Kemenag RI 2019:(Ingatlah) ketika Kami mengambil janjimu dan Kami angkat gunung (Sinai) di atasmu (seraya berfirman), “Pegang teguhlah apa yang telah Kami berikan kepadamu dan ingatlah apa yang ada di dalamnya agar kamu bertakwa.” Prof. Quraish Shihab:Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (untuk mengamalkan ajaran Taurat) dan Kami angkatkan (gunung) Thursina di atas kamu (seraya Kami berfirman): “Pegang teguhlah apa yang telah Kami anugerahkan kepada kamu dan ingatlah (amalkan selalu) apa yang ada di dalamnya supaya kamu bertakwa.” Prof. HAMKA:Dan (ingatlah) tatkala telah Kami ambil perjanjian dengan kamu, dan telah Kami angkatkan gunung di atas kamu; Peganglah apa yang telah Kami berikan kepada kamu dengan sungguh-sungguh, dan ingatlah olehmu apa yang ada di dalamnya, supaya kamu semuanya takwa.
Pada ayat yang lalu diterangkan bahwa Allah akan memberi pahala kepada orang Yahudi atas iman dan amal yang telah mereka lakukan sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. Dalam ayat-ayat ini diceritakan kembali kisah orang-orang Yahudi, kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan, dan hukuman yang dijatuhkan atas mereka.
Dan untuk kali ini yang Allah SWT ceritakan adalah kisah hampir dimusnahkannya Bani Israil dengan cara yang teramat sadis, yaitu ditimpakan gunung yang melayang di awan.
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ
Sudah dijelas dalam ayat-ayat sebelumnya bahwa lafazh wa idz (وإذ) bermakna : “dan ingatlah”. Maksudnya ingatlah nikmat Allah SWT yang lain selain yang sudah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya.
Lafazh akhadzna (أَخَذْنَا) secara bahasa berarti mengambil, sedangkan mitsaq (مِيْثَاق) artinya perjanjian. Maksudnya : “Ingatlah wahai Bani Israil, ketika dahulu nenek moyang kalian itu telah melakukan perjanjian dengan Allah SWT”.
Perjanjian apakah yang dimaksud? Para leluhur Bani Israil di masa lalu itu berjanji kepada Allah SWT dalam rangka apa?
Ibnu Katsir menceritakan bahwa ketika Nabi Musa naik ke atas Gunung Tursina dalam rangka menerima Taurat, Beliau mengajak 70 orang terbaik dari Bani Israil untuk ikut naik bersamanya. Ketika itu terjadilah dialog antara Nabi Musa dengan Allah SWT, dimana 70 orang itu mendengar langsung percakapan antara Allah SWT dan Nabi Musa.
Lalu sebagaimana sudah dikisahkan di dalam ayat sebelumnya yaitu surat Al-Baqarah ayat 55, rupanya 70 orang Bani Israil itu meminta agar bisa melihat Allah SWT secara langsung.
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya". (QS. Al-Baqarah : 55)
Dan rupanya mereka bukan hanya mengancam tidak mau beriman kepada Musa, tetapi juga mengancam tidak mau beriman kepada Taurat sebagai kitab suci yang telah Allah SWT turunkan bagi mereka. Lalu mereka dihukum mati oleh Allah SWT, sampai akhirnya Musa memohon agar mereka bisa dihidupkan kembali. Dan Allah SWT pun mengabulkan doa Nabi Musa, dan mereka pun hidup kembali.
Ketika mereka dihidupkan kembali itulah terjadi perjanjian bahwa mereka harus menerima Taurat sebagai hukum dan pedoman hidup bagi mereka.
وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ
Lafazh rafa’naa (رَفَعْنَا) bermakna mengangkat, maksudnya Allah SWT mengangkat gunung sehingga melayang di udara tidak menyentuh bumi. Sedangkan fauqakum (فَوْقَكُمْ) maknanya : ke atas kamu. Adapun siapakah ‘kamu’ yang dimaksud dalam ayat ini tidak lain adalah Bani Israil yang ikut bersama Nabi Musa alaihisalam di gurun Sinai.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna ath-thuur (الطور) dalam ayat ini, sebagaimana diringkas oleh Al-Mawardi dalam An-Nukat wa Al-Uyun : [1]
§ Nama Gunung : Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan Thur di ayat ini adalah nama gunung tempat Nabi Musa alaihissalam berbicara langsung kepada Allah SWT dan juga menerima kitab Taurat.
§ Gunung Yang Tumbuh : Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas juga bahwa Thur itu maknanya adalah gunung yang tumbuh secara ajaib. Kalau ada gunung tidak tumbuh, namanya bukan thur.[2]
§ Semua Gunung : Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa penyebutan thur itu maksudnya adalah gunung apa saja atau semua gunung yang ada. Mujahid mengatakan bahwa setidaknya semua gunung di wiayah Suryaniyah itu disebut dengan thur.
Terbayang oleh kita bahwa Allah SWT nyaris hampir menghukum mati Bani Israil dengan tehnik pembunuhan yang teramat sadisnya, yaitu ditimpakan gunung yang dicabut dari bumi, lalu melayang di angkasa seperti awan yang beterbangan kesana kemari. Lalu gunung itu nyaris saja hampir ditimpakan kepada mereka. Dan kalah sampai hal itu terjadi sungguhan, bisa dipastikan tak akan tersisa seorang pun dari Bani Israil. Kejadiannya lebih detailnya bisa kita baca di ayat lainnya yaitu surat Al-A’raf ayat 171 :
Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka): "Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa". (QS. Al-Araf : 171)
Abu Ubaidah mengatakan bahwa gunung itu awalnya digoncangkan dengan kuat sehingga tercerabut dari akarnya di dalam tanah, lalu gunung itu melayang di angkas bagai awan, siap untuk ditimpakan kepada Bani Israil di gurun Sinai.
Konon, mereka bersujud sambil mengarahkan pandangan ke arah gunung di atas mereka, takut jangan sampai gunung itu jatuh di atas mereka. Itu sebabnya-sebagaimana dituturkan oleh asy-Sya'rawi-hingga kini cara sujud orang Yahudi adalah dengan mengarahkan sebelah wajah ke bawah dan sebelahnya yang lain memandang menuju ke atas.
Thahir Ibn 'Asyur mengemukakan pendapat lain tentang makna Kami angkat gunung. Menurutnya, ketika Allah bertajalli atau menampakkan cahaya-Nya melalui gunung dengan satu cara yang tidak kita ketahui, gunung tersebut bergerak bahkan hancur, asap berterbangan, guntur bersahut-sahutan dan kilat menyambar.
Ketika itu boleh jadi mereka bagaikan melihat gunung seperti awan yang berada di atas mereka. Karena itu pula dalam QS. al-A'raf dinyatakan:
''Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat gunung ke atas mereka seakan-akan gunung itu naungan awan dan mereka yakin bahwa itu akan jatuh menimpa mereka. "
Quraish Shihab dalam Al-Misbah nampak cenderung pada pendapat Ibnu Asyur, karena menurutnya pendapat ini lebih logis daripada pendapat asy-Sya'rawi dan banyak ulama selainnya yang menyatakan bahwa gunung Thursina diangkat oleh Allah di atas kepala mereka. Memang ada riwayat-riwayat yang kandungan demikian, tetapi nilainya sangat lemah.
Lafazh khudzu () bermakna : “ambillah”, dalam hal ini yang memberi perintah adalah Allah SWT kepada Bani Israil, yaitu mereka yang 70 orang bersama Nabi Musa di atas bukit Thursina.
Sedangkan lafazh maa atainakum (ماآتيناكم) artinya : “apa yang kami berikan kepada kamu”, yang dimaksud tidak lain adalah kitab suci Taurat.
Penjelasannya bahwa 70 orang pengikut Nabi Musa itu dihidupkan kembali dari kematian, dengan perjanjian bahwa mereka harus menjadikan Taurat sebagai kitab suci, maka Allah SWT meneruskan perintahnya kepada mereka untuk memegang teguh Taurat dengan kuat.
وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ
Lafazh udzkuru (اذْكُرُا) secara umum sering diterjemahkan dengan perintah untuk berdzikir dengan lisan. Sedangkan lafazh maa fiihi (مافيه) maksudnya adalah apa-apa yang ada di dalam Taurat itu.
Namun sesungguhnya istilah dzikir tidak hanya sebatas komat-kamit di lisan saja, namun lebih dari itu bisa juga bermakna mempelajari isinya serta menguasai ilmunya. Dan dalam konteks ini perintahnya cenderung kepada mempelajar isinya serta menjadi ahli dalam ilmu terkait Taurat.
Sehingga ada diungkap dalam ayat lain bahwa para tokoh ahli kitab yang benar-benar paham dan mengerti detail ilmu dan hukum dalam kita Taurat disebut sebagai ahlu zikir :
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (QS. An-Nahl : 43)
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Lafazh la’alla (لعل) sebagaimana sudah dijelaskan di ayat-ayat sebelumnya, meski dimaknai sebagai mudah-mudahan atau semoga, namun makna yang lebih dalamnya sebenarnya lebih merupakan perintah agar bertaqwa. Atau bisa juga dipahami bahwa jalan untuk mencapai derajat orang yang bertaqwa adalah dengan mempelajari isi Taurat secara mendalam dan sebaik-baiknya.
Ayat ini memberi isyarat yang sangat jelas bahwa kehadiran kitab suci bukan sekadar untuk dibaca, apalagi dijadikan hiasan di rumah atau di kendaraan, tetapi untuk dipelajari, dihayati kandungannya, dan diamalkan, dengan harapan dapat mengantar kepada ketakwaan, yakni keterhindaran dari segala macam sanksi dan bencana di dunia dan di akhirat