Jika mereka mendebat engkau (Nabi Muhammad) katakanlah, “Aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.” Katakanlah kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi Kitab (Taurat dan Injil) dan kepada orang-orang yang umi,[87]) “Sudahkah kamu masuk Islam?” Jika mereka telah masuk Islam, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Akan tetapi, jika mereka berpaling, sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.
Prof. Quraish Shihab :
Maka, jika mereka mendebatmu (Nabi Muhammad saw.), maka katakanlah: “Aku menyerahkan wajahku (diriku) kepada Allah dan (demikian pula) siapa yang mengikutiku.” Dan katakanlah kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) dan kepada orang-orang ummi (mereka yang tidak mendapat kitab suci): “Apakah kamu telah menyerahkan diri kamu (memeluk Islam)?” Jika mereka telah menyerahkan diri, maka sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka sesungguhnya (kewajiban)-mu hanyalah penyampaian (ayat-ayat Allah swt.). Dan Allah Maha Melihat para hamba-Nya.
Prof. HAMKA :
Maka, jika mereka membantah engkau, katakanlah, "Aku telah menyerah diri kepada Allah, demikian juga orang-orang yang mengikutiku." Dan tanyakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Kitab itu dan kepada orangorang yang ummi, "Sudahkah kamu menyerah din?" Maka jika mereka telah menyerah diri maka sesungguhnya telah mendapat petunjuklah mereka. Dan, jika mereka berpaling maka tidak lain kewajiban engkau hanyalah menyampaikan; dan Allah adalah amat memandang kepada hamba-Nya.
Lafazh fain hajjuuka (فَإِنْ حَاجُّوكَ) berbeda-beda cara para ulama menerjemahkannya. Kemenag RI dan Prof. Quraish Shihab memaknainya sebagai : jika mereka mendebat kamu. Sedangkan terjemahan Buya HAMKA : jika mereka membantah kamu.
Asalnya dari (حُجَّة) yang dalam serapan ke bahasa kita menjadi saling berhujjah. Maka tidak salah kalau dimaknai mendebat atau membantah.
Ath-Thabari meriwayatkan bahwa sekelompok orang nasrani dari Najran telah mendatangi Nabi SAW dan mengajak dialog atau debat panjang terkait dengan kenabian Isa alaihissalam.
Peristiwa dialog antara Nasrani dari Najran dengan Nabi Muhammad SAW di Madinah terjadi sekitar tahun 632 M dan dikenal dengan Peristiwa Mubahalah.
Sekelompok rombongan dari Najran, terdiri dari 14 orang pembesar dan tokoh agama Nasrani, dipimpin oleh Uskup Abu Haritsah, datang ke Madinah untuk berdebat dengan Nabi Muhammad SAW mengenai konsep ketuhanan Yesus.
Mereka membawa hadiah berupa permadani indah bergambar dan tikar bulu. Nabi menerima tikar bulu namun menolak permadani karena gambar manusia atau makhluk hidup dilarang dalam Islam.
Perdebatan berlangsung selama beberapa hari di Masjid Nabawi. Nabi Muhammad SAW menyampaikan konsep tauhid dan keesaan Allah, menolak keilahian Yesus, dan menegaskan beliau hanya rasul utusan Allah. Sedangkan para Nasrani Najran tetap berpegang teguh pada keyakinan mereka tentang Yesus sebagai anak Allah.
Suasana debat memanas hingga Allah SWT menurunkan ayat Al-Qur'an surat Al-Imran ayat 61 yang memerintahkan Nabi untuk menawarkan mubahalah, yaitu sumpah laknat bagi pihak yang berdusta.
Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah datang ilmu kepadamu, maka katakanlah (Nabi Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah) agar laknat Allah ditimpakan kepada para pendusta.” (QS. Ali Imran : 61)
Menanggapi perintah Allah, Nabi Muhammad SAW mengajak para Nasrani Najran untuk bersumpah laknat. Hal ini membuat mereka gentar karena takut terkena laknat Allah.
Setelah berunding, para Nasrani Najran memilih kembali ke Najran tanpa melakukan mubahalah. Mereka sepakat membayar jizyah (pajak perlindungan) dan diperbolehkan menjalankan agama mereka dengan damai.
Peristiwa Mubahalah menunjukkan sikap toleransi dan dialogis Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi perbedaan keyakinan agama. Perjanjian yang disepakati menjadi landasan perlindungan bagi minoritas Nasrani di Madinah dan jaminan toleransi beragama dalam Islam. Peristiwa ini juga menjadi bukti historis dan wahyu dalam Al-Qur'an tentang konsep ketuhanan dalam Islam.
Sayangnya, detail isi perdebatan antara Nabi Muhammad SAW dan para Nasrani Najran tidak tercatat secara lengkap dalam literatur sejarah. Namun yang paling utama adalah terkait ketuhanan Nabi Isa.
Lafazh fa-qul (فَقُلْ) artinya : maka katakanlah, atau maka jawablah. Asalnya dari (قَلَ - يَقُول), bisa punya banyak makna, seperti berkata, berpendapat, berposisi dan lainnya. Dalam konteks ini perintah dari Allah ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW yang sedang berbantahan dengan kaum nasrani, dimana mereka ngotot ingin menjadikan Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai tuhan yang disembah.
Makna aslamtu wajhi (أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ) adalah Aku serahkan wajahku. Sedangkan makna lillahi (لِلَّهِ) artinya untuk Allah atau demi Allah.
Ungkapan ‘aku srahkan wajahku untuk Allah’ adalah bentuk gaya bahasa yang unik, dimana kita menyebutkan sebagian tetap maksudnya keseluruhannya. Tentu yang diserahkan bukan hanya wajah, tetapi sekujur tubuh termasuk jiwa dan raga.
Namun kenapa diwakili oleh wajah, alasannya karena wajah adalah etalase dari seseorang anak Adam. Kalau dia serahkan wajahnya, itu artinya seluruh dia serahkan seluruh tubuh dan dirinya. Gaya bahasa ini di dalam Al-Quran bukan hal yang aneh, sebab Allah SWT juga menggunakannya untuk menyebut diri-Nya sendiri.
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
Segala sesuatu akan musnah kecuali ‘wajah-Nya’. (QS. Al-Qashash : 88)
Dan menyerahkan seluruh diri kita kepada Allah SWT itu bentuk teknisnya secara fisik tidak lain adalah mentaati semua perintahnya, tanpa kecuali.
Ungkapan ini diarahkan kepada kaum nasrani yang tidak mau berserah diri kepada Allah SWT dalam urusan yang mereka perselisihkan.
Lafazh waman-tabi’ani (وَمَنِ اتَّبَعَنِ) artinya : dan orang-orang yang mengikutiku.
Lafazh wa-qul (وَقُلْ) artinya : dan katakan. Sedangkan makna lilladzina uutul kitab (لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ) artinya : kepada mereka yang mendapatkan kitab. Maksudnya umat terdahulu yang mengaku punya nabi dan punya kitab suci. Dalam konteks di masa kenabian Muhamad SAW, mereka itu adalah Yahudi yang memiliki Taurat dan Nasrani yang memiliki Injil.
Makna wal-ummiyin (وَالْأُمِّيِّينَ) maknanya mereka yang tidak menerima kitab suci. Padahal umumnya kata ummi (أُمِّي) lebih sering diterjemahkan sebagai mereka yang tidak bisa baca dan tidak bisa tulis. Namun dalam konteks ayat ini yang lebih tepat adalah mereka yang tidak bisa membaca kitab suci. Bukan hanya karena mereka tidak mendapatkan kitab suci dari langit, tetapi secara bahasa pun mereka tidak paham.
Dan yang dimaksud tidak lain adalah orang-orang musyrikin Arab. Selama berabad-abad lamanya Allah SWT tidak menurunkan satu pun kitab suci kepada mereka. Bahkan tidak juga seorang nabi pun kepada mereka. Akibatnya mereka tidak kenal kitab suci.
Kalau pun Allah menurunkan kitab suci, ternyata diturunkannya bukan kepada mereka, tetapi kepada bangsa lain di wilayah yang jauh dari negeri Arab, yaitu di Palestina yang dikenal sebagai bumi para nabi dan rasul.
Tentu saja orang-orang Arab tidak pernah bisa merasa bahwa Taurat atau pun Injil itu kitab suci mereka. Alasannya karena memang tidak diturunkan untuk mereka. Bahasanya pun mereka tidak paham. Taurat berbahasa Ibrani sedangkan Injil berbahasa Suryani, keduanya memang tidak diturunkan buat orang Arab.
Bahwa makna ummi adalah mereka yang tidak kenal kitab suci samawi, ternyata dikuatkan juga oleh ayat yang lain :
Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. (QS. Al-Baqarah : 78)
أَأَسْلَمْتُمْ
Lafazh a-aslamtum (أَأَسْلَمْتُمْ) terdiri dari huruf alif (أ) yang merupakan adatul istifham bermakna : “apakah”. Sedangkan aslamtum (أسلمتم) adalah fi’il madhi yang artinya masuk Islam.
Kata ini sekilas nampaknya seperti sebuah pertanyaan : “Apakah kamu masuk Islam?”. Namun dalam hal ini maksudnya bukan bertanya melainkan sebuah perintah. Sehingga kita harus memahami kata ini sebagai perintah masuk Islam : “Masuklah kamu ke dalam agama Islam”.
Gaya bertanya tetapi maksudnya memerintahkan ada banyak contohnya di dalam Al-Quran, salah satunya ketika Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk berhenti dari minum khamar di surat Al-Maidah :
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Maka tidakkah kamu mau berhenti? (QS. Al-Maidah : 91)
فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا
Lafazh fa-in-aslamu (فَإِنْ أَسْلَمُوا) artinya : jika mereka masuk Islam. Sedangkan makna fa-qad-ihtadau (فَقَدِ اهْتَدَوْا) artinya : maka mereka telah mendapat petunjuk. Asalnya dari kata (اهتدى - يهتدي) artinya mencari dan berusaha agar bisa mendapatkan petunjuk. Petunjuk yang dimaksud tidak lain adalah petunjuk dari Tuhan semesta alam tentang apa dan bagaimana tata cara menjadi hamba-Nya di dunia ini.
Urusan bisa berhasil mendapat petunjuk ini adalah hal yang teramat penting, urusannnya urusan hidup mati kita. Bahkan buat kita yang sudah muslimpun, kita tetap diperintahkan untuk terus menerus meminta petunjuk dari Allah SWT. Buktinya, dalam sehari semalam tidak kurang 17 kali kita meminta petunjuk lewat surat Al-Fatihah yang wajib dibaca dalam tiap rakaat shalat.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS. Al-Fatihah : 6)
Secara lebih teknis, orang kafir yang menyatakan diri masuk Islam dipastikan mendapatkan begitu banyak keutamaan. Kalau yang paling asasi adalah jaminan masuk surga nanti di negeri akhirat. Walaupun masih mungkin juga mampir di neraka, tetapi itu tergantung sikapnya juga. Kalau dia pintar memanage pahala dan dosa, insyaallah aman dan mati bisa langsung masuk surga. Tapi kalau agak jorok perilakunya, memang dijamin akan masuk surga, tetapi bisa jadi tetap harus mampir-mampir dulu di neraka.
Namun bagi mereka yang masuk Islam, ada beberapa keutamaan di dunia ini. Yang paling penting adalah semua dosa yang pernah dilakukan sebelum masuk Islam akan dihapuskan begitu saja oleh Allah. Begitu juga segala macam bentuk kewajiban asasi seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, dan lain-lainnya, yang selama ini tidak pernah dia kerjakan, tidak akan dituntut darinya. Sehingga begitu masuk Islam, posisinya seperti di pom bensin, semua dari nol.
