USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah

Manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah

PERTANYAAN
Assalamu 'alaikum.wr.wb,

Ustadz sarwat yang terhormat, saya mau bertanya :

1. Beberapa hari ini saya mempelajari tentang muhammadiyah melalui website resminya, saya jadi tahu ternyata muhammadiyah tidak bermazhab tertentu, tapi berfatwa melalui majelis tarjih yang menggali hukum / berijtihad secara langsung kepada Al Quran & hadits mutawatir, & mentarjih beberapa pendapat imam mazhab yang dipandang paling kuat / lebih dekat kepada Al Quran & sunah maqbullah.

Apa manhaj / metode seperti ini bisa diterima di khasanah ke ilmuan islam generasi shalafus sholeh?

2. Apakah metode majelis tarjih muhammadiyah seperti ini bisa dibilang secara tidak langsung mendirikan mazhab baru? Yaitu Mazhab Muhammadiyah, dan apakah hal itu sah2 saja?

Terus terang saya tertarik sekali dengan Muhammadiyah, dan saya sangat butuh jawaban ustadz sarwat sebagai masukan kepada saya, Wassalam.
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya yang lebih berhak menjawab pertanyaan ini adalah Bapak-bapak yang duduk di lembaga Majelis Tarjih sendiri. Sebab mereka lebih mengetahui apa yang sesungguhnya mereka kerjakan, ketimbang saya yang berada di luar garis.

Namun sebagai opini luar, tidak ada salahnya saya menyampaikan apa yang saya tangkap, sejauh yang saya bisa ketahui dengan sumber informasi yang amat terbatas. Tentu pengetahuan saya sangat terbatas, maka jawaban ini sangat boleh jadi banyak yang tidak benar dan tidak akurat, karena sifatnya hanya opini yang bersifat subjektif semata.

1. Apakah Manhaj atau Metode Majelis Tarjih Bisa Diterima di Khazanah Keilmuan Generasi Salafushshalih?

Para ulama generasi salafush-shalih seperti Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, memang melakukan apa yang diinginkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah. Mereka melakukan istimbath hukum-hukum dari sumber-sumbernya, baik Al-Quran, As-Sunnah, Ijma', Qiyas dan berbagai sumber hukum fiqih lainnya.

Jadi secara teori, memang apa yang dicanangkan oleh Majelis Tarjih itu memang sudah right on the track. Secara umum kita bisa katakan, idealnya memang begitu. Di setiap kurun waktu harus ada orang-orang yang melakukan ijtihad, dengan melakukan pengkajian di kedua kutub, yaitu pada nash-nash yang menjadi sumber agama, dan sekaligus dengan melihat realitas atau kenyataan yang ada di masing-masing zaman dan negeri.

Masalah Kapasitas dan Kepantasan

Barangkali yang menjadi agak sedikit berbeda adalah dalam masalah kapasitas, level, kemampuan, serta juga ruang lingkup. Saya belum ingin membandingkan antara kapasitas individu anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah dengan kapasitas keempat imam mazhab di atas. Cukup saya bandingkan dulu perbedaan level di antara para ulama di zaman salafush-shalih saja.

Kalau kita rujuk literatur sejarah tasyri' islami, ternyata kita menemukan bahwa para ulama atau mujtahid di masa lalu tidak semuanya sejajar dalam satu garis kemampuan dan keilmuan. Ada strata yang membedakan antara mereka, mulai dari mujtahid paling rendah sampai mujtahid paling tinggi.

a. Mujtahid Mutlak Mustaqil

Level mujtahid yang paling tinggi disebut dengan mujtahid mutlaq mustaqil. Para Imam mazhab yang empat berada pada level ini. Kelebihan mereka adalah sudah membuat kaidah sendiri dalam membuat kesimpulan-kesimpulan hukum fiqih.

Dan ketika berfatwa terhadap suatu masalah, mereka menggunakan kaidah-kaidah yang telah mereka temukan sendiri hasil dari pemahamannya yang mendalam terhadap Al-Quran dan As-Sunnah. Lalu mereka berfatwa di semua urusan masalah kehidupan, dari A sampai Z, dengan tetap setia pada kaidah yang telah dibuatnya.

Seluruh mujtahid selain mereka tidak membuat sendiri sitem dan metode istimbath hukum, tetapi menggunakan apa yang telah diciptakan oleh mereka.

Dalam alam nyata, level mujtahid seperti ini amat jarang kita temukan. Sepanjang sejarah, jumlah mereka kurang lebih hanya sekitar 10-an orang saja. Dan sayangnya, tidak semua mazhab mereka kekal di atas bumi ini. Kebanyakannya mati dan hilang begitu saja ditelan sejarah.

b. Mujtahid Mutlak Ghairu Mustaqil

Di bawahnya, masih sesama mujtahid mutlak juga tidak mustaqil. Mujtahid mutlak ghairu mustaqil sudah memenuhi kriteria sebagai seorang mujahid mustaqil, akan tetapi ia tidak membuat kaidah-kaidah sendiri dalam menyimpulkan masalah-masalah fiqihnya, ia memakai kaidah-kaidah yang dipakai oleh para imam Mazhab dalam berijtihadnya.

Di dalam Mazhab Al-Hanafiyah ada mujtahid seperti Abi Yusuf, Muhammad, Zufar. Di dalam mMazhab Al-Malikiyah Ibnu Al-Qasim, Asyhab, dan Asad Ibnu Furat. Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah ada Al-Buwaiti, Al Muzani. Dan di dalam mazhab Al-Hanabilah ada Abu Bakar Al-Atsram, dan Abu Bakar Al-Marwadzi.

Mereka mampu mengeluarkan atau membuat kesimpulan hukum dalam maslah fiqih berdasarkan dalil yang merujuk kepada kaidah yang digunakan oleh guru-guru mereka, walau kadang suka berbeda dalam bebarapa hal dengan gurunya, akan tetapi ia mengikuti gurunya dalam kaidah-kaidah pokoknya saja.
Dua tingkatan mujtahid di atas sudah tidak ada pada zaman sekarang.

c. Mujtahid Muqayyad

Di bawahnya lagi, ada level yang isinya para mujtahid dan fuqaha yang disebut mujtahid muqayyad. Mereka berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya (keterangannya) dalam kitab-kitab mazhab.

Dalam Mazhab Al-Hanafiyah di antaranya Al-Hashafi, Al-Thahawi, Al- Kurhi, Al-Halwani, As-Syarakhsi, Al-Bazdawi dan Qadli Khan dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah. Dalam Mazhab Al-Malikiyah contohnya adalah Al-Abhari, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani. Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah contohnya Abu Ishaq Al-Syiraji, Al-Marwadzi, Muhammad bin Jarir, Abi Nashr, Ibnu Khuzaimah dari kalangan Mazhab Al- Syafi’iyah. Dan dalam mazhab Al-Hanabilah contohnya Al-Qadli Abu Ya’la, Al-Qadli Abi Ali bin abi Musa.

Mereka semua disebut para imam Al-Wujuh, karena mereka dapat meyimpulkan suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam kitab mazhab mereka, dinamakan Wajhan dalam mazhab (satu segi dalam mazhab) atau satu pendapat dalam mazhab, mereka berpegang kepada mazhab bukan kepada Imamnya (gurunya), hal ini tersebar dalam dua mazhab yaitu, Al-Syafi’iyah dan Al-Hanabalah.

d. Mujtahid Tarjih

Lalu level paling rendah disebut mujtahid tarjih. Mereka mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat dari satu imam mazhab dari pendapat-pendapat mazhab imam lain, atau dapat mentarjih pendapat salah satu imam Mazhab dari pendapat para muridnya atau pendapat imam lainnya. Berari Ia hanya mengambil satu riwayat dari beberapa riwayat saja.

