Jilid : 5 Juz : 3 | Al-Baqarah : 254
Al-Baqarah 2 : 254
Mushaf Madinah | hal. 42 | Mushaf Kemenag RI

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ ۗ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Kemenag RI 2019 : Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami anugerahkan kepadamu sebelum datang hari (Kiamat) yang tidak ada (lagi) jual beli padanya (hari itu), tidak ada juga persahabatan yang akrab, dan tidak ada pula syafaat. Orang-orang kafir itulah orang-orang zalim.
Prof. Quraish Shihab : Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah swt.), sebagian dari rezeki yang telah Kami anugerahkan kepada kamu sebelum datang hari (Kiamat) yang tidak ada (lagi) jual beli padanya (di hari itu), dan tidak ada (lagi) persahabatan yang akrab, dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang zalim.
Prof. HAMKA : Wahai, orang-orang yang beriman! Belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami karuniakan kepada kamu sebelum datang kepada kamu suatu hari, yang tidak ada perdagangan padanya, dan tidak ada persahabatan dan tidak ada syafaat; dan orang-orang yang kafir itulah orang-orang yang zalim.

Secara sekilas ayat ke-254 ini terkesan seperti tidak ada hubungan apapun dengan ayat sebelumnya. Mengingat bahwa ayat-ayat sebelumnya bicara tenang keimanan kepada para rasul yang mana sebagian mereka dilebihkan atas sebagian yang lain.

Kemudian Allah SWT menceritakan tentang pecahnya para pengikut para rasul sepeninggal mereka.

Sedangkan ayat ke-254 ini secara lahiriyah sama sekali tidak bicara tentang para rasul atau pun perpecahan yang terjadi antara sesama pengikut rasul. Terkesan bahwa ayat ini tidak ada hubungannya dengan ayat sebelumnya.

Namun tidak demikian dengan pendapat sebagian dari para ulama tafsir. Dalam pandangan mereka ayat ini tetap punya korelasi yang kuat dengan rangkaian ayat-ayat sebelumnya.

Logika yang dibangun bahwa kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menghormati semua nabi, dan tidak berkutat meributkan keutamaan mereka satu dengan yang lain. Sebaliknya kita diperintahkan untuk bisa melakukan tindakan nyata dan lebih produktif. Bentuk kongkritnya adalah memberikan nafkah kepada mereka yang membutuhkan.

Seolah-olah Allah SWT ingin mengalihkan perhatian, dari pada meributkan keunggulan nabi masing-masing, mengapa tidak kalian bantu saja orang-orang yang kesusahan. Dengan kata lain, dari pada kalian hanya berdebat urusan teologi yang tidak ada amal nyata, sebaiknya kalian saling bantu dengan sesama dalam berbagi rejeki yang sudah Allah SWT berikan kepada kalian.

Sedangkan sebagian ulama ahli tafsir lain mengatakan bahwa ayat ini sangat erat kaitannya dengan perilaku kaum yahudi Bani Israil yang tidak mau membantu kaum muslimin sebagai sekutunya ketika harus berperang menghadapi kaum penyembah berhala dari kalangan bangsa Arab. Kalau tidak mau ikut turun berperang, setidaknya bantulah dari sisi finansial, mengingat mereka memang sudah Allah SWT berikan banyak rejeki di negeri Madinah.

Lagi pula asal muasalnya yang seharusnya berperang menghadapi kaum musyrikin penyembah berhala justru mereka. Setidaknya itulah yang dahulu menjadi misi dakwah mereka sebelum datangnya masa kenabian Muhammad SAW.

Selain itu kaum Yahudi di Madinah secara keseluruhan sebenarnya terikat hukum untuk ikut terlibat membantu kaum muslmin dalam memerangi kaum musyrikin Arab. Semua itu tertuang secara jelas di dalam isi Piagam Madinah.

Kalau pun mereka tidak punya nyali untuk turun gelanggang bertarung dengan orang-orang Arab musyrikin, setidaknya mereka ikut bantu dalam bentuk pendanaan.

Namun kalau diasumsikan ayat ini turun terkait dengan orang-orang Yahudi, nampaknya masih ada persoalan khusus, yaitu Allah SWT menyapa dengan sebutan : wahai orang beriman. Sehingga yang muncul dalam benak bahwa yang sedang diajak bicara dan diperintahkan untum berinfaq tentunya Nabi SAW dan para shahabat.

Sedangkan bila dikaitkan dengan konteks turunnya, rasa-rasanya ayat ini tidak turun di Mekkah. Alasannya karena di Mekkah umumnya para shahabat masih dalam keadaan miskin dan lemah, sehingga kalau ada ayat yang memerintahkan untuk berinfaq, rasanya akan lebih tepat kalau turunnya di Madinah.

Apalagi mengingat bahwa sebagian mufassir mengaitkan perintah berinfaq ini dengan membiayai peperangan. Tentu saja suasana kecamuk perang di masa kenabian itu adanya di masa Madinah dan bukan di Mekkah.

Akan tetapi ayat ini sendiri secara harfiyah tidak menegaskan jenis infaq yang manakah yang dimaksud, sifatnya masih sangat umum. Sehingga kalaupun ada yang berpendapat ayat ini terkait dengan membantu pembiayaan perang, boleh jadi itu hasil ijtihad.

Lafazh ya ayyuha (يَا أَيُّهَا) merupakan sapaan atau nida’. Fungsinya untuk menegaskan siapa yang menjadi lawan bicara, maka sebelum disampaikan apa yang menjadi isi pembicaraan, lawan bicaranya itu disapa terlebih dahulu. Untuk mudahnya penerjemahan dalam Bahasa Indonesia sering dituliskan menjadi :  “wahai”.

Sedangkan lafazh alladzina (الَّذِينَ) dimaknai menjadi ‘yang’ atau lengkapnya : “orang-orang yang”. Dan lafazh aamanu (آمَنُوا) merupakan kata kerja yang bentuknya lampau alias fi’il madhi yaitu dari asal (آمَنَ - يُؤْمِنً). Makna kata kerja itu adalah : “melakukan perbuatan iman”. Namun sudah jadi kebiasaan dalam penerjemahan disederhanakan menjadi : “orang-orang yang beriman”. Padahal kalau “orang yang beriman”, secara baku dalam bahasa Arab itu disebut mu’min (مُؤْمِن) dan bukan alladzina amanu.

Sapaan yang menjadi pembuka ayat ini menunjukkan siapa yang diajak bicara atau mukhathab oleh Allah SWT, yaitu orang-orang yang beriman, yang di masa turunnya ayat itu tidak lain adalah para shahabat nabi ridhwanullahi ‘alaihim.

Menarik untuk dikalkulasi bahwa di seluruh ayat dan surat Al-Quran, kita menemukan tidak kurang dari 89 kali Allah SWT menyapa dengan sapaan (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا). Dan juga cukup menggelitik menjawab pertanyaan : kenapa di ayat ini Allah SWT mengawalinya dengan sapaan kepada orang-orang yang beriman?

Jawabnya karena Allah SWT sedang berbicara kepada Nabi Muhammad SAW dan para shahabat yang menyandang status mulia, yaitu disebut oleh Allah SWT sebagai orang yang beriman.

Padahal sepanjang surat Al-Baqarah dari awal, umumnya Allah SWT seperti sedang berbicara dengan Bani Israil. Setidaknya ada tiga kali sapaan kepada mereka dalam lafazh (ياَ بَنِي إِسْرَئِيل)  yaitu pada ayat ke-40 dan ke-47 dan akan muncul lagi nanti di ayat 122.  Namun kali ini di ayat ini Allah SWT bergeser mengajak bicara orang-orang beriman yaitu para shahabat nabi yang mulia.

Lafazh anfiqu (أَنْفِقُوا) adalah fi’il amr yang maknanya : berinfaqlah. Asalnya dari kata (أنفق – ينفق - إنفاقا) yang bermakna mengeluarkan harta atau membelanjakan harta. Berbeda dengan yang sering kita pahami dengan istilah infaq yang selalu dikaitkan dengan sejenis sumbangan atau donasi, istilah infaq dalam bahasa Arab sesungguhnya masih sangat umum, bisa untuk kebaikan tapi bisa juga digunakan untuk keburukan.

Intinya, berinfaq itu adalah membayar dengan harta, mengeluarkan harta dan membelanjakan harta. Tujuannya bisa untuk kebaikan, donasi, atau sesuatu yang bersifat untuk diri sendiri, atau bahkan keinginan dan kebutuhan yang bersifat konsumtif, semua masuk dalam istilah infaq.

Kalau kita rinci lagi, istilah infaq itu bisa diterapkan pada banyak hal, misalnya membelanjakan harta seperti dalam ayat berikut :

لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ

Walaupun kamu membelanjakan semua  yang berada di bumi, niscaya  kamu  tidak dapat mempersatukan hati mereka. (QS. Al-Anfal : 63)

Kata infaq ini juga berlaku ketika seorang suami membiayai belanja keluarga atau rumah tangganya. Dan istilah baku dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan nafkah. Kata nafkah tidak lain adalah bentukan dari kata infaq. Dan hal ini juga disebutkan di dalam Al-Quran :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka  atas sebahagian yang lain, dan karena mereka  telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)

Dan kata infaq di dalam Al-Quran kadang juga dipakai untuk mengeluarkan harta zakat atas hasil kerja dan panen hasil bumi.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah zakat sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS. Al-Baqarah : 267)

Jadi kesimpulannya, istilah infaq itu sangat luas cakupannya, bukan hanya dalam masalah zakat atau sedekah, tetapi termasuk juga membelanjakan harta, memberi nafkah bahkan juga mendanai suatu hal, baik bersifat ibadah atau pun bukan ibadah. Termasuk yang halal atau yang haram, asalkan membutuhkan dana dan dikeluarkan dana itu, semua termasuk dalam istilah infaq.

Tidak salah kalau dikatakan bahwa orang yang membeli khamar atau minuman keras yang haram hukumnya, disebut mengifaqkan uangnya. Orang yang membayar pelacur untuk berzina, juga bisa disebut menginfaqkan uangnya. Demikian juga orang yang menyuap atau menyogok pejabat, juga bisa disebut menginfaqkan uangnya.

Antara Infaq dan Sedekah

Istilah sedekah dalam teks Arab tertulis (صدقة), dalam beberapa hal punya kemiripan makna dengan istilah infaq di atas, tetapi punya kedalaman makna yang lebih spesifik. Sedekah adalah membelanjakan harta atau mengeluarkan dana dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, yaitu maksudnya adalah ibadah atau amal shalih. Ar-Raghib al-Asfahani mendefiniskan bahwa sedekah adalah :

مَا يُخْرِجُهُ الإْنْسَانُ مِنْ مَالِهِ عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ

Harta yang dikeluarkan oleh seseorang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.[1]

Jadi beda antara infaq dan sedekah terletak pada niat dan tujuan, dimana sedekah itu sudah lebih jelas dan spesifik bahwa harta itu dikeluarkan dalam rangka ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan infaq, ada yang sifatnya ibadah (mendekatkan diri kepada Allah) dan juga termasuk yang bukan ibadah, bahkan ada yang di jalan yang haram.

Jadi jelas sekali bahwa istilah sedekah tidak bisa dipakai untuk membayar pelacur, atau membeli minuman keras, atau menyogok pejabat. Sebab sedekah hanya untuk kepentingan mendekatkan diri kepada Allah alias ibadah saja.

Lebih jauh lagi, istilah sedekah yang intinya mengeluarkan harta di jalan Allah itu, ada yang hukumnya wajib dan ada yang hukumnya sunnah.

Ketika seorang memberikan hartanya kepada anak yatim, atau untuk membangun masjid, mengisi kotak amal yang lewat, atau untuk kepentingan pembangunan mushalla, pesantren, perpustakaan, atau memberi beasiswa, semua itu adalah sedekah yang hukumnya bukan wajib. Termasuk sedekah yang hukumnya sunnah adalah ketika seseorang mewakafkan hartanya di jalan Allah, bisa disebut dengan sedekah juga.

Di dalam hadits nabi SAW, waqaf juga disebut dengan istilah  sedekah.

تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ

Bersedekahlah dengan pokoh harta itu (kebun kurma), tapi jangan dijual, jangan dihibahkan dan jangan diwariskan.(HR. Bukhari)

Padahal waqaf itu spesifik sekali dan berbeda karakternya dengan kebanyakan sedekah yang lain. Namun waqaf memang bagian dari sedekah dan hukumnya sunnah.

Sedekah itu memang amat luas dimensinya, bahkan terkadang bukan hanya terbatas pada wilayah pengeluaran harta saja. Tetapi segala hal yang berbau kebaikan, meski tidak harus dengan harta secara finansial, termasuk ke dalam kategori shadaqah.

Misalnya Nabi SAW pernah bersabda bahwa senyum adalah sedekah. Memerintahkan kebaikan dan mencegah kejahatan juga sedekah. Menolong orang tersesat atau orang buta, juga sedekah. Bahkan membebaskan jalanan dari segala rintangan agar orang yang lewat tidak celaka juga merupakan sedekah. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini :

تَبَسُّمُكَ فيِ وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَة وَأَمْرُكَ بِالمـعْرُوفِ وَنَهْيُكَ عَنِ المـنْكَرِ صَدَقَة وَإِرْشاَدُكَ الرَّجُلَ فيِ أَرْضِ الضَّلاَلِ لَكَ صَدَقَة  وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَدِيْءِ البَصَرِ لَكَ صَدَقَة وَإِمَاطَتُكَ الحَجَرَ وَالشَّوكَ والعِظَمَ عَنِ الطَّرِيقِ لَكَ صَدَقَة

Senyummu pada wajah saudaramu adalah sedekah, amar makruf dan nahi munkar adalah sedekah, penunjuki orang yang tersesat adalah sedekah, matamu untuk menunjuki orang buta adalah sedekah, membuang batu, duri atau tulang dari jalanan adalah sedekah HR. At-Tirmizy)

Tetapi lazimnya istilah shadaqah adalah infaq fi sabilillah, yaitu mengeluarkan harta di jalan Allah, yang dikhususkan hanya untuk kebaikan, ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT.

Infaq adalah mengeluarkan harta, baik di jalan Allah atau di jalan setan. Infaq yang khusus di jalan Allah disebut dengan sedekah.

 

[1] Kitab Al-Mufradat karya Al-Asfahani, Tajul Arus pada madah صدق

Lafazh mimma razaqnaa-kum (مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ) maknanya : “dari sebagian yang Kami berikan rizki kepadamu”.

Ada sementara kalangan yang mengatakan bahwa makna dibalik kata (مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ) tersirat makna harta yang Allah SWT halalkan untuk dimiliki. Dan hal yang sama berlaku juga sebaliknya, ketika suatu harta kita dapatkan dari sumber yang bukan hak kita, seperti dari hasil mencuri, merampas, merampok, membegal, dan seterusnya, yang mana pada intinya mengambil harta orang lain, maka harta itu tidak disebut dengan dengan rejeki.

Jadi menurut mereka, kalau mau disebut sebagai rejeki dari Allah, maka syaratnya cara mendapatkannya harus halal. Sedangkan bila tidak halal, maka tidak disebut dengan rejeki.

Dari dasar itu maka banyak ulama mensyaratkan hanya harta yang halal saja yang sah untuk diinfaqkan, sedangkan harta yang haram tidak boleh diinfaqkan. Kalau pun diinfaq-kan juga, maka konsekuensinya tidak akan mendatangkan pahala dari sisi Allah SWT.

Namun pendapat ini tidak lah merupakan suara yang bulat. Justru mayoritas ulama berpendapat bahwa yang namanya rejeki bersifat lebih umum, karena itu bisa saja dalam bentuk yang halal, tetapi juga dalam bentuk yang haram.

Dasar hujjahnya karena di dalam surat Hud Allah SWT menggunakan istilah rejeki yang baik. Ungkapan ini seolah mengisyaratkan bahwa selain adanya rejeki yang baik tentu ada juga rejeki yang tidak baik.

Lebih jauh lagi para ulama juga mengatakan bahwa istilah rejeki itu tidak hanya sebatas harta benda dan kekayaan material semata, tetapi juga tercakup juga hal-hal yang punya nilai bersifat non material. Bahkan anugerah kenabian yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya yang terpilih pun bisa juga disebut dengan rejeki.  

Lafazh min qabli (مِنْ قَبْلِ) diartikan : dari sebelum. Dan lafazh an ya’tiya yaumun (أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ) artinya : “datangnya hari”.

Maksudnya, segeralah berinfaq sesegera mungkin ketika masih hidup, mumpung belum habis waktunya. Mumpung masih belum datang hari yang menjadi batas akhir dimana infaq sudah tidak lagi bermanfaat, yaitu datangnya hari kiamat.

Dengan adanya penggalan yang bernada ancaman atau lebih seperti mengharuskan ini, sebagian ulama ada yang menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa perintah berinfaq di ayat ini sifatnya wajib.

Namun ketika menjelaskan lebih detail tentang bentuk infaq wajib yang manakah yang dimaksud, ternyata mereka berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa infaq yang dimaksud di ayat ini adalah zakat yang merupakan bagian dari rukun Islam yang lima.

Dan ada juga yang mengatakan bahwa infaq yang dimaksud adalah infaq dalam rangka jihad fi sabilillah, yaitu untuk membiayai perang-perang di masa kenabian.

Lafazh bai’un (بَيْعٌ) artinya secara bahasa adalah jual-beli. Pengertiannya adalah penjual memberikan barangnya kepada kita agar kita merelakan harta kita menjadi miliknya.

Di dunia ini bisa terjadi jual-beli ketika kedua belah pihak memilik harta yang ingin dipertukarkan. Dan pada hakikatnya berinfaq di jalan Allah SWT adalah bagian dari jual-beli itu sendiri. Kita sebagai pemilik harta secara suka rela melepaskan hak kita atas kepemilikan suatu harta, untuk bisa mendapatkan apa yang kita butuhkan, yaitu lepasnya diri kita dari api neraka dan mendapatkan kenikmatan untuk masuk surga.

Namun itu hanya berlaku selama kita masih hidup berada di dunia ini. Sedangkan kalau nanti kita sudah berada di akhirat, maka tukar-menukar harta tentu tidak akan ada lagi.

Sebab orang yang mati pastinya tidak akan membawa uang dan harta bendanya. Kematian itu sendiri akan membuat seseorang tiba-tiba jatuh miskin secara akut dan parah. Kalau pun ada bekal yang bisa dibawa, hanyalah berupa pahala dari amal-amal yang pernah kita kumpulkan di dunia.

Jangankan harta, bahkan anak serta istri pun juga tidak akan ikut menemani, apalagi menyertai. Masing-masing hidup sendiri-sendiri.

Lafazh khullah (خُلَّةٌ) secara bahasa bermakna kecintaan (المحبة) dan persahabatan atau persaudaraan (الصحبة). Pada Al-Quran dan Terjemahnya versi Kemenag RI diterjemahkan menjadi : persahabatan yang akrab.

Kecintaan : Kalau diartikan sebagai kecintaaan, maka di hari itu tidak akan ada lagi buah dari kecintaan, yaitu pemberian tulus dari yang mencinta kepada yang dicinta. Sebab salah satu wujud eksistensi kecintaan adalah pemberian yang tulus. Cinta adalah kebahagiaan untuk bisa memberikan.

Persahabatan : Kalau dimaknai sebagai pershabatan atau persaudaraan, maka di hari itu sudah tidak ada lagi sahabat bahkan saudara atau pun keluarga. Hubungan seperti itu nanti sudah tidak ada lagi, masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Seorang ayah sudah tidak lagi peduli dengan kondisi dan nasib anaknya sendiri. Begitu juga sebaliknya, seorang anak tidak bisa lagi merasa kasihan dengan keadaan bapaknya. Allah SWT memberikan penggambaran yang unik dalam ayat berikut :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. (QS. Luqman : 33)

Lafazh syafa’ah (شَفَاعَةٌ) secara bahasa berarti genap lawan dari ganjil atau witir. Dikatakan seseorang pada awalnya ganjil kemudian ‘di-syafaat-kan’, artinya digenapkan atau ditambahkan sehingga menjadi genap. Lalu ungkapan syafaat yang bermakna menggenapkan ini digunakan untuk istilah membantu orang lain yang kekurangan, khususnya dalam hal kurangnya pahala di hari kiamat yang digenapkan oleh pihak lain sehingga terbantu dan selamat dari api neraka.

Sedangkan secara istilah, makna syafaat adalah :

التَّوَسُطُ لِلْغَيْرِ بِجَلْبِ مَنْفَعَةٍ مَشْرُوعَةٍ لَهُ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ عَنْها

Rekomendasi kepada orang lain untuk memberikan manfaat yang diizinkan secara syar’i, atau menghilangkan kesusahan darinya.”

Namun dalam pengertian ilmu aqidah, istilah syafa’at amat terkait dengan keadaan di akhirat nanti, dimana seseorang bisa menerima syafa’at atau manfaat dari orang lain, meskipun dia sendiri tidak beramal sendiri.

Mendudukkan Konsep Syafaat Dalam Aqidah

Dalam hal ini ada dua konteks yang berbeda untuk bisa memahami posisi dari syafa’at.

1. Pada Dasarnya di Akhirat Tidak Ada Syafa’at

Allah SWT menegaskan bahwa pada dasarnya syafaat itu hanya bisa terjadi di dunia. Orang tua, atasan, teman, kerabat, atau berbagai macam kedekatan duniawi bisa saja membuat kita saling memberi syafa’at.

Contoh yang sering terjadi misalnya seorang dosen bisa saja memberi syafa’at kepada mahasiswanya yang nilainya kurang untuk bisa diluluskan, dengan alasan sikap sang mahasiswa yang sopan dan baik.

Atau seorang nara pidana bisa saja mendapatkan syafa’at berupa pengurangan masa hukuman, karena ada peringatan hari kemerdekaan. Namun untuk di akhirat nanti, maka per-syafa’at-an sudah tidak lagi berlaku.

Ini adalah kaidah yang paling dasar, yaitu kalau seseorang sudah wafat, maka terputuslah semua amalnya di dunia. Dia akan menerima segala hasil dari apa yang dia akibatkan selama di dunia. Kalau dia beramal baik, maka dia akan mendapatkan kebaikan. Sedangkan kalau dia melakukan keburukan, dia pun akan mendapatkan balasan setimpal atas kelakuannya.

Banyak sekali ayat Al-Quran yang menegaskan tidak adanya syafaat di akhirat nanti, di antaranya :

وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ

Tidak akan diterima syafa´at. (QS. Al-Baqarah : 48)

وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ

Syafaat tidak berguna baginya. (QS. Al-Baqarah : 123)

فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ

Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa´at dari orang-orang yang memberikan syafa´at. (QS. Al-Muddatstsir : 48)

2. Ada Pengecualian Dalam Syafa’at

Walaupun secara umum tidak ada lagi pemberian syafa’at bila kita sudah di akhrirat nanti, namun Al-Quran juga banyak menceritakan adanya syafa’at di akhirat. Beberapa ayat ini menjadi dasar fakta keberadaan syafa’at di akhirat.

يَوْمَئِذٍ لَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَٰنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلًا

Pada hari itu tidak berguna syafa´at, kecuali (syafa´at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya. (QS. Thaha : 109)

وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ

Dan tiadalah berguna syafa´at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa´at itu. (QS. Saba : 23)

وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa´at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa´at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya). (QS. Az-Zukhruf : 86)

3. Syafaat Nabi Muhammad SAW

Di antara mereka yang diberikan hak oleh Allah SWT di akhirat nanti untuk bisa memberi syafaat adalah Nabi Muhammad SAW. Ada banyak hadits yang menjadi dasar tentang hal itu, salah satunya hadits berikut ini :

لِكُلِّ نَبِىٍّ دَعْوَةٌ يَدْعُو بِهَا وَأُرِيدُ أَنْ أَخْتَبِئَ دَعْوَتِى شَفَاعَةً لأُمَّتِى فِى الآخِرَةِ

“Setiap Nabi memiliki do’a (mustajab) yang digunakan untuk berdo’a dengannya. Aku ingin menyimpan do’aku tersebut sebagai syafa’at bagi umatku di akhirat nanti.” (HR. Bukhari)

4. Syafa’at Bagi Kaum Muslimin

Kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW dipastikan akan mendapatkan syafa’at. Dasar hujjah adalah firman Allah SWT berikut :

مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا ۖ وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُقِيتًا

Barangsiapa yang memberikan syafa´at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa´at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. An-Nisa : 85)

قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا ۖ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafa´at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan" (QS. Az-Zumar : 44)

Yang Bisa Memberi Syafa’at

Di dalam ayat Al-Quran dan juga beberapa hadits nabawi, kita menemukan informasi berguna tentang siapa sajakah nanti yang Allah SWT berikan izin untuk bisa memberi syafaat. Di antaranya adalah Nabi Muhammad SAW sendiri, selain itu juga ada malaikat dan bahkan dari orang beriman serta dari Al-Quran.

1. Syafaat Nabi Muhammad SAW

Untuk seluruh umatnya, Nabi SAW akan memberikan syafa’atnya nanti di hari kiamat :

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan pada sebahagian malam hari tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (QS. Al-Isra’: 79)

Para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud nanti kita akan diangkat ke tempat yang terpuji adalah ketika Nabi Muhammad SAW memberikan syafa’atnya kepada kita.

2. Syafaat Malaikat, Nabi dan Orang Yang Beriman

Secara umum, adalah para nabi, malaikat dan orang yang beriman diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk memberikan syafa’at. Dasarnya adalah hadits berikut :

شَفَعَتِ الْمَلاَئِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلم  يبقي إِلاَّ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

Adalah para malaikat memberikan syafaat, demikian pula para nabi dan kaum mukminin memberi syafaat, sehingga tidak ada lagi yang akan memberikan syafaat kecuali Dzat Yang Paling Penyayang. (HR. Muslim)

3. Syafaat Orang-orang Yang Beriman

Orang-orang yang shaleh pun bisa memberikan syafa’atnya, sebagaimana hadits berikut :

إذا خلَّصَ اللَّهُ المؤمنينَ منَ النَّارِ وأمنوا فما مجادلةُ أحدِكم لصاحبِه في الحقِّ يَكونُ لَه في الدُّنيا أشدَّ مجادلةً منَ المؤمنينَ لربِّهم في إخوانِهمُ الَّذينَ أدخلوا النَّارَ قالَ يقولونَ ربَّنا إخوانُنا كانوا يصلُّونَ معنا ويصومونَ معنا ويحجُّونَ معنا فأدخلتَهمُ النَّارَ فيقولُ اذهبوا فأخرجوا من عرفتُم منهم فيأتونَهم فيعرفونَهم بصورِهم لا تأكلُ النَّارُ صورَهم فمنهم من أخذتهُ النَّارُ إلى أنصافِ ساقيهِ ومنهم من أخذتهُ إلى كعبيهِ فيخرجونَهم فيقولونَ ربَّنا أخرجنا من قد أمرتَنا

Ketika Allah telah menyelamatkan semua orang yang beriman dari neraka, maka tidak ada lagi orang yang lebih sengit perdebatannya daripada pembelaan orang-orang yang beriman atas teman-teman mereka yang dimasukkan dalam neraka.

Mereka berkata: Ya Allah, teman-teman kami yang dahulu shalat, puasa dan haji bersama kami. Engkau masukkan mereka ke dalam neraka.

Maka Allah berfirman: Pergilah kalian dan keluarkan setiap orang yang kalian kenal. Lalu mereka pun mendatangi teman-teman mereka yang ada di neraka dan mengenali wajah mereka yang tidak tersentuh neraka.

Ada di antara mereka yang tersentuh neraka hingga setengah betisnya, dan ada yang hingga mata kaki. Lantas mereka pun mengeluarkan orang-orang itu dari neraka, lalu berkata: Ya Allah, kami telah mengeluarkan orang-orang yang Kau perintahkan. (HR. Ibnu Majah.)

4. Syafaat Al-Qur’an

Al-Quran disebut-sebut bisa menjadi pemberi syafaat buat kita. Ada hadits dari Rasulullah SAW dimana Beliau  bersabda:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ

Bacalah al-Quran. Sesungguhnya pada hari kiamat nanti al-Quran akan memberikan syafa’at bagi orang-orang yang dekat dengannya.”(HR. Muslim)

Ayat ke-254 ini ditutup dengan penggalan yang pastinya sangat erat kaitannya dengan content ayat ini, yaitu pernyataan dari Allah SWT bahwa orang kafir itu adalah orang yang zhalim.

Menarik untuk dikaji tentang kebenaran ungkapan bahwa orang kafir itu adalah orang zhalim. Karena keduanya berada pada dimensi yang berbeda. Kekafiran itu lawannya keislaman, sedangkan kezhaliman itu kejahatan sebagai lawan dari keadilan dan kebaikan.

Lantas kenapa Allah SWT mengatakan bahwa orang kafir itu zhalim? Bukankah kita menyaksikan banyak orang kafir yang tidak berlaku zhalim? Mari kita ambil contoh kasus dalam hal ini adalah Abu Thalib, paman Nabi SAW. Karakter Abu Thalib memang termasuk tokoh kafir yang sampai hayatnya tetap tidak mau bersyahadat menyatakan keimanan.

Tapi kita semua sepakat bahwa Abu Thalib itu tidak zhalim. Beliau justru banyak sekali memberi bantuan kepada Nabi Muhammad SAW. Buktinya, setelah Abu Thalib wafat, Nabi Muhammad SAW pun terusir dari Mekkah, karena tidak ada lagi tokoh kuat yang melindunginya.

Lalu bagaimana kita bisa mengatakan bahwa Abu Thalibi itu zhalim? Apakah kasus Abu Thalib itu sebuah pengecualian, sedangkan secara umum rata-rata orang kafir itu pasti zhalim?

Ada banyak pendapat dalam menanggapi pertanyaan ini. Namun Penulis merasa lebih nyaman untuk mengatakan bahwa ketika seseorang tidak mau mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusannya, maka dia telah melakukan tindak kezhaliman, khususnya bagi dirinya sendiri.

Boleh saja dia tidak berlaku zhalim kepada orang lain, tetapi justru dia zhalim kepada dirinya sendiri, dengan cara membiarkan dirinya berada di dalam kekafiran. Resikonya adalah dia akan masuk ke dalam neraka dan mendapatkan siksa dari Allah SWT.

Maka pada dasarnya ketika seseorang menolak untuk bisa mendapatkan hidayah, dia sedang menzhalimi dirinya sendiri. Maka sudah benar ketika Allah SWT menegaskan bahwa orang kafir itu adalah orang yang zhalim, setidaknya dia telah menzalimi dirinya sendiri.

  1. Jelaskan hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya dan dalam topik pembicaraan apakah hubungan antara ayat ini dengan ayat sebelumnya.
  2. Apakah yang dimaksud dengan rejeki? Apakah rejeki itu hanya terbatas pada yang halal saja atau termasuk yang haram?
  3. Apakah yang dimaksud dengan bai’ dalam ayat ini?
  4. Apakah yang dimaksud dengan khullah dalam ayat ini ?
  5. Apakah yang dimaksud dengan syafaat? Siapa sajakah yang bisa memberi syafaat?

Al-Baqarah : 254

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 29-3-2024
Subuh 04:40 | Zhuhur 11:59 | Ashar 15:14 | Maghrib 18:03 | Isya 19:10 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia