Kemenag RI 2019 : Atau, seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh menutupi (reruntuhan) atap-atapnya. Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah kehancurannya?” Lalu, Allah mematikannya selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (kembali). Dia (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya engkau telah tinggal selama seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, (tetapi) lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang) dan Kami akan menjadikanmu sebagai tanda (kekuasaan Kami) bagi manusia. Lihatlah tulang-belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging (sehingga hidup kembali).” Maka, ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Aku mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”80) Prof. Quraish Shihab : Atau (tidakkah kamu memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia (orang itu) berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?” Maka, Allah mematikannya (orang itu) seratus tahun, kemudian membangkitkannya (kembali). Dia (Allah swt.) bertanya: “Berapa (lama) engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab: “Aku telah tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.” Dia berfirman: “Sebenarnya engkau telah tinggal (di sini) seratus tahun (lamanya), maka lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah, dan lihatlah kepada keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang) dan Kami akan menjadikanmu tanda (kekuasaan Kami) bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka, ketika telah nyata kepadanya (bagaimana Allah swt. menghidupkan yang telah mati), dia (orang itu pun) berkata: “Aku tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Prof. HAMKA : Atau seperti seorang yang pemah melalui sebuah negeri, sedangkan negeri itu telah runtuh bangunan-bangunannya. Dia berkata, "Bagai manakah agaknya · kelak Allah akan menghidup kannya sesudah matinya?" Maka dimatikanlah dia oleh Allah seratus tahun, kemudian itu Dia bangkitkan kembali. Bertanya Dia, "Berapa lamanya engkau telah terdiam?" Dia menjawab, "Aku telah berdiam sehari atau sebagian hari." Berfirman Dia, "Bahkan engkau telah berdiam seratus tahun. Maka, lihatlah kepada makananmu dan minumanmu itu, tidaklah dia berubah. Dan, lihatlah kepada keledaimu! Dan oleh karena Kami hendak menjadikan engkau suatu tanda bagi manusia. Dan, lihatlah kepada tulang-tulang itu, betapa Kami membangkitkannya kembali, kemudian Kami pakaikan kepadanya daging." Maka tatkala telah jelas kepadanya, berkatalah dia, "Tahulah aku (sekarang) bahwasanya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa."
Ayat ke-259 ini jelas sekali munasabah atau keterkaitannya dengan ayat sebelumnya, yaitu terkait dengan kekuasaan Allah SWT dalam menghidupkan orang mati. Di ayat sebelumnya terjadi dialog antara Nabi Ibrahim alaihissalam berhadapan dengan Namrud, dimana Nabi Ibrahim menegaskan bahwa Allah SWT bisa menghidupkan orang mati, sedangkan Namdur tidak mampu. Hanya saja dia bermain-main dengan logika dan bersilat lidah, seolah-olah dirinya telah menghidupkan orang yang seharusnya mati dengan cara membatalkan vonis kematiannya.
Intinya Namrud tidak bisa menghidupkan orang mati. Maka di ayat ini Allah SWT memperlihatkan bagaimana orang yang sudah mati seratus tahun lamanya bisa hidup lagi tanpa pernah merasakan kematian yang dialaminya.
Tentu ini adalah mukjizat yang luar biasa, terjadinya pun pada seorang dengan level nabi utusan Allah SWT, walaupun para ulama berbeda pendapat tentang siapakah sosok sang nabi tersebut.
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ
Lafazh au (أَوْ) artinya : atau, ini terkait dengan ayat sebelumnya dimana Allah SWT mengawalinya dengan kata-kata : alam tara ila (ألم تر إلى) yang artinya : “tidakkah kamu perhatikan”.
Kalau di ayat sebelumnya yang jadi objek renungan atau perhatian adalah kasusnya Namrud, maka di ayat ini seolah-olah Allah SWT menggunakan kata-kata yang sama yaitu : alam tara ila-ladzi marra ‘ala qaryatin (ألم تر إلى الذي مر على قرية). Artinya : “Tidakkah juga kamu perhatikan tentang seorang nabi yang melewati suatu kampung.”
كالَّذِي مَرَّ
Lafazh kal-ladzi (كَالَّذِي) terdiri dari huruf kaf (ك) dan alladzi (الذي). Ibnu Jarir Ath-Thabari menuliskan bahwa para ulama berdebat tentang huruf kaf (ك) menjadi dua pendapat :[1]
Pendapat pertama mengatakan bahwa bahwa huruf kaf bermakna ila (إلى) yang artinya kepada, sehingga maknanya menjadi : atau tidakkah kamu melihat [kepada].
Pendapat kedua khususnya dari kalangan ahli nahwu jalur Bashrah mengatakan bahwa huruf kaf (ك) disini sekedar zaidah alias tambahan yang tidak punya makna.
Lafazh alladzi (الَّذِي) artinya : orang yang, sedangkan lafazh marra ‘ala (مَرَّ عَلَىٰ) adalah fi’il madhi, bentuk mudhari’-nya adalah (يَمُرُّ). Artinya melewati, seperti orang yang musafir melewati suatu daerah dan tidak tinggal disitu. Beberapa kali kata marra ini muncul di ayat Al-Quran, seperti ayat berikut ini :
Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. (QS. Hud : 38)
وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ
Dia berjalan sebagai jalannya awan. (QS. An-Naml : 88)
Para ulama tafsir berbeda pendapat tentang siapakah sosok yang dimaksud dengan orang yang melewati kampung itu. Al-Mawardi menyebutkan tiga pendapat yang berbeda :
Nabi Uzair : ini adalah pendapat Qatadah
Nabi Irmiya’ : ini adalah pendapat Wahab
Nabi Khidhir : ini adalah pendapat Ibnu Ishak.
Meski cukup banyak yang mengatakan bahwa orang yang dimaksud adalah Uzair, namun mereka berbeda pandangan tentang status kenabiannya. Di satu sisi kalau kita membaca kisah Nabi Uzair khususnya di ayat ini, tidak salah kalau kita sebut beliau adalah seorang nabi, karena ciri-ciri seorang nabi terpenuhi. Selain mendapatkan mukjizat, bahkan ada dialog antara dirinya dengan Allah sebagaimana isi ayat ini.
Namun yang jadi unik mengapa nama Uzair tidak termasuk ke dalam daftar 25 nabi dan rasul? Padahal yang kita tahu bahwa ke-25 nama itu dianggap para nabi yang namanya wajib diimani berhubung nama mereka tercantum di dalam Al-Quran. Dan nama Uzair pun juga tercantum juga di dalam Al-Quran. Memang bukan ayat ini tapi di ayat lain, yaitu :
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". (QS. At-Taubah : 30)
Yang jadi pertanyaan, kenapa Uzair tidak masuk dalam daftar 25 nama nabi dan rasul yang wajib kita imani? Apakah Beliau dianggap sebagai bukan nabi? Ataukah nama Uzair yang disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 30 itu bukan Uzair yang dimaksud?
Lafazh qaryatin (قَرْيَة) secara bahasa biasa diterjemahkan menjadi kampung.
Hanya saja kalau diterjemahkan menjadi kampung, yang terkesan dalam benak kita adalah sebuah tempat tinggal terbelakang jauh dari peradaban kota. Padahal maksudnya kampung itu adalah sebuah wilayah yang disitu berkumpul masyarakat dengan segala peradabannya, bukan gurun pasir yang tidak perpenghuni. Mungkin bahasa yang lebih kerennya adalah civilization alias sebuah peradaban.
Oleh karena itu tiga versi terjemahan yang kita gunakan sama-sama kompak untuk tidak menterjemahkannya menjadi kampung, tetapi diterjemahkan menjadi : negeri.
Namun tentang negeri apa yang dimaksud, ternyata banyak perbedaan satu dengan yang lain, sebagaimana Al-Mawardi mengumpulkannya dalam tafsirnya An-Nukat wa Al-Uyun :
Pendapat pertama bahwa negeri yang dimaksud adalah Baitul Maqdis. Kejadiannya setelah diruntuhkan oleh penguasa kerajaan lain bernama Nebucadnezar.
Pendapat kedua bahwa negeri yang dimaksud adalah negeri yang diceritakan dalam surat Al-Baqarah ayat 243 :
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati. (QS. Al-Baqarah : 243)
وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا
Lafazh khawiyah (خَاوِيَةٌ) diterjemahkan menjadi roboh atau runtuh. Dalam tiga versi terjemahan memang demikian, sumbernya dari Ibnu Abbas, Ar-Rabi’ dan Ibnu Ishak.
Namun ada juga yang memaknai khawiyah (خَاوِيَةٌ) dengan khaliyah (خالية) yang artinya : kosong ditinggalkan penduduknya.
Lafazh ‘ala ‘urusyiha (عَلَىٰ عُرُوشِهَا) diartikan oleh Kemenag RI dan juga Prof. Quraish Shihab menjadi : atap-atapnya. Sedangkan Buya HAMKA menerjemahkannya : bangunan-bangunannya.
Dengan demikian, keadaan bangunan Baitul Maqdis itu ada dua versi. Pertama, bangunannya masih ada tetapi atap-atapnya telah runtuh. Kedua, bangunannya runtuh semua.
Lafazh qaala (قَالَ) maknanya berkata, namun dalam konteks ini maksudnya berkata sambil bertanya. Lafazh annaa (أَنَّىٰ) bermakna kaifa yaitu bagaimana. Disebut dengan istifham ingkar dan istib’ad.
Buya HAMKA menyebutkan bahwa pertanyaan ini muncul dari hati seorang nabi atau orang saleh yang mengembara itu. Bisakah agaknya negeri ini dibangun Allah kembali? Dan bagaimanakah cara pembangunannya? Padahal yang tinggal hanya bekas-bekas negeri saja? Setelah dia bertanya-tanya demikian dalam hati sendiri.[1]
Boleh jadi pertanyaannya ini merupakan doa dan permintaan kepada Allah SWT agar Baitul Maqdis yang sudah luluh lantak tinggal puing-puing saja bisa dikembalikan lagi menjadi sebuah negeri yang diidamkan. Tetapi kalau melihat kondisinya sudah sangat mengenaskan seperti itu, bagaimana secara nalar harapan itu bisa terwujud?
Nampaknya Allah SWT memberikan peluang dan harapan bahwa dengan mudah Allah SWT bisa mengembalikan lagi negeri menjadi seperti sedia kala. Maka untuk itu dibuatkan logika bahwa orang yang sudah mati selama 100 tahun pun masih bisa dihidupkan kembali oleh Allah SWT dengan sangat mudahnya.
Maka untuk membuktikan bahwa negeri yang sudah luluh lantak itu bisa bangkit kembali, Allah SWT pun memberikan sebuah demontrasi langsung, yaitu sang nabi dimatikan selama seratus tahun lalu dibangkitkan kembali hidup normal.
[1] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta, Gema Insani, Cet. 5, 1441 H - 2020 M), jilid 1 hal. 523
فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِائَةَ عَامٍ
Lafazh fa-amaata-hullah (فَأَمَاتَهُ اللَّهُ) artinya : maka Allah SWT mematikannya. Ini adalah terjemah harfiyah dari kata amata – yumitu. Namun nanti ada yang menafsirkan bahwa yang terjadi bukan Allah SWT mematikan, melainkan hanya membuatnya tertidur. Lafazh miata ‘aamin (مِائَةَ عَامٍ) artinya selama seratus tahun.
Tentang mana yang sebenarnya terjadi, apakah dimatikan dalam arti ruhnya terlepas dan jasadnya membusuk, ataukah hanya dibuat tertidur saja, para ulama masih berdebat panjang.
1. Dimatikan dan Jasadnya Membusuk Lalu Dikembalikan
Pendapat pertama bahwa Allah SWT benar-benar mencabut nyawanya, lalu jasadnya mengalami pembusukan dan terurai, yang tersisa hanya tinggal tulang-belulang.
Namun dalam rentang waktu 100 tahun lamanya, apa yang sudah musnah itu berhasil dikembalikan lagi ke bentuk semula, bahkan si mayatnya pun sama sekali tidak merasakan apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya.
Kalau menggunakan pendapat ini, sebenarnya tidak harus sampai 100 tahun, pastinya jasad sudah hancur semua. Secara umum tubuh mayat manusia yang didiamkan saja tidak dikubur akan menjadi kerangka dalam waktu 5 hingga10 tahun. Namun, dalam beberapa kasus, proses pembusukan dapat memakan waktu lebih lama atau lebih cepat.
Estimasi waktu pembusukan tubuh manusia yang didiamkan saja tidak dikubur adalah dalam 1 dan 2 hari, otot dan jaringan lunak mulai membusuk. Bila sudah mencapai 1 hingga 3 minggu, maka kulit mulai mengelupas. Sedangkan dalam waktu 1 hingga 6 bulan, maka semua jaringan lunak telah terurai, menyisakan tulang belulang. Dan kalau sudah sampai 5 hingga 10 tahun, bahkan tulang belulang pun mulai rapuh dan hancur.
Namun perlu diperhatikan bahwa lamanya tubuh manusia mati dan didiamkan saja tidak dikubur hingga menyisakan tulang belulang saja tergantung pada beberapa faktor. Salah satunya terganting kondisi lingkungan.
Tubuh yang terpapar unsur-unsur seperti udara dan air akan terurai lebih cepat. Serangga pun akan lebih banyak menghinggapinya daripada jenazah yang dikubur atau dikurung di ruang tertutup. Selain itu faktor usia dan kondisi kesehatan jenazah juga berpengaruh. Tubuh orang yang lebih muda dan memiliki kondisi kesehatan yang baik akan terurai lebih cepat daripada orang yang lebih tua atau memiliki kondisi kesehatan yang buruk.
Dan ada juga faktor letak tubuh. Tubuh yang berada di tempat yang hangat dan lembab akan terurai lebih cepat daripada tubuh yang berada di tempat yang dingin dan kering.
Namun jika jenazah didiamkan begitu saja selama seratus tahun, boleh jadi seluruh tubuhnya sudah terurai jadi tanah. Kalau pun tersisa, hanya tulang-tulang tertentu saja seperti tulang tengkorak. Hal itu disepakati karena tingkat kepadatan tulang tengkorak itu memang di atas tulang lainnya. Selain itu juga mengandung mineral kalsium lebih banyak dari tulang lainnya. Ditambah lagi biasanya tulang tengkorak itu tertutup oleh rambut dan kulit kepala yang tebal, sehingga lebih sulit dijangkau oleh serangga dan bakteri.
Secara ilmu kimia dan biologi modern bisa dijelaskan bahwa ketika jenazah manusia mengalami pembusukan, ada beberapa peristiwa kimia yang terjadi sebagai berikut :
Autolisis : dimulai sekitar 24 jam setelah kematian. Proses ini terjadi secara perlahan dan akan semakin cepat seiring berjalannya waktu. Autolisis menyebabkan jaringan-jaringan tubuh menjadi lunak dan rapuh.
Aktivitas bakteri dan jamur : akan mulai menginfeksi tubuh sekitar 24-48 jam setelah kematian. Bakteri akan menguraikan jaringan-jaringan tubuh yang kaya akan protein, seperti otot dan organ dalam. Jamur akan menguraikan jaringan-jaringan tubuh yang kaya akan karbohidrat, seperti kulit dan rambut.
Dekomposisi : yaitu proses yang paling utama dalam pembusukan jenazah. Proses ini terjadi selama beberapa minggu atau bulan. Dekomposisi menghasilkan gas-gas, seperti metana, karbon dioksida, dan hidrogen sulfida. Gas-gas ini akan keluar dari tubuh dan menyebabkan bau busuk.
Mineralisasi : yaitu proses yang terjadi selama beberapa tahun. Proses ini menyebabkan sisa-sisa jaringan tubuh menjadi mineral-mineral. Mineral-mineral ini akan diserap oleh tanah dan menjadi bagian dari tanah.
2. Pendapat Hanya Ditidurkan
Namun di antara para mufaasir ada juga yang punya pandangan bahwa nabi itu tidak benar-benar mati tetapi hanya dibuat tertidur panjang.
Kasusnya disamakan atau dikaitkan dengan kisah para pemuda Ashabul Kahfi yang juga ditidurkan oleh Allah SWT 309 tahun lamanya. Di dalam surat Al-Kahfi diungkapkan dengan redaksi : Kami tutup telinga mereka.
Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, (QS. Al-Kahfi : 11)
Namun muncul pertanyaan yang mengganjal, yaitu tidak ada pernyataan bahwa Allah SWT mematikan para pemuda itu. Sedangkan dalam ayat yang sedang kita baca ini, lafazhnya tegas dan jelas yaitu : Allah SWT mematikan.
Pendukung pendapat kedua ini kemudian menggunakan dalil dari surah Az-Zumar ayat 42, yaitu ketika orang itu tidur dia diwafatkan oleh Allah dimana ruhnya pergi. Dan kalau dia telah benar-benar dimatikan, ruh itu tidak dikembalikan lagi kepada badannya sehingga tidurlah dia buat selama-lamanya.
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (QS. Az-Zumar : 42)
Maka bila menggunakan pendapat kedua ini, sang nabi tidak mati tetapi hanya tertidur selama seratus tahun lamanya. Setelah dia bangun tanpa merasa telah ditidurkan selama seratus tahun. Dikiranya hanya tertidur sehari bahkan kurang dari sehari.
Kelemahan pendapat kedua ini adalah kalau mau bicara tentang bagaimana Allah SWT menghidupkan orang yang sudah mati, tentu menjadi tidak relevan. Yang nampak lebih relevan justru pendapat pertama yang memastikan bahwa sang nabi dimatikan, jasadnya terurai, namun kemudian dibangkitkan lagi seperti semula tanpa dia sendiri merasakannya.
ثُمَّ بَعَثَهُ
Lafazh tsumaa ba’atsahu (ثُمَّ بَعَثَهُ) artinya : kemudian Dia membangkitkannya. Maksudnya Allah SWT kemudian menghidupkannya lagi hingga seperti semula.
Kalau kita menggunakan pendekatan pertama, yaitu nabi itu benar-benar dimatikan selama 100 tahun sehingga jasadnya habis dimakan usia, yang tersisa hanya serpihan tulang saja, maka kemudian semua itu dikembalikan lagi menjadi tulang yang sempurna, terbungkus lagi dengan daging, darah dan jaringan-jaraingan kehidupan. Terakhir dilapisi dengan kulit. Dan bernafas dan bernyawa kembali.
Namun kalau menggunakan penafsiran kedua, ungkapan ba’atsa-hu (بَعَثَهُ) juga tidak terlalu keliru. Hal itu mengingat bahwa para pemuda yang tidur ratusan tahun di gua pun ketika bangun tidur diungkapkan dengan redaksi : ba’atsna-hu (بَعَثَنَاه).
قَالَ كَمْ لَبِثْتَ
Lafazh qaala (قَالَ) artinya : Dia berkata. Namun para ulama berbeda pendapat tentang siapakah yang berkata. Ada yang mengatakan bahwa yang berkata adalah Allah SWT langsung kepada sang nabi. Namun juga ada yang bilang bahwa yang berkata adalah Malaikat Jibril alaihissalam. Ada juga yang bilang itu suara ghaib tanpa diketahui suara siapa, namun terdengar begitu saja dari langit. Dan ada juga yang bilang bahwa ada seorang laki-laki mukmin yang datang dan bertanya kepadanya.
Lafazh kam labitsta (كَمْ لَبِثْتَ) adalah pertanyaan yang maknanya : berapa lama kamu tinggal, maksudnya sudah berapa lama kamu ada di tempat ini.
قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ
Nabi tersebut kemudian menjawab : labitstu yauman (لَبِثْتُ يَوْمًا) yang artinya : “Aku sudah berada disini selama satu hari”. Sedangkan lafazh au (أو) artinya : atau. Dan makna ba’dha yaum (بعض يوم) artinya : tidak sampai satu hari.
Ungkapan au (أو) yang berarti : “atau”, menunjukkan bahwa yang menjawab sebenarnya dirinya sendiri tidak terlalu yakin atas jawaban yang disebutkanya itu, sehingga dia membuat dua perkiraan yang berbeda.
Hal ini menunjukkan bahwa dia tidak berbohong tetapi semata karena tidak tahu. Menurut perasaannya hanya sebentar, tidak sampai satu hari.
Dalam kasus para pemuda yang masuk gua dan ditidurkan oleh Allah SWT selama 300 tahun ditambah dengan 9 tahun, ternyata mereka pun juga tidak sadar akan hal itu. Ketika sesama mereka saling bertanya tentang berapa lama mereka tertidur, jawabannya sehari atau kurang dari sehari.
Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. (QS. Al-Kahfi : 19)
قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ
Namun ternyata dijawab bahwa keberadaannya di tempat ini sudah seratus tahun lamanya. Dan selama itu sang nabi telah wafat dan menjadi tulang belulang. Hanya saja dia tidak merasakan kematian, mungkin dalam pikirannya hanya merasakan seperti sedang tertidur saja.
Padahal sudah terjadi mukjizat yang luar biasa, yaitu mulai proses kematian yang tidak disadarinya, lalu tubuhnya mengalami pembusukan, hingga kulitnya terkelupas, kemudian dagingnya rontok satu per satu dimakan bakteri dan jamur, bahkan tulang belulangnya pun ikut menyusut dan mengering.
Kemudian atas izin Allah SWT, semua proses itu dikembalikan seperti semula. Dan semua itu terjadi dalam waktu yang cukup lama, yaitu sampai 100 tahun lamanya.
Lafazh fanzhur ila (فَانْظُرْ إِلَىٰ) artinya lihatlah, sedangkan makna tha’amika (طَعَامِكَ) artinya makananmu, sedangkan syarabika (وَشَرَابِكَ) artinya minumanmu. Lafazh lam yatasannah (لَمْ يَتَسَنَّهْ) artinya : tidak mengalami kerusakan, meski sudah berusia seratus tahun lamanya.
Kalau memperhatikan fenomena ini berarti yang bertahan selama seratus tahun bukan hanya diri sang nabi saja, tetapi juga termasuk ruang di sekelilingnya termasuk makanan dan minuman termasuk ke dalam mukjizat juga.
Sebenarnya kalau mau dijadikan alat bukti bahwa sudah berlalu seratus tahun, maka makanan dan minumannya sudah tidak ada, karena tidak bertahan. Nampaknya keberadaan makanan dan minuman yang bertahan ini menjadi sumber perdebatan, yaitu apakah sekedar bertahan selama seratus tahun, ataukah juga mengalami pembusukan tetapi kemudian dikembalikan bentuknya seperti semula.
Kalau dibandingkan dengan kasus para pemuda Al-Kahfi, titik kesadaran mereka adalah ketika belanja makanan di pasar, dimana mereka masih menggunakan keping uang perak yang lazim digunakan orang di masa tiga ratus tahun sebelumnya. Padahal di masa itu orang-orang sudah tidak lagi menggunakannya.
Dalam hal ini nampaknya tubuh mereka pun tidak mengalami perubahan yang berarti, sebab bila mereka menua bahkan sampai 300 tahun, pastilah mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Ternyata mereka saling kenal dan tidak merasa aneh dengan wajah temannya sendiri, karena memang tidak ada yang berubah.
Seolah-olah mereka dibuat berada pada zona dimana waktu tiak berjalan bagi mereka, setidaknya selama 300-an tahun.
وَانْظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ
Lafazh wanzhur ila himarika (وَانْظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ) artinya : dan lihatlah ke keledaimu. Penggalan ini juga termasuk jadi misteri, apa yang menjadi tujuan agar melihat kepada keledai.
Sebab keadaan keledainya sendiri malah tidak disebutkan, apakah masih utuh seperti tidak pernah mengalami perjalanan waktu selama seratus tahun. Ataukah keledainya pun juga mengalami hal yang sama persis dengan sang nabi.
Atau ada kemungkinan yang ketiga, yaitu kepada sang nabi diperlihatkan bagaimana proses dikembalikannya lagi bagian per bagian tubuh keledainya itu terbentuk kembali satu per satu.
وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِلنَّاسِ
Lafazh wa li naj’alahu (وَلِنَجْعَلَكَ) artinya : Dan agar Kami menjadikan kamu, sedangkan makna ayatan lin-nas (آيَةً لِلنَّاسِ) artinya : “menjadi sebuah tanda bagi manusia”. Maksudnya tentu tanda kekuasaan Allah SWT, bahwa semua yang mustahil itu ternyata sangat mudah bagi Allah SWT.
Umumnya kalau Al-Quran menyebutkan istilah tanda kekuasaan, maksudnya adalah mukjizat, keajaiban atau keanehan yang jarang-jarang terjadi.
Lafazh wanzhur ilal ‘izhami (وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ) artinya : Dan lihatlah kepada tulang, sedangkan makna kaifa nunsyizu-ha (كَيْفَ نُنْشِزُهَا) artinya : “Bagaimana Kami menyusunnya kembali”. Sedangkan makna naksu-ha (نَكْسُوهَا) artinya : Kami membungkusnya. Dan makna lahma (لَحْمًا) artinya: dengan daging.
Ini adalah objek yang keempat. Pertama diri atau tubuh sang nabi, kedua makanan dan minuman, ketiga keledai dan yang keempat adalah tulang.
Boleh jadi ketika diperintahkan untuk melihat kepada tulang inilah sang nabi baru melihat keajaiban yang sulit ditolak, yaitu tulang-tulang yang sudah berserakan itu kemudian bisa tersusun ulang kembali dan menyatu satu sama lain. Kemudian tulang yang sudah tersusun ulang itu mulai terbungkus dengan daging.
فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ
Lafazh falamma tabayyana lahu (فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ) artinya : ketika sudah jelas baginya. Maksudnya setelah melihat bagaimana proses tersusunnya tulang yang berserakan menjadi satu. Kemudian terbungkus dengan daging.
Lafazh qala (قَالَ) artinya : Dia berkata, maksudnya sang nabi berkata (أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ) yang artinya : “Aku mengetahui bahwa Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Dan penutup ayat ini sudah tepat untuk mewakili secara keseluruhan kandungan ayat ini, yaitu bahwa Allah SWT itu Maha Kuasa atas segala sesuatu.
SOAL LATIHAN
Jelaskan hubungan antara ayat ke-259 dengan ayat-ayat sebelumnya, terutama dialog antara Nabi Ibrahim dan Namrud. Bagaimana ayat tersebut memperlihatkan kekuasaan Allah dalam menghidupkan orang mati?
Siapakah sosok yang dimaksud sebagai "orang yang melewati suatu kampung" dalam ayat tersebut? Jelaskan berbagai pendapat para ulama tentang identitas sosok tersebut dan bagaimana mereka memahaminya.
Apa yang dimaksud dengan lafazh "خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا" dalam konteks artikel? Bagaimana para ulama tafsir memahami kondisi kampung yang dijelaskan dalam ayat tersebut?
Terdapat perdebatan tentang apakah sang nabi benar-benar mati dan jasadnya terurai atau hanya tertidur selama seratus tahun. Jelaskan dua pandangan tersebut dan argumentasi yang digunakan oleh masing-masing pendapat.
Mengapa keadaan makanan dan minuman sang nabi tidak mengalami kerusakan meskipun sudah berusia seratus tahun? Bagaimana hal ini dapat dijelaskan dari sudut pandang ilmu kimia dan biologi modern?