Dan ini berbeda dengan orang yang ‘masuk Islam kembali’. Maksudnya keislamannya merupakan kembalinya dia dari kekafiran, setelah sebelumnya dia seorang muslim yang murtad. Selama dia murtad dan misalnya tidak mengerjakan shalat lima waktu, maka kewajibannya tetap ada. Begitu dia kembali lagi masuk Islam membaca dua kalimat syahadat, maka dia punya sekian banyak hutang shalat, puasa, zakat dan seterusnya.
وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ
Lafazh wa-in tawallau (وَإِنْ تَوَلَّوْا) artinya : namun jika mereka berpaling, maksudnya jika mereka tidak mau masuk Islam dan tetap dengan agama lamanya.
Lafazh fainnama ‘alaikal-balagh (فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ) artinya : maka yang diwajibkan kepadamu -wahai Muhammad- hanya sekedar menyampaikan pesan dari Allah SWT saja.
Pada titik inilah sering terjadi salah paham sekaligus salah kaprah dari sebagian kaum muslimin yang berpaham radilakis dan jihadis. Doktrin yang selalu mereka tanamkan adalah doktrin yang sesat dan keliru, yaitu kalau bertemu orang kafir yang enggan diajak masuk Islam, maka mereka harus dibunuh.
Penggalan ayat dengan tegas menolak untuk membunuh orang kafir yang tidak mau masuk Islam. Ayat ini menegaskan bahwa tugas seorang Nabi Muhammad SAW hanya menyampaikan semata, tidak ada tugas untuk membunuh orang kafir.
Memang begitulah tugas dan misi seorang Nabi Muhammad SAW. Dia hanya diperitah oleh Allah SWT untuk menyampaikan saja, urusan mereka mau beriman atau tidak mau beriman, itu bukan urusannya. Itu urusan Allah SWT, Dia-lah yang punya kemampuan membuka atau menutup hati seseorang.
Kalau Allah SWT mau membuka hatinya dan mengisinya dengan hidayah, pastilah mereka mau menyatakan diri masuk Islam. Tetapi kalau Allah SWT tidak berkenan untuk membuka hatinya, maka dia tidak akan bisa masuk Islam. Hal itu sudah ditegaskan dalam firman-Nya :
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS. Al-Kahfi : 17)
Tetapi yang unik dari kisah-kisah para shahabat nabi adalah ketika Allah SWT agak sedikit menunda siksaan kepada mereka yang tidak mau masuk Islam. Uniknya karena kalau di masa lalu di tengah umat-umat terdahulu, siapa saja yang tidak mau ikut ajakan para nabi, pastilah Allah SWT langsung turunkan azab yang mematikan mereka.
Tetapi kalau kita perhatikan dengan cermat, ada semacam anomali yang terjadi pada kisah keislaman para shahabat Nabi Muhammad SAW. Mereka ini memang ada sebagian yang ketika didakwahi, langsung menyambut dan menyatakan diri masuk Islam. Mereka ini disebut sebagi generasi pertama alias assabiqunal-awwalun.
Namun sebagian lagi ternyata banyak yang tidak mau masuk Islam, setidaknya di awal-awalnya. Tetapi uniknya, seiring berjalannya waktu, ternyata akhirnya Allah SWT bukakan hati mereka untuk bisa menerima Islam. Memang butuh waktu yang tidak sebentar, tetapi Nabi SAW rela menunggu mereka. Beliau SAW tidak serta merta memohon diturunkannya adzab buat mereka.
Tentu hal seperti ini menjadi anomali, bahkan para malaikat yang biasa membantu menghancurkan kaum kafir pun sempat dibuat kecele. Ternyata meski kaumnya tidak mau beriman dan malah membangkang, bahkan menghunuskan pedang, Nabi Muhammad SAW santai saja. Dia doakan mereka agar bisa mendapatkan kesempatan untuk menerima hidayat dari Allah SWT.
Dan strategi ini ternyata berhasil. Ada begitu banyak mereka yang awalnya kafir, lama-lama akhirnya lunak juga. Abu Sufyan itu tokoh pemimpin musyrikin Mekkah. Dialah yang jadi dedengkot orang kafir dalam usaha membunuh Nabi SAW. Bahkan sejak hijrah dari Mekkah ke Madinah pun, Abu Sufyan sudah membuat sayembara terbuka kepada siapa saja yang bisa menangkap Nabi SAW hidup atau mati, dijanjikan akan diberi hadiah 100 ekor unta.
Sayembara ini langsung diiukui oleh semua orang, bahkan pihak-pihak yang tidak punya masalah dengan Nabi Muhammad SAW pun jadi ikutan ingin dapat 100 ekor unta juga. Sedemikian masifnya usaha Abu Sufyan dalam rangka membunuh seorang nabi, bahkan nyaris semua peperangan melawan Nabi SAW pun dia ikuti, bahkan sebagiannya dia yang memimpinnya.
Seandainya Abu Sufyan itu hidup di masa nabi-nabi terdahulu, seharusnya dia sudah tenggelam di Laut Merah, atau ditelan bumi terkena gempa dahsyat, atau mati ketiban meteor yang membakar dan seterusnya.
Ternyata kisahnya unik, justru di akhir peperangan, Abu Sufyan malah menyatakan diri masuk Islam. Dan saat itu juga Nabi SAW menjadikannya sebagai bagian dari kaum muslimin. Bahkan Abu Sufyan mendapatkan hadiah ratusan ekor hewan dari harta zakat.
Bayangkan bagaimana dulu Abu Sufyan rela membayar 100 ekor unta agar Nabi SAW mati, ternyata begitu dia masuk Islam, Nabi SAW malah memberinya begitu banyak hewan. Kisah masuk Islamnya Abu Sufyan ini tentu bukan kisah satu-satunya, tetapi ada ribuan bahkan ratusan ribu para shahabat yang justru masuk Islamnya di akhir-akhir kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Namun begitu mereka masuk Islam, posisi mereka otomatis menjadi shahabat nabi, yang berhak menyandang gelar : ridhwanullahi ‘alaihim.
وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Lafazh bashir (بِالْعِبَادِ) diartikan Maha Melihat, namun sebagaimana sudah beberapa kali dijelaskan sebelumnya, bahwa kualitas penglihatan itu ada jenjangnya.
Pertama, ra’a-yara (رأى- يرى), ini yang paling dasar dan artinya melihat tapi tidak terlalu objektif, terlihat hanya agak tersamar, boleh jadi karena dari kejauhan. Kalau diibaratkan, seorang pemuda melihat sekilas ada wanita yang menarik hatinya. Tapi hanya dari kejauhan saja, tidak berani memandang lebih jauh.
Kedua, nazhara-yanzhuru (نظر - ينظر). Ini yang menengah dan maknanya melihat dengan agak lebih teliti dan konsentrasi. Kalau diibaratkan seperti seorang laki-laki yang sudah berniat ingin menikahi calon istri, maka dianjurkan dia melakukan nazhar. Nazhar itu melihat calon istrinya sebelum menjadi pengantin. Tentu melihatnya agak lebih mendetail, bukan sekedar melirik apalagi melihat dari kejauhan, tetapi secara khusus melihat dan memperhatikan, setidaknya wajah dan kedua tangannya.
Ketiga, bashara-yubshiru (بصر - يبصر), ini level paling tinggi dan maknanya bukan hanya melihat lebih dekat, juga bukan melihat sekilas, melainkan melihat dengan lebih sempurna lagi, hingga ke level membedah isi dan bagian-bagian dalamnya yang selama ini tidak terungkap. Kalau diibaratkan, mereka sudah jadi suami istri yang sah dan boleh berjima’. Maka saat itu mereka berdua sudah saling terbuka luar dan dalam tanpa adanya penghalang.
Maka kalau disebut bahwa Allah SWT itu bashir (بصير), maknanya memang bukan sekedar melihat biasa, tetapi sebegitu rinci dan detailnya dalam melihat hamba-hamba-Nya.
Lafazh bil-‘ibad (بَصِيرٌ) artinya dengan para hamba-Nya, maksudnya adalah umat manusia, baik yang muslim atau pun yang kafir.