Jilid : 2 Juz : 1 | Al-Baqarah : 78
Al-Baqarah 2 : 78
Mushaf Madinah | hal. 12 | Mushaf Kemenag RI

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

Kemenag RI 2019 : Di antara mereka ada yang umi (buta huruf), tidak memahami Kitab (Taurat), kecuali hanya berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga.
Prof. Quraish Shihab : Dan di antara mereka (orang-orang Yahudi), ada orang-orang ummi (tidak mempunyai pengetahuan tentang kitab suci atau bahkan buta huruf) yang tidak mengetahui al-Kitab (Taurat) melainkan angan-angan (belaka), dan mereka hanya menduga-duga.
Prof. HAMKA : Dan setengah dari mereka adalah yang tidak kenal tulisan, tidak mereka ketahui akan al-Kitab, kecuali dongeng-dongeng, dan tidak ada mereka selain bersangka-sangka.

Lafazh minhum (مِنْهُمْ) artinya sebagian dari mereka. Dan yang dimaksud dengan ‘mereka’ secara lahiriyah tidak lain adalah Bani Israil atau orang-orang Yahudi. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, dengan dasar bahwa ayat ini merupakan sambungan dari ayat-ayat sebelumnya yang sedang membicarakan tentang orang-orang Yahudi.

Namun Ali bin Abi Thalib konon pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘mereka’ dalam konteks ini adalah orang-orang Majusi dan bukan orang yahudi. Sebab orang yahudi itu tidak ummi, bahkan mereka dijuluki sebagai ahli kitab.

Sementara itu Ikrimah dan Adh-Dhahhak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘mereka’ dalam konteks ayat ini bukan Yahudi melainkan justru Nasrani.

Lafazh ummiyun (أُمِّيُّون) ada yang mengatakan berasal dari kata ibu (أُمٌّ), karena umat yang ummi itu seperti baru lahir dari perut ibunya, tidak tahu apa-apa termasuk tidak bisa baca dan tulis. Maka istilah ummi sering dimaknai sebagai : tidak bisa baca dan tulis.

Sebagian yang lain mengatakan asalnya dari ummah (أُمَّة), dimana secara umum disebut ummah itu karena mereka umumnya awam tidak bisa baca tulis. Sedangkan yang bisa baca tulis tidak disebut ummah, karena jumlahnya sedikit dan biasanya jadi tokoh besar di negerinya, seperti Mu’awiyah dan keluarganya yang rata-rata merupakan orang-orang pintar di masanya.

Namun kalau kita telisik di kitab tafsir klasik para mufassir, sesungguhnya mereka masih berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan ummi.

1. Pendapat Pertama

Ibnu Abbas sebagaimana dikutip oleh Al-Mawardi mengatakan bahwa kaum yang ummi adalah mereka yang tidak mengakui konsep kenabian, mereka tidak bisa menerima bahwa Allah SWT mengatur kehidupan lewat jalur diutusnya seorang manusia yang diangkat menjadi nabi secara resmi.

Mereka juga tidak bisa menerima konsep adanya firman Allah SWT dalam bentuk kitab suci samawi yang turun dari langit. Kalau pun mereka punya kitab suci, maka itu hasil tulisan mereka sendiri dan bukan wahyu dari Allah SWT.

Dasarnya adalah ayat yang sedang kita baca ini, dimana Allah SWT langsung menyebutkan setelah lafazh ummi bahwa mereka itu tidak mengenal kitab suci samawi.

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ

Di antara mereka ada yang umi : tidak mengenal kitab samawi. (QS. Al-Baqarah : 78)

Masalahnya kalau kita menggunakan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas untuk ayat ini, nampaknya agak kontradiktif. Sebab yang sedang dibicarakan ini adalah kaum Yahudi yang justru mereka sangat mengenal kita suci samawi dan juga mengajarkan konsep kenabian. Lalu kenapa ayat ini justru mengatakan bahwa mereka ummi yang tidak menerima kitab suci dan para nabi?

Jawabannya adalah pada lafazh minhum (مِنْهُم) yang ada di awal ayat. Maknanya : sebagian mereka. Jadi pada dasarnya kaum Yahudi itu tidak ummi, karena mereka termasuk membanggakan kitab Taurat dan juga para nabi mereka. Namun Allah SWT ingin menjelaskan lebih detail, bahwa dibalik eforia mereka bangga atas kitab suci dan para nabi mereka, sebenarnya di tengah mereka ada juga yang tidak paham dan tidak mengerti isi kitab suci yang mereka bangga-banggakan itu.

Makanya setelah disebut ummi, ayat ini langsung menguatkan maknanya dengan ungkapan : tidak mengetahui kitab. Maksudnya walau pun mereka merasa memiliki Taurat, sebenarnya banyak juga yang tidak paham isinya. Atau setidaknya tidak menjalankan isi ajaran di dalamnya.

2. Pendapat Kedua

Pendapat Mujahid bahwa makna ummi adalah tidak bisa membaca dan menulis. Pendapat ini nampaknya cukup banyak yang mendukung walaupun juga banyak yang mengkritik.

Yang mendukung pendapat bahwa ummi itu tidak bisa baca dan tulis mendasari pandangannya bahwa Nabi SAW itu tidak menulis sendiri ayat Al-Quran, melainkan memerintahkan para shahabatnya yang mulia untuk menuliskannya dengan tangan mereka. Beliau SAW hanya meng-ilma’-kan saja apa-apa yang sudah meresap ke dalam sanubarinya dari apa yang diturunkan Jibril kepada Beliau SAW.

Selain itu memang dalam Al-Quran ada disebut-sebut bahwa Nabi SAW itu nabi yang ummi :

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. (QS. Al-Araf : 157)

وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (QS. Al-Ankabut : 48)

Hikmah bahwa Nabi SAW tidak bisa baca tulis agar tidak ada tuduhan bahwa Al-Quran yang Beliau SAW sampaikan dianggap berasal dari hasil membaca kitab-kitab suci samawi yang ada sebelumnya. Sebab banyak sekali kesamaan dalam Al-Quran dan Taurat, sehingga sampai ada tuduhan bahwa Al-Quran itu hanyalah hasil dari membaca Taurat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Kalau Nabi SAW disebut sebagai nabi yang tidak bisa baca tulis, maka tuduhan itu dengan sendirinya jadi batal. Bagaimana Beliau SAW dituduh sebagai plagiat kalau membaca saja tidak mampu.

Namun ada juga kalangan yang keberatan kalau Nabi Muhammad SAW dibilang tidak bisa baca dan tulis dengan beberapa argumentasi, antara lain :

Pertama, kalau dikatakan bahwa hikmahnya biar tidak dituduh sebagai plagiat, rasanya tidak harus jadi orang yang tidak bisa baca tulis. Sebab semua orang tahu bahwa Taurat itu berbahasa Ibrani, sedangkan Nabi SAW memang tidak bisa bahasa Ibrani. Cukup fakta itu saja sudah bisa jadi argumen, yaitu bagaimana mungkin dikatakan Nabi SAW melakukan plagiasi atas Taurat, padahal Beliau SAW tidak menguasai bahasa Ibrani.

Kedua, meskipun Nabi SAW punya team yang menjadi juru tulis wahyu Al-Quran, bahkan jumlahnya sampai 43 orang[1], namun bukan berarti Beliau SAW lepas tangan. Setiap naskah ayat yang ditulis oleh para shahabat, tidak akan dibiarkan diedarkan kecuali setelah Nabi SAW memeriksa ulang. 

Hal itu diceritakan oleh Zaid bin Tsabit radhiyallahuanhu sebagai penulis wahyu senior sebagai berikut :

كُنْتُ أَكْتُبُ الْوَحْيَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ وَهُوَ يُمْلِي عَلَيَّ فَإِذَا فَرِغْتُ قَالَ: اِقْرَأْهُ فَأَقْرَؤُهُ فَإِنْ كَانَ فِيْهِ سَقْطٌ أَقَامَهُ ثُمَّ أَخْرُجُ بِهِ إِلَى النَّاسِ

 “Aku seorang penulis wahyu Rasulullah. Caranya dengan Beliau  SAW membacakannya kepadaku. Bila sudah selesai, Beliau pun memerintahkan aku untuk membaca ulang. Maka Aku membaca ulang, bila ada yang terlewat, Beliau membenarkannya.”

Ketiga, dimungkinkan bahwa Nabi SAW tidak bisa baca tulis pada awalnya, namun urusan belajar baca tulis itu mudah saja kalau mau belajar. Sebab wahyu pertama yang turun justru memerintahkan untuk membaca. Dan Beliau SAW sendiri mewajibkan kepada para tawanan Perang Badar untuk mengajarkan baca tulis kepada sepuluh dari kaum muslimin, agar bisa mendapatkan pembebasan. Lagian dengan kecerdasan seorang nabi, belajar baca tulis meskipun dilakukan di kemudian hari, tentu bukan hal yang sulit bagi seorang Muhammad SAW.

Keempat, kalau pun Nabi SAW dilahirkan di tengah masyarakat yang tidak bisa baca tulis, bukan berarti semuanya buta huruf. Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa penduduk Mekkah terbiasa menuliskan syair para pujangga di dinding Ka’bah. Begitu juga dinding Ka’bah jadi saksi bahwa mereka juga menempelkan surat perjanjian yang terjadi di tengah mereka. Salah satunya kisah surat pemboikotan Bani Hasyim di Syi’ib Ali yang dimakan rayap dan yang tersisa hanya lafazh : bismikallahumma. Maka untuk belajar baca tulis bagi seorang Nabi SAW tentu bukan hal yang sulit. Semua sumber daya manusia serta akses untuk bisa belajar baca tulis tetap tersedia di Mekkah. Nabi SAW pastinya bisa membaca dan menulis, setidaknya setelah menjadi utusan Allah SWT dan memiliki kekuasaan.

 

[1] Dr. Ghanim Al-Quduri, Rasmul Mushaf Dirasah Lughawiyah Tarikhiyah

Perdebatan tentang makna ummi apakah maksudnya tidak bisa baca tulis ataukah tidak menerima konsep kitab suci di atas mari kita akhiri disini, ketika Allah SWT menyebutkan ciri-ciri berikutnya yaitu : tidak mengetahui Al-Kitab.

Sambungan ini setidaknya mengajak kita keluar dari perdebatan terkait makna ummi, karena lafazh ini menegaskan bahwa mereka, yaitu Bani Israil, yang mengaku punya kitab suci dan membanggakan para nabi mereka, ternyata sebagaiannya malah ada yang tidak mengenal Taurat.

Tentu maksudnya bukan menolak Taurat apalagi tidak mengimaninya, tetapi maksudnya adalah tidak tahu isi dan kandungan ajaran Taurat itu sendiri. Ini persis sebagaimana yang Allah SWT gambarkan dalam surat Al-Jumuah bahwa mereka diibaratkan seperti keledai yang memanggul kitab.

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا ۚ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. Al-Jumuah : 5)

Fenomena ini oleh Nabi SAW diantisipasi bahwa umatnya harus banyak belajar tentang Al-Quran. Maka kita menemukan hadits yang tegas memerintahkan kaum muslimin mempelajari Al-Quran dan juga wajib mengajarkannya.

خَيْرُكُمْ مَن تَعَلَّمَ القُرْآنَ وعَلَّمَهُ

Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya. (HR. Bukhari)

Lafazh amaniya (أَمَانِيَّ) merupakan bentuk jama’, bentuk tunggalnya adalah umniyah (أُمْنِيّة). Maknanya dalam pandangan para musaffir sedikit berbeda.

  • Dusta : pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid.
  • Angan-angan : Maksudnya mereka berangan-angan tentang Allah SWT dari hasil hayal dan imajinasi mereka sendiri, lalu mereka bilang ini dari Allah. Padahal sumbernya dari setan sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّىٰ أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu. (QS. Al-Hajj : 52)

  • Bacaan Yang Tidak Dipahami : ini merupakan pendapat Al-Farra’ dan Al-Kisa’i.

Kalau dikaitkan dengan makna keseluruhan ayat ini, yang sedang jadi objek pembicaraan adalah sebagian Bani Israil itu ada yang tidak mengerti isi Taurat, kecuali amaniyya. Maksudnya bahwa yang mereka katakan sebagai isi ajaran Taurat itu ternyata hasil dari karangan mereka sendiri dan bukan semata-mata datang dari Allah SWT.

Dalam ayat selanjutnya nanti akan lebih ditegaskan seperti apa yang dimaksud dengan amaniyaa, yaitu mereka mengarang-ngarang berbagai ketentuan agama, yang sumbernya dari ide pemikiran mereka sendiri, namun mereka katakan bahwa itulah isi Taurat.

Lafazh yazhunnun (يَظُنُّون) asalnya dari zhann (ظَنَّ) yang maknanya adalah dugaan, prasangka atau perkiraan. Kalau kita kaitkan dengan keseluruhan ayat bahwa ada sebagian dari Bani Israil yang tidak mengerti isi Taurat, lalu mereka mengarang-ngarang sendiri, namun mereka katakan bahwa itu merupakan bagian dari kitab suci Taurat.

Ada sebagian kalangan yang mencoba merusak pemahaman umat dengan menuduh ulama ahli fiqih telah mengarang hukum agama, padahal Al-Quran dan Sunnah tidak menyebutkannya. Insyaallah nanti akan kita bahas ketika masuk ke ayat berikutnya.

Al-Baqarah : 78

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 20-4-2024
Subuh 04:36 | Zhuhur 11:53 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:54 | Isya 19:02 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia