Kemenag RI 2019 : (Ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Dia (Allah) berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang.” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu dekatkanlah kepadamu (potong-potonglah). Kemudian, letakkanlah di atas setiap bukit satu bagian dari tiap-tiap burung. Selanjutnya, panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.81) Prof. Quraish Shihab : Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Tuhan Pemeliharaku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan yang mati!” Dia berfirman: “Belum percayakah engkau?” (Nabi Ibrahim as.) menjawab: “Aku telah percaya, tetapi supaya hatiku mantap.” Dia berfirman: “(Kalau demikian), maka ambillah empat ekor unggas, lalu dekatkan mereka kepadamu kemudian cincanglah mereka. Lalu, lemparkan di atas setiap bukit (satu) bagian darinya, kemudian panggillah mereka, (niscaya) mereka datang kepadamu dengan segera. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana. Prof. HAMKA : Dan ingatlah tatkala berkata Ibrahim, "Ya, Tuhanku! Perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang yang telah mati." Berfirman Dia, "Apakah engkau tidak percaya?" Berkata dia, "Sekali-kali bukan begitu, tetapi untuk menetapkan hatiku." Berfirman Dia, "Kalau begitu, ambillah empat ekor burung dan jinakkan lah dia kepada dirimu kemudian letakkanlah di atas tiap-tiap gunung darinya sebagian-sebagian, kemudian itu panggillah mereka, niscaya mereka akan datang kepada engkau dengan segera.' Dan ketahuilah bahwasanya Allah adalah Mahagagah, lagi Mahabijaksana.
Ayat ke-260 ini secara tema masih punya munasabah benang merah dengan ayat-ayat sebelumnya, yaitu masih kental tema tentang kebangkitan dari kematian.
Pada ayat ke-258 kita disuguhkan kisah Nabi Ibrahim yang berdebat dengan Namrud terkait dengan kemampuan Allah dalam menghidupkan orang mati. Saat itu Nabi Ibrahim mengklaim bahwa Allah SWT itu mampu menghidupkan orang yang sudah mati, sedangkan Namrud tidak bisa melakukannya kecuali hanya bersilat lidah.
Lalu pada ayat sesudahnya yakni ayat ke-259, kita lagi-lagi disuguhkan kisah bagaimana Nabi Uzair yang sempat dimatikan selama seratus tahun hanya tinggal sisa sedikit tulang tengkorak saja, kemudian atas kekuasaan Allah SWT, dia dihidupkan kembali seperti semula. Bahkan bahwa dirinya telah mati seratus tahun pun tidak merasakan.
Maka kali ini di ayat ke-260 kisahnya langsung dialami oleh Nabi Ibrahim sendiri. Beliau meminta kepada Allah SWT agar diperlihatkan salah satu kekuasaan Allah dalam menghidupkan apa yang sudah mati. Dan Allah SST kemudian memberikan contoh dengan empat ekor hewan yang sudah mati dan bagian-bagian tubuhnya dicampur-campur hingga tertukar-tukar dan dipisakan di empat titik yang berbeda. Dan atas kuasa Allah, bagian demi bagian tubuh hewan itu saling mencari pasangannya dan berjalan mendatangi Nabi Ibrahim dalam keadaan hidup kembali seperti sebelum disembelih.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ
Huruf waw (وَ) artinya : dan yang menunjukkan keterkaitan kalimat ini dengan kalimat sebelumnya. Sedangkan lafazh idz (إذ) yang terdapat diantara huruf waw dan qaala dipahami oleh para ulama secara berbeda :
Abu Ubaidah mengatakan lafazh itu adalah shilah zaidah (صلة زائدة), yaitu penyambung yang sifatnya hanya tambahan saja dan sama sekali tidak mempengaruhi makna. Maknanya tetap sama ada atau tidak ada lafazh itu menjadi :"Dan ketika Nabi Ibrahim berkata".
