![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Takbiratul Ihram di Pesawat Harus Menghadap Kiblat? |
PERTANYAAN Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh, Di pesawat tidak memungkinkan untuk saolat fardhu dengan berdiri, sehingga kita shalat dengan duduk dikursi. Bolehkah takbiratul ikhramnya dengan membalikkan badan ke arah kiblat setelah itu kita meneruskan shalat dengan kembali ke posisi duduk seperti semula. Jazakallah khair |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Seluruh ulama sepakat bahwa di antara syarat sah shalat adalah menghadap kiblat. Dan shalat yang tidak menghadap kiblat dianggap bukan shalat yang sah. Bahkan orang sakit sekalipun, tetap saja wajib menghadap kiblat, meski pun dia shalat sambil berbaring. Shalat Sunnah Tidak Harus Menghadap Kiblat Namun syarat menghadap kiblat ini ada pengecualiannya, yaitu ketika melakukan shalat sunnah. Rasulullah SAW diriwayatkan pernah beberapa kali melakukan shalat sunnah, tanpa menghadap ke arah kiblat. Beliau bahkan melakukan shalat sunnah itu di atas unta, dan menghadap kemana saja untanya menghadap. Tentu saja beliau juga tidak berdiri tegak, bahkan ruku' dan sujudnya pun tidak seperti biasanya. Cukup dengan membungkukkan badannya saja. Dan beliau SAW tidak pernah diriwayatkan melakukan shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' atau Shubuh di atas punggung unta. Kalau sedang di atas punggung unta, lalu masuk waktu shalat lima waktu, beliau SAW pun turun dan shalat secara normal dengan menghadap kiblat. Kenapa demikian? Karena shalat fardhu tidak sah dilakukan bila tidak menghadap kiblat. Berbeda dengan shalat sunnah, dimana para ulama umumnya sepakat bahwa shalat sunnah itu jauh berbeda hukum-hukumnya dari shalat fardu lima waktu. Salah satunya adalah keringanan boleh tidak menghadap kiblat. Shalat sunnah itu aturannya agak longgar, tidak seperti shalat fardhu lima waktu yang lebih ketat. Oleh karena itu, bahkan boleh saja seseorang shalat sunnah tanpa berdiri dan dengan sengaja dilakukan sambil duduk. Dalam shalat wajib, hukumnya tentu tidak sah bila dilakukan dengan duduk, kecuali bila dalam keadaan sakit. Tetapi khusus untuk shalat sunnah, tidak sakit dan tidak punya udzur syar'i pun boleh dilakukan dengan sambil duduk. Di Pesawat Tidak Bisa Turun Lalu bagaimana kalau kita naik pesawat, haruska kita turun dulu mendarat untuk mencari masjid biar bisa menghadap kiblat? Tentu tidak mungkin turun seenaknya, karena pesawat tidak bisa dengan mudah turun sembarangan dengan semaunya. Sehingga opsi turun dari kendaraan sebagaimana Rasululah SAW tidak dimungkinkan. Alternatif Pertama Alternatif pertama adalah hindari shalat di pesawat selagi masih memungkinkan. Caranya dengan memanfaatkan shalat jamak. Penerbangan dalam negeri biasanya tidak terlalu lama memakan waktu. Shalat Dzhuhur dan Ashar kalau masih mungkin dijamak jadi satu, silahkan dilakukan. Bisa dengan jamak taqdim atau jamak ta'khir, silahkan dipilih sesuai dengan kemungkinannya. Bahkan saya pernah terbang dari Jakarta ke Jeddah tanpa melakukan shalat di pesawat. Take off jam 10 pagi WIB dan mendarat di Bandara King Abdul Aziz jam 17.00 waktu setempat. Shalat Dzhuhur dan Ashar dikerjakan dengan jamak ta'khir di Jeddah. Alternatif ini adalah prioritas pertama. Alternatif Kedua Namun bila tidak bisa melakukan alternatif pertama dan terpaksa melewati beberapa waktu shalat di angkasa, alternatif kedua adalah shalat di pesawat. Tapi yang harus diperhatikan adalah bagaimana caranya agar kita bisa shalat di atas pesawat, tetapi tetap menghadap kiblat. Kalau bicara mungkin atau tidak mungkin, sebenarnya kembali kepada kretifitas kita. Anggap saja kita lagi kebelet dan terpaksa harus buang air besar. Maka dengan mudah kita melangkahkan kaki menuju toilet pesawat. Walau pun agak susah, tapi pada buang air sembarangan, tetap saja lebih baik buang air di toilet. Kalau untuk buang air besar yang mana gerakannya sungguh-sungguh sulit, karena kita harus buka celana di dalam toilet yang sempit itu bisa kita lakukan, maka sebenarnya melakukan gerakan shalat pun lebih mudah lagi. Sebab shalat itu tidak harus buka celana di tempat sempit. Shalat itu cuma berdiri, rukuk, sujud dan duduk. Hanya itu saja dan amat sangat mudah dilakukan di dalam pesawat. Di dunia ini ada berjuta muslim yang biasa terbang naik