Kemenag RI 2019 : Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). Sedangkan orang-orang yang kufur, pelindung-pelindung mereka adalah tagut. Mereka (tagut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. Prof. Quraish Shihab : Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia (terus-menerus) mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan kepada cahaya terang-benderang (iman). Dan orang-orang yang kafir, para pelindung mereka adalah thaghut, semua (terus-menerus) mengeluarkan mereka dari cahaya terang-benderang kepada aneka kegelapan (kekafiran). Mereka itulah para penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Prof. HAMKA : Allah-lah Pemimpin bagi orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada terang benderang. Akan tetapi, orang-orang yang tidak mau percaya. Pemimpin mereka ialah pelanggar-pelanggar batas. Mereka itu akan mengeluarkan mereka dari cahaya terang kepada gelap gullta. Mereka itulah ahli neraka. Mereka akan kekal padanya.
Ayat ke-257 ini menegaskan bahwa pada dasar hidayah dari Allah SWT itulah yang menentukan seseorang berada pada keimanan atau kekafiran.
Digambarkan ada kaum yang selama berabad-abad tidak mengenal agama, lalu atas bimbingan dari Allah, mereka lah yang justru menjadi orang-orang beriman.
Contohnya adalah bangsa Arab yang selama ribuan tahun kafir tidak punya iman. Lalu Allah SWT turunkan seorang nabi di tengah mereka. Meski awalnya ditentang, tetapi di bagian akhir kenabian, nyaris semua orang Arab masuk Islam. Mereka digambarkan sebagai orang yang dikeluarkan dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.
Ironisnya, Allah SWT juga menceritakan hal yang sebaliknya, yaitu ada kaum yang selama berabad-abad menjadi pembawa panji suci risalah samawi, ternyata di ujung akhir, mereka malah jadi orang yang tidak beriman, lalu jadi kafir dan masuk neraka abadi selamanya.
Mujahid dan Abdah bin Abi Lubabah mengatakan bahwa kaum yang dimaksud adalah Bani Israil, lebih khususnya lagi adalah para pemeluk agama nasrani pengikut Nabi Isa alaihissalam. Sebelumnya mereka digolongkan pada barisan orang-orang yang beriman kepada para nabi terdahulu.
Namun sayang sekali, justru ketika nabi yang terakhir datang diutus oleh Allah SWT, mereka mogok tidak mau menerima kenabian Muhammad SAW. Maka mereka digambarkan seperti orang yang dulunya sudah berada di alam terang benderang, lalu masuk menceburkan diri kedalam kegelapan.
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا
Lafazh Allah (اللَّه) dalam kalimat ini menjadi mubtada’, sedangkan yang menjadi khabar adalah kalimat waliyyulladzina amanu (وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا). Kementerian Agama RI dan Prof. Quraish Shihab sepakat menerjemahkannya menjadi pelindung, sedangkan Prof. Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi pemimpin.
Al-Mawardi dalam An-Nukat wa Al-‘Uyun menuliskan pengertian di balik ungkapan bahwa Allah SWT adalah wali bagi orang beriman, yaitu :[1]
يَتَوَلّاهم بِالنُّصْرَةِ وَالإرْشادِ
Allah SWT melindungi mereka dengan memberikan pertolongan dan pengarahan.
Memang kata wali (وَلِيٍّ) sendiri dalam bahasa Arab punya banyak makna, bahkan di beberapa ayat Al-Quran, wali muncul berkali-kali dengan beragam makna yang saling berbeda, tergantung konteksnya. Kadang bermakna pelindung atau pemimpin, kadang bermakna teman dekat, kadang juga bermakna sebagai orang tua.
1. Pemimpin
Dalam beberapa ayat bisa bermakna pemimpin dalam arti raja atau pemimpin negara, sebagaimana disebutkan dalam ayat ini :
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS. Al-Araf : 3)
2. Teman
Terkadang lafaz wali di dalam Al-Quran bisa juga bermakna teman, sebagaimana yang bisa kita baca di ayat berikut :
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti kawan-kawannya (QS. Ali Imran : 175)
Terjemahan Kemenag ini tegas menyebutkan bahwa ‘auliya’ di ayat ini maknanya bukan pemimpin, tetapi teman-teman. Logikanya, setan itu menakuti manusia dan bukan menakuti sesama setan, apalagi menakuti pemimpin setan. Yang dibikin takut itu pastinya manusia, yang posisinya sebagai teman setan dan bukan sebagai pemimpin dari setan.
3. Orang Yang Dekat Hubungan
Kadang ‘wali’ itu bermakna sebagai pihak yang punya kedekatan khusus, seperti sebutan waliyullah atau auliya’ullah pada ayat berikut :
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus : 62)
Sangat tidak mungkin kalau lafazh ‘wali’ di ayat ini kita paksa terjemahkan menjadi : pemimpin Allah. Jelas terlalu kasar dan tidak logis, masak manusia memimpin Allah? Tentu yang dimaksud dengan istilah ‘wali’ disini pastinya bukan pemimpin, tetapi orang-orang yang kedudukannya sangat dekat kepada Allah, yaitu para wali.
4. Bertindak Sebagai Orang Tua
Dan terkadang makna wali dalam Al-Quran juga bisa bermakna sebagai wakil atau yang bertindak sebagai orang tua dari seorang anak kecil yang belum mencapai usia dewasa. Perhatikan ayat berikut ini yang juga merupakan ayat yang paling panjang dalam Al-Quran :
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. (QS. Al-Baqarah : 282)
Lafazh wali dalam ayat ini tidak mungkin diterjemahkan sebagai wali dalam arti raja atau pemimpin, apalagi sebagai pemimpin atau kepala negara. Tapi wali disini sebagaimana kita mengenal istilah ‘wali’ murid, yaitu seperti layaknya orang tua sendiri.
Untuk bisa membedakan kapan lafazh wali itu maknanya sebagai pemimpin, teman, yang dekat hubungannya ataupun layaknya orang tua, setidaknya perlu dibaca ulang tafsir dan asbabun-nuzul dari masing-masing ayatnya. Sebab meski satu kata yang sama, begitu posisinya ada di ayat yang berbeda, seringkali maknanya ikut jadi berbeda.
Dengan berbagai macam variasi makna di atas, kalau kita kaitkan dengan ayat ini, maka yang paling sesuai terkait dengan makna wali di ayat ini adalah wali dalam arti sebagai pelindung atau pemimpin. Karena kurang pas kalau dikatakan bahwa mereka itu teman Allah, atau orang terdekat dengan Allah, apalagi Allah SWT berperan seperti orang tua mereka.
Apalagi kalau dikaitkan dengan lafazh sesudahnya yaitu Allah SWT sebagai penolong, maka akan jauh lebih tepat kalau makna wali sebagai pemimpin.
Lafazh yukhriju (يُخْرِجُ) adalah fi'il mudhari' marfu', fa'il-nya adalah dhomir mustatir taqdiruhu huwa (ضمير مستتر تقديره هو), yaitu dhomir ghaib (ضمير الغائب) yang di-rafa'-kan dengan dhammah karena ia adalah fa'il dari fi'il mudhari'. Lafazh yakhruju (يُخْرِجُ) adalah fi'il muta'addi yang membutuhkan objek yaitu dhamir hum (هُمْ) yang artinya mereka. Lafazh hum (هُمْ) adalah isim dhamir muttasharrik, maf'ul bih dari (يُخْرِجُ).
Isim dhamir muttasharrik (يُخْرِجُ) adalah isim dhamir yang digunakan untuk menunjukkan orang ketiga jamak. Dalam kalimat ini, "هُمْ" menunjukkan orang-orang yang dikeluarkan dari kegelapan menuju cahaya.
Lafazh min (مِنَ) adalah huruf jar, huruf jar dan isimnya adalah mudlaf bih dari isim dhamir muttasharrik (هُمْ). Huruf jar "مِنَ" menunjukkan asal atau tempat keluar. Dalam kalimat ini, "مِنَ" menunjukkan bahwa orang-orang tersebut dikeluarkan dari kegelapan.
Lafazh al-zhulumati (الظُّلُمَاتِ) artinya kegelapan, sedangkan lafazh ilaa (إلَى) adalah huruf jar, huruf jar dan isimnya adalah mudlaf bih dari isim (النُّورِ). Lafazh zhulumat (الظُّلُمَاتِ) adalah bentuk jamak dari kata zhulmah (ظُلْمَة) yang berarti kegelapan. Dalam kalimat ini menunjukkan tempat asal orang-orang tersebut dikeluarkan. Lafazh an-nuur (النُّورِ) berarti cahaya.
Al-Mawardi mengatakan bahwa kegelapan yang dimaksud adalah kesesatan, sedangkan cahaya yang dimaksud adalah petunjuk atau hidayah.
Mari kita melihat konteks turunnya ayat ini di masa kenabian, yaitu dikatakan bahwa bangsa Arab sebelumnya berada di dalam azh-zhulumat atau kegelapan. Apa maksudnya?
