![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Haruskah Jadi Ulama Dulu Baru Boleh Dakwah? |
PERTANYAAN Asslamualaikum wr wb Pak ustadz membaca jawaban ustadz tentang pertanyaan "5 pribadi ulama yang dinantikan dan perlunya sertifikasi ulama" saya jadi ingin menanyakan. Lalu apakah orang yang awam (tidak punya pendidikan background syariah) yang ingin menyampaikan satu/dua ayat atau hadis ke orang lain misalnya lewat postingan facebook/ twitter/blog dll tidak boleh sama sekali ? Apakah harus bergelar ulama dan harus menempuh pendidikan syariah dulu untuk boleh berdakwah? Terima kasih wassalamualaikum wr wb |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Kita perlu menghargai semangat untuk berdakwah dan menyampaikan ajaran Islam, baik melalui media sosial atau pun media lainnya. Dan tidak ada yang boleh melarang kita untuk menyampaikan dakwah Islam di media mana pun. Sebab berdakwah memang kewajiban kita, dan kita akan mendapat pahala tersendiri atas dakwah yang kita lakukan. Hanya saja ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berdakwah secara umum, khususnya terkait dengan isi dan materi dakwah itu sendiri yang merupakan esensi ajaran Islam. Karena biar bagaimana pun dakwah itu adalah amanat, maka kita wajib bertanggung-jawab atas amanat yang kita bawa. A. Al-Quran Kita bukan hanya dibolehkan menyampaikan ayat-ayat Al-Quran, bahkan malah hukumnya wajib. Tetapi tentu dengan beberapa catatan penting, antara lain 1. Sebatas Teks Ayat Yang kita sampaikan itu sebatas hanya teks ayat Al-Quran, dan bukan kandungan isinya, apalagi hukum-hukum di dalamnya. Sebab urusan kandungan dan hukum-hukumnya, kita tidak boleh mengarang sendiri semau kita. Kita harus merujuk kepada para ulama yang memang ahli di bidangnya. 2. Tanpa kesalahan Pengutipan Pengutipan teks ayat Al-Quran sendiri pun ada syaratnya, yaitu harus tanpa kesalahan atau kekeliruan dalam pengutipan. Mengingat bahwa Al-Quran itu adalah wahyu dan kalamullah. Jangan sampai kita malah berdosa gara-gara salah kutip, salah tulis dan salah ejaan. 3. Teks Arab Mengutip ayat Al-Quran itu harus sesuai dengan aslinya. Dan Al-Quran itu aslinya berbahasa Arab. Sedangkan terjemahannya yang berbahasa Indonesia itu pada dasarnya bukan Al-Quran. Terjemahan itu hanya karya anak manusia, yang tidak pernah luput dari kesalahan. Versi terjemahan pun sangat banyak, sesuai dengan jumlah bahasa yang dipakai manusia. Itu pun setiap saat bisa direvisi dan direvisi lagi. Bahkan terjemahan Departemen Agama RI pun tidak luput dari revisi. Terjemahan Al-Quran itu jelas-jelas bukan wahyu dan bukan kalamullah, melainkan sekedar alih bahasa dari wahyu. Maka kalau kita mau menyampaikan wahyu, yang mestinya kita sampaikan adalah Al-Quran dalam teks aslinya, bukan hanya terjemahannnya saja. 4. Cantumkan Nama Surat dan Nomor Ayatnya Akan menjadi lebih baik ketika kita menyampaikan ayat Al-Quran dengan mencantumkan juga nama surat dan nomor ayat, agar orang-orang bisa mengecek apa benar pengutipan ayat Al-Quran itu. Namun semua itu sebatas kita menyampaikan teks Al-Quran saja, bukan isi dan kandungan hukum yang ada di dalamnya. Karena antara teks dan kandungan isi ayat Al-Quran adalah dua entitas yang berbeda. Menyampaikan ayat Al-quran mudah sekali memang, cukup buka Al-Quran lalu kita salin atau lakukan copy paste dan selesai sudah. Tetapi kalau bicara tentang isi kandungannya, mau tidak mau kita harus buka kitab Tafsir dulu. Sebab kapasitas kita bukan mufassir. Dan kalau bicara kandungan hukum yang terdapat pada ayat tertentu, mau tidak mau kita harus membuka kitab Tafsir Ayat Ahkam, bahkan kitab-kitab khusus yang membahas hukum-hukum syariah, yaitu kitab-kitab fiqih. Tentu bukan kitab ecek-ecek yang isinya malah melecehkan ilmu fiqih, tetapi harus kitab fiqih yang muktamad dan diakui dalam dunia ilmu fiqih itu sendiri. B. Hadits Sebagai umat Rasulullah SAW, kita berkewajiban menyampaikan hadits-hadits Nabi SAW kepada seluruh dunia. Siapa lagi yang akan meneruskan dakwah beliau SAW kalau bukan kita-kita, bukan? Tetapi yang namanya menyampaikan hadits Nabi SAW ini susah-susah gampang. Dan menampilkan hadits-hadits nabawi yang merupakan kutipan dari perbuatan dan perkataan Nabi SAW ini agak rumit sedikit. مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Siapa meriwayatkan suatu hadits dariku dan dia tahu bahwa itu adalah dusta, maka dia adalah salah satu dari para pendusta. (HR. Muslim) Kalau tidak tahu mana hadits palsu mana hadits betulan, salah-salah kita bukannya berdakwah, malah dapat gelar sebagai pendusta. Siapa yang mau digelari pendusta? Tentu tidak satu pun dari kita, bukan? Bukan hanya jadi pendusta, tetapi lebih dari itu, Rasulullah SAW menjamin bahwa orang-orang yang berdusta tentang dirinya, maka tempatnya adalah neraka. من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار Barangsiapa yang berdusta atas nama saya dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat di Neraka (Bukhari Muslim) Lho kan mau dakwah, kok malah masuk neraka? Padahal boleh jadi yang kita kutip itu bukan hadits Nabi. Tetapi karena keawaman kita, kita langsung bilang bahwa kutipan itu hadits Nabi. Ini celaka benar. Orang yang tidak pernah kuliah di fakultas kedokteran, tentu tidak boleh buka praktek pengobatan medis. Sebab bisa-bisa dia bukan menyembuhkan tapi malah bikin orang meninggal dunia. Begitu juga dalam hal dakwah, tidak punya ilmu kok berdakwah. Lalu mau dibawa kemana orang-orang dengan dakwah yang cuma modal Al-Quran dan kitab hadits terjemahan? Kalau yang dikembangkan dakwah model-model begini, bisa saja bukan surga yang didapat tetapi kita malah masuk ke dalam neraka. Naudzubillahi min tilka. Semangat saja tidak cukup untuk berdakwah, tetapi juga butuh ilmu betulan, dimana ilmu itu kita tuntut dan kita pelajari dengan benar dan bukan lewat program instan. Yang lebih fatal lagi adalah orang-orang yang tidak pernah belajar ilmu syariah, lalu tiba-tiba dengan polosnya merasa dirinya ahli syariah, atau setidak-tidaknya melakukan pekerjaan yang seharusnya hanya para ahli syariah saja yang boleh melakukannya. Lalu mereka ini menulis ayat Al-Quran atau hadits, sambil dijadikan sebagai dalil atas pendapat hukum yang diciptakannya sendiri. Tulisannya itu kemudian diposting di berbagai media, baik facebook, blog, twitter, dan seterusnya. Dia pikir, tentu akan dapat banyak pahala, karena sudah merasa menjalankan kewajiban berdakwah. Padahal, pekerjaan seperti ini seharusnya hanya orang-orang khusus dan ahli saja yang boleh melakukannya. Tetapi entah bagaimana ternyata tiap orang merasa berhak menjadi tukang dakwah dan tukang bikin fatwa. Padahal apa yang ditulisnya itu tidak jelas rujukannya, dari mana didapat dan bagaimana proses mendapatkannya, dia sendiri tidak bisa lagi menjelaskan, apalagi untuk mempertanggung-jawabkan. Tetapi memang itulah yang kita saksikan setiap hari. Beribu fatwa beredar dan bergentayang di jagad maya dari sumber yang tidak jelas, tidak jelas ilmunya dan juga tidak jelas keahliannya. Mirip benar dengan merebaknya iklan pengobatan alternatif, yang mengaku-ngaku punya ramuan obat yang bisa menyembuhkan semua penyakit hanya dalam sekali usapan. Dan dengan polosnya, kita lantas melakukan copy paste lalu orang lain melakukannya lagi, dan lagi, dan lagi. Bayangkan berapa banyak hal itu terjadi tiap hari di sekeliling kita. Saya sering sekali menggeleng-gelengkan kepala kalau lihat postingan orang-orang dalam masalah hukum agama. Saya perhatikan jati dirinya, tidak pernah kuliah agama, tidak pernah mengaji dalam arti menuntut ilmu dengan ilmu-ilmu yang mempuni, bahasa Arab tidak bisa, kitab-kitab syariah tidak bisa baca. Kok statusnya tiap hari terkait dengan masalah hukum-hukum syariah? Wah, orang ini pe-de sekali bikin postingan seperti itu. Belajar dimana, kapan, siapa gurunya, apa kitabnya, ilmu apa yang dipelajari, berapa lama? Semua kabur dan tidak jelas. Ternyata isi postingannya cuma copy paste dari terjemahan yang telah berkali-kali di copy berulang-ulang. Tetapi sebagai tukang taqlid (muqallid) mutlak, pembawaannya jauh melebihi mujtahid mutlak. Yang mujtahid betulan saja tidak gitu-gitu amat, ternyata yang bukan mujahid kelakuannya amat memalukan. Ijithad Hanya Boleh Dilakukan Oleh Ahlinya Padahal urusan ijtihad dan menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah bukan masalah sederhana. Coba renungkan, dari 124 ribu shahabat Nabi yang mulia, kita cintai dan bergelar radhiyallahunahum, ternyata tidak semua dari mereka sampai derajat mujtahid atau ahli ijtihad. Memang benar bahwa para shahabat Nabi rata-rata hafal banyak ayat Al-Quran. Tetapi shahabat dengan kualifikasi ahli ijtihad dan ahli syariah, ternyata bisa dihitung dengan jari. Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya, I’lam Al-Muwaqqi’in, menyebutkan bahwa jumlah para shahabat yang berkapasitas sebagai mutjahid hanya sekitar 130-an orang saja. Selebihnya? Selebihnya mereka adalah orang-orang mulia, banyak hafal ayat dan hadits nabawi, dapat gelar radhiyallahuanhum, tetapi memang tidak dikader oleh Rasulullah SAW sebagai mujtahid. Mengapa? Karena untuk jadi mujtahid itu bukan masalah gampang. Tidak mentang-mentang pernah ketemu Nabi, tiba-tiba langsung jadi mujtahid. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa dari 130-an shahabat Nabi yang mujtahid, masih bisa kita bagi lagi berdasarkan level mereka dan juga produk ijtihad yang mereka hasilnya. Ada yang jumlah ijtihadnya banyak, sedang dan sedikit. a. Al-Mukatstsirin Di antara mereka yang paling banyak hasil ijtihadnya ada tujuh orang, yaitu Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah Ummum Mukminin, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Al-Abbas, Abdullah bin Umar dan Zaid bin Tsabit ridhwanullahi ’alaihim ajma’in. b. Al-Mutawassithin Di antara mujtahid level menengah adalah Abu Bakar, Utsman bin Al-Affan, Ummu Salamah istri Nabi, Abu Said Al-Khudri, Muadz bin Jabal, Abu Musa Al-Asy’ari, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Al-Ash dan Abdullah bin Az-Zubair ridhwanullahi ’alaihim ajma’in. c. Al-Muqallilin Level ini disebut muqallilin karena jumlah hasil ijtihad mereka tidak terlalu banyak dibandingkan dua level di atasnya. Para shahabat yang termasuk dalam level ini antara lain Abu Ad-Darda’, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, An-Nu’man bin Basyir, Ubay bin Ka’ab, Abu Thalhah, Abu Dzar, Shafiyah, Hafsyah, Ummu Habibah dan lainnya ridhwanullahi ’alaihim ajma’in. Shahabat Nabi Ada Yang Belum Paham Syariah Bukan dengan maksud mengecilkan peran shahabat, tetapi hanya ingin menegaskan bahwa sebagian shahabat Nabi ada yang ahli fiqih, tetapi sebagiannya belum sampai ke derajat ahli fiqih. Meski level shahabat, tetapi kalau bukan ahli fiqih, bisa saja salah dalam berfatwa, dan kadang bisa fatal akibatnya. Jabir radhiyallahuanhu pernah meriwayatkan kepada kita tentang bagaimana fatwa seorang shahabat yang bukan ahlinya bisa mengakibatkan bencana. Simaklah kisah beliau : Kami dalam perjalanan tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum ?". Teman-temannya (para shahabat) menjawab"Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu bersabdalah beliau : "Mereka telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum ... (HR. Abu Daud, Ad-Daruquthuny). Data dari Ibnul Qayyim dan juga kisah tentang shahabat yang mati karena mandi janabah di atas sudah cukup buat kita untuk memahami duduk perkara, bahwa tidak semua orang boleh berfatwa, karena tidak setiap orang adalah mujtahid. Jadi tidak boleh kita yang awam ini main kutip ayat Al-Quran atau petikan hadits nabi, lalu berfatwa tentang ini dan itu. Jangankan kita yang awam, tidak bisa bahasa Arab, tidak pernah belajar agama secara serius, lha wong para shahabat Nabi saja, yang mereka itu orang Arab, tinggal di Mekkah dan Madinah bersama Nabi SAW, ketemu langsung dengan beliau SAW, cuma 130-an orang saja yang ahli syariah. Kalau cuma sekedar menjadi perawi hadits, banyak sekali jumlah para shahabat yang meriwayatkan. Karena jadi perawi hadits itu jauh lebih sederhana. Apa yang dia dengar dan lihat dari Nabi, itulah yang dia sampaikan. Titik dan selesai urusannya. Tetapi apa yang bisa disimpulkan dari yang didengar dan dilihat pada diri Nabi SAW, itu masalah lain yang harus dipelajari dengan cermat. Hanya para shahabat yang ahli ijtihad saja yang mampu dan sah untuk menarik kesimpulan hukum. Kalau level para shahabat Nabi saja belum tentu langsung menjadi ahli syariah, apalagi kita yang terpisah jarak dan waktu dengan Rasulullah SAW. Masak tiba-tiba merasa berhak jadi mujtahid dan ahli syariah? Mau dakwah? Silahkan, tetapi setidaknya-tidaknya belajar ilmu syariah dulu lah. Kenapa ngebet berdakwah tetapi tidak ngebet belajar syariah? Kenapa terbalik? Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |