Kemenag RI 2019 : (Mereka) tuli, bisu, lagi buta, sehingga mereka tidak dapat kembali. Prof. Quraish Shihab : Tuli, bisu, buta, maka tidaklah mereka kembali (insaf dan menyadari kesesatan mereka). Prof. HAMKA : Tuli, lagi bisu, lagi buta
Lafazh shummum bermakna tuli alias tidak bisa mendengar. Secara teknis, orang tuli itu disebabkan banyak faktor. Kemungkinan pertama, gendang telinganya tidak berfungsi, sehingga tidak ada pesan yang diterima otak. Namun bisa juga gendang telinganya berfungsi, tapi yang bermasalah justru syaraf yang berfungsi menyampaikan informasi dari gendang telinga ke otak. Bahkan bisa juga otak yang bagian mengolah fungsi suara tidak bekerja dengan benar, sehingga otak mengganggapnya tidak ada suara yang didengar.
Namun yang dimaksud dengan tuli disini tentu saja bukan orang munafik di Madinah, sebab ketulian itu sifatnya adalah perumpamaan saja, karena punya telinga tapi mendengar hidayah dan kebenaran, seolah-olah dianggap tuli.
بُكْمٌ
Lafazh bukmun maknanya adalah bisu, artinya tidak bisa berkata berkata-kata dan berucap. Dan tuli itu bisa saja mengakibatkan kebisuan, meskipun tidak selalu demikian. Penjelasannya karena kepandaian manusia dalam berbicara itu amat besar dipengaruhi dari apa yang didengarnya.
Dalam ilmu liguistik, kemampuan berbahasa itu sangat dipengaruhi dari bahasa yang digunakan oleh lingkungan sekitar. Anak-anak di negeri Cina sejak kecil selalu mendengar percapakan dalam bahasa Cina, maka wajar ketika anak itu lancar berbahasa Cina. Dari sanalah muncul istilah bahasa ibu, yaitu bahasa yang pertama kali dipelajari seseorang sejak kecil secara alamiah dan menjadi dasar sarana komunikasi serta pemahaman terhadap lingkungannya.
Namun bisu yang dimaksud disini bahwa keadaan orang munafik itu tidak bisa mengucapkan hal-hal yang jujur sesuai dengan isi hatinya.
عُمْيٌ
Lafazh ‘umyun dimaknai sebagai buta atau tidak bisa melihat. Secara teknis yang terjadi pada orang buta bisa saja lensa matanya tertutup oleh katarak. Namun boleh lensa matanya normal sehingga ada cahaya masuk ke dalam bola mata dan diterima oleh retina. Tapi mungkin ada gangguan teknis sehingga informasi gambar di mata tidak terkirim ke otak, atau vortex di otak yang fungsinya menerjemahkan informasi itu tidak berfungsi. Akibatnya, otak mengatakan tidak ada penglihatan viusal.
Kalau ungkapan buta ini dikaitkan dengan ayat sebelumnya yang menggambarkan kegelapan tanpa cahaya, maka semakin parah saja perumpamaannya. Dengan mata normal saja, sudah tidak terlihat karena saking gelapnya, masih ditambah lagi dengan kebutaan pada mata, maka lengkap sudah masalahnya.
Namun tentu saja kebutaan yang dimaksud ayat ini bukan buta mata secara fisik, melainkan buta hati. Dan sifat ini disematkan pada orang-orang munafikin di Madinah di masa kenabian, yaitu sebagian kalangan yahudi yang berpura-pura masuk Islam, padahal hatinya kafir. Mereka inilah yang disebut buta, namun bukan buta mata melainkan buta hati. Persis sebagaimana firman Allah SWT