Jilid : 1 Juz : 1 | Al-Baqarah : 43
Al-Baqarah 2 : 43
Mushaf Madinah | hal. 7 | Mushaf Kemenag RI

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Kemenag RI 2019 : Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.
Prof. Quraish Shihab : Laksanakanlah shalat dengan sempurna dan tunaikanlah zakat, serta rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.
Prof. HAMKA : Dan, dirikanlah shalat dan berikanlah zakat, dan ruku`lah bersama orang-orang yang ruku`.

Lafazh aqimu (أقيموا) asal katanya dari aqama yuqimu (أقام يقيم) yang merupakan fi'il amar (perintah) untuk menegakkan shalat. Perintah menegakkan shalat dengan ungkapan aqama -yaqimu ini sebagaimana yang sudah dijelaskan pada ayat di awal surat Al-Baqarah.

Ketika Allah SWT memerintahkan shalat dengan menggunakan lafazh aqimus-shalah, maknanya bukan sekedar perintah mengerjakan shalat tapi shalat dengan segala hal penunjangnya, namun para mufassir berbeda pendapat tentang apa yang termasuk dalam penunjangnya : 

  • Ibnu Abbas memaknai iqamatush-shalah adalah mengerjakan shalat-shalat dengan segala fardhu-fardhunya.
  • Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas maksudnya adalah melengkapi shalat dengan ruku’, sujud, membaca Al-Quran, khusyu’ dan lainnya.
  • Qatadah dan Muqatil bin Hayyan menambahkan bahwa iqamatus-shalat itu dilengkapi dengan menyempurnakan wudhu’ sebelumnya.

Lafazh shalat secara bahasa bermakna doa, sebagaimana firman Allah SWT di dalam ayat berikut :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.(QS. At-Taubah : 103)

Sedangkan makna shalat secara istilah sebagaimana yang umumnya dirumuskan para ulama adalah :

أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّيَّةِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوصَةٍ

Serangkaian ucapan dan gerakan yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dikerjakan dengan niat dan syarat-syarat tertentu.

Perintah Shalat Bagi Yahudi

Kalau kita periksa ulang ternyata ayat ini sedang bercerita tentang Bani Israil yang rupanya juga mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Yang perlu untuk dicatat bahwa meski sama-sama diperintah untuk shalat dan zakat, namun secara teknis tata cara shalat yang berlaku bagi Bani Israil tentu saja tidak sama dengan yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. 

Bahkan tata cara shalat buat Nabi Muhammad SAW sendiri pun mengalami proses penyempurnaan dari waktu ke waktu. Lalu seperti tata cara shalat yang Allah SWT perintahkan bagi Yahudi?

1. Berkiblat ke Baitul Maqdis

Orang-orang Yahudi sejak zaman para nabi terdahulu telah diperintahkan Allah SWT untuk shalat menghadap Baitul Maqdis. Dan awalnya Nabi Muhammad SAW dan para shalat diperintahkan juga ketika shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis di Palestina, kiblatnya kaum Yahudi dan Nasrani. 

Seiring dengan berjalannya waktu, setelah hijrah ke Madinah, tibalah waktunya Allah SWT memerintahkan untuk mengganti kiblat atau lebih tepatnya memindahkan arah kiblat ke Masjid Al-Haram, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut :

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah : 150)

Uniknya lantas kalangan Yahudi Madinah tidak menerima bahwa Allah SWT memindahkan kiblat kaum muslimin dari Baitul Maqdis ke MAsjid Al-Haram Mekkah. Rupanya mereka merasa tersinggung dan dilecehkan. Sebab kiblat mereka sudah tidak lagi dijadikan kiblat buat kaum muslimin.

Lantas mereka pun meradang dan mulai banyak bikin ulah dan banyak menimbulkan masalah. Ketika itulah Allah SWT menjelaskan apa motivasi kalangan Yahudi sehingga semakin hari semakin menjauh dan terkesan bermusuhan. Rupanya mereka kesal ketika arah kiblat kaum muslimin dipindahkan ke negeri Arab, yaitu ke Mekkah.

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.  (QS. Al-Baqarah : 120)

2. Ruku Tanpa Sujud

Sebagian kalangan ada yang mengatakan bahwa gerakan shalat kaum Yahudi itu hanya ruku' saja dan tidak ada sujudnya. Dan salah satu dasarnya bahwa ayat tidak memerintahkan sujud tapi hanya memerintahkan ruku' saja, sebagaimana disebutkan bahwa shalatnya Nabiyullah Dawud alaihissalam dalam ayat berikut :

وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ ۩

Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS. Shad : 24)

3. Hanya Tiga Waktu

Banyak disebutkan pendapat tentang jumlah waktu shalat kalangan Yahudi, yaitu dalam sehari hanya tiga kali saja : ketika terbit fajar, ketika matahari di atas kepala dan ketika matahari tenggelam. 

4. Wudhu'

Dalam Kitab Al-Ibadaat fil Adyan As-Samawiyah (Yahudi, Masehi dan Islam), Abdurrazaq Halim banyak menuliskan tata cara wudhu orang-orang Yahudi. Beliau menuturkan bahwa wudhu'nya orang yahudi menggunakan air yang layak diminum, dan awalnya dulu ada mencuci tangan dan kaki.

Namun seiring berjalannya waktu, yahudi sudah tidak lagi mencuci kaki, dengan alasan di masa sekarang rata-rata orang kemana-mana sudah beralas kaki. 

5. Shalat Harus di Tempat Khusus

Kita menemukan informasi dari hadits nabawi yang menyebutkan bahwa seluruh tanah atau permukaan bumi ini bisa digunakan untuk shalat.

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أحَدٌ مِنَ الأنْبِياءِ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وجُعِلَتْ لِي الأرْضُ مَسْجِدًا وطَهُورًا، وأيُّما رَجُلٍ مِن أُمَّتِي أدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ،

Aku diberi lima kekhususan yang belum pernah diberikan kepada nabi-nabi sebelumku, yaitu [1] Aku dibela dengan rasa gentar di hati musuh sebulan, [2] dijadikan tanah bagi sebagai masjid dan kesucian, sehingga dimana pun umatku harus shalat silahkan saja. (HR. Bukhari)

Kalau kita perhatikan sejarah Nabi, masjid An-Nabawi di masa itu memang tidak ada alasnya, entah itu tikar, sejadah atau pun keramik. Mereka shalat sambil mengenakan alas kaki, baik itu sendal atau sepatu. Dan ketika sujud, wajah-wajah mereka pun langsung mencium tanah. 

Sedangkan agama-agama sebelumnya, shalat mereka harus dilakukan di tempat khusus, tidak boleh sembarangan di atas tanah, setidaknya di atas alas sehingga untuk bisa masuk ke rumah ibadah mereka, harus dengan melepas alas kaki. Hal itu disampai langsung oleh Nabi SAW dalam hadits berikut ini :

  خالفوااليهود فإنهم لا يصلون في نعالهم ولا خفافهم

Dari Syaddan bin Aus radhiyallahuanhu (marfu') bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Berbedalah kalian dari Yahudi. Mereka tidak shalat memakai sandal atau sepatu. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)

'Illat yang ada pada perintah ini agar kita berbeda penampilan ibadah dengan cara ibadah orang-rang yahudi. Ternyata mereka kalau shalat dan melaksanakan ibadah, melepaskan sepatu dan sandal mereka.

Tahu perbuatan mereka seperti itu, Rasulullah SAW pun memerintahkan para shahabat untuk shalat dengan mengenakan sepatu atau sandal. Maka perintah itu menurut para ulama yang mendukung pendapat ini, bukan rukhshah (keringanan), tetapi pernitah khusus dan merupakan sunnah. 

Dan kita banyak mendapat kesan bahwa umat terdahulu punya tempat khusus untuk mengerjakan ibadah yang disebut dengan mihrab, sedangkan buat kita tidak ada keharusan untuk membangun mihrab, bahkan sebagian ulama ada yang sampai memakruhkan kita membangun mihrab khusus di dalam masjid, karena dianggap meniru ibadah orang yahudi.

فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh". (QS. Ali Imran : 39)

6. Tidak Ada Tayammum

Dari hadits di atas terkait lima kekhususan Nabi Muhammad SAW, kita juga mendapatkan informasi bahwa tayammum itu tidak ada dalam syariat sebelumnya, termasuk syariat bagi kalangan Yahudi. 

Lafazh aatuu (آتوا) merupakan bentuk amr (perintah) yang maknanya berikanlah. Perintah untuk memberi ini sama dengan yang terdapat pada ayat lain seperti :

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

Berikanlah kepada wanita (yang kamu nikahi) mahar mereka sebagai pemberian penuh kerelaan. (QS. An-Nisa : 4)

وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ

Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin. (QS. Al-Baqarah : 177)

Terjemah Kemenag dan Poof Quraish Shihab sepakat menerjemahkannya dengan : menunaikan, sedangkan Buya HAMKA menerjemahkannya : memberikan. Sebenarnya kedua tidak ada bedanya, hanya beda cara mengungkapkan. 

Yang unik ternyata perintah untuk berzakat (dan juga perintah shalat) di ayat ini diarahkan bukan kepada kaum muslimin, melainkan kepada Bani Israil atau kaum Yahudi, yang memang di ayat-ayat sebelumnya menjadi topik pembicaraan. 

Secara bahasa, lafazh zakat itu punya banyak makna, diantaranya bertambah (الزِّيَادَةُ), tumbuh (النَّمَاءُ), dan berkah (بَرَكة). Namun para ahli fiqih membuat definisi yang lebih lengkap dan rinci terkait zakat menjadi :

حَقٌّ وَاجِبٌ فيِ مَالٍ مَخْصُوصٍ لِطَائِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ فيِ وَقْتٍ مَخْصُوصٍ

Kewajiban untuk mengeluarkan bagian harta dari harta tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu pada waktu tertentu.

Ada sebagian mufassir yang berpendapat bahwa awalnya dalam syariat yang turun kepada Bani Israil belum ada kewajiban berzakat. Lalu Allah SWT menambahkan zakat yang hikmahnya mensucikan harta mereka. Sebab dalam prakteknya para yahudi seringkali makan harta yang haram, seperti makan riba (وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ |  QS. An-Nisa" 161), makan suht (وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ | QS. Al-Maidah : 62) dan saling memakan harta sesama dengan batil (وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ | QS. An-Nisa' : 161).  

Kalau terkait bagaimana tata cara shalat kaum yahudi kita punya banyak sumber rujukan bahkan bisa saling di-cross-check, maka untuk penjelasan tata cara zakat dalam agama mereka, kita kesulitan mendapatkan gambarannya. 

Bahkan konon dalam bahasa Ibrani tidak ada istilah khusus tentang zakat, namun Al-Amiri dalam kitab Al-I'lam bi Manaqib Al-Islam menuliskan bahwa konon orang-orang yahudi menyisihkan 10% dari hasil tanaman dan ternak mereka . 

Namun yang pasti, mereka pun tetap diwajibkan zakat sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Quran. Sebutlah misalnya Nabi Isa alahissalam yang menjelaskan bahwa dirinya terkena kewajiban membayar zakat. 

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا

dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; (QS. Maryam : 31)

Dan Nabi Ismail alahissalam pun terkena kewajiban berzakat sebagaimana tertuang dalam ayat berikut ;


وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya. (QS. Maryam : 54-55)

Dan zakat juga diwajibkan kepada Nabi Ibrahim, Nabi Luth, Nabi Ishaq, Nabi Yaqub, dan lainnya. 

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ ۖ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, (QS. Al-Anbiya : 73)

Ar-Razi (w. 606 H) dalam Mafatih Al-Ghaib menyebutkan tiga pendapat ulama yang berbeda terkait perintah buat Bani Israil untuk melakukan ruku' bersama orang-orang yang ruku'. 

Pendapat Pertama

Awal mulanya dalam tata cara shalat yang Allah perintahkan buat kaum Yahudi belum ada gerakan rukuknya. Namun setelah itu mereka diperintahkan melakukan gerakan rukuk, sebagaimana yang Allah SWT perintahkan ruku' kepada umat Nabi Muhammad SAW. 

Sehingga kalau menggunakan versi yang ini, yang dimaksud rukuklah bersama orang yang rukuk, maksudnya tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW dan para shahabat, yang sejak awal shalatnya sudah ada rukuknya. 

Pendapat Kedua

Pendapat kedua mengatakan bahwa perintah rukuk dalam tata cara shalat kaum Yahudi sudah ada sejak dahulu. Lalu perintah untuk rukuk bukan rukuk, melainkan perintah shalat. Jadi perintah shalatlah kalian bersama orang-orang yang rukuk itu maksudnya kepada Bani Israil itu diperintahkan untuk mengerjakan shalat bersama dengan umat Nabi Muhammad SAW. 

Pendapat Ketiga

Sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa rukuk yang diperintahkan Allah SWT kepada Bani Israil itu tidak ada kaitannya dengan gerakan shalat. Sebab rukuk yang dimaksud adalah merendahkan diri, tidak boleh merasa paling tinggi derajat dibandingkan dengan umat yang lain. 

 

Al-Baqarah : 43

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 20-4-2024
Subuh 04:36 | Zhuhur 11:53 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:54 | Isya 19:02 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia