◀ | Jilid : 1 Juz : 1 | Al-Baqarah : 64 | ▶ |
ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ ۖ فَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَكُنْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Kemenag RI 2019 : Setelah itu, kamu berpaling. Maka, seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, pasti kamu termasuk orang yang rugi.Kata kemudian memberi kesan bahwa pembangkangan itu terjadi setelah ketekunan mereka melaksanakan isi perjanjian tersebut berlangsung relatif cukup lama. Namun setelah itu, mereka kembali kepada kebiasaan semula, durhaka dan membangkang.
Ada yang memahami kata setelah itu pada ayat di atas sebagai menunjuk kepada pelanggaran mereka menjadikan anak lembu sebagai sesembahan ketika Nabi Musa as. pergi bermunajat kemudian menerima kitab suci.
Sesudah Bani Israil mengambil perjanjian dari Allah seperti disebutkan pada ayat yang lalu, seperti sudah diduga ternyata mereka pun berpaling dan tidak menepati perjanjian itu. Mereka sebelumnya mereka sudah terlalu banyak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Taurat, baik oleh nenek moyang mereka zaman dahulu maupun oleh mereka yang hidup kemudian.
Umpamanya pada zaman mereka hidup di padang pasir yang tandus, mereka menentang Nabi Musa, menyakitinya, dan melawan segala perintahnya. Pada masa berikutnya mereka membunuh Nabi Yahya, mengingkari Nabi Isa bahkan merencanakan akan membunuhnya.
Keingkaran mereka terhadap Nabi Muhammad SAW tentu saja menambah panjang daftar pembangkangan mereka. Jangankan kepada Al-Quran, bahkan kepada kitab suci mereka sendiri yaitu Taurat pun mereka masih saja berusaha untuk tidak menjalankan.
Maka sudah sewajarnya mereka mendapat azab dari Allah, atau Allah melenyapkan nikmat dari mereka untuk selama-lamanya. Tetapi Allah tidak berbuat demikian, karena kasih sayang-Nya. Mereka tidak dibinasakan, dan Allah selalu membuka pintu tpbat bagi yang ingin kembali ke jalan yang benar
Lafazh fadhlu (فضل) sering diterjemahkan menjadi : karunia, sebagaimana terjemahan Kemenag RI, Quraish Shihab dan juga Buya Hamka. Memang secara bahasa, fadhlu itu maknanya adalah kelebihan. Dan karunia itu memang sebuah kelebihan dari yang seharusnya diberikan sebagaimana dikatakan (الزيادة في الخيروالأجر).
Namun dalam konteks ayat ini, lebih tepat jika maknanya sebagaimana yang diungkapkan oleh An-Nafasi (w. 710 H) adalah penundaan adzab (تأخير العذاب) dan juga mendapatkan taufiq untuk bisa sampai ke gerbang taubat (التوفيق للتوبة).[1]
Lafazh rahmah (رحمة) bermakna kasih sayang, dimana diselamatkannya Bani Israil bukan semata karena mereka bertaubat, tetapi juga karena Allah SWT adalah Tuhan yang amat menyayangi hamba-hamba-Nya. Meskipun sedemikian bejatnya kelakuan Bani Israil di masa lalu, namun rupanya Allah SWT masih tetap berbaik-baik kepada mereka, semua itu karena kasih sayang atau rahmah-nya Allah SWT.
Dengan demikian Bani Israil di masa kenabian Muhammad SAW harus paham, jikalau seandainya tidak ada anugerah Allah, yakni pemberian yang melebihi hak mereka-kalau seandainya hak itu ada rahmat-Nya atas mereka yaitu berupa penangguhan siksa biar ada kesempatan bertaubat, niscaya gunung Thursina dicampakkan ke atas mereka.
[1] An-Nasafi, Tafsir An-Nafasi (Madarikut Ta’wil wa Haqaiqu At-Ta’wil), jilid 1 hal. 95-96
Kalau sampai tidak bertaubat juga, pastilah Bani Israil termasuk orang-orang yang merugi, celaka, dan binasa, dengan siksa duniawi dan ukhrawi. An-Nasafi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan rugi dalam ayat ini tidak lain celaka oleh sebab azab yang pedih. Sedankan Al-Wahidi mengatakan bahwa orang yang merugi itu mereka yang kehilangan modal dalam berdagang.
◀ | Al-Baqarah : 64 | ▶ |
TAFSIR KLASIK |
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari |
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi |
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi |
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi |
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi |
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari |
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah |
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi |
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi |
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan |
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir |
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H) |
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi |
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud |
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani |
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi |
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur |
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili |
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA |