Diantara rangkaian pernikahan adalah walimatul urs, yaitu sebuah jamuan makan yang menghadirkan para undangan sebuah pernikahan.
A. Makna Walimah
Kata walimah diambil dari kata al-walamu yang maknanya adalah pertemuan. Sebab kedua mempelai melakukan pertemuan.
Sedangkan secara istilah adalah hidangan / santapan yang disediakan pada pernikahan. Di dalam kamus disebutkan bahwa walimah itu adalah makanan pernikahan atau semua makanan yang untuk disantap para undangan.
B. Hukum Mengadakan Walimah
Jumhur ulama mengatakan bahwa mengadakan acara walimah pernikahan adalah sunah muakkadah. Dalilnya adalah hadits-hadits Rasulullah SAW berikut ini :
أَنَّهُ r أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ وَأَقِطٍ
Rasulullah SAW mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan hidangan kurma, minyak dan aqt. (HR. Bukhari)
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Undanglah orang makan walau pun hanya dengan hidangan seekor kambing (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Buraidah ra berkata bahwa ketika ali bin Abi Thalib melamar Fatimah ra, Rasulullah SAW bersabda,"Setiap pernikahan itu harus ada walimahnya. (HR. Ahmad)
Al-Hafiz Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan ungkapan la ba'sa bihi
C. Waktu Penyelenggaraan
Tidak ada batasan tertentu untuk melaksanakan walimah, namun lebih diutamakan untuk menyelenggarakan walimah setelah dukhul, yaitu setelah pengantin melakukan hubungan seksual pasca akad nikah.
Hal itu berdasarkan apa yang selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW, dimana beliau tidak pernah melakukan walimah kecuali sesudah dukhul.
D. Hukum Menghadiri Walimah
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiri undangan walimah. Sebagian mengatakan wajib atau fardhu `ain, sebagian lagi mengatakan fardhu kifayah dan sebagian lagi mengatakan sunnah.
1. Fardhu
Pendapat jumhur ulama terdiri dari mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah. Mereka sepakat mengatakan bahwa menghadiri undangan walimah hukumnya fardhu.
Namun kewajiban ini tergantung jenis undangannya juga. Kalau undangannya bersifat umum, tanpa menyebut nama tertentu, maka tidak ada kewajiban harus menghadirinya. Sebaliknya, bila undangannya ditujukan secara pribadi, baik lewat tulisan atau lewat orang yang diutus untuk menyampaikan undangan, maka barulah ada kewajiban untuk menghadirinya.
Az-Zarqani dalam kitab Syarahnya menyebutkan bahwa tidak termasuk wajib hadir bila teks undangannya sendiri tidak mengikat. Misalnya tertulis dalam undangan 'apabila Anda berkenan hadir', maka hadir atau tidak hadir terserah apakah pihak yang diundang berkenan atau tidak. [1]
Dalil yang digunakan oleh pendapat ini di antaranya adalah hadits berikut ini :
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
Apabila kamu diundang walimah maka datangilah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu juga ada hadits lain yang menyebutkan bahwa orang yang tidak menghadiri undangan walimah, termasuk disebut telah bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya.
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأْغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Makanan yang paling buruk adalah makanan walimah, bila yang diundang hanya orang kaya dan orang miskin ditinggalkan. Siapa yang tidak mendatangi undangan walimah, dia telah bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya. (HR. Muslim)
Di antara hikmah dari menghadiri walimah menurut para ualam, akan menambah keterpautan dan ikatan hati. Sedangkan tidak menghadirinya akan menimbulkan madharat dan keterputusan silaturrahmi. [2]
2. Sunnah
Pendapat kedua dari para ulama tentang hukum menghadiri undangan walimah adalah sunnah. Pendapat ini didukung oleh beberapa ulama mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah, dan salah satu versi pendapat mazhab Al-Hanabilah. Ibnu Taimiyah termasuk yang berpendapat bukan wajib tetapi sunnah.
Dasar pendapat ini karena menghadiri walimah berarti memakan makanan dan harta milik orang lain. Dan seseorang tidak diwajibkan untuk mengambil harta orang lain yang tidak diinginkannya.
Sehingga paling tinggi kedudukannya hanya sunnah, tidak sampai kepada wajib. Karena pada hakikatnya menghadiri walimah itu seperti orang menerima pemberian harta. Sehingga bila harta itu tidak diterimanya, maka hukumnya boleh-boleh saja. Dan bila diterima hukumnya hanya sebatas sunnah saja.[3]
3. Fardhu Kifayah
Sedangkan pendapat ketiga dari hukum menghadiri walimah adalah fardhu kifayah. Di antara para ulama yang berpendapat seperti ini adalah sebagian pendapat Asy-Syafi'iyah dan sebagian pendapt Al-Hanabilah.
Dengan demikian, apabila sebagian orang sudah ada yang menghadiri walimah itu, maka bagi mereka yang tidak menghadirinya sudah tidak lagi berdosa.
Adapun kesimpulan hukumnya fardhu kifayah berlandaskan kepada esensi dan tujuan walimah, yaitu sebagai media untuk mengumumkan terjadinya pernikahan serta membedakannya dari perzinaan. Bila sudah dihadiri oleh sebagian orang, menurut pendapat ini sudah gugurlah kewajiban itu bagi tamu undangan lainnya.
E. Yang Harus Diperhatikan
Tujuan utama pesta walimah sebenarnya sekedar memberitahukan kepada khalayak bahwa pasangan pengantin ini telah resmi menikah. Kedua, tentu saja sebagai ajang untuk mendoakan kedua pasangan ini. Ketiga, tentu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan segala pemberian dari-Nya.
Maka sebuah walimah itu tetapi harus mematuhi rambu-rambu syariah Islam.
Dalam prakteknya, sering kita dapati orang begitu semangat untuk mengadaan pesta walimah, terkadang sampai melewati batas kewajaran dan mulai memasuki wilayah yang sebenarnya tidak lagi sesuai dengan rambu-rambu syariah.
1. Berlebihan dan Boros
Perintah walimah dengan makan-makan tentu tidak berarti kita dibenarkan untuk menghambur-hamburkan harta. Sebab orang yang menghambur-hamburkan harta termasuk saudaranya syetan.
Kesan yang seringkali timbul dalam penyelenggaraan pesta walimah adalah memaksakan diri untuk kemegahannya, tanpa berpikir bahwa semua itu ada batasnya.
Dan bila batas wajar itu terlewati, maka di depan ada larangan yang menghadang, yaitu sikap boros yang dikaitkan oleh Allah SWT sebagai saudaranya setan. Demikian firman Allah SWT di dalam kitab-Nya :
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Isra` : 27)
2. Bukan Untuk Gengsi
Apalagi bila tujuannya sekedar gengsi dan ingin dianggap sebagai orang yang mampu, padahal semua itu dengan berhutang. Tidak perlu mengejar gengsi dan sebutan orang, juga jangan merasa menjadi dianggap pelit oleh orang lain.
Kita keluarkan harta untuk walimah semampunya dan sesanggupnya. Kalau tidak ada, tidak perlu diada-adakan. Sebab yang penting acara walimahnya bisa berjalan, karena memang anjuran dari Rasulullah SAW.
3. Tidak Mengharapkan Amplop atau Kado
Dalam kenyataannya, hal yang termasuk perlu kita kritisi adalah sikap mengharapkan adanya hadiah baik berupa kado, angpau atau amplop berisi uang dari para tamu yang hadir.
Seolah-olah digelarnya acara walimah semata-mata mengharapkan 'bantuan' finansial dari hadiah dan amplop tersebut.
Sayangnya hal itu terjadi sudah turun temurun, sehingga seolah-olah berlaku hukum bahwa siapa yang tidak punya uang untuk amplop yang diserahkan kepada petugas penerima tamu di depan, maka tidak boleh datang menghadiri pesta walimah.
Dan kalau menghadiri walimah tanpa membawa uang, seolah-olah dianggap kurang sopan dan tidak tahu diri. Itulah kesepakatan yang tidak tertulis dari semua orang, padahal sebenarnya hal itu sudah merupakan pergeseran dari tujuan digelarnya walimah yang sebenarnya.
Seharusnya kalau memang tidak mampu mengundang makan-makan, karena dananya terbatas, terima saja dan tidak harus memaksakan diri. Sebab kalau sampai 'mengemis' kepada tetamu, justru malah seharusnya kehilangan harga diri.
Tetapi hari ini rasa malu dan jatuhnya harga diri sudah tidak ada lagi. Bahkan dengan tidak malu-malu dituliskan di kartu undangan sebuah pesan yang intinya tamu jangan bawa kado, tapi bawa uangnya saja, biar tidak tekor alias rugi.
4. Hendaknya Dengan Mengundang Fakir Miskin
Juga jangan sampai walimah itu menjadi sebuah hidangan makan yang terburuk, yaitu dengan mengkhususkan hanya orang kaya saja dengan melupakan orang miskin. Maka sungguh acara walimah seperti itu adalah walimah yang paling jahat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأْغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Makanan yang paling jahat adalah makanan walimah. Orang yang butuh makan (si miskin) tidak diundang dan yang diundang malah orang yang tidak butuh (orang kaya). (HR. Muslim)
Inilah walimah yang paling jahat dan alangkah sedihnya bila orang-orang miskin malah tidak dapat tempat, karena si empunya hajat hanya mengundang mereka yang perutnya sudah buncit saja. Maka marilah kita biasakan membuat acara walimah meski pun hanya sederhana saja.
5. Menghormati Waktu Shalat
Pemandangan amat ironis yang sering kita lihat setiap saat adalah sebuah pesta walimah yang digelar di ruang serba guna sebuah masjid. Tatkala adzan berkumandang, iqamat dilantunkan, shalat berjamaah dilaksanakan oleh imam rawatib, pesta walimah terus berlangsung. Ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu.
Mereka yang shalat berjamaah ikut shalat berjamaah, tetapi mereka yang asyik dengan pesta walimah juga tetap khusyu’ dengan acara pesta. Sayangnya, yang shalat berjamaah hanya sebaris shaf saja, sementara yang pesta walimahan membeludak, musik tetap mengalun, acara tetap berlangsung.
Seharusnya ada kompromi antara pihak penyelenggara pesta walimah dengan imam masjid. Apakah pestanya diselingi dengan shalat berjamaah terlebih dahulu, ataukah shalatnya yang ditunda karena ada kegiatan.
Kedua-duanya bisa dipilih, asalkan ada kesepakatan antara imam masjid dengan pihak penanggung jawab acara. Misalnya, pilihan dijatuhkan untuk menyelingi acara walimah dengan shalat berjamaah, maka pimpinan acara mengumumkan bahwa seluruh hadirin diminta untuk melaksanakan shalat berjamaah di dalam masjid, acara sementara dihentikan untuk shalat berjamaah. Pilihan ini jauh lebih syar'i dari pada bikin walimahan pakai hijab yang masih khilafiyah hukumnya.
Tetapi bila pilihan dijatuhkan pada bentuk yang kedua, maka atas dasar wewenang imam masjid, shalat berjamaah ditunda barang beberapa waktu hingga pesta walimah usai. Setelah itu para hadirin tetap diajak dan dihimbau untuk melaksanakan shalat berjamaah di masjid itu.
Misalnya pesta walimah baru selesai jam 13.30 siang, maka diumumkan oleh imam masjid bahwa shalat berjamaah Dzhuhur di masjid itu akan ditunda hingga jam 13.30 siang itu, dan kepada hadirin silahkan meneruskan acara walimah itu dengan tenang.
Nanti bila telah mendekati jamnya, semua diajak untuk segera melaksanakan shalat Dzhuhur berjamaah di masjid itu bersama-sama dengan imam masjid.
F. Haruskah Pakai Hijab?
Sebuah kajian yang cukup untuk dibahas lebih mendalam, yaitu apakah sebuah pesta walimah itu harus ditata sedmikian rupa agar ada hijab atau kain hitam yang membatasi tamu laki-laki dan tamu perempuan?
Kalau memang wajib, lalu apa hukum pesta pernikahan yang tidak menggunakannya, apakah nikah itu sah hukumnya atau tidak?
Sekedar untuk diketahui bahwa hukum penggunaan hijab atau tabir pemisah antara laki-laki dan perempuan bukanlah sesuatu yang bersifat qath'i. Hukum kewajibannya tidak disepakati secara bulat oleh para ulama.
Sebagain dari mereka ada yang mewajibkan, namun sebagian lainnya tidak sampai mewajibkannya.
Namun semua pihak sepakat bahwa tidak boleh terjadi ikhtilat (campur baur) antara laki dan wanita. Semua sepakat untuk mengharamkan khalwahatau berduaan (menyepi) antara laki-laki dan wanita. Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa para wanita diwajibkan untuk menutup aurat dan berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat.
Yang menjadi perbedaan pendapat adalah apakah memasang kain tabir penutup antara ruangan laki-laki dan wanita, merupakan kewajiban ataukah hanya anjuran?
1. Pendapat Pertama: Mewajibkan Penggunakan Tabir
Mereka yang mewajibkan harus dipasangnya kain tabir penutup ruangan berangkat dari dalil baik Al-Quran maupun As-Sunah
a. Dalil Al-Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu, dan Allah tidak malu yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka MINTALAH DARI BELAKANG TABIR. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.(QS. Al-Ahzab: 53)
Ayat tersebut menurut mereka yang mendukung kewajiban penggunaan tabir dikatakan sebagai ayat yang mewajibkan penggunaan kain tabir penutup.
Meski perintahnya hanya untuk para isteri nabi, tapi menurut mereka hukumnya berlaku juga untuk semua wanita. Karena pada dasarnya para wanita harus menjadikan para isteri nabi itu menjadi teladan dalam amaliyah sehari-hari. Sehingga khitab ini tidak hanya berlaku bagi isteri-isteri nabi saja tetapi juga semua wanita mukminat.
b. Dalil As-Sunnah
Dari sisi sunnah nabawiyah, mereka mengajukan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah. Hadits itu menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya.
Nabi bersabda: 'pakailah tabir'. Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata: 'Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu buta!' Maka jawab Nabi: 'Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?'
Hadits ini secara tegas menyebutkan bahwa kedua isteri nabiitu diwajibkan untuk menggunakan tabir ketika Abdullah bin Ummi Maktum yang buta masuk ke rumah mereka.
2. Pendapat Kedua: Tidak Mewajibkan Tabir
Para ulama yang lain tidak berpendapat bahwa hijab pembatas itu merupakan hal yang wajib. Ada beberapa argumentasi yang mereka kemukakan, antara lain:
a. Ayat Al-Quran Bersifat Khusus
Oleh para ulama yang mengatakan bahwa tabir penutup ruangan yang memisahkan ruangan laki-laki yang wanita itu tidak merupakan kewajiban, kedua dalil di atas dijawab dengan argumen berikut:
Ayat 53 surat Al-Ahzab yang mewajibkan meminta dari balik tabir itu berlaku hanya untuk pada isteri Nabi, tidak berlaku untuk semua wanita. Hal itu karena posisi para isteri Nabi memang wara wanita yang mulia dan tinggiderajatnya, sehingga salah satu bentuk penghormatan kepada mereka adalah dengan tidak boleh bertemu langsung, kecuali dari balik hijab.
Sedangkan terhadap wanita mukminah umumnya, tidak menjadi kewajiban harus memasang kain tabir penutup ruangan yang memisahkan ruang untuk laki-laki dan wanita.
Dan bila mengacu pada asbabun nuzul ayat tersebut, memang kelihatannya memang diperuntukkan kepada para isteri nabi saja.
Dan di dalam ayat lain secara tegas disebutkan bahwa posisi para isteri nabi memang berbeda dari wanita lain.
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab: 32)
b. Hadits Bermasalah
Ada dua cacat dari hadits Abdullah bin Ummi Maktum yang dikemukakan :
Pertama, kalangan ahli hadits mengatakan bahwa hadits Ibnu Ummi Maktum itu merupakan hadis yang tidak sah alias lemah, tidak shahih. Pasalnya ada seseorang yang bernamaNabhan dalam urutan perawinya yang menurut para ahli riwayat, omongannya tidak dapat diterima.
Kedua, kalau seandainya pendapat kecacatan Nabhan masih bisa dibela, sehingga hadits ini naik derajatnya menjadi hadis ini sahih, tetap saja tidak bisa digunakan sebagai dalil kewajiban kain tabir penghalang buat semua wanita.
Mengapa?
Karena nabi SAW hanya memerintahkan hal itu kepada isterinya, tidak kepada semua wanita muslimah. Sehingga tetap disimpulkan bahwa perintah itu hanya berlaku buat para isteri nabi, dan tidak berlaku buat wanita lain.
c. Dalil lainnya: Isteri yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya
Hujjah lainnya yang mendukung pendapat tidak wajibnya hijab adalah banyak pendapat para ulama yang mengatakan bahwa seorang isteri boleh melayani tamu-tamu suaminya di hadapan suami, asal dia melakukan tata kesopanan Islam, baik dalam segi berpakaiannya, berhiasnya, berbicaranya dan berjalannya.
Pendapat para ulama itu didasari dari hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para isteri shahabat biasa bertemu dengan lawan jenis mereka, tidak ada kewajiban untuk menggunakan penghalang atau tabir.
Sahal bin Saad al-Anshari berkata sebagai berikut: 'Ketika Abu Asid as-Saidi menjadi pengantin, dia mengundang Nabi dan sahabat-sahabatnya, sedang tidak ada yang membuat makanan dan yang menghidangkannya kepada mereka itu kecuali isterinya sendiri, dia menghancurkan (menumbuk) korma dalam suatu tempat yang dibuat dari batu sejak malam hari. Maka setelah Rasulullah SAW selesai makan, dia sendiri yang berkemas dan memberinya minum dan menyerahkan minuman itu kepada Nabi.' (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkomentar: 'Seorang perempuan boleh melayani suaminya sendiri bersama orang laki-laki yang diundangnya...'
Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa hal ini apabila aman dari segala fitnah serta dijaganya hal-hal yang wajib, seperti hijab. Begitu juga sebaliknya, seorang suami boleh melayani isterinya dan perempuan-perempuan yang diundang oleh isterinya itu.
Dan apabila seorang perempuan itu tidak menjaga kewajiban-kewajibannya, misalnya soal hijab, seperti kebanyakan perempuan dewasa ini, maka tampaknya seorang perempuan kepada laki-laki lain menjadi haram.
d. Masjid Nabawi di Zaman NabiTidak Memakai Tabir
Pandangan tidak wajibnya tabir didukung pada kenyataan bahwa masjid Nabawi di masa Rasulullah SAW masih hidup pun tidak memasang kain tabir penutup, yang memisahkan antara ruangan laki-laki dan wanita. Bahkan sebelumnya, mereka keluar masuk dari pintu yang sama, namun setelah junmlah mereka semakin hari semakin banyak, akhirnya Rasulullah SAW menetapkan satu pintu khusus untuk para wanita.
Hanya saja Rasulullah SAW memisahkan posisi shalat laki-laki dan wanita, yaitu laki-laki di depan dan wanita di belakang.
Kesimpulan
Maka kesimpulan singkat yang bisa kami kemukakan, urusan hijab atau tabir pemisah batas antara ruang laki-laki dan wanita adalah urusan khilafiyah, bukan perkara qath'i dan bukan harga mati.
Sebegitu banyak dalil yang menunjukkan ketidak-wajibannya, sebagaimana juga banyak yang mewajibkannya.
Ketika kita memilih untuk mewajibkan hijab, tentu bukan berarti itu adalah satu-satunya kebenaran yang bersifat mutlak. Apalagi sampai mencela dan menuduh bahwa mereka yang tidak menggunakan hijab sebagai orang yang tidak Islami, tidak sesuai sunnah nabi, atau keluar dari Syariah Islam.
Dan sebaliknya, ketika kita memilih untuk tidak mewajibkan hijab, tidak lantas kita mencela saudara kita yang memasang hijab sebagai ekstrimis, fundamentalis, sok suci atau beragam ungkapan celaan yang lain.
Kenapa kita tidak bisa saling bertenggang-rasa? Ada sebegitu banyak perkara khilafiyah di tengah kita, yang memang tidak akan bisa dihindari. Lalu mengapa kita masih saja sampai hati untuk tidak berhenti dari mencela, mengejek, melecehkan atau menuduh sesat dan seterusnya? Apakah dengan mencela, lalu orang akan mendapat ilmu dan hidayah?
ÿ