A. Pengertian
1. Bahasa
Rujuk atau ar-raj’ah (الرَّجْعَة) dalam bahasa Arab merupakan isim mashdar dari kata dasarnya dalam fi’il madhi dan mudhari’ : (رَجَعَ - يرْجِعُ) yang bermakna : kembali.
Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman :
فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ
Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka. (QS. At-Taubah : 83)
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, para ulama memberikan banyak definisi tentang istilah rujuk ini, antara lain adalah :
a. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Kasani dalam kitab Badai' Ash-Shanai' menyebutkan bahwa definisi rujuk adalah : [1]
اسْتِدَامَةُ مِلْكِ النِّكَاحِ الْقَائِمِ وَمَنْعُهُ مِنَ الزَّوَال
Keberlanjutan kepemilikan nikah yang sudah ada sebelumnya dan pencegahannya dari kehilangan.
b. Mazhab Al-Malikiyah
Ad-Dardir penulis kitab fiqih Asy-Syarhu Al-Kabir, mendefinisikan rujuk sebagai : [2]
عَوْدُ الزَّوْجَةِ الْمُطَلَّقَةِ لِلْعِصْمَةِ مِنْ غَيْرِ تَجْدِيدِ عَقْدٍ
Mengembalikan istri yang terlanjur diceraikan tanpa memperbaharui akad baru.
Definisi Ad-Dardir ini lebih tegas menyebutkan min ghairi tajdidi 'aqdin, artinya tanpa memperbaharui akad.
c. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Sedangkan Al-Khatib Asy-Syarbini dalam kitab Mughni Al-Muhtaj yang mewakili mazhab Asy-Syafi’iyah mendefinisikan rujuk sebagai : [3]
رَدُّ الْمَرْأَةِ إِلَى النِّكَاحِ مِنْ طَلاَقٍ غَيْرِ بَائِنٍ فِي الْعِدَّةِ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوصٍ
Mengembalikan wanita ke dalam pernikahan dari perceraian yang bukan talak bain dalam masa iddah dengan cara tertentu.
Definisi Al-Khatib Asy-Syarbini ini lebih menegaskan fil 'iddah, yaitu dilakukan di dalam masa iddah.
d. Mazhab Al-Hanabilah
Sedangkan Al-Buhuti dari mazhab Al-Hanabilah menyebutkan tentang definisi rujuk di dalam kitab Kasysyaf Al-Qinna' sebagai : [4]
إِعَادَةُ مُطَلَّقَةٍ غَيْرِ بَائِنٍ إِلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ بِغَيْرِ عَقْدٍ
Pengembalian wanita yang telah ditalak yang bukan bain kepada posisinya semula tanpa akad.
B. Masyru’iyah
Rujuk adalah salah satu praktek dalam urusan pernikahan, yang berlandaskan ayat-ayat Al-Quran dan juga sunnah nabawiyah.
1. Al-Quran
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا
Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka, bila mereka menginginkan ishlah. (QS.Al-Baqarah : 228)
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Apabila kamu menalak istri-istrimu dan sudah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). (QS. Al-Baqarah : 231).
2. As-Sunnah
Selain di dalam Al-Quran, masyru’iyah merujuk wanita yang telah ditalak juga ditegaskan di dalam hadits nabawi. Bahkan beliau SAW sendiri yang melakukannya kepada istri beliau sendiri.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ tأَنَّ النَّبِيَّ r طَلَّقَ حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW mentalak Hafshah kemudian beliau merujuknya. (HR. Ibnu Majah).
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ rطَلَّقَ حَفْصَةَ تَطْلِيقَةً فَأَتَاهُ جِبْرِيل u فَقَال : يَا مُحَمَّدُ طَلَّقْتَ حَفْصَةَ وَهِيَ صَوَّامَةٌ قَوَّامَةٌ وَهِيَ زَوْجَتُكَ فِي الْجَنَّةِ ؟ فَرَاجِعْهَا
Dari Anas radhiyallahhuanhu bahwa Nabi SAW mentalak Hafshah dengan talak satu. Jibril alaihissalam mendatanginya dan berkata,”Ya Muhammad, bagaimana kamu bisa mentalak Hafshah padahal dia seorang yang rajin berpuasa, tekun dan juga menjadi istrimu nanti di surga? Rujukilah dia”.(HR. Al-Haim)
3. Ijma’
Umat Islam sepanjang zaman telah berijma’ tentang disyariatkannya rujuk dalam sebuah perceraian, yaitu bila semua syaratnya telah terpenuhi.
Dalam kitab Ar-Raudhul Murbi’, Ibnul Mundzir berkata bahwa umat Islam telah ijma’ bahwa bagi orang merdeka yang mentalak bukan talak tiga, atau budak yang mentalak bukan talak dua, ada hak untuk merujuk istri yang telah diceraikannya.
C. Hukum Rujuk
Hukum asli dari rujuk adalah mubah atau boleh, dan merupakan hak bagi seorang suami.
Namun dalam kasus talak bid’ah, hukumnya berubah dari hukum asal.
1. Wajib
Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mewajibkan rujuk bagi suami yang melakukan talak kepada istrinya dengan talak bid’ah. Di antara yang kategori talak bid’ah adalah talak yang dilakukan saat seorang istri sedang dalam keadaan haidh.
Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahuanhu, bahwa dia telah mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Lalu ayahnya, Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu bertanya tentang hukumnya kepada Rasulullah SAW. Dan beliau SAW menjawab :
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْل أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
Perintahkan kepadanya (ibnu umar) supaya kembali kepada isterinya sehingga suci, kemudian haidh, kemudian suci lagi, kemudian apabila ia ingin mentalaknya hendaklah ia mentalak sebelum berhubungan dengannya, apabila tetap ingin bersamanya maka hendaklah bersamanya. Itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Sunnah
Namun mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah dalam kasus ini tidak mewajibkan rujuk. Mereka hanya mengatakan hukumnya sunnah.
Begitu juga dalam kasus dimana seorang suami merasa menesal telah mentalak istrinya, apalagi ditambah dengan kemashlahatan anak-anak, maka umumnya para ulama mengatakan merujuk istri yang telah ditalak hukumnya sunnah.
Dalilnya adalah firman Allah SWT berikut ini :
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik. (QS. An-Nisa’ : 128)
وَلاَ تَنْسَوُا الْفَضْل بَيْنَكُمْ
Dan janganlah kalian melupakan kebaikan-kebaikan di antara kalian. (QS. Al-Baqarah : 237)
3. Haram
Sedangkan rujuk yang hukumnya haram antara lain dalam kasus dimana suami berniat untuk mencelakakan istri. Larangan seperti itu telah dengan tegas disebutkan di dalam Al-Quran :
وَلاَ تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَل ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. (QS. Al-Baqarah : 231)
D. Syarat Rujuk
Untuk sahnya tindakan merujuk istri yang telah terlanjur ditalak, ada beberapa persyaratan, antara lain :
1. Rujuknya Atas Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang dimungkinkan setelah itu terjadi rujuk, yaitu talak yang baru satu kali atau talak yang untuk yang kedua kali.
Sedangkan bila talak itu sudah sampai ketiga kalinya, maka talak itu sudah bukan lagi talak raj’i, sehingga tidak bisa terjadi lagi rujuk. Talak untuk yang ketiga kalinya sering diistilahkan dengan bainunah kubra.
Kalau pun mantan pasangan suami istri ingin tetap kembali, walau sudah tiga kalil diceraikan, syariat Islam mengharuskan wanita itu menikah dengan laki-laki lain dengan nikah yang sah dan hubungan seksual harus terjadi. Hal itu ditegaskan di dalam Al-Quran :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِل لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَه فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 230)
2. Dalam Masa Iddah
Syarat kedua bahwa rujuk itu dilakukan dalam masa iddah dan sebelum habis masanya. Dan masa iddah itu adalah tiga kali quru' sebagaimana ditetapkan di dalam Al-Quran.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . (QS. Al-Baqarah : 228)
Sedangkan bila wanita itu dalam keadaan hamil dan tidak mungkin mendapat haidh, maka batas masa iddahnya hingga melahirkan, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran.
وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Perempuan-perempuan yang hamil masa iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan (QS. Ath-Talak : 4)
Kalau sudah lewat masa iddah, maka sudah tidak bisa lagi dirujuk begitu saja.
Kalau dikatakan tidak bisa dirujuk begitu saja, maksudnya bukan berarti pasangan itu tidak boleh bersatu kembali di bawah mahligai rumah tangga, tetapi maksudnya tidak cukup suami hanya menyebutkan kata rujuk. Kalau masa iddah sudah selesai, sementara pasangan itu ingin bersatu kembali, maka kembalinya mereka hanya bisa dilakukan lewat pernikahan ulang.
3. Sudah Dukhul Sebelumnya
Syarat ketiga masih terkait dengan syarat kedua di atas, yaitu bahwa rujuk terjadi setelah sebelumnya ada dukhul, yaitu hubungan badan alias jima' antara suami dan istri. Mengapa demikian?
Sebab kalau suami istri itu tidak pernah melakukan persetubuhan, kemudian suami menceraikan istrinya, maka tidak ada masa iddah. Padahal syarat kedua di atas menyebutkan bahwa rujuk itu hanya bisa dilakukan di dalam masa iddah. Kalau masa iddahnya saja sudah tidak ada, maka rujuk pun tidak bisa dilakukan.
Kalau pasangan itu mau bersatu kembali, jalurnya bukan lewat rujuk tetapi lewat sebuah pernikahan yang baru dari awal. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْل أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS. Al-Ahzab : 49)
4. Sebelum Terjadinya Fasakh
Syarat keempat bahwa rujuk itu bisa dilakukan asalkan pernikahan itu belum sempat dibubarkan lewat jalur fasakh.
Fasakh berbeda dengan talak. Fasakh adalah pembatalan pernikahan yang sudah terlanjur terjadi, seolah-olah tidak pernah terjadi pernikahan sebelumnya. Sedangkan talak bukanlah pembatalan pernikahan, melainkan menyudahi huubungan pernikahan yang sudah berjalan sampai disitu.
Lalu kenapa bila pisahnya lewat fasakh tidak bisa dilakukan rujuk?
Karena daam fasakh tidak dikenal masa iddah. Maka istri yang pisah dengan suaminya lewat cara fasakh tidak perlu menjalani masa iddah. Sebab masa iddah yang wajib dijalani itu hanya berlaku bila terjadi talak.
5. Talaknya Tanpa 'Iwadh (Bukan Khulu')
Syarat kelima bahwa rujuk bisa dilakukan asalkan bubarnya pernikahan itu bukan lewat jalur khulu'. Khulu’ adalah terlepaskan hubungan perkawinan dengan cara istri memberi uang tebusan kepada suami, dengan tujuan agar suami menceraikannya.
Yang menjadi titik pentingnya dalam khulu' bukan pada status perpisahan, namun justru terletak harta atau uang tebusan itu sendiri. Adanya harta atau uang tebusan inilah yang membedakan khulu' dengan jenis-jenis perpisahan lainnya secara unik dan spesifik.
6. Rujuk Tanpa Syarat
Syarat keenam bahwa rujuk yang dilakukan itu tidak boleh bersyarat, dalam arti digantungkan kepada suatu kejadian lain. Suami harus menyebutkan status rujuk secara pasti dengan lafadz yang tidak menggantung.
Bila suami berkata,"Aku akan merujukmu bila nanti malam turun hujan", maka hal itu belum bisa dikatakan sebagai rujuk. Begitu juga bila dia berkata,"Aku akan merujukmu minggu depan", itupun belum termasuk rujuk yang sah.
7. Syarat Ahliyah
Syarat terakhir adalah ahliyah, maksudnya suami yang merujuk itu harus berstatus muslim, akil dan baligh. Bahkan dalam mazhab Asy-syafi'iyah ditambahkan syarat lagi yaitu tidak dalam keadaan terpaksa dan bukan suami yang murtad.
E. Tata Cara Rujuk
Secara umum menurut para ulama, rujuk bisa dilakukan dengan ucapan ataupun dengan perbuatan.
1. Dengan Perkataan
Rujuk sah dilakukan dengan satu kalimat seperti lafadz raja'tuki (راجعتك) yang bermakna,"Aku merujukmu".
Lafadz rujuk ini tidak disyaratkan harus diucapkan kepada istri langsung. Jadi boleh saja seseorang hanya berikrar seorang diri tidak di depan istrinya sambil berkata,"Aku merujuknya". Cukup begitu saja dan hukumnya sudah sah. Nanti istrinya cukup diberitahu bahwa suami sudah merujuknya, dan dia tidak harus menyaksikan ucapan suaminya.
Bahkan dalam ikrar rujuk juga berlaku ucapan yang bersifat kinayah alias kalimat bersayap tanpa menyebutkan kata rujuk. Misalnya suami berkata kepada istrinya yang sedang dalam masa iddah,"Dirimu tetap milikku". Maka kalimat itu saja sudah cukup menjadi rujuk.
2. Dengan Perbuatan
Banyak ulama yang berpendapat bahwa rujuk juga sah dilakukan tanpa ucapan apapun dan sebagai gantinya hanya berupa tindakan atau perbuatan saja, baik berupa percumbuan ataupun dengan persetubuhan.
Namun pendapat ini ada pengecualiannya dari sebagian ulama dan juga ada perbedaan dalam rinciannya.
a. Al-Hanafiyah
Dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, percumbuan sebelum jima' sudah termasuk rujuk, apalagi jima'nya itu sendiri. Dan semua itu terjadi meski tidak harus diiringi niat untuk rujuk di dalam hati. Disebutkan dalam kitab Al-Hidayah disebutkan ibarahnya :
أَوْ يَطَؤُهَا أَوْ يَلْمَسُهَا بِشَهْوَةٍ أَوْ يَنْظُرُ إِلَى فَرْجِهَا بِشَهْوَةٍ وَهَذَا عِنْدَنَا
Menyebutuhinya, menyentuhnya dengan syahwat, atau melihat kemaliannya dengan nafsu syahwat, semua itu menurut pandangan kami (merupakan rujuk). [5]
Pendapat ini menurut Al-Hanafiyah diriwayatkan dari banyak ulama, diantaranya Said bin Al-Musayyib, Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Thawus, Atha' bin Abi Rabah, Al-Auza'i, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Asy-Sya'bi, serta Sulaiman At-Taimi.
Melihat Atau Menyentuh Kemaluan Istri Dengan Nafsu
Namun harus dibedakan antara memandang bagian tubuhnya dengan dengan memandang kemaluanya. Yang bisa menjadi rujuk hanya bila memandang kemaluannya dengan nafsu. Sedangkan bagian tubuh yang lain, meski memandangnya dengan sepenuh nafsu, belum termasuk rujuk.
Demikian juga dengan menyentuh kemaluan istri, disyaratkan harus dengan nafsu syahwat. Ini untuk membedakan antara sentuhan sebagai permulaan persetubuhan dengan sentuhan yang dilakukan oleh dokter. Dokter demi untuk pengobatan, bisa saja menyentuh kemaluannya tetapi tidak ada nafsu syahwat.
Mencium Istri Dengan Nafsu
Mencium istri juga akan mebuat terjadinya rujuk, dengan syarat harus dengan nafsu syahwat. Sedangkan ciuman biasa tidak menjadi rujuk, karena tidak ada bedanya dengan bila dicium oleh anaknya, ayah ibunya atau orang lain.
Landasan Syar'i
Landasan syar'i yang digunakan mazhab ini adalah bahwa rujuk itu sama dengan nikah. Kalau dalam nikah dibolehkan jima' dan mukaddimahnya, maka dalam rujuk juga berlaku jima' dan mukaddimahnya juga. [6]
Dan rujuk juga terjadi meski yang melakukannya percumbuan sebelum persetubuhan pihak istri sendiri. Bila istri mencumbui suaminya seperti mencium, memandang aurat dan menyebutuh suaminya dengan sepenuh nafsu syahwat, maka sudah terjadi rujuk.
b. Al-Malikiyah
Pandangan mazhab Al-Malikyah punya banyak kemiripan dengan pandangan mazhab Al-Hanabilah, yaitu jima' dan percumbuian penuh syahwat sudah menjadikan rujuk terjadi. Namun perbedaannya dalam mazhab ini bahwa semua itu harus diiringi dengan niat untuk rujuk dari pisah suami.
Bila suami melakukan percumbuan yang membawanya kepada nafsu syahwat yang berat, seperti mencium, menyentuh, bahkan memandang kemaluan istrinya, belum terjadi rujuk kecuali dia berniat di dalam hatinya untuk rujuk.
Sebaliknya, bila suami meniatkan dalam hati untuk merujuk istrinya, meski tanpa terjadi persetubuhan atau percumbuan, justru sudah terjadi rujuk. Disebutkan dalam kitab salah satu rujukan mazhab Al-Malikiyah :
الرَّجْعَةَ لاَ تَحْصُل بِفِعْلٍ مُجَرَّدٍ عَنْ نِيَّةِ الرَّجْعَةِ وَلَوْ بِأَقْوَى الأْفْعَال كَوَطْءٍ وَقُبْلَةٍ وَلَمْسٍ وَالدُّخُول عَلَيْهَا مِنَ الْفِعْل فَإِذَا نَوَى بِهِ الرَّجْعَةَ كَفَى
Rujuk tidak terjadi hanya dengan perbuatan saja tanpa niat untuk merujuk, meskipun dengan perbuatan seperti hubungan badan, mencium atau meraba. Dukhul kepada istri sudah termasuk rujuk asalkan diniatkan untuk rujuk sudah cukup. [7]
Intinya rujuk dalam mazhab Al-Malikiyah harus dengan niat yang melandasi perbuatan.
c. Asy-Syafi'iyah
Pendapat mazhab Asy-Syafi'iyah agak berbeda dengan kedua pendapat sebelumnya. Dalam mazhab ini, perbuatan seperti percumbuan atau persetubuhan suami istri sama sekali tidak akan menyebabkan terjadinya rujuk. Bahkan meski perbuatan itu diiringi dengan niat merujuk istri di dalam hati.
Landasan Syar'i
Adapun landasan syar'i yang digunakan adalah bahwa suami yang menjatuhkan talak pada istrinya berstatus seperti orang lain alias ajnabi. Mereka diharamkan melakukan persetubuhan ataupun percumbuan layaknya suami istri kecuali setelah terjadi rujuk.
Dan dalam pandangan mazhab ini, rujuk itu diibaratkan seperti sebuah pernikahan, dimana nikah itu tidak cukup hanya dilakukan dengan percumbuan, persebutuhan atau hanya niat saja. Nikah itu butuh akad secara lisan. Oleh karena itulah maka rujukpun harus dilakukan dengan lisan juga sebagaimana pernikahan, kecuali bedanya tidak perlu ada ijab dan qabul.
Oleh karena itu mazhab Asy-syafi'iyah memandang ketika seorang suami menyetubuhi istrinya atau mencumbuinya dalam masa iddah, maka perbuatan itu termasuk haram, sebagaimana haramnya menyetubuhi atau mencumbui wanita ajnabi yang bukan istrinya.
d. Al-Hanabilah
Pendapat mazhab Al-Hanabilah dalam masalah rujuk lewat perbuatan adalah rujuk terjadi manakala dilakukan persetubuhan saja. Sedangkan mukqaadimahnya seperti percumbuan, ciuman, sentuhan dan melihat kemaluan, belum mengakibatkan terjadinya rujuk.
F. Saksi
Apakah untuk rujuk dibutuhkan saksi?
Ada khilafiyah di antara para ulama dalam masalah keharusan adanya saksi dalam rujuk nikah.
1. Tidak Perlu Saksi
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-syafi'iyah dengan qaul jadid pada umumnya tidak mensyaratkan adanya saksi untuk rujuk ini, kecuali mereka mengatakan bahwa keberadaan saksi hukumnya mustahab. Walaupun secara nash memang ada disebutkan, namun perintah dalam nash itu tidak bermakna kewajiban melainkan hanya merupakan sunnah.
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
Dan hendaklah ada dua saksi yang adil dari kalian (QS. At-Talaq : 2)
2. Harus Ada Saksi
Sedangkan pendapat mazhab Asy-syafi'i dengan qaul qadim mewajibkan adanya saksi dalam rujuk nikah. Demikian juga pendapat sebagian riwayat dari mazhab Al-Hanabilah.
o