pesawat, dan mereka terbiasa mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna. Mereka berdiri tegak, rukuk, sujud, duduk dengan sempurna dan juga menghadap kiblat dengan sempurna juga. Salah satu dari berjuta muslim itu adalah saya sendiri, yang sudah puluhan kali bolak balik naik pesawat. Saya bisa shalat dengan sempurna di pesawat, tanpa harus cari-cari alasan tidak bisa, tidak diizinkan awak pesawat, tidak mungkin dan sejuta tidak-tidak yang lain. Alternatif Ketiga Katakanlah misalnya kita menghadapi situasi yang amat gawat. Misalnya seluruh awak pesawat kafir semua dan melarang kita shalat sambil berdiri, ruku' dan sujud. Diumumkan ancaman bahwa siapa yang melawan dan nekat shalat sambil berdiri menghadap kiblat akan dihukum dengan cara dilempar keluar pesawat. Barulah saat itu kita boleh bilang bahwa hukumnya sudah darurat. Dengan sangat terpaksa kita tidak bisa melakukan shalat dengan memenuhi syaratnya. Sebab taruhannya bukan main-main, tetapi nyawa yang jai taruhannya. Maka dalam kondisi seperti ini, para ulama terpecah menjadi empat pendapat. 1. Shalat Sejadi-jadinya Tapi Nanti Diganti Kenapa harus diganti? Karena shalat sejadi-jadinya itu sebenarnya tidak sah. Hal itu karena shalat itu tidak menghadap kiblat, padahal shalat itu bukan shalat sunnah. Bahkan juga tidak berdiri, rukuk, sujud yang benar. Jelas shalat sejadi-jadinya itu bukan shalat dan belum menggugurkan kewajiban shalat. Maka shalat itu harus diganti nanti begitu sudah memungkinkan untuk dilakukan. Lalu shalat sejadi-jadinya itu sekedar menghormati waktu shalat saja, biar tidak terkesan sengaja meninggalkan shalat. 2. Shalat Sejadi-jadinya Tidak Perlu Diganti Pendapat kedua mirip pendapat pertama, cuma bedanya tidak perlu diganti shalatnya. Kenapa? Karena dalam pandangan mereka, shalat itu sudah sah. Maka tidak perlu ada penggantian shalat di lain waktu. Dan untuk itu mereka mengemukakan dua alasan utama, a. Qiyas Dalam hal ini mereka melakukan qiyas antara shalat sunnah dengan shalat fardhu. Kalau dalam shalat sunnah dibolehkan kita shalat tanpa menghadap kiblat, maka kebolehan ini diqiyaskan kepada hukum shalat wajib. Dengan kata lain, mereka tidak membeda-bedakan antara ketentuan shalat sunnah dengan shalat wajib. Keduanya dianggap sama dan sederajat. Apa-apa yang dibolehkan dalam shalat sunnah, berarti juga dibolehkan untuk dilakukan dalam shalat fardhu. b. Darurat Mereka memang mengakui bahwa shalat Nabi SAW itu shalat di atas punggung unta itu hanya shalat sunnah. Tetapi karena kondisinya darurat, maka apa-apa yang hukum asalnya tidak sah bisa menjadi sah karena darurat. 3. Tidak Shalat Tapi Nanti Diganti Pendapat ketiga cenderung untuk meninggalkan shalat secara mutlak. Dan hal itu dianggap tidak berdosa, sebagaimana orang boleh tidak shalat ketika tidak ada air untuk wudhu atau tanah untuk tayammum. Dalam kasus ini, mereka berpendapat bahwa kewajiban shalat untuk saat itu telah gugur. Namun begitu mendarat dan dimungkin shalat dengan benar, kewajiban shalat itu kembali lagi dari gugurnya. Maka shalat yang ditinggalkan ketika di pesawat itu pun harus diganti. 4. Tidak Shalat dan Tidak Diganti Pendapat keempat ini diqiyaskan dari konteks seorang yang tidak mendapatkan air untuk wudhu atau tanah untuk taymmum. Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang kehilangan dua sarana bersuci ini maka kewajiban shalat atasnya menjadi gugur. Pendapat keempat ini boleh jadi pendapat yang paling banyak digunakan orang-orang. Sudah di pesawat tidak shalat, ketika tiba dan dimungkinkan untuk shalat, ternyata tidak diganti dan tetap saja tidak shalat. Pilihan yang keempat ini adalah pilihan yang paling banyak diambil orang. Jangan-jangan tidak dalam perjalanan pun pada dasarnya memang kurang rajin shalat. Apalagi bepergian, makin malas saja untuk mengerjakan shalat. Jadi yang bisa saya lakukan bukan memilihkan untuk Anda, tetapi sekedar memberikan pilihan-pilihan. Sebab para ulama sudah berbeda pendapat sejak awal. Saya tidak ingin Anda merasa dipaksa untuk mengambil pilihan. Pilihan itu ada di tangan Anda. Yang manapun dari pilihan-pilihan di atas, kita tidak bisa menyalahkannya. Tetapi kalau sekedar saran yang tidak mengikat, silakan pilih yang pertama. Alasannya, karena lebih aman dari semua sisinya. Itu saja. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |