Jilid : 4 Juz : 2 | Al-Baqarah : 247
Al-Baqarah 2 : 247
Mushaf Madinah | hal. 40 | Mushaf Kemenag RI

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Kemenag RI 2019 : Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana (mungkin) dia memperoleh kerajaan (kekuasaan) atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) menjawab, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik.” Allah menganugerahkan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (kekuasaan dan rezeki-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Prof. Quraish Shihab : Nabi mereka mengatakan pada mereka: “Sesungguhnya Allah benar-benar telah mengutus untuk kamu Thalut menjadi raja.” Mereka menjawab: “Bagaimana (mungkin) dia memunyai wewenang memerintah kami padahal kami lebih berhak (mengendalikan) pemerintahan daripadanya, sedangkan dia (pun) tidak diberi kelapangan dalam harta?” (Nabi mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilihnya atas kamu dan melebihkan untuknya keluasan dalam ilmu dan (keperkasaan) jasmani.” Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas (kekuasaan, keagungan dan rezeki-Nya), lagi Maha Mengetahui.
Prof. HAMKA : Dan berkatalah kepada mereka nabi mereka itu, "Sesungguhnya, Allah telah melantik untuk kamu Thalut menjadi raja." Mereka ber· kata, "Adakah patut dia berkuasa atas kami, padahal kami lebih berhak dengan kekuasaan itu daripadanya. Sedang dia tidak diberi kemampuan dan harta." Berkata dia, "Sesungguhnya, Allah telah memilih dia atas kamu dan telah melebihkannya keluasan daripada pengetahuan dan tubuh." Dan Allah memberikan kerajaan-Nya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah adalah Mahaluas, lagi Mengetahui.

Ayat ke-347 ini masih sambungan dari ayat sebelumnya yang membicarakan tentang keinginan Bani Israil punya raja dan bisa berperang. Kejadiannya setelah masa kenabian Musa atau menjelang kedatangan masa kenabian Daud alaihimassalam.

Khususnya dalam ayat ini Allah SWT telah menerima permintaan mereka agar diberikan seorang raja yang mampu menyatukan seluruh Bani Israil demi untuk membentuk kerajaan sekaligus juga bisa berperang melawan musuh-musuh yang selama ini menindas mereka.

Hanya saja apa yang dikhawatirkan oleh nabi mereka bahwa mereka tidak mau berperang memang terjadi, bahkan sebelum itu pun juga belum apa-apa ternyata mereka pun sudah menolak duluan. Ketika permintaan mereka untuk diberikan raja sudah ditetapkan oleh Allah SWT, itupun sudah mereka pertanyakan.  

Di ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa syarat untuk menjadi raja atau pemimpin itu bukan faktor keturunan, bukan dinasti dan bukan darah biru. Yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpim itu kemampuannya, yaitu dari segi ilmu dan tenaga.  

Lafah wa qaala lahum nabiyyuhum (وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ) artinya : “dan nabi mereka berkata kepada mereka”. Yang dimaksud dengan mereka dalam hal ini adalah Bani Israil, yang sebelumnya datang meminta agar diberikan kepada mereka seorang raja.

Yang didatangi adalah Nabi Samuel, maka yang menjawab juga Nabi Samuel. Ini adalah pendapat yang Penulis pilih karena yang paling kuat dalam pandangan Penulis. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa nabi itu adalah Yusya' bin Nun adalah pandangan yang kurang sejalan dengan fakta sejarah.

Hanya saja tidak dijelaskan apakah jawaban itu langsung diberikan atau berselang selama berapa waktu. Sebab kalau kita simak ayat sebelum ini, yaitu ayat ke-246, seakan jawaban dari Nabi Samuel itu kurang meyakinkan dan terasa seperti penolakan. Sebab nabi itu tidak menjanjikan apa-apa terkait permintaan mereka kepada Allah. Alih-alih memberi harapan, jawabannya justru pesimis dan agak sinis. Malah dikembalikan lagi kepada mereka yang minta, apakah nanti kalau sudah punya raja sendiri, kalian mau berperang?

Maka kalau tiba-tiba di ayat ini sang nabi memberikan informasi tentang adanya raja dengan ciri-ciri seperti ini dan itu, kita tentu bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba langsung memberi informasi adanya raja.

Apakah ini karena doa sang nabi ataukah ini memang kehendak Allah SWT. Sama sekali tidak ada informasi yang bisa kita dapat kalau hanya membaca ayat ini saja.

Lafazh innallah (إِنَّ اللَّهَ) artinya : Sesungguhnya Allah. Lafazh qad ba’atsa (قَدْ بَعَثَ) adalah fi’il madhi dari asalnya (بَعَثَ – يُبْعِثُ - إِبْعَاثًا) artinya telah membangkitkan. Sebenarnya selain istilah ba’atsa (بَعَثَ) ada juga istilah arsala (أَرْسَلَ) yang artinya sama yaitu mengutus. Misalnya ayat berikut ini :

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra : 15)

Namun kata ba’atsa (بَعَثَ) nampaknya punya makna lebih luas, tidak terbatas digunakan untuk mengutus nabi dan rasul, tetapi juga bermakna : membangkitkan. Dan ayat ini menggunakan kata ba’atsa ini untuk membahasakan kebangkitan seorang raja (the rise of King Thalut).

Bahkan ba’atsa juga bisa digunakan untuk bangkitnya orang mati dari kubur atau orang sedang tidur kemudian dibangunkan. Kedua contohnya ada di dalam Al-Quran. Nanti setelah kiamat, semua manusia akan dibangkitkan dari kematiannya, Allah SWT menggunakan lafazh ba’atsnakum :

ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah : 56)

Para pemuda ashabul kahfi yang ditidurkan selama 300 tahun ditambah 9 tahun pada akhirnya Allah SWT bangunkan dari tidur panjang mereka. Dalam surat Al-Kahfi Allah SWT menggunakan lafazh ba’atsnahum.

ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا

Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu). (QS. Al-Kahfi : 12)

Namun makna ba’atsa (بَعَثَ) bisa juga digunakan untuk makna  ‘mewakili’ dari masing-masing pihak yang bersengketa, seperti yang disebutkan dalam ayat berikut ini :

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (QS. An-Nisa : 35)

Kadang Allah juga menggunakannya untuk mengirim burung untuk menggali kuburan buat lawannya yang mati.

فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ

Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. (QS. Al-Maidah : 31)

Fi’il madhi ini  diawali dengan qad (قَدْ) yang fungsinya memberi ta’kid atau penguatan.  artinya telah membangkitkan. Makna lakum (لَكُمْ) untuk kalian. Sehingga makna lengkapnya menjadi : “Sesungguhnya Allah SWT benar-benar telah mengutus untukmu".

Lafazh thalut (طَالُوتَ) adalah nama sang raja. Nama ini pastinya bukan nama arab, sehingga tidak bisa berubah bentuk katanya seperti layaknya kata-kata dalam bahasa Arab.

Meskipun terkadang ada juga para ahli bahasa yang mengarabkan kata thalut ini sehingga diperlakukan seperti layaknya bahasa Arab, kemudian dijama’-kan berubah menjadi thawalit (طواليت).

Kemudian ada juga yang mencoba menghubung-hubungkan dengan makna kata thalut ini dalam bahasa Arab, yaitu thawil (طَوِيل) alias panjang. Konon secara fisik memang orangnya tinggi melebihi tinggi rata-rata orang lain yang sejenis.

Dan makna malikan (مَلِكًا) artinya sebagai seorang raja. Dalam hal ini Bani Israil sudah lama mendambakan punya raja dan kerajaan sendiri dimana mereka bisa hidup merdeka, bersatu dan berdaulat. Selama ini mereka hidup secara sporadis, terpisah dan  terserak-serak di berbagai peradaban. Parahnya di semua tempat itu mereka hanya menjadi pesakitan. Di Mesir selama 500-an tahun mereka hanya dijadikan budak. Setelah dibebaskan oleh Nabi Musa berhasil menyeberangi Laut Merah,  kembali ke tanah Kan’an pun mereka tidak diterima dan malah mendapatkan mala petaka.

Wajar apabila Bani Israil mendambakan agar bisa bersatu di bahah seorang raja yang kuat dan bisa menyatukan mereka di bawah garis komando dan kesatuan seluruh anak keturunan Bani Israil.

Dari sanalah mereka kemudian meminta kepada salah seorang nabi mereka agar Allah SWT bangkitkan raja di tengah mereka. Selama ini yang dibangkitkan hanya nabi dan nabi saja, sedangkan raja tidak pernah dilahirkan di tengah mereka.

Ibnu Abbas berkata tentang semua nabi adalah Bani Israil, kecuali 10 nabi saja yang bukan termasuk bagian mereka, yaitu :

كُلُّ الأَنْبِيَاءِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ إِلاَّ عَشْرَةً : نُوحٌ وَ هُود وَ صَالِحٌ وَ شُعَيْبٌ وَ لُوطٌ وَ إِبْرَاهِيمُ وَ إِسْمَاعِيْلُ وَ إِسْحَقُ وَ يَعْقُوبُ وَمحمدٌ -صلواتُ اللهِ عليهم أجمعين

Semua nabi termasuk ke dalam Bani Israil, kecuali sepuluh orang, yaitu [1] Nuh, [2] Hud, [3] Shalih, [4] Syu’aib, [5] Luth, [6] Ibrahim, [7] Ismail, [8] Ishak, [9] Ya’qub, dan ]10] Muhammad SAW. (HR. At-Tabarani)[1]

Hadits ini selain diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak[2], serta oleh Abu Bakar Al-Baihaqi dalam kitanya Syu’ab Al-Iman. [3]

Yang menarik dari hadits ini bahwa mereka semua memang hidup di masa sebelum adanya Bani Israil. Sebab yang disebut sebagai Israil adalah Nabi Ya’qub sendiri. Bahkan dalam hadits ini Nabi Ya’qub tidak termasuk Bani Israil, karena Beliau sendiri adalah Israil. 

 

[1] At-Thabarani (w. 360 H), Al-Mu’jam Al-Kabir, (Cairo, Maktabah Ibnu Taimiyah, Cet. 2, tanpa tahun), jilid 11 hal. 276

[2] Al-Hakim (w. 405 H), Al-Mustadrak 'ala Ash-Shahihain, (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1 1411 H - 1990 M), jilid 2 hal. 405

[3] Abu Bakar Al-Baihaqi (w. 458 H), Syu’ab Al-Iman, (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1 1421 H - 2000 M), jilid 1 hal. 150

Lafazh qaaluu (قَالُوا) artinya mereka berkata, yaitu para pemuka Bani Israil. Maksudnya mereka berkata dalam rangka menolak apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan disampaikan oleh nabi mereka tentang siapakah sosok yang ditetapkan untuk menjadi raja di tengah mereka.

Lafazh annaa yakunu lahu (أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ) diartikan menjadi : “bagaimana mungkin dia bisa memiliki?”. Lafazh al-mulku alaina (الْمُلْكُ عَلَيْنَا) artinya : kerajaan atas kami.

Memang kalau diterjemahkan secara harfiyah dan kata per kata menjadi agak janggal. Kalau mau lebih dihaluskan lagi, mungkin bisa saja diterjemahkan secara bebas menjadi : “Bagaimana mungkin dia jadi raja di tengah kita”.

Secara rasa bahasa, pertanyaan semacam ini tidak bisa diterjemahkan kecuali merupakan penolakan tegas atas ditetapkannya Thalut sebagai raja di tengah mereka. Tentu ini adalah sebuah fakta bagaimana bentuk pembangkangan mereka kepada Allah SWT. Mereka yang minta diberikan raja, tetapi begitu rajanya diberikan, mereka sendiri yang menolaknya.

Lafazh nahnu (نَحْنُ) artinya : kami, sedangkan kata ahaqqu  bil mulki minhu (أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ) artinya : “lebih berhak menjadi raja dibandingkan dia.”

Yang mereka maksud bahwa mereka merasa lebih berhak untuk menjadi raja karena yang merupakan keturunan para raja adalah dari jalur mereka, yaitu anak cucu keturunan dari Yahudza, anak pertama dari NabiYa’qub alahissalam.

Nantinya di masa depan, raja Daud dan raja Sulaiman itu juga dari jalur anak keturunan Yahudza bin Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim alaihimussalam.

Sedangkan yang menjadi nabi dari Bani Israil hanya dari jalur Lawi, yaitu salah satu anak Nabi Ya’qub. Nabi Musa dan Harun itu dari keturunan Lawi bin Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim alaihimussalam.

Memang sangat bisa dimaklumi kalau secara tradisi di masa itu, yang boleh menjadi raja hanya dari keturunan tertentu, semua pasti dikaitkan dengan darah dan keturunan. Hanya mereka yang masih dalam garis blood-line saja yang berhak menjadi raja.

Dan sebenarnya kalau kita perhatikan, bahkan di masa sekarang ini pun untuk menjadi raja masih berlaku hal yang sama. Hanya keturunan raja saja yang berhak untuk menjadi raja.

Walaupun di masa sekarang ini raja itu sudah bukan raja dengan segala kekuasaannya. Raja-raja di masa sekarang hanya sekedar simbol saja, pada dasarnya tidak ada raja di hari ini yang benar-benar punya kekuasaan sebagaimana raja yang sesungguhnya di masa lalu.

Lafazh lam yu’ta (لَمْ يُؤْتَ) artinya : dia tidak diberikan, lafazh sa’atan (سَعَةً) artinya keluasan. Dan lafazh minal mal (مِنَ الْمَالِ) artinya dari harta kekayaan.

Ini adalah argumentasi kedua sebagai alasan utnuk menolak  ditetapkannya Thalut sebagai raja, yaitu alasannya karena dia tidak diberikan kelimpahan harta, yang menunjukkan bahwa dia miskin.

Sedangkan semiskin apa seorang Thalut itu, para ulama berbeda pendapat. Wahab berkata, dia adalah seorang pengepul kulit hewan. Al-Suddi berkata, dia adalah seorang pengejar. Dan yang lainnya mengatakan dia adalah seorang tukang air.

Yang dimaksud dengan pengejar adalah terjemahan bebas dari  istilah "مكاريا" (makariya) dapat merujuk kepada seseorang yang melakukan pengejaran atau pekerjaan yang berkaitan dengan mengejar atau menangkap sesuatu. Istilah ini bisa mengacu pada pekerjaan seperti penangkap hewan, pengejar burung, atau pekerjaan serupa yang melibatkan aktivitas mengejar atau menangkap sesuatu.

Dua Syarat Untuk Menjadi Raja

Melihat sekilas dialog kaum yahudi dengan nabi mereka, nampaknya yang mereka jadikan pedoman terkait syarat menjadi raja ada dua. Pertama, harus punya garis keturunan raja. Kedua, atau setidaknya dia harus punya harta alias orang kaya.

Di zaman modern yang sudah menggunakan prinsip demokrasi sekarang ini, ternyata dua prinsip itu sedikit banyak masih digunakan orang, walaupun tidak bisa secara otomatis jadi penguasa dan ahrus lewat proses pemilihan, baik pilkada atau pemilu.

Namun kita saksikan dimana-mana bermunculan politik dinasti,  dimana anggota keluarga dari seorang penguasa banyak yang juga akhirnya terjun ke dunia politik dan ikutan menjadi penguasa.

Begitu juga terkait dengan syarat kedua, bahwa menjadi penguasa itu harus punya harta yang banyak. Di alam demokrasi hari ini ternyata syarat seperti itu masih berlaku secara nyata. Kalau mau jadi lurah atau kepala desa, harus siapkan dana sekian ratus juta. Naik menjadi camat, bupati dan gubernur, naik lain jumlah uang yang dibutuhkan. Semakin ke atas semakin besar modal uang yang harus dikeluarkan.

Bagaimana untuk jadi presiden dan wakil? Biayanya tentu teramat besar.

Menjadi wakil rakyat pun sama saja, dibutuhkan modal kapita yang tidak kecil. Harga yang harus disiapkan untuk menjadi anggota DPR tingkat dua kabupaten tentu tidak sama dengan modal untuk menjadi anggota DPR daerah tingkat satu profinsi. Dan untuk menjadi anggota DPR Pusat tentu lebih mahal lagi biayanya.

Walaupun secara formal hal-hal seperti itu banyak tidak diakui, tetapi secara praktek tetap nyata ada. Di masa modern zaman demokrasi ini, ternyata politik dinasti dan money politic itu tetap masih menjadi tulang punggung demokrasi.

Sementara sejak ribuan tahun yang lalu, Al-Quran sudah menceritakan adanya kecenderungan politik dinasti dan money politik ini, lewat dialog Bani Israil dengan nabi mereka.

Lafazh innalllah (إِنَّ اللَّهَ) artinya : sesungguhnya Allah. Lafazh ishthafa-hu (اصْطَفَاهُ) artinya : Allah memilihkan dia, yaitu Thalut. Sedangkan alaikum (عَلَيْكُمْ) artinya untuk kamu.

Dalam hal ini maksudnya bahwa Thalut itu menjadi raja bukan karena kehendak nabi Samuel, juga bukan atas kehendak rakyat Bani Israil, tetapi atas kehendak Allah SWT.

Memang kisah ini terjadi di masa para nabi dan rasul masih banyak turun dan membawa risalah samawi. Mereka bukan hanya mengatur masalah ritual peribadatan, tetapi termasuk juga mengatur urusan siapa yang harus menjadi raja.

Berbeda dengan zaman dimana kita hidup, dimana urusan siapa yang menjadi raja, tidak ada wahyu turun dari langit untuk langsung menentukan.

Bahkan ketika Nabi SAW wafat di usia 63 tahun, wahyu dari langit pun terhenti, sehingga untuk menentukan siapa yang harus menggantikan peran nabi sebagai pemimpin umat, sama sekali tidak ada petunjuk yang sifatnya secara langsung. Kalau pun Abu Bakar akhirnya menjadi pengganti Nabi SAW, itu hasil ijithad bersama para shahabat senior di masa itu.

Memang mereka berusaha mencari-cari pembenaran atas hasil pilihan mereka, misalnya bahwa Abu Bakar lah yang diminta oleh Nabi SAW untuk menggantikannya mengimami shalat berjamaah di masjid Nabawi ketika Nabi SAW sudah dalam keadaan kurang sehat.

Sebagian orientalis dengan pandangan penuh kebencian dan curiga kemudian mengatakan bahwa agama Islam adalah agama dinasti dan nepotisme, karena yang meneruskan kekuasaan ternyata masih keluarga semua. Empat orang khalifah penerus nabi yang disebut sebagai al-khulafa’ ar-rasyidun ternyata masih berstatus mertua dan menantu Nabi SAW. Abu Bakar dan Umar adalah mertua, sedangkan Utsman dan Ali bin abi Thalib, keduanya adalah sama-sama menantunya.

Memang demikian lah faktanya, tidak bisa ditampik. Walaupun kalau menurut kita, keempat khalifah itu naik menjadi penguasa bukan semata karena disebabkan hubungan mushaharah dengan Nabi SAW, melainkan karena kemampuan mereka dalam menguasai hukum-hukum agama dan syariah.

Ketika Allah SWT menetapkan bahwa yang menjadi raja di antara mereak itu adalah Thalut, dasarnya karena memang itu adalah penetapan dari Allah SWT sendiri. Allah SWT adalah Tuhan yang Maha berkehendak. Dia bebas berkehendak menentukan apa saja yang menjadi kemauannya. Tuhan tidak diharuskan punya hujjah atau argumentasi atas segala tindakannya.

Namun demikian, ternyata Allah SWT tetap menyebutkan alasan-alasan logisnya, kenapa Thalut itu berhak jadi pemimpin mereka, yaitu karena dia diberikan keluasan ilmu dan juga fisik.

Ungkapannya adalah zaadahu basthatan (وَزَادَهُ بَسْطَةً) artinya : “Allah menambahinya dengan keluasan”. Kata basthah (بَسْطَة) itu bermakna luas, sebagaimana firman Allah SWT :

وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ

Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki). (QS. Al-Baqarah 245)

Dalam hal ini keluasan yang diberikan itu ada dua, yaitu keluasan dalam ilmu pengetahan dan keluasan dalam hal fisik.

1. Keluasan Ilmu

Ilmu yang dimiliki oleh Thalut itu bukan hanya satu dua ilmu, melainkan dia punya keluasan yang cukup dalam hal ilmu pengetahuan. Bukan hanya dalam bidang ilmu agama, tetapi dalam ilmu umum pun demikian juga. Dan karena menguasai ilmu itulah Thalut dijadikan nabi oleh Allah SWT.

2. Keluasan Fisik

Digambarkan Thalut itu seorang fisiknya sangat kuat. Bahkan sebagian ada yang mengatakan bahwa dia dinamakan Thalut karena tubuhnya tinggi, dari kata thawil (طويل).

Lafazh yu’ti mulkahu (يُؤْتِي مُلْكَهُ) artinya memberikan atau mendatangkan kerajaannya, sedangkan man yasya’ (مَنْ يَشَاءُ) artinya kepada siapa saja.

Maksudnya Allah SWT tidak menjadikan garis keturunan sebagai dasar syarat seseorang menjadi raja, juga bukan karena kepemilikan atas sejumlah harta. Tetapi syaratnya ada dua. Pertama yaitu punya ilmu pengetahuan yang luas. Kedua, punya kekuatan fisik untuk mengamalkan ilmunya itu.

Kalau hanya ilmu saja tapi tidak punya kekuatan untuk mengeksekusi, berhenti sekedar jadi ilmuwan. Sedangkan kalau hanya punya kekuatan fisik, jadinya diktator yang kerjanya menindas. Konsep kekuasaan dalam ayat ini yang bisa kita ambil adalah paduan dari ilmu yang banyak dan maju serta kekuatan untuk menerapkannya.

Lafazh wasi’ (وَاسِعٌ) artinya luas, sedangkan ‘alim (عَلِيمٌ) artinya Maha Mengetahui.

Penggalan yang menjadi penutup ayat ini nampak serasi dengan tema yang sedang diangkat di ayat ini, yaitu tentang ilmu pengetahuan. Bahwa yang berhak untuk menjadi raja adalah orang yang punya ilmu pengetahuan yang maju, bukan yang punya keturunan baik di masa lalu.

Lalu Allah SWT menegaskan bahwa diri-Nya adalah Tuhan yang amat sangat luas ilmunya. Sehinga terjadi keserasian dan harmoni yang indah, antara pujian terhadap ilmu dan pujian terhadap Sang Pemilik ilmu.

Dan bila kita ikuti perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia, mereka yang punya keluasan dalam ilmu pengetahuan lah yang akhirnya jadi pemenang. Sebab dengan ilmu pengetahuan itu mereka bisa memiliki power yang amat kuat serta bisa mengalahkan semua peradaban lainnya yang ilmu pengetahuannya stagnan bahkan mundur ke belakang.

Dahulu dunia dipimpin oleh Eropa, karena disana ada revolusi industri, khususnya di Inggirs. Boleh jadi kala itu dikatakan masa keemasan bangsa Inggris. Dengan segala kemajuan yang mereka miliki akhir bangsa Inggris bisa menjadi penguasa dunia. Sampai ada ungkapan bahwa matahari tidak pernah terbenam di Inggris.

Ungkapan "The sun never sets on the British Empire" (Matahari tidak pernah tenggelam di Kekaisaran Britania) adalah sebuah pepatah yang menggambarkan luasnya wilayah kekuasaan Kekaisaran Britania pada puncak kejayaannya pada abad ke-19.

Pepatah ini menggambarkan fakta bahwa wilayah kekuasaan Britania tersebar di seluruh dunia hingga titik bahwa selama satu bagian dari wilayah tersebut sedang malam atau senja, yang lain sedang siang, sehingga matahari tidak pernah benar-benar terbenam dalam kerajaan mereka.

Pepatah ini pertama kali diucapkan oleh John Wilson, seorang penulis dan penyair asal Skotlandia, dalam puisinya yang berjudul Sons of the Empire pada tahun 1821. Ia tidak menggunakan frasa tersebut dengan kata-kata yang persis, tetapi gagasannya telah memberikan dasar bagi ungkapan ini.

Rujukan untuk John Wilson dan puisinya dapat ditemukan dalam buku atau artikel yang membahas sejarah Kekaisaran Britania atau dalam sumber-sumber sejarah yang menggambarkan ekspansi kolonial Britania.

Namun kemudian ilmu pengetahuan berhasil direbut supremasinya oleh Amerika. Berbagai penemuan ilmiyah berhasil dikembangkan di Amerika. Bahkan ilmuwan Eropa banyak yang kemudian bermigrasi ke benua yang lebih menjanjikan. Salah satunya Einstein, sang ilmuwan yang atas penemuannya manusia jadi mengenal energi nuklir.

Einstein adalah seorang fisikawan terkemuka asal Jerman yang melarikan diri dari rezim Nazi di Jerman pada tahun 1933 dan pindah ke Amerika Serikat. Dia menjadi profesor di Sekolah Tinggi Prinseton dan menerima kewarganegaraan Amerika pada tahun 1940. Di Amerika, Einstein berkontribusi pada beberapa penemuan besar, seperti teori relativitasnya yang terkenal, yang telah mempengaruhi fisika modern.

Pindahnya para ilmuwan Eropa ke Amerika adalah salah satu contoh dari apa yang dikenal sebagai "pindahnya otak" atau "brain drain," di mana individu-individu berbakat dari luar negeri berkontribusi secara signifikan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi di Amerika Serikat.

Selain Einstein, banyak ilmuwan Eropa yang melarikan diri dari rezim Nazi dan mendapatkan suaka di Amerika Serikat, yang berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka membawa pengetahuan dan keahlian mereka ke Amerika, membantu memperkuat posisi Amerika sebagai pusat riset dan inovasi.

Saat Amerika sedang menjadi negara super power itulah mereka berhasil mengalahkan kekuatan Jepang sebagai lawan mereka dengan cara menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945.

Jepang pun memasuki periode pasca-Perang Dunia II yang sulit. Namun Kaisar Jepang, Kaisar Hirohito merangkul Amerika dalam ilmu pengetahuan. Banyak mahasiswa Jepang yang dikirim ke Amerika untuk belajar dan mendapatkan kemampuan di bidang teknologi maju.

Akhirnya Jepang pun berhasil menjadi negara maju dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, ditambah dengan industrinya baik di bidang otomotif atau pun elektronik. Segera produk industri Jepang menguasai pasar dunia, termasuk pasar Amerika sendiri. Hari ini Jepang menjadi salah satu negara maju dan sangat kuat dari sisi teknologi dan industrinya.

Segera menyusul di belakang Jepang ada Korea dan China. Hari ini Korea dan China sudah termasuk ke dalam jajaran negara-negara maju, kuat secara ekonomi serta menguasai pasar dunia dengan hasil industri.

Lantas yang jadi pertanyaan penting, apa kabar dengan negeri muslim? Maksudnya negeri yang berpenduduk mayoritas muslim? Apakah mereka juga sudah menjadi negara maju dan kuat secara ekonomi?

Sementara negeri yang berpenduduk muslim nampaknya masih adem ayem saja. Bukan berarti negeri muslim tidak punya para ilmuwan, tetapi kebanyakan negeri-negeri muslim kurang memberikan tempat yang layak kepada para ilmuwan mereka sendiri.

Sehingga ada begitu banyak ilmuan muslim yang merantau ke berbagai negeri maju yang mau memberikan mereka tempat untuk bisa mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Istilah ini dikenal dengan brain-drain yaitu hengkangnya para ilmuwan dalam negeri ke luar negeri karena tidak mendapatkan tempat yang layak untuk mengamalkan ilmu mereka di dalam negeri.

Negeri-negeri berpenduduk muslim kebanyakannya kurang memberikan penghormatan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga kebanyakan negeri muslim akhirnya hanya jadi penonton di pinggiran, sambil sesekali memejamkan mata membayangkan bagaimana kejayaan di zaman dahulu kala. Sebagiannya masih lelap bermimpi di siang bolong tentang cerita kuno kejayaan masa lalu, padahal zaman sudah berubah.

Al-Baqarah : 247

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 30-4-2024
Subuh 04:35 | Zhuhur 11:51 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:50 | Isya 19:00 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia