Jilid : 1 Juz : 1 | Al-Baqarah : 60
Al-Baqarah 2 : 60
Mushaf Madinah | hal. 9 | Mushaf Kemenag RI

وَإِذِ اسْتَسْقَىٰ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ ۖ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۖ قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ ۖ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ

Kemenag RI 2019 : (Ingatlah) ketika Musa memohon (curahan) air untuk kaumnya. Lalu, Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka, memancarlah darinya (batu itu) dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah dan janganlah melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakannn
Prof. Quraish Shihab : Dan (ingatlah), ketika Musa memohon air untuk kaumnya, maka Kami berfirman: “Pukullah batu (itu) dengan tongkatmu!” Maka, memancarlah dengan deras darinya dua belas mata air. Sungguh, setiap suku telah mengetahui tempat minum mereka. Makan dan minumlah dari rezeki Allah, dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi sebagai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Prof. HAMKA : Dan (ingatlah) seketika Musa memohonkan air untuk kaumnya, lalu Kami katakan, "Pukullah dengan tongkatmu batu itu! Maka, memancarlah darinya dua belas mata air, yang sesungguhnya telah tahu tiap-tiap golongan tempat minum mereka; makanlah dan minumlah dari karunia Allah, dan janganlah kamu mengacau dan membuat kerusakan di bumi.

Ayat ke-60 ini nampaknya bukan lanjutan peristiwa dari apa yang diceritakan di ayat sebelumnya. Sebab di dua ayat sebelumnya sudah dikisahkan bagaimana Bani Israil masuk ke Baitul Maqdis dan makan begitu banyak makanan yang enak-enak. Tapi ayat ini malah menceritakan bagaimana Bani Israil kekurangan air di tengah gurun. Boleh jadi ini semacam flash-back atau kisahnya kembali ke belakang.

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa apa yang diceritakan di dalam ayat ini terkait permintaan Bani Israil agar diberikan kepada mereka air, kejadiannya bukan setelah mereka masuk Baitul Maqdis, melainkan ketika mereka masih dalam keadaan tersesat dalam kurun 40 tahun di Gurun Sinai.[1]

Al-Fakhurrazi dalam Mafatihulghaib juga mendukung fakta bahwa kejadian minta air ini terjadinya ketika masih di Gurun Sinai dengan dua alasan utama. Pertama, tidak masuk akal meminta air ketika sudah berada di dalam Baitul Maqdis. Kedua, terkait dengan batu yang dipukul dengan tongkat, lebih relevan bila batunya ada di gurun dan bukan di dalam kota.

Namun demikian, Al-Fakhrurrazi juga dengan jujur menyebutkan bahwa ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kejadiannya bukan di Gurun Sinai tetapi di waktu yang lain. Orang yang berpendapat seperti itu disebut namanya Abu Muslim.[2]

 

[1] Ibnu Katsir

[2] Mafatih Al-Ghaib

Sudah dijelas dalam ayat-ayat sebelumnya bahwa lafazh wa idz (وإذ) bermakna : dan ingatlah. Maksudnya ingatlah nikmat Allah SWT yang lain selain yang sudah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya.

 Lafazh istasqa (استسقى) berasal dari kata suqya (سقي) yang makna minum atau minuman. Di dalam surat Yusuf Allah mengisahkan tentang teman Nabi Yusuf yang diramalkan akan memberi minum tuannya.

أَمَّا أَحَدُكُمَا فَيَسْقِي رَبَّهُ خَمْرًا

Adapun salah seorang diantara kamu berdua, akan memberi minuman tuannya dengan khamar. (QS. Yusuf : 41)

Selain itu juga ada dalam surat Al-Hijir tentang memberi minum, sebagaimana ayat berikut :

وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ

Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya. (QS. Al-Hijr : 22)

وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ

Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An-Nahl : 66)

Lalu kata itu mendapatkan awalan huruf alif dan sin menjadi istasqa dan maknanya berubah : “meminta air untuk minum”. Dari situ pula shalat dalam rangka minta diturunkan air hujan disebut dengan istisqa yang artinya shalat minta hujan.

Kalau dilihat dari konteksnya, permintaan air atau istisqa’ hanya dikeluar dari mulut mereka yang kekurangan air dan setidaknya mengalami kekeringan. Kalau pasokan air aman-aman saja, tentu tidak akan melakukan istisqa’ meminta air.

Lafazh idhrib (اضرب) adalah fi’il amr dari asalnya (ضرب - يضرب) yang maknanya memukul dalam arti yang sesungguhnya. Sebab dalam banyak ayat lain seringkali Allah menggunakan lafazh yang pengembangan dari dharaba – yadhribu dalam makna lain, seperti :

Membuat permisalahan (إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلً) : Al-Baqarah ayat 26

§  Ditimpakan kepada mereka (وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ) Al-Baqarah 61

§  Tidak mampu melakukan usaha di bumi (لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ) : AL-Baqarah 273

§  Melakukan perjalanan jauh (إذا ضربتم في الأرض) : An-Nisa 101

§  Menutup (telinga) (فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ) Al-Kahfi 11

§  Membuat (jalan yang kering) (فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِي الْبَحْرِ يَبَسًا) Thaha 77

§  Menutupi aurat atau bagian tubuh (وليضربن بخمرهن على جيوبهن) : An-Nur 31

Namun kali ini pada ayat ini, perintah untuk memukul itu benar-benar memukul, yaitu memukul batu dengan menggunakan tongkat (العصى).

Sesungguhnya Allah kuasa memancarkan air dari batu, tanpa dipukul dengan tongkat lebih dahulu, tetapi Allah hendak memperlihatkan kepada hamba-Nya hubungan sebab dengan akibat.

Apabila mereka menginginkan sesuatu hams bemsaha dan bekerja untuk mendapatkannya sesuai proses hubungan antara sebab dan akibat. Allah telah menyediakan rezeki untuk setiap makhluk-Nya yang hidup di bumi ini, tetapi rezeki itu tidak datang · sendiri, melainkan hams diusahakan, dan hams ditempuh cara-caranya.

Siapa yang malas bemsaha tentu tidak akan mendapatkan rezeki yang diperlukan. Di samping itu Allah telah menciptakan manusia mempunyai pikiran dan perasaan yang terbatas, sehingga dia hanya dapat memahami yang berada dalam daerah jangkauan indera, pikiran, dan perasaannya.

Apabila dia melihat adanya sesuatu yang berada di luar kemampuannya, dia bemsaha untuk mengembalikan persoalannya kepada yang telah diketahuinya. Bila dia tidak dapat memahaminya sama sekali, dia menjadi bingung, apalagi hal itu terjadi di hadapannya bemlang kali.

Maka Allah memperlihatkan mukjizat melalui para nabi sesuai dengan keadaan umat pada masa nabi itu. Allah menyuruh mereka makan dan minum dari rezeki yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan mereka dilarang untuk berbuat kezaliman.

Terkait tongkat Nabi Musa alaihissalam banyak sekali disebut-sebut dalam kisah Bani Israil, antara lain :

1. Tongkat Membelah Laut

Ketika terkepung oleh bala tentara Firaun, tongkat itulah yang dipukulkan ke air laut dan kemudian atas izin Allah laut pun terbelah. Kita sudah membahasnya pada ayat 50 dari surat Al-Baqarah.

2. Tongkat Berubah Jadi Ular di Hadapan Penyihir Firaun

Ketika berhadapan dengan para penyihir Fir’aun, dimana para penyihir itu mampu mengubah tali temali menjadi ular-ular yang banyak. Kala itu Nabi Musa melempar tongkatnya lalu atas izin Allah tongkat itu berubah menjadi ular yang besar dan memakan ular-ular para penyihir.

وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ

Dan Kami wahyukan kepada Musa: "Lemparkanlah tongkatmu!". Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. (QS. Al-Araf : 117)

3. Tongkat Berubah Jadi Ular di Wadi Muqaddas

Ketika berada di Wadi Al-Muqaddas untuk pertama kalinya Musa berbicara dengan Allah SWT, saat itu Musa diperintah untuk melemparkan tongkatnya, lalu tongkat itu berubah menjadi ular besar sehingga membuat Musa berlari ketakutan.

وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ ۖ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ

dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru): "Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman. (QS. Al-Qashash : 31)

4. Ditanyakan Allah Tentang Tongkat

Ketika Allah SWT bertanya kepada Musa tentang tongkat yang dipegangnya di tangan kanan, kala itu Musa menjawab dengan jawaban yang panjang.

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ

Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya". (QS. Thaha: 17-18)

Kali ini di ayat ini Allah SWT menceritakan tentang tongkat Musa yang Allah SWT perintahkan untuk dipukukan ke batu, demi agar batu itu bisa memancarkan air minum bagi Bani Israil di Gurun Sinai, kala mereka masih berada dalam ketersesatan kurun waktu 40 lamanya.

 Namun tentang tongkat itu sendiri, para ulama berbeda pendapat terkait asal-usulnya. Ada sebagian kalangan yang bilang bahwa tongkat itu hanya kayu biasa yang diambil dari ranting pohon. Tidak ada keistimewaan apa pun dari tongkat itu, kecuali atas izin Allah tongkat itu bisa begini dan begitu. Tanpa kehendak Allah SWT, tongkat itu hanya kayu biasa dan bukan tongkat ajaib. Namun aja juga yang mengatakan bahwa tongkat itu asalnya dari surga.

Adapun terkait dengan batu yang dipukul dan kemudian memancarkan air, ada banyak catatan para mufassir dalam kitab-kitab tafsir mereka. Dikatakan bahwa batu itu seukuran kepala sapi jantan atau ukuran kepala manusia, berbentuk persegi empat atau kotak dan punya empat sisi. Di tiap sisi itu memancar tiga mata air, sehingga total batu itu memancarkan 12 mata air.

Ditambahkan pula keterangan bahwa batu berasal dari bebatuan Gunung Thursina. Batu itu mereka bawa-bawa terus sepanjang mereka tersesat di Gurun Sinai itu selama 40 tahun. Selama kurun waktu, 600 ribu Bani Israil minum dan bertahan hidup dari air yang memancar dari batu itu.

Lafazh infajarat (اِنْفَجَرَتْ) berasal dari kata al-fajru (الفَجْرُ), artinya terbelahnya sesuatu dengan sangat luas seperti orang yang membelah bendungan di sungai. Dikatakan (فجَرَتُهُ فَانْفَجَرَ) artinya "Aku pecahkan benda itu maka benda itu pecah".

Firman Allah pada ayat ini, fanfajarat dan seterusnya, berarti memancarlah. Waktu subuh dikatakan sebagai fajar karena waktu subuh yang terang memecah kegelapan malam. Yang dimaksud dengan kata ini sesuai dengan konteks ayat ini adalah memancarnya air.

Memancarnya air yang diungkap dalam ayat ini menunjukkan suatu mukjizat yang dikaruniakan Allah kepada Nabi Musa. Mukjizat itu dapat ditujukan kepada Nabi Musa sebab dari memancarnya air karena pukulan tongkat yang menunjukkan luar biasanya tongkat itu, dan dapat pula diungkapkan bahwa kehadiran air yang di luar kebiasaan, yaitu tidak turun dari langit, tetapi memancar dari sesuatu yang selama ini tidak pernah menjadi sumber air, yakni batu.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa memancarnya air dari batu bukan sebagai mukjizat. Hal yang demikian karena sering kali kita juga melihat keluarnya air dari sebuah batu. Sebenarnya air itu bukan berasal dari batu, tetapi dari mata air yang sebenamya tertutup oleh batu tersebut. Ketika tanah digali, dan batu dipecahkan dengan tongkat, maka air pun memancar. Pendapat ini merupakan upaya untuk merasionalkan mukjizat dengan asumsi-asumsi yang dianggap bisa dijadikan dasar penjelasan.

Sebenarnya tidak perlu risau dengan kalangan yang anti mukjizat, karena ayat ini menjelaskan secara detail seperti apa mukjizat itu terjadi. Kalau ada yang bilang bahwa batu yang dipukul pakai tongkat itu hanya menutupi mata air yang sudah ada, tentu logika ini kurang tepat. Sebab Allah SWT menyebut kata fanfajarat minhu yang artinya memancarlah darinya yaitu dari batu itu. Lafazh minhu (مِنْهُ) jelas sekali bahwa yang memancarkan air itu batu dan bukan tanah.

Lafazh ainan (عينا) aslinya adalah kata ‘ain (عين) yang secara umum berarti : mata. Namun seperti kata mata dalam bahasa Indonesia yang bisa berubah menjadi sekian banyak makna, ternyata dalam bahasa Arab pun demikian juga. Dalam bahasa Indonesia contohnya mata air, mata hati, mata kaki, mata-mata, mata pisau, mata kail, mata pelajaran, mata kuliah, mata rantai, mata angin, mata duitan, mata keranjang, mata hati, mata batin, mata gelap, mata elang, mata kucing, mata sapi, mata acara, mata uang, mata pena, mata pencaharian, mata ikan, mata wayang,

Dan kadang posisinya di belakang seperti saksi mata, empat mata, cendera mata, silap mata, gelap mata, menutup mata, kasat mata, anak mata, main mata, cuci mata, dan seterusnya masih banyak lagi.

Namun yang jelas dalam konteks ayat ini, ain yang dimaksud tidak lain adalah mata air yang memancarkan air yang teramat dibutuhkan oleh 600 ribu Bani Israil yang tersesat selama 40 tahun di Gurun Sinai.

Batu yang jadi mukjizat itu disebutkan bisa mengeluarkan air yang memancar sebagai dua belas sumber mata air (عَيْن). Banyak kitab tafsir menyebutkan bahwa batu itu sendiri punya empat sisi dan masing-masing sisinya punya 3 sumber mata air. Sehinngga jumlah total sumber mata air yang memancar dari batu itu ada 12 titik, tepat sejumlah kelompok Bani Israil terdiri 12 bagian.

Lalu bagaimana batu yang konon ukurannya hanya sebesar kepala manusia atau kepala sapi itu bisa memberi minum sebanyak 600 ribu orang Bani Israil dalam waktu yang bersamaan?

Jawabannya justru pada kata yang terakhir, yaitu mereka tidak minum di waktu yang bersamaan, tetapi mereka punya jadwal untuk menampung atau mengambil air dari masing-masing sumber mata airnya. Artinya jangan dibayangkan sebanyak 600 ribu orang anti berbarengan di empat arah batu.

Lafazh unasin (أُناَسِ) memang makna harfiyahnya manusia, namun dalam hal ini yang dimaksud tidak lain adalah 12 klan Bani Israil yang mana mereka itu asalnya dari 12 anak-anak Nabi Ya’qub alaihissalam. Jumlah mereka sangat banyak, tidak kurang dari 600 ribu orang dan boleh jadi selama 40 tahun bisa berkembang biak lebih banyak lagi.

Dikatakan mereka semua sudah mengetahui tempat minum mereka, ini menunjukkan bahwa mukjizat itu bukan hanya sekedar isu atau gosip, tetapi juga merupakan fakta yang bisa mereka lihat langsung, bahkan mereka terlibat langsung dengan ikut meminum airnya, padahal mereka hidup di tengah gurun pasir tandus tanpa mata air atau sumber air yang jelas.

Lafazh kuluu (كٌلٌوا) berarti makanlah, sedangkan wasyrabuu (وَاشْرَبُوا) berarti minumlah. Keduanya merupakan perintah dari Allah SWT setelah kepada mereka disediakan makanan dan minuman. Meskipun di ayat ini hanya disebutkan tentang 12 mata air saja, namun di ayat sebelumnya Allah SWT sudah menceritakan tentang Manna dan Salwa sebagai makanan. Oleh karena itu perintah makan dan minum di ayat ini tentu ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya dan tidak berdiri sendiri.

Lafazh ta’tsau (تَعْثَوا) oleh banyak ulama dimaknai tas’a (تَسْعَى) yang maknanya berjalan. Maksudnya bukan berjalan dalam arti harfiyah berjalan kaki, namun maksudnya hidup dan berkembang biang serta berdiaspora di tengah kehidupan dunia.

Sedangkan lafazh mufsidin (مُفْسِدِيْن) sering dimaknai dengan berbuat kerusakan, walaupun makna berbuat keriusakan itu maksudnya melakukan kemaksiatan dalam bentuk melanggar hukum dan ketentuan Allah SWT.

Bebuat kerusakan yang disebut-sebut di dalam Al-Quran tentu saja tidak ada kaitannya dengan isu-isu kekinian seperti merusak alam seperti buang sampah, menebang pohon, mencemari air, udara dan suara. Sebab di masa Al-Quran diturunkan, belum ada isu-isu terkait melakukan kerusakan dalam arti merusak alam.

Al-Baqarah : 60

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 18-4-2024
Subuh 04:37 | Zhuhur 11:54 | Ashar 15:14 | Maghrib 17:54 | Isya 19:02 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia