Kemenag RI 2019 : Maka, siapa yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah[106]) setelah itu, mereka itulah orang-orang zalim. Prof. Quraish Shihab : Prof. HAMKA :
Kata fa-man (فَمَنِ) artinya : maka siapa atau maka barangsiapa. Kata iftaraa (افْتَرَىٰ) adalah kata kerja dalam bentuk fi’il madhi, tasrifan-nya adalah (افترى – يفتري - افتراء) dan makna aslinya adalah kebohongan. Sedangkan makna ‘alallahi (عَلَى اللَّهِ) adalah : atas Allah.
Adapaun kata al-kadzib (الْكَذِبَ) ternyata juga bermakna kebohongan. Thahir Ibnu Asyur menuliskan bahwa kedua kata itu muradif atau sinonim. Atau dikatakan bahwa iftira (افتراء) itu merupakan sebuah kata yang mengungkapan istilah lain kebohongan. Namun dua ini dalam bahasa Arab seakan sudah menjadi pasangan yang selalu diucapkan dalam satu kalimat.
Yang menarik, kedua kata yang saling jadi sinonim ini dipisahkan dengan sisipan yaitu kata ‘alallahi (عَلَى اللَّهِ) yang artinya kepada Allah. Seharusnya bentuk asalnya iftara al-kadzib ‘alallah (افْتَرَىٰ الْكَذِبَ عَلَى اللَّهِ), namun ketika kata ‘alallahi (على الله) diletakkan atau disisipkan di tengah menjadi (افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ), maka pengaruhnya lebih menambahkan kekuatan makna bahwa yang dilakukan itu sebuah kesalahan fatal, karena mengarang bebas tentang Allah. Wajar apabila Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya menjadi : “mengada-adakan kebohongan besar”.
Namun penyisipan kata ‘alallahi di tengah dua kata dalam versi terjemah agak janggal kalau mau tetap dimunculkan, karena maknanya justru agak membingungkan. Kecuali misalnya diberi koma atau jeda seperti berikut ini : “mengadakan -kepada Allah- kebohongan besar”.
Adapun yang dimaksud dengan mengadakan kebohongan besar atas Allah dalam kontek turunnya ayat ini adalah klaim orang-orang Yahudi bahwa yang mengharamkan beberapa makanan bagi orang-orang Yahudi adalah Allah SWT langsung. Padahal Allah SWT tidak mengharamkan, karena yang mengharamkan adalah Nabi Ya’qub alaihissalam yang nama lainnya adalah Israil.
Sebagaimana sudah dijelaskan di ayat sebelumnya, dalam salah satu riwayat disebut bahwa Nabi Ya’qub menderita penyakit yang berkepanjangan dan tidak sembuh-sembuh, sampai akhirnya dia berdoa dengan bernadzar, apabila disembuhkan maka dia berjanji tidak akan makan daging unta dan tidak akan minum lagi susunya. Padahal daging unta dan susunya merupakan kegemaran Nabi Ya’qub.
Sejak itulah anak keturunan Nabi Ya’qub tidak lagi makan daging unta dan tidak pula meminum susunya. Namun tuduhan dari orang-orang Yahudi bahwa keharaman daging unta dan susunya seolah merupakan hukum dasar yang diturunkan Allah SWT sejak zaman Nabi Ibrahim alaihissalam. Padahal yang sesungguhnya Nabi Ibrahim sendiri makan daging unta dan minum susunya.
Bahkan di dalam kitab Taurat yang turun kepada Nabi Musa alaihissalam, tidak ada disebutkan tentang haramnya daging unta dan susunya.
مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ
Kata min-ba’di dzalika (مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ) artinya : setelah itu, yaitu setelah turunnya kitab suci Taurat. Dimana di dalam kitab Taurat ternyata tidak ada pengharaman daging unta dan susunya.
Namun rupanya orang-orang Yahudi di masa kenabian Muhammad SAW masih saja mengharamkan daging unta dan susunya, sambil mencela dan mengejek perilaku bangsa Arab yang nota bene memeluk agama Islam sebagai perbuatan yang terlarang dari Allah SWT.
Rupanya sikap orang-orang Yahudi dilatar-belakangi dari mental kerdil bahwa bahwa syariat yang mereka anut selama lebih baik dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka mengklaim bahwa semua aturan syariat itu merupakan perintah Allah SWT yang tertuang dalam kitab Taurat. Padahal ternyata di dalam Taurat sendiri justru tidak pernah ada ayat yang mengharamkan daging unta dan susunya.
Dalam tradisi Yahudi, ada aturan diet yang dikenal sebagai hukum kosher, yang mengatur jenis makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan. Dalam hukum kosher, daging unta tidak dianggap sebagai makanan yang halal, dan oleh karena itu, umumnya tidak dimakan oleh orang-orang Yahudi yang mematuhi aturan kosher.
Hukum kosher inilah yang diklaim oleh kalangan Yahudi terdapat dalam kitab Taurat. Dan mereka berusaha meyakinkan bahwa hewan unta dan dagingnya termasuk dalam kategori hewan yang tidak halal untuk dikonsumsi dalam hukum kosher.
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Kata fa-ulaika (فَأُولَٰئِكَ) artinya : maka mereka, yaitu orang-orang yahudi yang mengklaim bahwa di dalam Taurat Allah SWT mengharamkan daging unta.
Kata humuzh-dzhalimun (هُمُ الظَّالِمُونَ) maknanya : merekalah orang-orang yang zalim. zhalimin (ظَالِمِينَ) maknanya : “Orang-orang yang melakukan kezhaliman” . Kata dasar dari zhalim ini adalah zhulmun (ظُلْمٌ) yang artinya kegelapan sebagaimana firman Allah SWT (اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ). Namun secara hakikinya, zhulm itu menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Allah SWT Maha mengetahui bahwa orang-orang yahudi itu banyak sekali melakukan berbagai jenis kezhaliman. Ayat-ayat Al-Quran yang turun kepada Nabi Muhammad SAW cukup banyak bercerita tentang berbagai bentuk kezaliman mereka. Ibaratnya kartu mati orang-orang Yahudi sudah ada di tangan Nabi Muhammad SAW.
Kezaliman Yahudi yang diceritakan di ayat ini adalah suka berdusta dengan membawa-bawa nama Allah SWT, atau membawa-bawa ayat Taurat. Perilaku inilah yang kemudian Allah SWT preteli sehingga ketahuan belangnya. Ternyata yang selama ini mereka katakan bahwa ketentuan ini datang dari Allah SWT dan tercantum di dalam kitab suci mereka, akhirnya tebongkar juga. Habis-habisan lah mereka menutup wajah karena malu bahwa rahasia mereka terungkap, bagaimana maling ketahuan mencuri di siang bolong.
Namun dibalik cercaan Allah SWT terhadap perilaku zalim orang-orang Yahudi di masa kenabian dulu, ayat ini sesungguhnya juga menjadi semacam peringatan buat kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW, agar jangan melakukan kezaliman macam yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, yaitu mengklaim fatwa yang bersifat kepentingan pribadi dan golongan sebagai ayat Al-Quran. Padahal di balik fatwa itu ada sekian banyak kepentingan lain yang tidak layak untuk dibela.
Betapa banyak ayat-ayat Al-Quran yang jadi korban pemelintiran pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab, dijadikan dasar pembenaran atas kepentingan untuk memuaskan hawa nafsu duniawiyah yang rendah dan murahan. Apa yang dahulu pernah terjadi pada orang-orang Yahudi di masa kenabian Muhammad SAW, bukan mustahil akan terulang kembali di masa sekarang ini. Bedanya kalau dulu pelakunya adalah orang-orang Yahudi, kali ini pelakunya justru umat yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW.
Penulis mengamati yang lumayan banyak ayat-ayat Al-Quran dijadikan bahan konyol-konyolan adala ketika sesama umat Islam berseteru memperbutkan jabatan dan kekuasaan di bidang politik. Ada dua, tiga atau empat kubu yang sama-sama menggunakan ayat Al-Quran, mereka tidak akur karena jadi saingan dalam hal perebutan kekuasaan.
Sayangnya, dalam rangka merebut dukungan dari umat Islam, cara yang mereka lakukan cukup licik, yaitu dengan banyak mengutip ayat-ayat Al-Quran untuk dijadikan dasar pembenaran atas kepentingan politik kelompok masing-masing.
Semua itu terjadi dengan mudahnya, salah satu sebabnya karena rendahnya literasi umat Islam atas tafsir Al-Quran. Kebetulan Al-Quran berbahasa Arab, dengan nilai sastra yang tinggi. Sementara lebih dari 1,6 milyar kaum muslimin di dunia ini sama sekali buta huruf Arab. Dari 1,9 milyar umat Islam dewasa ini, hanya 300 jutaan saja yang menggunakan bahasa Arab, sisanya yang 1.6 milyar itu benar-benar tidak paham apa yang mereka baca dari ayat-ayat Al-Quran.
Kalau sekedar membaca dan mengkhatamkan Al-Quran, kita memang juaranya. Tetapi giliran ayat Al-Quran dibelok-belokkan kesana kemari sesuai dengan selera masing-masing kelompok dan kepentingannya, kita hanya diam saja pasrah tidak tahu apa-apa.