◀ | Al-Baqarah : 101 | ▶ |
وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Kemenag 2019 : Setelah datang kepada mereka Rasul (Nabi Muhammad) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sebagian orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah itu ke belakang punggung (tidak menggubrisnya) seakan-akan mereka tidak tahu. (QS. Al-Baqarah : 101)Lafazh walamma (وَلَمَّا) bermakna : dan ketika, sementara itu lafazh jaa-a-hum (جَاءَهُمْ) bermakna : datang kepada mereka. Orang yang datang disini maksudnya adalah Nabi Muhammad SAW. Tentu saja Nabi Muhammad SAW tidak diutus hanya kepada Bani Israil semata, melainkan juga diutus kepada semua umat dari berbagai bangsa di dunia hingga hari kiamat.
Lafazh mushaddiq (مُصَدِّقٌ) bermakna membenarkan, makna li-maa (لِمَا) atas apa, dan lafazh ma’ahum (مَعَهُمْ) artinya yang bersama mereka. Maksudnya kedatangan Nabi Muhammad SAW ini bukan untuk menentang atau meruntuhkan risalah samawi yang sudah turun sebelumnya. Justru sebaliknya, kedatanan Nabi Muhammad SAW untuk membenarkan agama sebelumnya dalam arti yang sesungguhnya.
Bahwa kemudian ada hal-hal yang diperbaharui lewat syariat yang turun kepada Nabi Muhammad SAW, jangan dipahami sebagai penghancuran atau perusakan atas agama-agama yang pernah ada.
Setidaknya ada dua fungsi kedatangan Nabi Muhammad SAW kepada Bani Israil dan termasuk juga kepada semua umat manusia.
Pertama, untuk mengembalikan keaslian ajaran agama yang sudah terlalu lama turunnya, sehingga disana-sini sudah banyak kerusakan dan kebocoran yang harus ditangani dengan baik. Ibarat rumah tua yang dimakan usia, sudah sewajarnya bagian-bagian yang rusak segera direnovasi, kalau tidak mau runtuh secara keseluruhannya.
Kedua, untuk menambahkan bagian-bagian tertentu yang memang belum ada sebelumnya. Ibarat rumah tua yang dibangun di masa lalu dengan kebutuhan di masa lalu, kini ada kebutuhan yang lebih luas lagi, boleh jadi karena jumlah anggota keluarga bertambah. Maka bisa saja rumah itu selain direnovasi, juga ditambahi ruangan-ruangannya, mungkin juga dibuatkan dua lantai ke atas, dindingnya diperbaiki, cat yang sudah terkelupas kembali diwarnai, atap-ata yang bocor disana-sini perlu ditambal.
Intinya rumah itu direnovasi sehingga bisa lebih berfungsi dengan baik. Namun penghuninya rada cupet dan kurang gaul, dikiranya rumah itu mau dirobohkan rata dengan tanah. Padahal tidak demikian keadaannya.
Lafazh nabadza (نَبَذَهُ) makna aslinya melempar, namun maksudnya mencampakkan. Lafazh fariqun (فَرِيقٌ) maknanya sekelompok, sebagian, salah satu pecahan, sempalan, part-of. Sedangkan lafazh minal-lazdina uutul kitab (مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ) secara bahasa berarti : mereka yang diberi kitab samawi dari Allah SWT, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Lafazh kitaballah (كِتَابَ اللَّهِ) maksudnya adalah kitab suci yang Allah SWT turunkan, secara umum adalah Taurat, Zabur, Injil, Al-Quran dan lain-lainnya.
Dalam hal ini para ulama punya dua pandangna yang sedikit berbeda. Sebagian mereka memahami bahwa dalam konteks ayat ini yang dimaksud kitabullah itu hanya khusus Taurat saja, karena ayat ini sedang berbicara tentang perilaku Yahudi terhadap kitab suci mereka sendiri. Sedangkan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa kitabullah yang dimaksud justru Al-Quran yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. Bani Israil tidak suka kepada isi Al-Quran yang dalam pandangan mereka seolah-olah memposisikan mereka seperti orang bego yang bisanya hanya plonga-plongo.
Padahal yang bikin mereka bersikap seperti itu justru halusinasi mereka yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa zaman itu selalu berubah, sebagaimana Allah SWT pun selalu dinamis dan senantiasa memperbaharui syariat dan aturannya.
Lafazh wara’a (وَرَاءَ) artinya di belakang dan lafazh zhuhurihim (ظُهُورِهِمْ) adalah bentuk jamak dari zhahrun (ظَهْر) yang artinya punggung.
Ungkapan kitab suci berada di punggung mereka maksudnya adalah : Orang-orang Yahudi telah melempar kitab suci Taurat atau Al-Quran ke belakang mereka sebagai ungkapan dalam bahasa tubuh bahwa mereka mencampakkan, membuang dan menginjak-injak kitab suci mereka sendiri atau pun juga kitab suci Al-Quran.
Seolah-olah mereka tidak tahu. Maksudnya ketika mereka mencampakkan Taurat, mereka pura-pura tidak tahu bahwa yang mereka campakkan itu kitab suci samawi yang sangat agung. Padahal mereka mengaku sebagai ahli kitab, ternyata kitabnya malah dilempar ke belakang.
Apa yang Allah SWT ceritakan tentang kelakukan Bani Israil itu kalau kita pahami dan resapi dengan seksama, sebenarnya merupakan sindiran yang teramat halus buat kita sebagai umat Islam. Sebab sedikit banyak, diam-diam perbuatan mencampakkan Al-Quran itu sudah terjadi tanpa kita sadari, yaitu dengan tidak pernah mau belajar tasfir Al-Quran. Al-Quran hanya dibaca dan dihafal, sedangkan isinya merupakan petunjuk dibuang ke belakang. Lantas apa bedanya kita dengan Bani Israil?