![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Pulang Pergi Jakarta Bogor, Bolehkah Menjama' Shalat? |
PERTANYAAN Assalamu'alaikum wr. wb. Pak ustadz, jarak Bogor-Jakarta kira-kira kurang dari 88 km. Saya pernah sedang buru-buru, berangkat dari Bogor jam 5-an ke Jakarta untuk keperluan ambil surat dan langsung balik lagi ke Bogor. Kalau dihitung jarak pulang pergi ini kira-kira jadi lebih 88 km. Dalam kasus ini bolehkah saya menjamak Maghrib-Isya? Karena keperluan saya di Jakarta sangat sebentar (hanya mengambil surat) dan langsung balik lagi, ataukah harus berhenti dulu sebentar di Jakarta untuk Maghrib? Terima kasih. Wassalamu'alaikum wr. wb. |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Kebolehan menjama' shalat sebenarnya bukan semata-mata hanya karena perjalanan (safar). Namun ada beberapa faktor lain yang juga membolehkan jama' seperti hujan, perang, keadaan darurat dan seterusnya. Namun jangan pula diartikan bahwa berarti sedikit-sedikit kita boleh menjama' seenaknya, tanpa ada dasar syariahnya. Tentu sikap ini juga keliru dan fatal akibatnya, karena kita menciptakan bid'ah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah SAW. Tidaklah Rasulullah SAW menjama' shalat kecuali memang ada alasan syar'inya. Safar Sebagai Salah Satu Alasan Kebolehan Menjama' Shalat Safar atau perjalanan memang salah satu hal yang membolehkan kita untuk menjama' shalat. Namun ada syarat yang harus dipenuhi agar safar itu punya kekuatan syariah. Tidak boleh seseorang mengklaim dirinya sebagai musafir, lalu mengambil keringanan seenaknya sendiri. Kriteria yang ketiga dari sebuah safar adalah adanya jarak minimal yang harus ditempuh dari wilayah tempat tinggalnya hingga ke tempat tujuannya. Tidak semua safar membolehkan kita untuk mengqashar shalat. Hanya safar dengan kriteria tertentu saja yang membolehkan kita mengqasharnya. Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjama' shalat dilihat dari segi batas minimal jarak perjalanan. a. Jumhur Ulama Jumhur ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat bahwa minimal berjarak empat burud. Dasar ketentuan minimal empat burud ini ada banyak, di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini : يَاأَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا فيِ أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلىَ عُسْفَان Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan". (HR. Ad-Daruquthuny) Selain dalil hadits di atas, dasar dari jarak minimal 4 burud adalah apa yang selalu dilakukan oleh dua ulama besar dari kalangan shahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. Mereka berdua tidak pernah mengqashar shalat kecuali bila perjalanan itu berjarak minimal 4 burud. Dan tidak ada yang menentang hal itu dari para shahabat yang lain. Dalil lainnya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Atsram, bahwa Abu Abdillah ditanya, "Dalam jarak berapa Anda mengqashar shalat?". Beliau menjawab,"Empat burud". Ditanya lagi,"Apakah itu sama dengan jarak perjalanan sehari penuh?". Beliau menjawab,"Tidak, tapi empat burud atau 16 farsakh, yaitu sejauh perjalanan dua hari". Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km . Meski jarak itu bisa ditempuh hanya dengan satu jam naik pesawat terbang, tetap dianggap telah memenuhi syarat perjalanan. Karena yang dijadikan dasar bukan lagi hari atau waktu, melainkan jarak tempuh. Tapi yang paling penting untuk diketahui, bahwa jarak ini tidak diukur untuk pergi dan pulangnya. Jarak ini untuk jarak tempuh perginya saja. Sedangkan bila anda sampai di tujuan langsung pulang lagi, maka jarak pulangnya ini tidak bisa ditambahkan dengan jarak perginya. Maka kalau anda ingin diperbolehkan menjama' shalat dari Bogor ke Jakarta, perjalanan anda harus ditambahi lagi hingga mencapai 89 km. Jadi begitu sampai di Jakarta, teruskan perjalan anda tapi bukan perjalanan pulang. Anda boleh ke barat yaitu ke Tangerang atau ke timur yaitu ke Bekasi atau ke utara yaitu ke Kepulauan Seribu. Begitu jarak minimalnya sudah terlampaui, anda boleh berhenti atau pulang. Dan anda sudah boleh menjama' dua shalat. Kalau perjalanan anda tidak sampai menempuh jarak minimal itu, maka anda harus shalat Maghrib pada waktunya. Kalau kebetulan saat Maghrib anda ada di Jakarta, wajib shalat Maghrib dulu. Dan itu hanya lima menit saja. b. Dua Hari Perjalanan Dan semua ulama sepakat bahwa meski pun disebut masa perjalanan dua hari, namun yang dijadikan hitungan sama sekali bukan masa tempuh. Tetapi yang dijadikan hitungan adalah jarak yang bisa ditempuh di masa itu selama dua hari perjalanan. Pertanyannya, kalau memang yang dimaksud dengan jarak disini bukan waktu tempuh dua hari, lalu mengapa dalilnya malah menyebutkan waktu dan bukan jarak. Jawabnya karena di masa Rasulullah SAW dan beberapa tahun sesudahnya, orang-orang terbiasa menyebutkan jarak antar satu negeri dengan negeri lainnya dengan hitungan waktu tempuh, bukan dengan skala kilometer atau mil. Di masa sekarang ini, kita masih menemukan masyarakat yang menyebut jarak antar kota dengan hitungan waktu. Salah satunya di Jepang yang sangat maju teknologi perkereta-apiannya. Disana orang-oran terbiasa menyebut jarak satu kota dengan kota lainnya dengan hitungan jam. Maksudnya tentu bukan dengan jalan kaki melainkan dengan naik kereta cepat Sinkansen. Sedangkan perjalanan dua hari di masa Rasulullah SAW tentunya dihitung dengan berjalan kaki dengan langkah yang biasanya. Meski pun naik kuda atau unta, sebenarnya relatif masa tempuhnya kurang lebih sama. Karena kuda atau unta bila berjalan di padang pasir tentu tidak berlari, sebab tenaganya akan cepat habis. Perjalanan antar negeri di masa itu yang dihitung hanya perjalanan siang saja, sedangkan malam hari tidak dihitung, karena biasanya malam hari para khafilah yang melintasi padang pasir beristirahat. Masa tempuh seperti ini kalau dikonversikan dengan jarah temput sebanding dengan jarak 24 mil. Dan sebanding pula dengan jarak 4 burud, juga sebanding dengan 16 farsakh. Jarak ini juga sama dengan 48 mil hasyimi. c. Jarak 3 Hari Perjalanan Abu Hanifah dan para ulama Kufah mengatakan minimal jarak safar yang membolehkan qashar itu adalah bila jaraknya minimal sejauh perjalanan tiga hari, baik perjalanan itu ditempuh dengan menunggang unta atau berjalan kaki, keduanya relatif sama. Dan tidak disyaratkan perjalanan itu siang dan malam, tetapi cukup sejak pagi hingga zawal di siang hari. Safar selama tiga hari ini kira-kira sebanding dengan safar sejauh 3 marhalah. Karena kebiasaannya seseorang melakukan safar sehari menempuh satu marhalah. Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW, dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari. يَمْسَحُ المُقِيْمُ كَمَالَ يَوْمِ وَلَيْلَةٍ وَالمَسَافِرُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيْهَا Orang yang muqim mengusap sepatu dalam jangka waktu sehari semalam, sedangkan orang yang safar mengusap sepatu dalam jangka waktu tiga hari tiga malam. (HR. Ibnu Abi Syaibah) Demikian juga ketika Rasulullah SAW menyebutkan tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama 3 hari. لاَ يَحِل لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ Dari Ibnu Umar radhiyallhuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh 3 malam kecuali bersama mahram". (HR. Muslim) Menurut mazhab Al-Hanafiyah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari. Kalau kita konversikan jarak perjalanan tiga hari, maka hitungannya adalah sekitar 135 Km. 2. Beberapa Rute Jalan Berbeda Jarak Lepas dari perbedaan para fuqaha tentang jarak safar, muncul kemudian permasalahan baru, yaitu bagaimana bila untuk mencapai tujuan ternyata ada beberapa jalan yang ukuran jaraknya berbeda. Manakah yang kita gunakan, apakah menggunakan jarak terpendek ataukah jarak terjauh? Dalam hal ini umumnya para ulama mengatakan bahwa yang digunakan bukan jarak terdekat atau jarak terjauh. Yang digunakan adalah rute yang dipilih. Maksudnya, bila seseorang berjalan menggunakan rute pertama, yang jaraknya telah memenuhi batas jarak minimal, maka dia terhitung musafir dan mendapatkan fasilitas seperti kebolehan berbuka puasa, menqashar shalat dan sebagainya. Sebaliknya, bila rute yang dia tempuh ternyata tidak mencukupi jarak minimal safar, maka dia tidak atau belum lagi berstatus musafir. Sehingga tidak mendapatkan fasilitas keringan dalam hukum syariah. Abu Hanifah mengatakan yang digunakan adalah jarak terjauh. Misalnya ada dua rute, rute pertama membutuhkan waktu 3 hari perjalanan, sedangkan rute kedua membutuhkan hanya 1 hari perjalanan, maka yang dianggap adalah yang terjauh. Maka dalam urusan qashar shalat, jarak itu sudah membolehkan qashar. Jarak Jakarta - Puncak Dan apa yang telah dibahas para ulama di masa lalu nampaknya menjadi solusi di masa sekarang. Di tahun 70-an, sebelum ada jalan TOL Jakarta Bogor Ciawi (Jagorawi), penduduk Jakarta menghitung bahwa antara kota Jakarta dan Puncak Pass berjarak 90 km. Tetapi sekarang dengan lewat jalan tol, jarak itu berubah hanya 70-an km saja. Demikian juga dengan jarak antara Jakarta dan Bandung. Kalau di masa lalu jaraknya 180-an km, maka sekarang jaraknya hanya tinggal 120-an km. Ternyata perbedaan-perbedaan itu terjadi karena ada perbedaan rute di masa lalu dan di masa sekarang. Dahulu orang kalau mau ke Puncak harus lewat jalan Bogor Lama, lewat kota Bogor lalu Ciawi. Tetapi sekarang dari Jakarta ke Puncak sama sekali tidak lewat Bogor atau Ciawi, tetapi langsung memotong jalur. Begitu juga dengan rute Jakarta ke Bandung, dahulu harus lewat Bogor dan Ciawi bahkan lewat Sukabumi. Tetapi sekarang lewat jalan tol Cikampek ternyata rutenya menjadi jauh lebih singkat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |