Meskipun ikatan pernikahan disebut sebagai ikatan yang amat kuat, namun biar bagaimana pun ikatan itu ada batasnya. Terkadang ikatan itu terlepas dan terurai, baik karena kehendak masing-masing pihak dari suami atau istri, atau pun karena sebab di luar kehendak mereka.
Di antara penyebab terurainya ikatan pernikahan antara suami dan istri adalah :
A. Kematian
Kematian adalah penyebab utama dan pasti akan mengakhiri semua pernikahan di muka bumi ini. Kita sering mendengar ungkapan bahwa : semoga pernikahan ini abadi hingga kematian memisahkan.
Kematian itu membuat seorang wanita secara otomatis menjadi janda dan seorang suami menjadi duda. Ikatan pernikahan di antara mereka menjadi terputus dengan sendirinya, oleh sebab kematian yang memisahkan.
1. Suami Wafat
Bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya, meksi ikatan pernikahannya sudah berakhir, namun masih ada beberapa ikatan hukum bawaan, antara lain :
a. Masa Iddah
Masih ada keharusan menjalani masa iddah. Masa iddahnya berlangsung hingga 4 bulan 10 hari, bila istri tidak sedang hamil. Dan bila sedang hamil, maka masa iddahnya hingga anaknya lahir.
b. Hak Waris
Hak waris dari harta suaminya yang wafat, yaitu sebesar 1/8 bagian bila suaminya punya anak yang menerima waris, atau 1/4 bila suaminya tidak punya anak yang menerima waris.
c. Hak Mahar Yang Belum Terbayar
Bila suami belum melunasi hutang maharnya kepada istri, tentu saja istri berhak untuk menerima pembayaran mahar itu dari harta suaminya, di luar harta warisan.
2. Istri Wafat
Namun istri yang wafat, suami tidak perlu menjalani masa iddah, karena tidak ada iddah bagi laki-laki. Bila istri wafat, maka dari sebagian harta milik istri ada hak waris bagi suami, yaitu 1/4 bagian bila istri punya anak yang menerima waris, atau 1/2 bagian bila istri tidak punya anak yang menerima waris.
Sedangkan bila suami masih punya hutang mahar kepada istrinya, maka hutang itu wajib dibayarkan kepada ahli waris dari istrinya, yaitu dirinya sendiri, anak-anaknya dan ahli waris lain yang memang ada.
3. Kasus Suami atau Istri Hilang
Ketika suami dinyatakan hilang oleh karena satu hal, maka para ulama berbeda pendapat apakah secara hukum syariah otomatis terjadi perceraian, ataukah harus ada kepastian tentang kematiannya secara hukum.
Mazhab Al-Hanafiyah dan As-Syafi’iyah menyebutkan bahwa istri yang suaminya menghilang tetap menjadi istri, hingga didapat kepastian atas kematian sang suami. Selain itu juga bila sudah melewati masa yang panjang dimana secara ukuran logika manusia tidak mungkin seseorang mencapai usia tersebut. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah merinci dan membedakan detail tiap kasusnya.
B. Talak
Penyebab kedua terurainya ikatan pernikahan adalah talak, yaitu pemutusan ikatan yang datang dari pihak suami kepada istrinya.
1. Hakikat Talak
Talak pada hakikatnya adalah ikrar berupa pemutusan hubungan suami istri atas sebuah pernikahan yang sah sebelumnya. Maka bila pasangan itu bukan suami istri, tidak ada istilah talak.
Pasangan suami istri yang dipisahkan dengan talak memang resmi pisah, namun biar bagaimana pun status keduanya masih menyisakan beberapa hal penting, di antaranya :
a. Masa Iddah
Adanya masa iddah bagi istri yang ditalak, minimal selama 3 kali masa suci dari haidh. Dan selama masa iddah berlangsung, status istri itu masih 100% istri yang sah. Oleh karena itu selama masa iddah, suami masih wajib memberi nafkah berupa makanan, pakaian dan juga tempat tinggal.
Bahkan secara hukum, istri yang ditalak oleh suaminya masih wajib tinggal bersama dengan suami yang mentalaknya itu, dan diharamkan keluar rumah.
Istri yang masih berada dalam masa iddah pun diharamkan berhias, serta menerima lamaran dari laki-laki lin, hingga tuntas masa iddahnya.
b. Selain Talak Tiga : Boleh Rujuk atau Nikah Ulang
Bila talak yang dijatuhkan suami baru pertama kalinya, atau baru untuk yang kedua kalinya, maka kesempatan mereka bersatu kembali masih terbuka lebar.
Ada dua cara untuk kembali, yaitu lewat rujuk dan lewat nikah ulang :
§ Rujuk : bersatu kembali lewat rujuk cukup dengan ucapan suami merujuk istrinya. Syaratnya asalkan rujuk dilakukan suami selama masa iddah.
§ Nikah Ulang : bila suami selama masa iddah istri tidak melakukan rujuk, lantas masa iddah itu habis terlewat, pasangan itu tetap saja masih bisa bersatu kembali, yaitu lewat nikah ulang.
Namun bila talak yang dilakukannya sudah untuk yang ketiga kalinya, maka tidak ada lagi kesempatan untuk rujuk atau nikah ulang.
2. Teknis
Untuk dapat menjatuhkan talak, pihak suami tidak membutuhkan kehadiran wali, para saksi, dan juga tidak membutuhkan jawaban persetujuan sebagaimana dalam ijab qabul akad nikah. Suami cukup mengucapkan lafadz talak, seperti mengatakan,"Mulai saat ini istri saja yang bernama fulanah saya talak". Cukup lafadz seperti itu diucapkan kepada istrinya, maka jatuhlah talak itu. Bahkan meski pun istrinya tidak hadir saat itu dan hanya mendengar kabarnya saja.
3. Talak Bersifat Sepihak
Talak bersifat sepihak, sehingga tetap bisa jatuh meski pun tanpa persetujuan istri.
Dan oleh karena itu yang bisa melakukan talak hanya pihak suami, sedangkan pihak istri tidak bisa melakukan talak. Seandainya istri mengucapkan talak
Pembahasan lebih dalam tentang talak ini insya Allah akan kita lakukan pada bab-bab berikutnya dari bagian ini.
C. Fasakh
Penyebab ketiga terurainya tali ikatan pernikahan adalah fasakh. Istilah fasakh ini agak jarang kita dengar di lidah orang Indonesia, barangkali karena kasusnya pun jarang terjadi.
1. Hakikat Fasakh
Fasakh adalah pembatalan pernikahan yang sudah terlanjur terjadi, dengan status hukum seolah-olah perikahan itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan fasakh ini berbeda dengan talak yang sifatnya menyudahi hubungan pernikahan yang sudah berjalan.
Maka kalau pasca talak masih ada konsekuensi hukum seperti adanya iddah bagi istri dan lainnya, pada kasus fasakh tidak ada konsekuensi hukum apapun di belakangnya. Maka fasakh tidak mengenal masa iddah buat istri, juga tidak ada istilah fasakh satu, fasakh dua atau fasakh tiga.
Pasangan yang pernah dipisahkan karena kasus fasakh, kalau masih memungkinkan dan tidak ada penghalang, boleh saja menikah kembali.
2. Fasakh Butuh Penyebab
Satu hal yang membedakan fasakh dengan talak adalah bahwa fasakh tidak sah dilakukan kalau tidak ada penyebabnya. Sedangkan dalam talak, secara hukum suami bisa dan sah menjatuhkan talak kepada istrinya dengan atau tanpa sebab yang mengharuskan.
Di antara penyebab yang membuat fasakh sah dilakukan adalah tidak sekufunya pasangan suami istri, atau terdapatnya aib baik pada suami atau istri, atau bisa juga karena kurangnya mahar atau nafkah dari suami. Dalam kasus salah satu pasangan masuk Islam dan yang lain tidak, maka fasakh nikah bisa dilakukan.
Demikian juga bila pasangan pengantin di bawah umur dinikahkan, lalu ketika mereka baligh mendapatkan khiyar bulugh. Artinya mereka boleh memilih untuk melakukan fasakh atas penikahan mereka, atau meneruskannya. Dan masih banyak lagi penyebab fasakh, insya Allah akan kita bahas lebih lanjut pada babnya nanti.
a. Ketidak-sesuaian Kafaah
Ketidak-sesuaian kafaah antara suami dan istri bisa menjadi sebab terurainya ikatan pernikahan. Orang bilang bahwa suami dan istri tidak se-kufu.
Contoh yang paling mudah adalah apa yang terjadi antara Zaid bin Haritsah yang berasal dari keluarga budak, yang menikah dengan Zainab, seorang wanita mulia dan syariah dari kalangan keluarga pembesar Quriasy. Perbedaan kelas di antara mereka berdua nyaris tidak bisa dihindarkan. Dan sejarah menyebutkan bahwa keduanya dipisahkan. Zainab kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW.
b. Tahrim Karena Penyusuan
Apabila atas suami pembuktian yang sah didapat kepastian bahwa suami istri ternyata pasangan yang mahram, maka secara hukum otomatis keduanya tidak mungkin melanjutkan pernikahan.
Dan umumnya kekeliruan semacam ini terjadi bukan karena mahram secara nasab, melainkan mahram secara penyusuan (radha’ah).
Maka ikatan pernikahan yang terlanjur berjalan secara hukum harus dibatalkan dalam arti dianggap tidak pernah terjadi. Dan oleh karena itu statusnya bukan talak melainkan fasakh.
c. Aib Dalam Khiyar
Fasakh juga mungkin terjadi disebabkan aib yang secara sengaja ditutupi dan kemudian terbuka. Prosesnya tentu harus melewati beberapa syarat terlebih dahulu.
§ Semua syarat dan rukun nikah sudah ditunaikan.
§ Jenis aibnya termasuk aib yang lazim bisa dijadikan dasar fasakh, sebagaimana nanti akan dijelaskan secara tersendiri dalam bab fasakh.
§ Adanya ketidaktahuan atas adanya aib sejak sebelumnya. Dan biasanya hal itu terjadi lantaran ada kesengajaan untuk ditutup-tutupi.
Tidak ridha dengan aib itu
D. Khulu'
Penyebab keempat terurainya tali ikatan pernikahan adalah khulu' (خلع).
Khulu' juga sedikit berbeda dengan talak dalam beberapa hal. Sebagian ulama mengatakan bahwa khulu' itu bukan talak, namun sebagian pendapat yang lain mengatakan bahwa pada hakikatnya khulu' itu adalah talak, atau bagian dari talak.
Para ulama menyebutkan bahwa hakikat khulu' adalah tebusan yang dibayar oleh seorang isteri kepada suami yang membencinya, agar suami dapat menceraikannya.
Jumhur ulama berpendapat bila suami menerima khulu’ yang diajukan oleh isterinya, maka isterinya telah berkuasa atas dirinya sendiri dan segala urusannya berada di tangannya.
Dan untuk itu suami tidak diperbolehkan merujuknya dan mereka akan terpisah selamanya, dan sama sekali tidak akan pernah ada kemungkinan untuk kembali, sampai kapan pun.
E. Ilaa'
Para ulama menyebutkan bahwa definisi ilaa' adalah :
أَنْ يَحْلِفَ الزَّوْجُ بِاللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِصِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ الَّتِي يُحْلَفُ بِهَا أَلاَّ يَقْرَبَ زَوْجَتَهُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ أَوْ أَكْثَرَ
Suami bersumpah dengan menggunakan nama Allah atau salah satu dari sifat-Nya untuk tidak mendekati istrinya selama 4 bulan atau lebih.
Misalnya suami berkata kepada istrinya,"Demi Allah, Aku tidak akan mendekati dirimu selama 4 bulan atau 6 bulan". Atau suami berkata,"Demi Allah, Aku tidak akan mendekatimu untuk selama-lamanya, atau seumur hidupku".
Dalam hal ini yang menjadi titik tekan adalah adanya sumpah dengan menggunakan nama Allah. Sehingga apabila lafadz ilaa' atau tekad untuk tidak mendekati istri tidak disertai penyebutan sumpah dengan nama Allah, menurut para ulama hal itu bukan termasuk ilaa'.
Sebab Rasulullah SAW menyebutkan :
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
Siapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan nama Allah atau diam saja. (HR. Muslim)
Menurut Abu Hanifah, talak yang terjadi karena ilaa' merupakan talak ba’in. Karena jika talak itu raj‘i, maka dimungkinkan bagi suami untuk memaksanya ruju’. Sebab, hal itu merupakan haknya. Dan demikian itu menghilangkan kepentingan isteri dan dimana ia (isteri) tidak dapat menghindarkan diri dari bahaya.
Imam Malik, Imam Syafi’i, Said bin Musayyab dan Abu Bakar bin Abdirrahman mengatakan, bahwa ilaa’ itu merupakan talak raj‘i, karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ila’ itu talak ba’in.
Lebih jauh tentang masalah ilaa’ ini akan kita bahas dalam bab tersendiri.
F. Li'an
Mazhab Al-Malikiyah mendefinisikan pengertian li’an sebagai berikut :
حَلِفُ زَوْجٍ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ عَلَى زِنَا زَوْجَتِهِ أَوْ عَلَى نَفْيِ حَمْلِهَا مِنْهُ وَحَلِفُهَا عَلَى تَكْذِيبِهِ أَرْبَعًا مِنْ كُلٍّ مِنْهُمَا بِصِيغَةِ أُشْهِدُ اللَّهَ بِحُكْمِ حَاكِمٍ
Sumpah yang dilakukan oleh seorang suami yang beragama Islam dan sudah mukallaf (aqil baligh), atas perbuatan zina yang dituduhkan kepada istrinya, atau atas pengingkaran atas anak yang dikandungnya, dimana suaminya bersumpah empat kali bahwa istrinya telah berdusta, yang tiap shighatnya berisi : “Aku bersaksi kepada Allah dengan hukum hakim . . “.
Dari definisi ini, kita bisa merinci bahwa mazhab ini menekankan beberapa, antara lain
§ Status suami yang harus muslim, aqil dan baligh.
§ Yang dituduhkan bisa berupa zina yang dilakukan istrinya
§ Dan bisa juga berupa tuduhan zina secara tidak langsung, yaitu berupa penolakan atas bayi yang dikandung istrinya.
§ Ada penekanan penggunaan lafadz sumpah sebanyak empat kali dengan sighat tertentu.
Jumhur ulama, diantaranya mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa pasangan suami istri yang melakukan li'an berpisah untuk selama-lamamnya.
Konsekuensi hukum ini amat dahsyat, karena bukan hanya terpisah atau terceraikan dengan sendirinya secara hukum, namun mereka menjadi pasangan yang diharamkan menikah lagi untuk selama-lamanya, atau disebut menjadi mahram muabbad.
Keharaman ini seperti keharaman pernikahan antara seorang laki-laki dengan ibunya sendiri, atau seperti haramnya menikah dengan saudara sesusuan.
Dengan kata lain, status pasangan yang saling melakukan li'an itu bukan hanya talak atau bercerai, tetapi haram menikah lagi selamanya.
Bahkan lebih parah dari sekedar talak tiga. Sebab dalam kasus talak tiga, masih ada kemungkinan terjadinya pernikahan kembali, asalkan istri sempat menikah dulu dengan laki-laki lain.
Dasar atas ketentuan ini adalah sabda Rasulullah SAW tentang konsekuensi hukum pasangan yang melakukan li'an.
الْمُتَلاعِنَانِ إِذَا تَفَرَّقَا لا يَجْتَمِعَانِ أَبَدًا
Pasangan yang melakukan li'an tidak akan saling bertemu selamanya. (HR. Ad-Daruquthuny)
Sedangkan menurut pendapat mazhab Al-Hanafiyah, pasangan itu tidak secara otomatis bercerai. Namun mereka diharamkan untuk melakukan hubungan suami istri (jima') pasca li'an. [1]
G. I'sar
Yang dimaksud dengan i'sar adalah ketidak-mampuan suami dalam memenuhi kewajiban memberi mahar atau nafkah sesuai yang telah disepakati di awal.
Di dalam kitab Al-Muhadzdzab fi Fiqhi Al-Imam Asy-syafi'i disebutkan definisi i'sar : [2]
عَدَمُ الْقُدْرَةِ عَلَى النَّفَقَةِ أَوْ أَدَاءُ مَا عَلَيْهِ بِمَالٍ وَلاَ كَسْبَ
Ketidakmampuan dalam memberi nafkah atau menunaikan kewajibannya dengan harta atau penghasilan.
1. Mahar
Ketika seorang suami tidak mampu memberi atau melunasi mahar sesuai yang telah ditetapkan di awal, maka para ulama berpeda pendapat.
Al-Hanafiyah mengatakan ketidakmampuan suami dalam memberikan sisa mahar tidak boleh dijadikan dasar untuk perpisahannya dengan istrinya. Namun istrinya berhak untuk tidak menyerahkan dirinya selama suaminya belum menyerahkan nafkah.
Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa ketidak-mampuan suami dalam menyerahkan sisa mahar yang masih jadi hutang dapat dijadikan dasar untuk perpisahan mereka.
Dan ada banyak pendapat di kalangan ulama Asy-Syafi'iyah serta Al-Hanabilah yang saling berbeda-beda.
2. Nafkah
Ketika sudah bisa ditetapkan ketidak-mampuan suami dalam memberi nafkah yang telah ditetapkan sebelumnya, maka istri meminta tafriq (diceraikan), maka jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa permintaan itu harus diqabulkan.
Sedangkan menurut pandangan Al-Hanafiyah, permintaan cerai dari istri dengan alasan bahwa suaminya tidak mampu memberi nafkah tidak perlu diqabulkan.
H. Riddah
Murtadnya salah satu pasangan secara umum akan membuat terurainya benang ikatan pernikahan. Sebab salah satu sendi utama ikatan itu adalah kesamaan agama.
Sebagaimana Islam mengharamkan pernikahan terjadi antara seorang muslim dengan orang kafir, maka apabila tadinya pasangan itu sama-sama beragama Islam lalu salah satunya ada yang keluar alias murtad, maka secara otomatis pernikahan itu menjadi runtuh.
Yang disepakati ulama adalah bahwa ketika salah satu pasangn murtad, maka pasangan itu haram tinggal seatap, apalagi melakukan hubungan seksual suami istri.
Namun para ulama berbeda pendapat dalam urusan perpisahan di antara mereka, apakah terjadi secara otomatis sejak terjadinya kemurtadan itu, ataukah lewat proses tertentu.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang status perpisahannya, apakah berstatus cerai (talak) atau fasakh.
o