sejauh 3 marhalah. Karena kebiasaannya seseorang melakukan safar sehari menempuh satu marhalah.
Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW, dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari.
يَمْسَحُ المـُقِيْمُ كَمَالَ يَوْمِ وَلَيْلَةٍ وَالمـُسَافِرُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيْهَا
Orang yang muqim mengusap sepatu dalam jangka waktu sehari semalam, sedangkan orang yang safar mengusap sepatu dalam jangka waktu tiga hari tiga malam. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Demikian juga ketika Rasulullah SAW menyebutkan tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama 3 hari.
لاَ يَحِل لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
Dari Ibnu Umar radhiyallhuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh 3 malam kecuali bersama mahram". (HR. Muslim)
Menurut mazhab Al-Hanafiyah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari.
Kalau kita konversikan jarak perjalanan tiga hari, maka hitungannya adalah sekitar 135 Km.
3. Zhahiri : Tanpa Batas Minimal
Sedangkan pendapat mazhab Zhahiri mengatakan tidak ada batas minimal seperti yang telah kami sebutkan di atas. Jadi mutlak safar, artinya berapa pun jaraknya yang penting sudah masuk dalam kriteria safar atau perjalanan. Di antara ulama yang mewakili kalangan ini salah satunya adalah Ibnu Taimiyah.[2]
Menurut pandangan mazhab ini, seseorang sudah disebut sebagai musafir meski jarak yang ditempuhnya hanya berjarak 3 farsakh atau 3 mil saja. Dasar pendapat ini adalah hadits berikut ini.
إِنَّ رَسُولَ الله كَانَ إِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلاَثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخِ صَلىَّ رَكْعَتَيْنِ
Anas berkata bahwa Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat” (HR Muslim)
Namun meski hadits ini shahih dari segi periwayatannya, namun cara menarik kesimpulannya yang tidak disepakati. Umumya para fuqaha mengartikan hadits ini bukan sebagai jarak safar yang membolehkan qashar, namun kapan shalat qashar sudah boleh mulai dikerjakan. Sementara safarnya itu sendiri tetap minimal berjarak empat burud atau enambelas farsakh.
Ketika Rasulullah SAW mengadakan perjalanan dari Madinah ke Mekkah, beliau sudah mulai mengqashar sejak masih di Dzil-Hulaifah, atau yang sekarang disebut dengan Bi’r Ali. Kalau diukur jaraknya hanya beberapa kilmometer saja dari Madinah.
صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ رَسُول اللَّهِ r بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata,"Aku shalat Dzuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah 4 rakaat, dan shalat Ashar bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tetapi sebagaimana kita ketahui, tujuan safar beliau SAW bukan semata-mata mau pergi ke Dzil-hulaifah. Beliau SAW punya tujuan yang jauh, yaitu melakukan haji atau umrah ke Mekkah.
Kata inna (إِنَّ) artinya : sesungguhnya. Kata al-kafirina (الْكَافِرِينَ) artinya : orang-orang kafir. Kata kanu lakum (كَانُوا لَكُمْ) artinya : mereka bagimu adalah. Kata ‘aduwwan (عَدُوًّا) artinya : musuh. Kata mubina (مُبِينًا) artinya : yang nyata.
Maknanya adalah bahwa permusuhan yang terjadi antara kalian dan orang-orang kafir sudah lama, dan sekarang kalian telah memperlihatkan perbedaan kalian dalam agama, yang membuat permusuhan mereka semakin bertambah. Karena kerasnya permusuhan tersebut, mereka berusaha untuk memerangi kalian dan berupaya membinasakan kalian jika mereka mampu.
Oleh karena itu, apabila waktu salat kalian menjadi panjang, mereka mungkin akan menemukan kesempatan untuk membunuh kalian. Maka, berdasarkan hal itu, Aku memberi keringanan kepada kalian untuk melakukan qashar shalat.