Kemenag RI 2019 : Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Prof. Quraish Shihab : Hai seluruh manusia! Sembahlah Tuhan Pemelihara kamu Yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa. Prof. HAMKA : Wahai, manusia! Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu terpelihara.
Kalau sejak ayat pertama hingga ayat ke-20, topik ayat-ayatnya membicarakan tiga pembagian golongan manusia, yaitu orang beriman, orang kafir dan orang munafik, maka memasuki ayat ke-21 ini topik pembicaraan berganti menjadi topik tentang perintah kepada semua manusia untuk menyembah Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan umat manusia sebelumnya, agar mereka bertaqwa.
Munasabah atau hubungannya antara ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya adalah ketiga golongan manusia diperintahkan untuk menyembah Allah SWT.
يآأيها
Huruf ya (يا) disebut dengan harfun-nida yaitu huruf hijaiyah dalam bahasa Arab gunanya untuk menyapa orang yang posisinya agak jauh. Sedangkan ayyuha terdiri dari ayyu dan ha, dimana ayyu (أي) adalah ism munada dan ha (ها) berfungsi sebagai tanbih : memberi perhatian. Secara keseluruhan sulit untuk bisa dicarikan padanan kata yang pas dan presisi karena keterbatasan bahasa, sehingga para penerjemah sering ambil jalan pintas dengan menerjemahkannya dengan sederhana menjadi : Wahai.
الناس
Lafazh an-nas bermakna manusia, dalam hal ini Allah SWT menyapa manusia yang mana termasuk juga selain orang beriman. Umumnya para mufassir mengenali ayat yang turun di masa Mekkah apabila panggilannya ditujukan kepada manusia (الناس).
Sebaliknya apabila panggilannya khusus hanya orang-orang beriman (يآأيها الذين آمنوا), itu menujukkan ciri bahwa ayat itu turun sudah di masa Madinah.
Para ulama fiqih menggunakan panggilan Allah SWT kepada manusia dalam ayat ini sebagai dasar bahwa orang-orang kafir yang bukan muslim tetap jadi objek dalam menjalankan perintah ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.
Meskipun begitu, apabila orang kafir menjalankan perintah ibadah itu hukumnya tidak sah, karena syarat diterimanya ritual ibadah harus berstatus sebagai muslim. Ini bisa diibaratkan dengan perintah mengerjakan shalat bagi seorang muslim yang belum berwudhu’.
Dia wajib mengerjakan shalat dan berdosa bila meninggalkannya, namun kalau dia mau mengerjakan shalat dia harus berwudhu’ terlebih dahulu. Bila dia nekat mengerjakan shalat tapi belum berwudhu’, maka shalatnya tidak diterima.
Begitu juga dengan orang kafir, mereka tetap diwajibkan menjalankan ibadah-ibadah ritual sebagaimana kita sebagai muslim. Namun selama mereka belum membaca syahadat menjadi muslim, semua ibadah yang mereka lakukan tidak sah dan tidak diterima Allah SWT.
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. (QS. Al-Araf : 147)
اعبدوا
Lafazh u’budu berasal dari (عبد - يعبد) merupakan fi’il amr yang merupakan perintah untuk mengerjakan ibadah, dimana pada dasarnya semua perintah itu hukumnya wajib dijalankan. Makna ibadah itu sendiri secara bahasa adalah merendah (الذلة). Sedangkan secara istilah, yang dimaksud dengan ‘menyembah’ menurut Ar-Razi (w. 606 H) dalam Mafatih Al-Ghaib adalah
Gabungan antara kesempurnaan cinta, merendahkan diri dan takut.[1]
As-Syaukani (w. 1250 H) dalam tafsir Fathul Qadir menyebutkan bahwa ibadah itu adalah aqsha ghayatil khudhu’i wa at-tadzallul (أقصى غاية الخضوع والتذلل) yaitu puncak ketundukan dan merendah.[2]
Ibnu Abbas menyebutkan maksud dari perintah ‘sembahlah tuhanmu’ adalah ‘tauhidlah Dia’. Apapun yang tertulis dalam Al-Quran terkait perintah ibadah maksudnya adalah perintah bertauhid. (كَلُّ مَا وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ مِنَ الْعِبَادَةِ فَمَعْنَاهَا التَّوْحِيدُ).[3]
Namun umumnya para ulama mengatakan bahwa perintah ibadah di dalam Al-Quran tidak hanya berhenti sekedar untuk bertauhid saja, tetapi sebagaimana zahirnya ayat, perintah ibadah termasuk juga perintah melakukan perintah yang bersifat furu’ atau cabang-cabang ibadah ritual seperti shalat, puasa dan lainnya.
Dan karena perintah ini ditujukan kepada semua manusia, maka perintah melakukan ritual ibadah juga berlaku untuk orang-orang kafir yang bukan muslim. Dengan kata lain, orang kafir pun ikut mendapat perintah untuk melakukan ibadah juga.
Dan jumhur ulama sepakat bahwa orang kafir itu termasuk mendapat perintah untuk melaksanakan cabang-cabang ibadah. Apabila mereka meninggalkan perintah itu, mereka pun ikut berdosa juga, di luar kekafirannya. Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut :
Di dalam surga, orang-orang saling tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?". Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, (QS. Al-Muddatstsir : 40-43)
Memang dalam hal ini orang kafir berada pada posisi serba salah mirip makan buah simalakama, dimakan ibu mati tidak dimakan ayah mati. Orang kafir itu bila mengerjakan ibadah ritual, amalnya tidak sah dan tidak diterima Allah SWT. Sebaliknya, bila mereka meninggalkan ibadah ritual, di sisi Allah SWT mereka dicatat tetap berdosa dan mendapat siksa per-item ibadah wajib yang ditinggalkan.
Dan satu-satu jalan hanya dengan masuk Islam terlebih dahulu. Sebab bila ingin menyembah Allah SWT, tetapi tidak mau masuk Islam dan tidak mau ikut tata cara menyembah Allah SWT secara resmi dan official, maka ibadahnya tidak akan diterima.
Hal itu mengingat bahwa perintah mengerjakan ritual ibadah itu bukan sekedar asal mengerjakan ritual-ritual seenak dengkul, tidak dibenarkan dalam beribadah pakai koregrafi berdasarkan ide kreatif. Shalat itu hanya sah dan diterima apabila semua syarat sah-nya dipenuhi, seperti pelakunya muslim, akil, mumayyiz, suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis, suci status diri dari hadats kecil dan besar, menutup aurat, menghadap kiblat dan tahu sudah masuk waktu shalat.
Perintah ibadah itu bukan asal ibadah, tetapi harus memenuhi ketentuan tata cara beribadah agar bisa diterima. Untuk itulah kenapa Allah SWT mengutus para nabi dan rasul, salah satunya agar kita bisa beribadah kepada Allah seusai dengan SOP dan bukan sekedar berkreasi pakai intuisi. Ibadah dengan modal hasil mengarang bebas tidak dianggap sebagai ibadah, maka jelas tidak diterima di sisi Allah SWT.
Yang diperintah untuk disembah adalah Allah SWT, meskipun ayat ini tidak secara tegas menyebut nama Allah SWT dengan lafzhul jalalah. Namun ketika ayat ini turun di masa kenabian, baik mereka yang telah masuk Islam ataupun mereka yang kafir, sama-sama punya tuhan yang sama yaitu Allah SWT.
Hanya saja bedanya, orang-orang musyrikin Mekkah di masa itu selain menyembah Allah, mereka juga menyembah berhala dan tandingan-tandingan lain selain Allah. Karena itulah mereka disebut musyrik lantaran menyekutukan Allah SWT.
Akan tetapi pada hakikatnya mereka tetap menyembah Allah SWT juga, karena sebenarnya pun mengakui keberadaan Allah SWT, bahkan lebih jauh mengakui bahwa Allah SWT telah menciptakan langit dan bumi, sebagaimana ayat berikut :
Bila kamu tanya kepada mereka, siapa yang menciptakan langit dan bumi serta yang menggerakkan matahari dan bulan, pastilah mereka menjawab Allah.
Sehingga perintah untuk menyembah Tuhan yang telah menciptakan manusia tentu bukan perintah yang aneh buat mereka.
الذي خلقكم
Lafazh khalaqa bermakna menciptakan yaitu mengadakan sesuatu dari yang asalnya tidak ada menjadi ada (ابتداع شيء لم يسبق إليه). Dan segala sesuatu yang Allah ciptakan itu berarti asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. [1]
Maka ketika Allah SWT dalam ayat ini menyatakan Dia telah menciptakan kamu, maksudnya menjadi manusia dari yang asalnya tidak ada menjadi ada. Cukup bagi-Nya mengucapkan kun (jadilah), maka jadilah sesuatu itu.
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. Yasin : 82)
Meskipun demikian, bagi Allah SWT sah-sah saja ketika menciptakan sesuatu secara tidak langsung tapi melewati berbagai macam proses. Alam semesta, langit dan bumi dan seisinya adalah ciptaan Allah. Namun Allah SWT berkehendak dalam penciptaannya ada proses panjang dari satu waktu ke waktu yang lain. Bukan berarti Allah SWT lemah, namun Allah memang berkehendak demikian.
Maka ketika menciptakan manusia, proses yang dilakukan cukup panjang. Salah satunya seperti diceritakan dalam ayat berikut :
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS. Al-Mukminun : 12-14)
Selain menciptakan kamu, Allah SWT juga telah menciptakan orang-orang yang sebelum kamu. Muncul pertanyaan yang menggelitik disini, kira-kira siapakah yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kamu’ dalam ayat ini?
Apakah ada jenis spisies lain yang masih termasuk manusia juga tapi hidupnya sebelum umat manusia anak-anak keturunan Nabi Adam alaihissalam? Ataukah yang dimaksud orang-orang sebelum kamu adalah umat terdahulu, baik yahudi, nasrani dan umat para nabi yang lain sebagaimana perintah puasa Ramadhan (كما كتب على الذيم من قبلكم). Ataukah maksudnya orang-orang tua kita, hingga ke kakek nenek ke atas yang merupakan jalur nasab kita?
Tentu tidak ada jawaban yang pasti, namun bila kita kaitkan dengan urut-urutan yang diuraikan Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib, nampaknya yang lebih tepat tentang siapakah yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kamu’ tidak lain adalah orang-orang tua kita sendiri. Dari jalur nasab mereka itulah kita ini dilahirkan.
لَعَلَّكُمْ
Lafazh (لعل) cukup banyak kita temukan di dalam Al-Quran dan sering diterjemahkan menjadi ‘agar supaya’. Secara rasa bahasa, ungkapan semacam ini pantas diucapkan oleh manusia sebagai bentuk harapan akan terjadinya sesuatu di masa datang yang saat ini masih belum terjadi.
Namun bagaimana kita terima kalau ungkapan harapan ini justru muncul dari perkataan Allah SWT sendiri? Masak sih Allah SWT berharap akan terjadinya sesuatu di masa mendatang? Bukankah Allah SWT tidak perlu berharap karena Dia Maha Kuasa?
Lagi pula di sisi lain, ada juga harapan Allah SWT sampaikan namun tidak pernah menjadi kenyataan. Misalnya harapan agar Fir’aun bisa mengambil pelajaran seperti dalam ayat ini :
Sungguh, Kami telah menghukum Fir‘aun dan kaumnya dengan (mendatangkan) kemarau panjang dan kekurangan buah-buahan agar mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf : 130)
Namun dalam kenyataannya harapan yang disebut oleh ayat ini ternyata tidak pernah terjadi, sebab Fir’aun dan rezimnya terus menerus melakukan kedurhakaan sehingga pada akhirnya mereka ditenggalamkan di laut Merah.
Oleh karena itulah ada sebagian ahli tafsir yang menanggapi masalah harapan di balik lafazh (لعل) sebenarnya merupakan perintah Allah SWT kepada yang sedang diajak bicara agar membuat harapan. Sehingga yang berharap pada dasarnya bukan Allah SWT, melainkan manusia. Jadi lengkapnya perintah itu sebagai berikut :
Wahai manusia, silahkah kamu mengharap agar dirimu bisa menjadi orang yang bertaqwa lewat cara mengerjakan ibadah.
Pakar tafsir dan bahasa Arab az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata (لعل) merupakan majaz dan bukan dalam arti harapan yang sebenarnya. Bahwa Allah SWT menciptakan hamba-hamba-Nya agar mereka menyembah-Nya sambil memberi mereka kebebasan untuk memilih. Dia menghendaki untuk mereka kebaikan dan agar mereka bertakwa. Dengan demikian, mereka sebenarnya berada dalam posisi yang diharapkan memperoleh ketakwaan tetapi dalam kerangka kebebasan memilih antara taat atau durhaka. Ini serupa dengan, situasi sesuatu yang belum jelas apakah ia terjadi atau tidak. Ketidakjelasan itu lahir karena adanya pilihan untuk yang bersangkutan apa memilih yang ini atau yang itu.
Betapapun, pada akhirnya kita dapat berkata bahwa tidak ada sesusatu yang merupakan harapan bagi Allah jika maknanya dikaitakan dengan ketidakpastian. Keyakianan setiap penganut agama tentang kemahaluasan pengetahuan Allah menjadi dalil yang sangat kuat untuk menghindarkan makna ketidakpastian itu dari kandungan makna la'alla bila pelakunya adalah Allah swt. Bila Anda telah menghindarkan makna itu, maka silahkan pilih makna yang Anda anggap tepat.
تَتَّقُونَ
Lafazh tattaqun ini adalah bentuk fi’il mudhari dari taqwa, sehingga sudah tepat kalau diartikan sebagai : ‘bertaqwa’ dan bukan : ‘orang yang bertaqwa’. Ketika disebutkan ‘bertaqwa’, maka yang dimaksud adalah taqwa dalam arti sebuah aktifitas, sedangkan kalau disebut ‘muttaqin’ maka maksudnya adalah taqwa dari arti identitas.
Umumnya para ulama menyebutkan bahwa taqwa itu sebuah derajat yang tinggi yang diawali dengan derajat iman. Hal itu berdasarkan ayat yang memanggil orang beriman untuk melakukan ini dan itu, lalu di akhir disebutkan semoga menjadi orang yang bertaqwa. Atau juga karena taqwa disebutkan setelah iman seperti yang disebutkan dalam ayat berikut :
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (QS. Al-Araf : 96)
Menarik juga membaca terjemahan versi Buya HAMKA yang mengartikannya sebagai : ‘orang yang terpelihara’. Terjemahan ini tidak salah, karena salah satu makna taqwa adalah memelihara, sebagaimana firman Allah SWT :