SFK > Pernikahan > Bagian Kedua : Rukun Syarat dan Sunnah

⬅️

Bab 4 : Ijab Qabul

➡️
1663 kata | show

A. Pengertian

Istilah ijab dan qabul (الإيجاب والقبول) adalah dua kata dalam bahasa Arab yang merupakan sepasang kata yang menandai sebuah akad. Istilah ijab qabul dalam ilmu fiqih juga sering disebut dengan istilah ash-shighah (الصيغة).

1. Pengertian Ijab

Kata ijab (إيجاب) itu sendiri secara bahasa bermakna menetapkan sesuatu (ألزم على شيء). Sedangkan secara istilah fiqih, definisi ijab ada banyak makna, salah satunya adalah :

طَلَبُ الشَّارِعِ الْفِعْل عَلَى سَبِيل الإْلْزَامِ

Permintaan pembuat syariat (Allah) untuk melakukan suatu perbuatan dengan cara mengharuskan

Khusus dalam musthalah fiqih nikah, istilah ijab itu oleh jumhur ulama didefinisikan sebagai :

العَقْدُ الَّذِي صَدَرَ مِنَ الزَّوْجَةِ أَوْ وَلِيِّهَا سَوَاءٌ صَدَرَ أَوَّلاً أَوْ آخِرًا

Akad yang disampaikan (diucapkan) oleh pihak istri atau walinya baik disampaikan di awal atau di akhir

Maksudnya, lafadz akad yang datang dari pihak wanita adalah ijab, meski pun sebelumnya sudah didahului oleh pihak suami.

2. Pengertian Qabul

Sedangkan makna qabul (قبول) adalah menyatakan persetujuan atas ijab yang telah ditetapkan.

B. Syarat Ijab Qabul

1. Satu Majelis

Akad nikah dengan sebuah ijab qabul itu harus dilakukan di dalam sebuah majelis yang sama. Dimana keduanya sama-sama hadir secara utuh dengan ruh dan jasadnya. Termasuk juga didalamnya adalah kesinambungan antara ijab dan qabul tanpa ada jeda dengan perkataan lain yang bisa membuat keduanya tidak terkait.

Sedangkan syarat bahwa antara ijab dan qabul itu harus bersambung tanpa jeda waktu sedikitpun adalah pendapat syafi'i dalam mazhabnya. Namun yang lainnya tidak mengharuskan keduanya harus langsung bersambut.

Bila antara ijab dan qabul ada jeda waktu namun tidak ada perkataan lain, seperti untuk mengambil nafas atau hal lain yang tidak membuat berbeda maksud dan maknanya, maka tetap syah, sebagaimana yang dituliskan di kitab Al-Mughni.

2. Saling Dengar dan Mengerti

Antara suami dengan wali sama-sama saling dengar dan mengerti apa yang diucapkan. Bila masing-masing tidak paham apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya, maka akad itu tidak syah.

3. Tidak Bertentangan

Antara Ijab dengan qabul tidak bertentangan. Misalnya bunyi lafaz ijab yang diucapkan oleh wali adalah,"Aku nikahkan kamu dengan anakku dengan mahar satu juta", lalu lafaz qabulnya diucapkan oleh suami adalah,"Saya terima nikahnya dengan mahar setengah juta".

Maka antar keduanya tidak nyambung dan ijab qabul ini tidak syah. Namun bila jumlah mahar yang disebutkan dalam qabul lebih tinggi dari yang diucapkan dalam ijab, maka hal itu sah.

4. Tamyiz

Keduanya sama-sama sudah tamyiz. Bila suami masih belum tamyiz, akad itu tidak syah, atau bila wali belum tamyiz juga tidak syah. Apalagi bila kedua-duanya belum tamyiz, maka lebih tidak sah lagi.

C. Lafaz Ijab Qabul

1. Tidak Harus Dalam Bahasa Arab

Tidak diharuskan dalam ijab qabul untuk menggunakan bahasa arab, melainkan boleh menggunakan bahasa apa saja yang intinya kedua belah pihak mengerti apa yang ucapkan dan masing-masing saling mengerti apa yang dimaksud oleh lawan bicaranya.

2. Lafadz Nikah dan Sejenisnya

Ijab qabul sebaiknya ijab menggunakan kata nikah, kawin atau yang semakna dengan keduanya. Sedangkan bila menggunakan kata 'hibah, memiliki, membeli dan sejenisnya tidak dibenarkan oleh Asy-Syafi'i, Ibnu Musayyib Ahmad dan 'Atho'.

Sebaliknya Al-Hanafiyah membolehkannya. demikian juga dengan Abu Tsaur, Ats-Tsauri, Abu 'Ubaid dan juga Abu Daud.

3. Dengan Fi'il Madhi

Selain itu para fuqaha mengatakan bahwa lafaz ijab dan qabul haruslah dalam format fiil madhi (past) seperti zawwajtuka atau ankahtuka. Fi'il madhi adalah kata kerja dengan keterangan waktu yang telah lampau. sedangkan bila menggunakan fi'il mudhari', maka secara hukum masih belum tentu sebuah akad yang syah.

Sebab fi'il mudhari' masih mengandung makna yang akan datang dan juga sekarang. Sehingga masih ada ihtimal (kemungkinan) bahwa akad itu sudah terjadi atau belum lagi terjadi.

D. Bukan Termasuk Syarat

1. Kehadiran Istri dalam Majelis

Ijab qabul melibatkan 4 orang laki-laki dan tidak membutuhkan kehadiran wanita, termasuk pengantin wanita. Keempat orang itu adalah wali, pengantin laki-laki dan dua orang saksi.

Wali mengucapkan ijab dan pengantin laki-laki mengucapkan qabul. Sedangkan kedua orang laki-laki yang menjadi saksi dibutuhkan kehadirannya saat ijab qabul itu terjadi, sebagai syarat sahnya akad nikah itu.

Ada pun pengantin perempuan, tidak harus berada di dalam majelis akad nikah itu. Sehingga bukan termasuk syarat sah dari akad nikah dan ijab qabul.

2. Bersalaman

Pemandangan yang sering kita lihat di sinetron dan kemudian seolah-olah menjadi suatu keharusan, karena dibiasakan adalah bersalaman antara wali dan penganti laki-laki. Padahal ijab qabul tidak mensyaratkan jabat tangan itu. Juga tidak diharuskan untuk menggoyangkan jabat tangan itu.

Entah siapakah yang memulai adegan ini, yang jelas masyarakat seolah-olah diajarkan bahwa ijab qabul itu harus dengan berjabat tangan.

Memang kalau dilihat dari lensa kamera, adegan jabat tangan ini agak terlihat punya unsur dramatis. Tetapi ijab qabul tidak membutuhkan drama yang dibuat-buat.

3. Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat

Mengucapkan dua kalimat syahadat juga sering dikait-kaitkan dengan lafadz ijab dan qabul, seolah-olah pengantin laki-laki itu muallaf yang baru mau masuk Islam. Atau mirip seperti orang yang lagi menghadapi sakaratul-maut.

Padahal ijab qabul itu bukan sebuah ikrar untuk masuk dan memeluk agama Islam, juga bukan adegan terakhir menjelang kematian, tetapi ikrar untuk sebuah ikatan pernikahan.

Kalau kekeliruan dalam memahami masalah ini sebenarnya jelas sekali siapa yang bersalah, tidak lain adalah si penghulu. Petugas pencatat nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kementerian Agama Republik Indonesia adalah pihak yang bisa ditunjuk hidungnya. Mereka inilah yang mendiktekan atau mentalqinkan lafadz ijab dan qabul ini, seolah-olah wali dan calon pengantin laki-laki adalah dua mayat yang siap menghadapi sakaratul maut.

4. Sighat Ta’liq

Biasanya tanpa penjelasan apa pun, petugas KUA langsung memerintahkan pihak suami untuk membaca shighat ta’liq, yang isi materi dan konsekuensinya tidak dipahami. Dan karena hal itu selalu dilakukan, seolah-olah sighat ta’liq ini dianggap bagian dari lafadz ijab qabul. Padahal sighat ta’liq ini justru pintu untuk melakukan perceraian yang amat dibenci Allah SWT.

Istilah shighat ta’liq terdiri dari suku kata, yaitu shighat yang bermakna ucapan, ungkapan, atau lafal, dan ta’liq yang berasal dari kata ‘allaqa – yu’alliqu - taliqan, yang bermakna mengaitkan, menggantungkan, mensyaratkan dan seterusnya.

Dalam prakteknya, Shighat Ta'liq adalah sebuah syarat yang diikrarkan oleh suami tentang kemungkinan terjadinya perceraian, yaitu bila terjadi hal-hal yang disebutkan dalam shighat itu.

Naskah lengkapnya shighat ta'liq itu sebagaimana yang terdapat di dalam buku nikah adalah

Bila suami menginggalkan istri 2 tahun berturut-turut, atau tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, atau menyakiti badan/jasmanni istri, atau membiarkan/tidak mempedulikan istri 6 bulan lamanya, kemudian istri tidak menerima perlakuan itu, lalu istri mengajukan gugatan cerai kepada pihak pengadilan dan pengadilan membenarkan dan menerima gugatan itu dan istri membayar Rp 1.000 sebagai 'iwadh (pengganti) kepada suami, maka jatuhlah talak satu.

Biasanya shighat ini diucapkan setelah selesai akad nikah dilakukan. Biasanya petugas pencatat nikah KUA yang menuntun pengantin laki-laki untuk membaca shighat ini. Memang tidak banyak orang tahu apa makna dan maksud shighat ini. Sebagaimana banyak orang tidak tahu apa landasan hukumnya. Termasuk juga pengantin pria pun jarang-jarang yang mengerti.

Sebenarnya secara hukum, shighat ini tidak ada kaitannya dengan rukun nikah atau syarat sahnya nikah. Artinya, tanpa shighat itu pun sebuah pernikahan sudah sah secara hukum agama dan negara. Kita tidak menemukan di dalam sunnah Rasulullah SAW dan juga amal para shahabat hingga para salafus-shalih tentang ketentuan untuk mengikrarkan shighat ta'liq itu. Tidak ada contoh apalagi anjuran untuk mengucapkannya.

Kalau memang demikian, lalu bagaimanakah munculnya hal tersebut?

Ada banyak analisa. Salah satunya mungkin berangkat dari keinginan untuk melindungi para istri dari sikap sewenang-wenang dari suami, seperti tidak memberi nafkah, atau menyakiti badan atau tidak mempedulikan istri. Dalam kondisi yang tersiksa seperti itu, sebagian orang berpikir bahwa si istri ini harus dipisahkan dari suaminya. Artinya, mereka ingin memberikan kepada istri untuk bisa pisah dari suaminya.

Namun karena istri tidak punya hak untuk menceraikan, dibuatlah shighat ta'liq ini. Sehingga sejak awal pernikahan, suami sudah menyatakan diri untuk menceraikan istrinya secara otomatis, manakala terjadi hal-hal yang disebutkan di dalam shighat itu. Rupanya perangkat hukum di negeri ini belum apa-apa sudah menyiapkan jalur untuk memisahkan suami istri, justru di hari pernikahan mereka, yaitu dengan selalu dimintanya suami untuk mengucapkan shighat ta’liq ini, meski suami tetap berhak menolak untuk mengucapkannya.

Entah latar belakang pemikiran apa yang berkecamuk di dalam para pembuat peraturan itu. Yang jelas, dengan adanya shighat itu, seolah-olah sudah disiapkan sebuah skenario perceraian jauh sebelumnya, hanya lantaran suami melakukan hal-hal yang dianggap merugikan pihak istri. Sebenarnya akan lebih bijaksana bila setiap ada permasalahan, suami dan isri itu tidak langsung berpikir untuk sebuah perceraian. Sebab biar bagaimana pun perceraian itu adalah sebuah perbuatan yang dimurkai Allah SWT, meski halal. Tapi bisakah kita membayangkan untuk melakukan sebuah perbuatan yang Allah sendiri memurkainya? Idealnya, shighat itu tidak langsung bicara tentang perceraian.

Namun bicara tentang pentingnya menjaga harmoni sebuah keluarga serta menjaga keutuhannya. Dimana suami istri sama-sama berjanji untuk saling membela, saling berbagi, saling memaklumi kekurangan, saling mendukung dan saling memberikan yang terbaik untuk pasangannya.

Seharusnya lebih ditekankan agar masing-masing menjadikan pasangannya sebagai sumber untuk menangguk pahala, bukan sebagai calon sumber malapetaka yang tersirat dalam materi shighat ta'liq itu.

Secara hukum, bila seseorang sudah terlanjur mengikrarkan shighat ta'liq, tentu bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab shighat itu bisa saja dibatalkan, sebagaimana seseorang bisa saja membatalkan ikrar yang pernah diucapkannya secara sepihak. Misalnya, seorang suami pernah berkata kepada istrinya, bila istri keluar dari rumah, maka dia ditalak. Kemudian suami merasa menyesal mengeluarkan statemen itu. Maka dia boleh saja mencabut statemen itu hingga tidak berlaku lagi. Sehingga setelah statemen itu dicabut, istri boleh keluar dari rumah tanpa harus terkena resiko ditalak.

Lebih jauh lagi kalau kita perhatikan dalam shighat itu, ada 5 langkah atau syarat yang harus terjadi. Dan bila salah satu syarat itu tidak terpenuhi, maka tidak ada cerai. Jadi misalnya pihak istri bisa menerima bahwa suaminya tidak memberi nafkah lahir batin selama sekian tahun misalnya dan sama sekali tidak mengajukan gugatan cerai, maka pengadilan tidak berhak untuk menceraikan mereka. Sebab istrinya mau dan rela dibegitukan oleh suaminya.

ÿ