Contoh para mujtahid fawa kalau di dalam mazhab Al-Hanafiyah seperti Al--Qaduri dan Al-Murghainani, penulis kitab Al-Hidayah. Dalam mazhab Al-Malikiyah misalnya Al-Imam Al-Khalil. Dan mazhab Asy-Syafi’iyah misalnya Al-Imam Ar-Rafi’i dan Al-Imam An-Nawawi. Sedangkan dalam mazhab Al-Hanabilah misalnya Al-Qadli Alauddin Al-Mardawi dan juga Abu Al-Khattab Mahfudz bin Ahmad Al-Kalwadzani Al-Bagdadi.

e. Mujtahid Fatwa

Sebenarnya masih ada level yang paling rendah, di bawah level mujtahid tarjih, namun sebagian tidak lagi menganggap mereka sebagai mujtahid, yaitu mujtahid fatwa.

Mujtahid fatwa adalah seseorang yang senantiasa mengikuti salah satu mazhab, mengambil dan memahami masalah-masalah yang sulit ataupun yang mudah, dapat membedakan mana pendapat yang kuat dari yang lemah, mana pendapat yang rajih dari yang marjuh, akan tetapi mereka lemah dalam menetapkan dalil dan mengedit dalil-dalil qiyasnya.
Di antara mereka misalnya para imam pengarang matan-matan yang terkamuka dari kalangan imam mutaakhir (belakangan), seperti pengarang Al-Kanzu (Kanzul Ummal), pengarang Al-Durur Al-Mukhtar, pengarang Majma’ Al-Anhar dari kalangan Al-Hanafiyah, serta tidak lupa seperti Ar-Ramli dan Ibnu Hajar dari kalangan Al-Syafi’iyah.

f. Level Orang Awam

Barulah di luar lingkaran para mujtahid itu, ada orang-orang awam seperti kita semua. Saya, antum dan semua orang yang hidup di zaman kita ini, termasuk para profesor doktor ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih yang saya kenal tanpa terkecuali, semau termasuk level orang awam.

Bahkan ulama besar sekelas Doktor Yusuf Al-Qaradawi, Prof. Doktor Wahbah Az-zuhaili, Prof. Doktor Ali Jum'ah mufti Mesir dan ribuan ulama dunia yang kita selalu kagumi keluasan ilmunya dan puluhan ribu halaman karyanya, ternyata mereka masih saja mengaku sebagai orang awam. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengaku sebagai mujtahid.

Semua itu bisa kita buktikan dalam tulisan mereka. Apapun yang mereka tulis, tidak pernah lepas dari manhaj dan mazhab ulama di masa lalu. Mereka pun tidak pernah membuat kaidah istimbath hukum sendiri yang unik, berbeda dan original. Mereka kebanyakan hanya mengutip berbagai pendapat ulama di masa lalu, kemudian berdasarkan alasan yang banyak, mereka 'memilih' salah satu dari pendapat-pendapat itu. Cuma sebatas memilih, tidak berijtihad, karena mereka mengaku sejak awal bukan sebagai mujtahid.

Sekarang mari kita renungkan, kalau tokoh-tokoh ulama besar abad ini masih mengaku orang awam, lalu bagaimana dengan saya, antum dan kita semua? Tentu lebih tidak pantas lagi, bukan?

Jadi kalau pertanyaannya, apakah metode Majelis Tarjih itu benar?Tentu jawabannya sudah benar. Cuma yang jadi masalah, pekerjaan besar seperti itu, siapa yang punya kapasitas untuk menjalankannya? Dan siapa pula yang merasa dirinya pantas untuk melakukannya?

Kalau sudah sampai titik pertanyaan ini, saya melihat semua ulama menggeleng dan semua diam seribu bahasa.

Pilot dan Pesawat

Saya mengibaratkan yang namanya melakukan ijtihad itu seperti pilot menerbangkan pesawat. Sebuah keahlian yang tidak mungkin tiba-tiba bisa dimiliki, kalau tidak sekolah pilot dulu. Kalau cuma sekedar jadi pilot kapal capung barangkali bisa dipelajari dalam hitungan bulan. Tetapi menerbangkan pesawat Boing 747 atau Airbus a380 tentu bukan perkara mudah.

Kalau ada penumpang pesawat melihat-lihat sebentar ke dalam kokpit, lalu tiba-tiba dia berangan-angan membayangkan dirinya jadi pilot, ya boleh-boleh saja. Tapi  tentu kita bisa bilang bahwa orang ini cuma akting jadi pilot saja. Mungkin jiwanya rada narsis, maka begitu masuk kokpit, dia langsung foto-foto pakai topinya kapten. Foto itu kemudian diunggah ke internet sambil bilang,"Woi, gue jadi pilot nih".

Komen yang masuk tentu saya banyak, tetapi tak satu pun yang menanggapi serius. Sebab semua orang tahu, sejak kapan temannya itu jadi pilot. Kurang lebih begitu perumpamaannya.

Intinya saya cuma mau bilang, level kita ini masih terlalu jauh untuk dibandingkan dengan level para ulama mazhab di masa lalu. Yang kita kerjakan hari ini sebenarnya bukan pekerjaan mujtahid betulan, kita cuma membaca, mempelajari, lalu menimbang-nimbang, kemudian memilih salah satu.

Persis seperti kita jajan di rumah makan, kita disodorkan daftar menu, lalu kita pilih, kemudian kita pesan. Kita tidak pernah masuk ke dapur rumah makan itu, kita tidak pernah memasaknya, karena kita bukan chef rumah makan itu. Menu yang kita pilih itu, tidak boleh diakui sebagai hasil 'ijtihad' kita. Tetapi lebih tepat sebagai hasil 'pilihan' kita. Kita ini cuma memilih saja, di tengah ribuan pilihan yang tersedia.

Catatan

Memang terkadang apa yang dipilih oleh Majelis Tarjih itu tidak sama dengan yang disepakati oleh ulama empat mazhab dan jumhur ulama sepanjang zama. Kadang ada satu dua fatwa yang dipilih dengan cara membuang pendapat yang sudah masyhur di tengah para ulama, dan mengejar satu atau dua pendapat yang sebenarnya agak asing dan menyendiri. Tetapi tetap saja fatwa itu merujuk kepada pendapat ulama lain.

Dalam hal ini, sikap seperti itu sah-sah saja dalam dunia pilihan. Cuma yang penting untuk diketahui, karena pendapat itu menyendiri dan asing karena tidak lazim diterima di tengah ulama, maka harus pandai dan bijak dalam melakukan sosialisasinya. Dan yang paling penting, jangan sampai ada kesan muncul bahwa pendapat inilah yang benar, lalu semua pendapat lain itu 100% salah. Kalau sampai melewati batas ini, tentu sudah melanggar garis offset.

2. Apakah Metode Majlies Tarjih Muhammadiyah Bisa Dibilang Mendirikan Mazhab Baru?

Kalau yang dimaksud dengan mazhab itu seperti mazhab fiqih yang empat, tentu saja jawabannya tidak. Bukan apa-apa, sebenarnya di masa lalu jumlah mazhab itu bukan hanya empat, tetapi puluhan jumlahnya. Namun mazhab-mazhab itu sudah punah dan lenyap ditelan zaman. Apalagi yang levelnya tidak sebanding.

Yang benar Muhammadiyah bukanlah sebuah mazhab fiqih, demikian juga Majelis Tarjihnya. Pendirinya, KH. Ahmad Dahlan, juga tidak berkeinginan untuk menjadikan ormas yang didirikannya sebagai mazhab kelima atau mazhab baru.

Sedangkan apa-apa yang difatwakan oleh Majelis Tarjih adalah tidak lain adalah pilihan-pilihan yang disepakati oleh para anggotanya dalam sidang-sidang yang rutin dilakukan. Lepas dari bagaimana cara melakukan istimbath hukumnya.

Yang pasti, ada yang difatwakan oleh Majelis Tarjih ini umumnya adalah fatwa-fatwa yang sebenarnya juga sudah banyak dikemukakan oleh para ulama juga, baik ulama tempo dulu (klasik) atau ulama kontemporer. Hampir seluruh tema fatwanya bisa kita temukan di banyak lembaga fatwa lain, baik di dalam maupun luar negeri.

Artinya, sebenarnya kebanyakan fatwa ini lebih merupakan pengulangan saja, bukan sesuatu yang secara mendalam diistimbath sendiri dengan menggunakan metode istimbath buatan sendiri dan baku.

Kurang lebih fungsi atau peran Majelis Tarjih ini untuk menyatukan opini pendapat yang boleh jadi sesama anggota dan pengurus berbeda-beda. Jadi semacam lembaga fatwa yang menyatukan opini ke dalam satu pilihan pendapat.

Apakah Keputusannya Mengikat?

Karena saya bukan anggota Majelis Tarjih, maka saya tidak tahu apakah isi fatwa Majelis Tarjih ini otomatis mengikat kepada anggota Muhammadiyah atau tidak. Kalau mengikat, seandainya ada yang melanggarnya, apakah ada sanksinya atau tidak? Dan kalau ada sanksinya, apa bentuknya? Sanksi administratif atau sanksi lain?

Lalu kalau keputusan itu mengikat anggota Muhammadiyah atau pengurus, lantas bagaimana dengan prinsip kebebasan berpendapat, kebebasan memili dan kebebasan berpikir yang diagungkan para pendiri Muhammadiyah sendiri? 

Jawabannya tentu kita serahkan kepada para anggota Majelis Tarjih yang punya kebijakan. Tetapi lepas dari eksistensi fatwa Majelis Tarjih bagi pengurus dan anggotanya, setidaknya himpunan fatwa itu diciptakan untuk dijadikan pedoman bagi warga ormas itu.

Apakah Terbuka Untuk Dikritisi?


Secara teori jawabanya iya, bahwa Majelis Tarjih tentu sangat terbuka atas masukan, kritik dan juga opini yang berbeda. Tetapi dalam kenyataannya kita tidak tahu pasti apakah prosesnya semudah yang kita bayangkan. Sebab tujuan utama lembaga ini didirikan tentu untuk menyatukan opini para warga. Nah kalau opini yang sudah disatukan itu ternyata masih  boleh dikritisi lagi, lalu apa gunanya?

Tetapi sebaiknya kita serahkan saja masalah ini kepada para pengurusnya, sebab mereka lebih berhak menjawab.

Keprihatinan

Cuma yang agak sedikit memprihatinkan saya, termasuk juga teman-teman yang ada di dalam lingkaran Majelis Tarjih sendiri, ternyata tidak semua hasil fatwa itu dijamin akan diketahui oleh warga Muhammadiyah. Jangankan umat Islam dalam arti luas, kadang malah sesama pengurus organisasi Muhammadiyah sendiri pun juga banyak yang tidak tahu kalau ada fatwa seperti itu.

Fatwa-fatwa itu nyaris cuma tersimpan rapi dalam lembaran dokumen, namun kita belum menemukan bahwa umat Islam punya akses untuk mengetahuinya. Tidak semua toko buku Islam menjual Himpunan Keputusan Tarjih ini. Sosialisasi fatwa adalah sebuah pekerjaan besar yang belum ditemukan solusi cerdasnya.

Mungkin ke depan, Majelis Tarjih boleh mengadakan perhelatan model MTQ Nasional, isinya bukan lomba kemerduan baca Al-Quran, tetapi cerdas cermat tentang materi fatwa Majelis Tarjih. Atau bisa juga mengeluarkan sertifikat nasional tentang Fatwa Majelis Tarjih, dimana tiap orang boleh ikut ujian sertifikasi untuk menjawab ribuan soal terkait dengan isi fatwa itu.

Tetapi proyek yang lebih mendesak lagi adalah bagaimana melahirkan para kader dan calon ulama ahli fiqih untuk mengisi kursi lembaga ini. Tentu dengan persyaratan dan standar yang tinggi, ketat, berkualitas, dan profesional.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi, belum tentu apa yang difatwakan oleh Majelis Tarjih ini dalam kenyataannya otomatis ditaati oleh sesama pengurus. Contoh yang paling mudah adalah fatwa haramnya rokok. Saya menemukan begitu banyak Bapak-bapak pengurus yang bersikap masa bodoh dengan fatwa haramnya rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih ini. Sayang sekali memang.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc. MA