Namun pendapat lain mengatakan lafadz 'idz' disitu bukan shilah zaidah melainkan kalimah maqshurah (كلمة مقصورة) atau kata yang dikurangi. Dalam hal ini mereka katakan maknanya adalah : ingatlah ketika, sehingga makna secara utuhnya menjadi : "Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim berkata". Pendapat kedua inilah nampaknya yang dipilih oleh Team Penerjemah Kemenag RI, Prof Quraish Shihab dan juga HAMKA. Dalam terjemahan masing-masing ada kata '(ingatlah)' yang disisipkan meskipun diapit dengan tanda kurung yang mengandung makna meski tidak secara eksplisit.
Sedangkan lafazh ibrahim (إِبْرَاهِيمَ) bukan asli bahasa Arab, tetapi merupakan unsur serapan dari bahasa lain. Al-Mawardi mengatakan dalam Bahasa Suryani, lafazh Ibrahim itu terbentuk dari dua kata yaitu abu (أَبُ) dan rahim (رَحِيْم).
Nama ibrahim disebutkan dalam Al-Quran berkali-kali, hingga mencapai 69 kali. Surat Al-Baqarah sendiri menyebut lafazh (إبرهم) sampai 15 kali, sedangkan sisanya yang 54 kali tersebar di banyak surat lain.
Yang juga unik adalah adalah pembahasan dalam kuliah rasm utsmani terkait penulisan nama Ibrahim yang dalam Al-Quran ternyata ada dua cara yang berbeda. Pertama ditulis (إبرهم) tanpa huruf ya’. Kedua ditulis (إبرهيم) dengan huruf ya’. Meskpun demikian cara membunyikannya tetap sama saja, yang berbeda hanya rasm-nya saja.
Penulisan nama ibrahim (إبرهم) tanpa huruf ya’ adanya hanya di dalam surat Al-Baqarah saja, yaitu sebanyak 15 kali. Secara berturut-turut tertulis pada ayat-ayat berikut : 124-125-126-127-130-132-133-135-136-140, lalu disambung dua kali lagi pada ayat 258 dan ayat 260.
Sedangkan penulisan Ibrahim (إبرهيم) dengan huruf ya’ terdapat di semua tempat di dalam Al-Quran selain surat Al-Baqarah, sebagaimana table berikut ini :
Nabi Ibrahim alaihissalam, yang menjadi asal muasal tiga agama besar. Nabi Ibrahim adalah tokoh sentral dalam agama-agama besar dunia dan peranannya memberikan landasan penting bagi kepercayaan dan praktik dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Dia merupakan sosok yang dihormati dan dijadikan teladan oleh jutaan umat beragama di seluruh dunia.
Thahir Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir menuliskan deskripsi Nabi Ibrahim alaihissalam sebagai berikut : [1]
Nabi Ibrahim dilahirkan di Ur, Babilonia pada tahun 1996 sebelum masehi.
Ayahnya kemudian mengajaknya pindah ke tanah Kanaan, tanah orang Fenisia, dan mereka tinggal di Haran.
Kemudian ia keluar dari sana karena kelaparan yang melanda Haran, dan ia pergi ke Mesir bersama istrinya, Sara. Disana, raja Mesir, yang bernama Firaun, mencoba mengambil Sara, tetapi Allah menampakkan tanda yang menghalangi niat Firaun, lalu Firaun menghormati Sara dan memberikannya seorang budak Mesir bernama Hajar.
Hajar menjadi ibu dari Ismail. Mereka berdua tinggal di lembah Mekah, dan ketika Ismail dewasa, Ibrahim membangun Ka'bah di sana. Kemudian, Ibrahim meninggal pada tahun 1773 sebelum masehi.
Beberapa narasi para sejarawan ada yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim hidup selama 169 tahun, ada yang mengatakan bahwa ia hidup di bumi selama 175 tahun dan ada yang mengatakan bahwa usia Nabi Ibrahim adalah 195 tahun.
Kebanyakan kitab tafsir tidak menceritakan apa nama kitab yang turun kepada Nabi Ibrahim, namun Thahir Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir menuliskan bahwa kitab yang turun kepada Nabi Ibrahim jumlahnya hanya sepuluh shuhuf seukuran sepuluh lembar kertas dengan teks kuno. Satu lembar itu cukup untuk sekira empat ayat Al-Quran. Sehingga bisa kita jumlahkan seluruh shuhuf Ibrahim itu semuanya hanya sekira 40-an ayat Al-Quran saja.[2]
[2] Thahir Ibnu Asyur (w. 1393 H), At-Tahrir wa At-Tanwir (Tunis, Darut-Tunisiyah li An-Nasyr, Cet-1, 1984), jilid 30 hal. 199
رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ
Lafazh rabbi (رَبِّ) artinya : Wahai Tuhanku. Sedangkan makna arini (أَرِنِي) artinya : perlihatkanlah kepada Aku. Dengan kata lain maksudnya jadikan Aku bisa melihat langsung dengan mata kepala sendiri. Asalnya dari kata ru’yah (رُؤْيَة) yang secara lahiriyah adalah melihat dengan mata kepala.
Lafazh kaifa (كَيْفَ) artinya bagaimana, sedangkan tuhyil-mauta (تُحْيِي الْمَوْتَىٰ) artinya : Engkau menghidupkan orang yang sudah mati.
Pertanyaan ini dilatar-belakangi bahwa masyarakat tempat dimana Nabi Ibrahim hidup di masa itu termasuk mereka yang mengingkari adanya hari kebangkitan dan hari akhirat.
Logika mereka sederhana saja, bagaimana mungkin manusia yang sudah mati dan tubuhnya terurai berubah jadi tanah, bisa kembali lagi utuh dan hidup lagi seperti sediakala. Adalah sesuatu yang amat sangat mustahil kalau dipikir-pikir secara logika dan nalar akal sehat.
قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ
Lafazh qaala (قَالَ) artinya : Dia berkata, maksudnya Allah SWT menjawab apa yang jadi pertanyaan Nabi Ibrahim alaihissalam. Tetapi jawabannya tidak langsung menjawab pertanyaan, melainkan seakan ditanyakan dulu latar belakang munculnya pertanyaan itu.
Maka jawabannya justru berupa pertanyaan : a-wa-lam tu’min (أَوَلَمْ تُؤْمِنْ), artinya : “Belum percaya kah Engkau?”. Maksudnya mengapa Engkau wahai Ibrahim sampai bertanya seperti itu? Apakah maksudnya? Apakah karena kamu tidak percaya bahwa Allah SWT itu mampu membangkitkan orang yang sudah mati menjadi tanah?
Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib menuliskan tentang kenapa tiba-tiba Nabi Ibrahim minta diperlihatkan bagaimana Allah SWT membangkitkan orang mati. Penulis mencantumkan sembilan saja disini, yaitu : [1]
Pendapat Pertama
Ada riwayat dari Al-Hasan, Dhahhak, Qatadah, Atha’, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa Nabi Ibrahim melihat daging yang tercecer di tepi laut. Ketika laut surut, binatang laut memakannya. Ketika laut pasang, binatang darat datang dan memakannya. Ketika binatang darat pergi, burung datang dan memakannya lalu terbang.
Nabi Ibrahim berkata, "Wahai Tuhanku, tunjukkanlah bagaimana Engkau mengumpulkan bagian-bagian makhluk hidup dari perut binatang darat, burung, dan binatang laut."
Maka dikatakan kepadanya, "Tidakkah kamu beriman?" Nabi Ibrahim menjawab, "Ya, tapi yang diminta dari pertanyaan ini adalah agar pengetahuan dapat diperoleh melalui penalaran."
Pendapat Kedua
Ketika Namrud mengaku bisa menghidupkan dan mematikan orang dengan cara membiarkan yang satu hidup lalu membunuh yang kedua, Nabi Ibrahim pun mengatakan bukan begitu yang namanya menghidupkan dan mematikan.
Diriwayatkan bahwa ketika itulah Namrud mengancam akan membunuh Nabi Ibrahim apabila tidak bisa memperlihatkan langsung bagaimana Allah SWT menghidupkan yang sudah mati.
Oleh karena itulah Nabi Ibrahim meminta kepada Allah SWT untuk memperlihatkan bagaimana Allah SWT menghidupkan yang sudah mati. Versi ini adalah penjelasan dari Muhammad bin Ishaq dan al-Qadhi.
Pendapat Ketiga
Ibnu Abbas, Sa'id bin Jubair, dan as-Suddi mengatakan bahwa Allah memberi wahyu kepada Nabi Ibrahim bahwa Allah SWT akan menjadikan seorang manusia sebagai Khalil alias teman. Ibrahim merasa kagum dan bertanya, "Wahai Tuhanku, apa ciri-ciri yang dimiliki orang itu?". Allah SWT menjawab bahwa tandanya dia dapat menghidupkan orang mati cukup dengan berdoa.
Ketika kemudian kedudukan Nabi Ibrahim semakin tinggi baik dalam beribadah dan menyampaikan risalah, terbersitlah dalam pikirannya, "Apakah Aku bisa jadi sosok al-khalil yang dimaksud?"
Nabi Ibrahim meminta kepada Allah SWT untuk menghidupkan orang mati, dan Allah menjawab, "Tidakkah kamu beriman?" Nabi Ibrahim menjawab, "Ya, tapi agar hatiku merasa tenang."
Pendapat Keempat
Nabi Ibrahim meminta diperlihatkan bagaimana Allah SWT menghidupkan orang mati karena tuntuan dari kaumnya yang tidak percaya akan hal itu. Berhubung masyarakat tempat dimana Nabi Ibrahim tinggal termasuk mereka yang mengingkari adanya hari kiamat, hari berbangkit dan adanya kehidupan setelah kematian.
Maka ketika dikatakan kepadanya, "Tidakkah kamu beriman?", seolah-olah merupakan sindiran halus kepada kaumnya yang tidak percaya.
Pendapat Kelima
Bahwa yang melatar-belakangi Nabi Ibrahim meminta agar diperlihatkan bagaimana Allah SWT menghidupkan orang mati semata karena Beliau merasa dirinya adalah seorang utusan Allah, yang sudah seharusnya dibekali dengan mukjizat.
Sehingga permintaan itu tidak terlalu mengada-ada. Itu adalah permintaan yang logis dan masuk akal bagi seorang nabi utusan Allah SWT.
Pendapat Keenam
Ini adalah pendapat ahli tasawuf, yaitu bahwa yang dimaksud dengan "orang mati" adalah hati yang tertutup dari cahaya-cahaya makrifat dan tajalli. Sedangkan "penghidupan" adalah ungkapan dari tercapainya tajalli dan cahaya-cahaya Ilahi.
Maka permintaan Nabi Ibrahim yang berbunyi,"Tunjukkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati" adalah permintaan untuk tajalli dan makrifat.
Lalu Allah SWT menjawab, "Apakah engkau tidak beriman?" Dia menjawab, "Ya, aku beriman kepadanya dengan iman gaib, tetapi aku meminta tercapainya tajalli tersebut agar hatiku tenang karena tercapainya tajalli itu."
Dan menurut pendapat para ahli, ilmu istidlali (ilmu yang didapat dengan dalil) adalah ilmu yang dapat dijangkau oleh keraguan dan kebimbangan. Maka, dia meminta ilmu yang pasti, yang dengannya hati menjadi tenang dan tidak diganggu oleh keraguan dan kebimbangan.
Pendapat Ketujuh
Mungkin Ibrahim melihat dalam kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah bahwa Isa diberi keistimewaan untuk menghidupkan orang mati dengan doanya. Maka dia meminta hal itu dan Allah berkata, "Tidakkah kamu beriman?" Ibrahim menjawab, "Ya, aku beriman, tapi aku mencari kepastian agar hatiku merasa yakin bahwa Engkau telah memuliakanku lebih dari anakku Isa."
Pendapat Kedelapan
Mungkin Ibrahim meminta untuk melihat kejadian hari kiamat, yang semua makhluk akan menyaksikannya. Maka dia berkata, "Tunjukkanlah padaku di dunia." Allah bertanya, "Tidakkah kamu beriman?" Ibrahim menjawab, "Ya, aku beriman, tapi aku mencari kepastian agar hatiku merasa yakin bahwa Engkau telah menghormatiku dengan keistimewaan ini."
Pendapat Kesembilan
Boleh jadi Nabi Ibrahim meminta diperlihatkan bagaimana Allah SWT menghidupkan orang mati justru bukan untuk melihat bagaimana orang mati dihidupkan, tetapi sekedar untuk bisa bicara langsung kepada Allah SWT tanpa perantara. Maka Allah bertanya, "Tidakkah kamu beriman?" Ibrahim menjawab, "Ya, aku beriman, tapi aku mencari kepastian agar hatiku merasa yakin bahwa Engkau telah membuatku mendengar tanpa perantara."
Lafazh qaala (قَالَ) artinya : Dia berkata. Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim menjawab apa yang Allah SWT pertanyakan.
Lafazh bala (بَلَىٰ) secara harfiyah sebenarnya berarti tidak. Namun diartikan menjadi iya, karena untuk menjawab pertanyaannya dalam bentuk negatif : “Tidakkah kamu beriman?”, jawabnya : tentu saja beriman. Seandainya dijawab dengan na’am (نَعَمْ), maka maknanya justru terbalik menjadi : saya tidak beriman.
Yang jadi pertanyaan disini kenapa Allah SWT sampai mempertanyakan latar belakang pertanyaan Nabi Ibrahim? Apakah sekedar untuk meyakinkan saja, ataukah memang ada alasan lain?
Jawabannya bisa keduanya, yaitu untuk meyakinkan dan juga karena ada alasan lain, yaitu ketika orang bertanya ‘bagaimana’ Allah SWT menghidupkan orang mati, bisa saja bermakna tidak percaya.
قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ
Lafazh qaala (قَالَ) artinya Allah SWT berfirman. Sedangkan lafazh fa-khudz (فَخُذْ) artinya : maka ambillah. Makna arba’atan (أَرْبَعَةً) artinya empat, lalu minat-thairi (مِنَ الطَّيْرِ) artinya dari burung.
Penggalan ini menegaskan bahwa untuk menambahkan keyakinan Nabi Ibrahim dalam mengimani adanya kebangkitan dari kematian, maka Allah SWT mengabulkan permintaan Ibrahim dengan memberikan semacam demo atau simulasi kecil-kecilan, dengan menggunakan sample burung-burung.
Sebagian ulama diantaranya Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud bukan sekedar empat ekor burung, melainkan empat jenis unggas, yaitu ayam jantan (الدِّيكُ), burung merak (الطَّاوُسُ), burung merpati (الْحَمَامُ) dan burung gagak (الْغُرَابُ).
Versi lainnya menurut Mujahid dan Ibnu Zaid bahwa hewan yang ketiga bukan merpati tetapi burung nasar.
فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ
Lafazh fa-shur-hunna ilaika (فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ) punya dua makna sekaligus, yaitu perintah untuk memotong-motong tubuhnya dan perintah untuk menggenggam atau mendekatkan tubuh burung itu ke tubuhnya.
Pendapat Pertama : Memotong-motong
Ini adalah pendapat jumhur mayoritas ulama ahli tafsir. Mereka mengatakan fi’il amr shur (صُرْ) maknanya adalah sembelihlah dan potong-potong lah tubuh keempat jenis burung itu.
Maksudnya setelah disembelih, maka dipenggal-penggal bagian kepala, badan, sayap, kaki, kulit dan lainnya. Perintah agar mencampur-campur sedemikian rupa, maksudnya agar tidak bisa lagi dikenali satu sama lain dari masing-masing potongan.
Mana daging ayam jantan, mana tubuh burung merpati, mana daging burung merak dan mana daging burung gagak, semuanya sudah tercampur tanpa bisa dikenali lagi.
Nanti akan diperlihatkan mukjizat oleh Allah SWT bahwa meski sudah tercampur-campur dan dipisah-pisah menjadi empat bagian yang slaing berjauhan, tetapi atas idzin Allah, semua potongan itu akan saling mencari pasangannya masing-masing dan akan saling membentuk tubuh seperti semula.
Pendapat Kedua
Ini adalah pendapat yang berbeda dari pendapat pertama di atas. Mereka mengatakan bahwa perintah shur-hunna (صرهن) maknanya adalah genggamlahو peluklah atau kepitkan burung-burung itu ke tubuhmu. Seperti perintah Allah SWT kepada Nabi Musa :
dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacad, sebagai mukjizat yang lain (pula), (QS. Thaha : 22)
Tujuannya agar Nabi Ibrahim benar-benar mengenali satu per satu hewan-hewan itu dan begitu juga sebaliknya agar hewan-hewan itu mengenali sosok Nabi Ibrahim. Dalam versi terjemahan Buya HAMKA, tindakan itu maksudnya adalah menjinakkan keempat jenis burung itu agar bisa dipanggil dan mendangi Nabi Ibrahim.
Setelah itu nanti masing-masing burung itu tidak disembelih, tetapi akan ditempatkan di empat gunung yang berjauhan. Kemudian Nabi Ibrahim diminta untuk memanggil mereka satu persatu. Lalu masing-masingnya akan segera berjalan mendatangi Nabi Ibrahim.
Pendapat ini agak berbeda dengan pendapat umumnya para ahli tafsir di atas. Ini adalah pendapat versi Abu Muslim. Beliau mengatakan makna fashurhunna bukan memotong-motong tetapi memeluk atau menggenggam.
Dan kedatangan masing-masing burung kepada Nabi Ibrahim itu sebagai contoh bagaimana nanti setiap ruh dari makhluk hidup akan kembali kepada jasad-jasadnya tanpa tertukar karena satu sama lain sudah saling mengenali.
Lafazh tsumma (ثُمَّ) artinya kemudian, sedangkan lafazh ij’al (اجْعَلْ) artinya jadikan. Lafaz ‘ala kulli jabalin (عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ) artinya : di atas setiap puncak gunung. Sedangkan makna minhunna (مِنْهُنَّ) artinya dari bagian tubuh burung-burung itu menjadi juz’a (جُزْءًا) artinya beberapa bagian yang terpisah-pisah.
Perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim agar keempat burung yang sudah disembelih itu segera dipotongan-potong kecil-kecil lalu semuanya dicampur-campur sampai tidak bisa lagi dikenali milik burung yang mana.
Kemudian semuanya yang sudah tercampur-campur itu dibagi empat, lalu kepada Nabi Ibrahim diperintahkan untuk meletakkan di empat puncak bukit yang berbeda.
ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا
Makna tsumma (ثُمَّ) adalah kemudian, sedangkan makna : ud’u hunna (ادْعُهُنَّ) adalah panggillah mereka. Adapun makna ya’tinaka (يَأْتِينَكَ) artinya mereka akan mendatangi kamu, sedangkan makna sa’ya (سَعْيًا) adalah dengan berjalan.
وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
kepada Nabi Ibrahim diperlihatkan bagaiamana cara Allah SWT menghidupkan makhluk yang sudah mati sebelumnya, maka sudah seharusnya Beliau tambah yakin bahwa Allah SWT itu Maha Perkara namun sekaligus juga Maha Bijaksana.
Lafazh aziz (عَزِيزٌ) artinya dalam terjemahan Kemenag dan Prof. Quraish Shihabadalah : “Maha Perkasa”, sedangkan terjemahan Buya HAMKA adalah : “Maha gagah”. Makna aslinya adalah kuat tidak terkalahkan.
Lafazh hakim (حَكِيمٌ) artinya Maha Bijaksana. Perpaduan antara dua sifat Allah yaitu ‘aziz (عَزِيزٌ) dan hakim (حَكِيمٌ) sebenarnya agak bertentangan. Keperkasaan itu biasanya identik dengan kekuatan yang bersifat mutlak dan tidak dibatasi dengan apapun. Sebab kalau kekuatannya masih terbatas, tidak bisa dikatakan perkasa.
Namun ternyata selain bersifat perkasa, rupanya Allah SWT juga Maha Bijaksana, sebuah karakter yang justru menjadi anti-tesis dari sifat keperkasaan. Namun alih-laih bertentangan, justru penyebutan kedua sifat itu malah saling menguatkan makna. Bahwa Allah itu Maha Perkasa namun di balik sifat perkasa itu justru Allah SWT tidak berlaku sewenang-wenang kepada para hamba-Nya. Justru Allah SWT Maha Bijaksana dan sangat adil kepada hamba-Nya.
Maka adanya sifat Maha Perkasa namun sekaligus Maha Bijaksana adalah bentuk kesempurnaan itu sendiri.
Contoh yang paling mudah untuk dijadikan bahan kajian bahwa meski banyak hamba Allah SWT yang ingkar, membangkang, serta telah menodai kesucian agama yang Allah SWT turunkan, namun Allah SWT tetap memberikan segala sesuatunya, baik rejeki, keturunan, kenikmatan duniawi dan lainnya.
Tidak mentang-mentang ada hamba yang ingkar, lantas mereka langsung dihukum mati saat itu juga. Fir’aun itu masih diberi batas waktu untuk hidup dan berkuasa dengan sewenang-wenang.
Termasuk juga Iblis laknatullah yang enggan bersujud kepada Adam alaihissalam, padahal itu merupakan perintah Allah SWT langsung. Namun ketika Iblis minta dipanjangkan umur hingga hari kiamat, doanya pun dikabulkan Allah SWT.
Sebab biar bagaimana pun Iblis pernah jadi hamba yang shalih, taat dan tunduk kepada Allah. Maka semua ibadahnya itu tidak disia-siakan oleh Allah. Pahalanya diberikan dalam bentuk dikabulkannya permintaan untuk bisa hidup abadi.
Demikian pula dengan manusia kafir di dunia ini. Walaupun mereka kafir dan membangkang, namun banyak juga yang diterima doanya.
SOAL LATIHAN
Jelaskan kisah Nabi Ibrahim dalam ayat ke-260 dan bagaimana beliau memohon kepada Allah untuk diperlihatkan kekuasaan-Nya dalam menghidupkan yang sudah mati. Apa contoh konkret yang diberikan Allah sebagai bukti kekuasaan-Nya?
Bandingkan kisah Nabi Ibrahim dalam ayat ke-260 dengan kisah Nabi Uzair dalam ayat ke-259. Apa kesamaan dan perbedaan dalam konteks kebangkitan dari kematian kedua nabi tersebut?
Apa yang menjadi tema utama dalam serangkaian ayat, termasuk ayat ke-260, terkait dengan kebangkitan dari kematian? Bagaimana tema ini mengaitkan kisah-kisah nabi seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Uzair?
Mengapa Nabi Ibrahim meminta Allah untuk menunjukkan kekuasaan-Nya dengan contoh empat ekor hewan yang sudah mati dalam ayat ke-260? Apa makna atau pesan yang dapat diambil dari contoh ini?
Bagaimana reaksi Nabi Ibrahim setelah menyaksikan mukjizat yang ditunjukkan oleh Allah dalam ayat ke-260? Apakah ada pelajaran moral atau spiritual yang dapat dipetik dari reaksi beliau?