Ayat ke-22 ini sambungan dari ayat ke-21, dimana salah satu bentuk siksaan Allah kepada orang yang kafir adalah bahwa semua amalannya di dunia dan di akhirat akan sia-sia dan tidak ada gunanya di sisi Allah SWT.
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ
Lafazh ulaikalladzina (أُولَٰئِكَ الَّذِينَ) artinya : mereka itulah orang-orang yang, habithath a’maluhum (حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ) artinya : sia-sia dan percuma amal-amalnya.
Ayat ini menggunakan kata habithat (حَبِطَتْ) yang diartikan dengan kesia-siaan. Kata tersebut pada mulanya digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang konkret dan bersifat indriawi, misalnya untuk binatang yang ditimpa penyakit karena menelan sejenis tumbuhan yang mengakibatkan perutnya kembung hingga ia menemui ajal. Dalam konteks ini, Nabi saw. bersabda:
"Sesungguhnya ada tumbuhan yang tumbuh di musim bunga yang membunuh, habthan auw yalim" (HR. Bukhari dan at-Tirmidzi).
Beliau memperingatkan bahwa ada sesuatu yang kelihatannya indah tetapi di celahnya terdapat sesuatu yang buruk, seperti musim bunga yang menumbuhsuburkan aneka tumbuhan dan mengagumkan binatang-binatang, tetapi ada tumbuhan yang ketika itu tumbuh subur dan mengagumkan tetapi sesaat setelah ditelan binatang, ia menderita penyakit al-hibath (الحِبَاط) yang mengakibatkan perutnya kembung dan membesar sampai ia mati atau setengah mati.
Dari luar, binatang itu diduga gemuk, sehat, tetapi gemuk yang mengagumkan itu pada hakikatnya adalah penyakit yang menjadikan dagingnya membengkak atau katakanlah tumor ganas yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidupnya.
Maka demikian juga amal-amal seorang kafir, amal-amal mereka kelihatannya baik, tetapi sebenarnya amal-amal tersebut habithat sehingga yang bersangkutan akan menjadi seperti binatang yang makan tumbuhan yang dijelaskan di atas. Ia akan binasa, mati, walaupun amal-amalnya terlihat baik dan indah, sebagaimana indahnya tumbuh-tumbuhan di musim bunga.
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Lafazh fiddunya (فِي الدُّنْيَا) artinya : di dunia, maksudnya selama masih hidup di alam dunia ini. Lafazh wal-akhirah (وَالْآخِرَةِ) artinya dan juga di akhirat.
Barangkali kita bertanya, apa maksud dari amal di dunia dan amal di akhirat? Bukankah beramal itu hanya di dunia, sedangkan di akhirat tidak perlu lagi ada amal?
Sebagian kalangan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan amal di dunia maksudnya kebaikan dan jasa seeorang kepada sesama manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan amal di akhirat adalah rirtual peribadatan yang dilakukan langsung kepada Allah SWT. Kedua jenis amal itu tidak akan mendatangkan pahala nanti di akhirat, sebab semua amalnya menjadi sia-sia.
Kondisinya seperti hewan melata, walaupun melakukan banyak kebaikan tetapi tidak akan mendapat pahala di sisi Allah. Tetapi ketika melakukan kejahatan, dosa-dosanya tetap ada.
Lantas bagaimana konsekuensi syariat bagi orang yang sempat murtad kemudian kembali memeluk Islam? Ada dua pendapat, yaitu mazhab Asy-Syafi’i di satu pihak dan mazhab Hanafi bersama Maliki di pihak lain.
Dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’i, amalannya tidak hapus dan taubatnya diterima Allah. Misalnya sebelum murtad pernah pergi ibadah haji, kemudian sempat murtad beberapa waktu, kemudian kembali lagi memeluk Islam lagi, amalannya tidak hapus dan dia tidak wajib mengulangi hajinya.
Namun dalam pandangan mazhab Hanafi dan Maliki hajinya dianggap gugur dan sia-sia, sehingga dia terkena kewajiban haji sekali lagi.
وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
Lafazh wa-ma-lahum (وَمَا لَهُمْ) artinya dan mereka tidak mendapatkan, an-nashirin (نَاصِرِينَ) maknanya penolong atau pembela.
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa maksudnya bahwa orang yang mati dalam keadaan kafir, nanti di akhirat tidak akan mendapatkan syafaat, baik Nabi Muhammad SAW ataupun dari siapa pun juga yang seharusnya bisa memberinya syafaat.