Menurut hemat Penulis, maksudnya adalah selama ribuan tahun Allah SWT tidak pernah menurunkan wahyu, kitab suci dan para nabi di negeri Arab. Terhitung sejak wafatnya Nabi Ibrahim dan puteranya, Nabi Ismail alaihimassalam, praktis negeri Arab tidak pernah ada cahaya samawi. Allah SWT seperti sengaja menahan berabad-abad tidak menurunkan cahaya wahyu kenabian di tanah Arab.
Nabi Ibrahim diperkirakan hidup antara abad ke-19 dan ke-21 SM. Hal ini didasarkan pada beberapa faktor, termasuk:
Penemuan arkeologi yang menunjukkan bahwa kota Ur, tempat kelahiran Nabi Ibrahim, dihancurkan pada abad ke-21 SM.
Kisah Nabi Ibrahim dalam Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa ia hidup pada masa Raja Namrud, yang diperkirakan hidup pada abad ke-21 SM.
Kisah Nabi Ibrahim dalam Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa ia hidup pada masa Raja Nimrod, yang juga diperkirakan hidup pada abad ke-21 SM.
Berikut adalah beberapa rincian tentang perkiraan tahun kelahiran Nabi Ibrahim:
Menurut Dr. Jerald F. Dirks, seorang ahli perbandingan agama di Amerika, Nabi Ibrahim lahir pada tahun 2166 SM.
Menurut Dr. Andrew S. Cook, seorang ahli Alkitab di Universitas Cambridge, Nabi Ibrahim lahir pada tahun 2100 SM.
Menurut Dr. Thomas W. Davis, seorang ahli arkeologi di Universitas Harvard, Nabi Ibrahim lahir pada tahun 2000 SM.
Akibatnya orang Arab itu terlanjur mengingkari semua bentuk aqidah dasar agama samawi, yang menyakini ada 6 rukun Iman, yaitu beriman kepada Allah, para malaikat, para nabi dan rasul, berbagai macam kitab suci yang turun dari langit serta beriman kepada adanya kiamat, hari akhir, kebangkitan, pengumpulan, hisab dan akhirnya sebagian manusia masuk surga dan sebagian masuk neraka.
Sebaliknya yang selalu terang benderang berlimpah dengan wahyu samawi dan kitab suci serta para nabi justru negeri Palestina. Dan itu fakta, sampai Ibnu Abbas radhiyallahuanhu mengatakan bahwa semua nabi itu adalah garis keturunan Bani Israil. Ibnu Abbas berkata tentang semua nabi adalah Bani Israil, kecuali 10 nabi saja yang bukan termasuk bagian mereka, yaitu :
Semua nabi termasuk ke dalam Bani Israil, kecuali sepuluh orang, yaitu [1] Nuh, [2] Hud, [3] Shalih, [4] Syu’aib, [5] Luth, [6] Ibrahim, [7] Ismail, [8] Ishak, [9] Ya’qub, dan ]10] Muhammad SAW. (HR. At-Tabarani)[1]
Hadits ini selain diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak[2], serta oleh Abu Bakar Al-Baihaqi dalam kitanya Syu’ab Al-Iman. [3]
Lafazh walladzina kafaru (وَالَّذِينَ كَفَرُوا) artinya : dan adapun orang-orang yang kafir, dalam hal ini posisinya menjadi mubtada’. Sedangkan khabarnya adalah : awliya-uhum ath-thaghut (أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ), artinya bahwa pelindung atau pemimpin mereka adalah thaghut.
Thaghut adalah kata bahasa Arab yang memiliki makna yang kompleks dan multifaset dalam Islam. Secara umum, thaghut diartikan sebagai sesuatu atau siapa saja yang disembah atau ditaati selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat mencakup berhala, tuhan palsu, tiran, dan bahkan hawa nafsu dan hasrat seseorang jika diikuti dengan mengabaikan kehendak Allah.
Kata "thaghut" disebutkan beberapa kali dalam Al-Qur'an, seringkali bersamaan dengan peringatan terhadap penyembahan berhala dan bentuk-bentuk syirik (menyekutukan Allah) lainnya. Di beberapa tempat, thaghut secara khusus diidentifikasi dengan setan atau roh jahat lainnya.
Berikut adalah beberapa contoh thaghut dalam kehidupan sehari-hari:
Berhala, seperti patung-patung yang disembah oleh orang-orang kafir.
Tuhan palsu, seperti dewa-dewi yang disembah oleh orang-orang musyrik.
Tiran, seperti penguasa yang menindas rakyatnya.
Hawa nafsu, jika diikuti dengan mengabaikan kehendak Allah.
Umat Muslim harus menghindari semua bentuk thaghut, baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Dengan demikian, mereka dapat menjaga diri dari kesesatan dan kerusakan.
يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
Penggalan ini menjelaskan apa yang dikerjakan oleh thaghut, yaitu mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan alias (يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ).
Pada penggalan sebelumnya disebutkan bahwa Allah SWT mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada terang benderang. Maksudnya bahwa bangsa Arab yang selama ribuan tahun tidak kenal agama samawi, kemudian turunlah Nabi Muhammad SAW di tengah mereka, sehingga mereka semua beriman dan mengakui 6 rukun iman.
Maka pada penggalan ini yang terjadi sebaliknya, Bani Israil yang selama ribuan tahun hidup bersama dengan cahaya kenabian, begitu bertemu dengan nabi yang terakhir, mengalami proses kebalikannya, yaitu mereka dikeluarkan dari cahaya menuju kepada kegelapan. Hal itu terjadi ketika akhirnya mereka sendiri yang mengingkari syariat yang turun kepada Nabi Muhammad SAW.
Alih-alih mereka mengimani kenabian Muhammad SAW, yang mereka lakukan justru sebaliknya, malah berposisi menjadi musuh dan lawan sang Nabi.
Hal semacam ini terjadi disebabkan karena para pemimpin mereka yang tertutup mata hatinya, tidak mau menerima hidayah dan kebenaran. Maka yang jadi korban adalah para pengikutnya, mereka ikut dikeluarkan dari cahaya masuk ke dalam kegelapan.
أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ
Lafazh ashab (أصحاب) bermakna penduduk atau orang-orang yang menetap dan bertempat tinggal pada suatu tempat. Sedangkan an-nar (النار) aslinya bermakna api, namun makna yang dimaksud tidak lain adalah neraka di akhirat nanti. Maka makna ashabunnar adalah penghuni atau penduduk neraka.
Menjadi penduduk neraka merupakan konsekuensi logis dan juga pernyataan yang teramat tegas dan gamblang dari Allah SWT terkait balasan bagi orang kafir dan mendustakan Al-Quran.
Maka apes sekali mereka Bani Israil yang tidak mau beriman, mereka dianggap sebagi orang kafir di sisi Allah SWT. Nanti ketika mereka mati, statusnya dipastikan sebagai orang yang mati dalam keadaan kafir. Konsekuensinya mereke akan menjadi penghui tetap neraka.
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Dhamir hum (هُمْ) adalah dhamir yang menggatikan orang ketiga. Dalam hal ini maksudnya adalah orang yang telah dikeluarkan dari cahaya menuju kepada kegelapan.
Kalau dikaitkan dengan penggalan sebelumnya, bisa diartikan mereka adalah orang-orang dari Bani Israil yang tidak mau memeluk agama samawi terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Menjadi penghuni tetap dan abadi di negara adalah pembeda antara orang yang matinya muslim dan orang yang matinya sebagai kafir.
Mereka yang matinya dalam keadaan muslim, dalam arti kata dia beriman kepada rukun iman yang enam dan otomatis statusnya masih 100% orang Islam, kalau pun masuk neraka karena banyak dosa, sifatnya hanya sementara saja, tidak untuk selamanya.
Hanya demi kepentingan sesaat, yaitu untuk menebus dosa dan kesalahan yang dilakukannya selama di dunia dan belum sempat bertaubat atau diampuni.
Semua itu karena pada dasarnya Nabi Muhammad SAW sudah menjamin bahwa umatnya pasti masuk surga pada akhirnya, walaupun bisa saja untuk beberapa saat harus masuk neraka terlebih dahulu.
Semua umatku pasti masuk surga, kecuali yang tidak mau. Ada yang bertanya,"Ya rasulullah, siapakah yang tidak mau?". Nabi SAW menjawab,"Siapa yang mentaati aku masuk surga dan yang bermaksiat kepadaku maka dia termasuk orang yang tidak mau masuk surga". (HR. Bukhari)
Sedangkan orang yang matinya sebagai kafir, dalam hal ini tidak mau mengikuti kenabian Muhammad SAW, maka selain kafir di dunia, maka di akhirat pun dia tidak akan bisa keluar dari neraka. Dan tidak ada syafaat bagi mereka.
SOAL LATIHAN
Wali di dalam Al-Quran punya banyak makna. Sebutkan beberapa makna wali dan jelaskan makna wali dalam ayat "Allah waliyyulladzina amanu" (QS. Al-Baqarah: 257)!
Berikan contoh-contoh makna "wali" dalam Al-Qur'an selain sebagai pelindung atau pemimpin!
Mengapa bangsa Arab sebelum kedatangan Islam berada dalam "kegelapan"?
Apa perbedaan antara "wali" yang dimiliki orang beriman dan "wali" yang dimiliki orang kafir?
Bagaimana cara orang beriman agar tidak tersesat dari jalan Allah?