◀ | Jilid : 10 Juz : 5 | An-Nisa : 103 | ▶ |
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Kemenag RI 2019 : Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah (mengingat dan menyebut-Nya), baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring. Apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah salat itu (dengan sempurna). Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.TAFSIR AL-MAHFUZH | REFERENSI KITAB TAFSIR |
Ayat ke-103 ini tentunya masih sambungan dari ayat sebelumnya, yaitu masih terkait dengan shalat khauf. Namun di ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk memperbanyak dzikir setelah shalat khauf, meskipun dzikir itu juga disyariatkan dan dianjurkan setelah shalat lainnya.
Akan tetapi khusus untuk kasus shalat khauf, perintah memperbanyak dzikir itu lebih ditekankan karena dalam pelaksanaannya terdapat keringanan dalam rukun-rukunnya, kemudahan dalam pergi dan kembali, serta hal-hal lainnya yang tidak ditemukan pada shalat lainnya.
Sebagaimana firman Allah SWT tentang meninggalkan larangan-larangan khususnya pada bulan-bulan haram.
فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian di dalamnya (QS. At-Taubah: 36)
meskipun larangan ini juga berlaku di luar bulan-bulan tersebut, tetapi di dalamnya lebih ditekankan karena keagungan dan kesuciannya.
Oleh karena itu, Allah SWT berfirman:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ
“Maka apabila kalian telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring di atas sisi tubuh kalian” (QS. An-Nisa: 103)
Maksudnya adalah dalam seluruh keadaan kalian.
Kata fa-idza (فَإِذَا) artinya : maka apabila. Kata qadhaitum (قَضَيْتُمُ) artinya : kamu telah menyelesaikan. Kata ash-shalata (الصَّلَاةَ) artinya : shalat. Kata fadzkurullah (فَاذْكُرُوا اللَّهَ) artinya : maka ingatlah Allah.
Perintah untuk mengingat Allah seusai shalat oleh sebagian kalangan dipahami sebagai perintah untuk berdzikir setelah shalat.
Al-Qurtubi dalam Al-Jami li-Ahkam Al-Quran[1] menuliskan pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bahwa dzikir yang diperintahkan ini adalah dzikir setelah shalat khauf, yaitu ketika kalian telah selesai melaksanakan shalat, ingatlah Allah dengan hati dan lisan, dalam keadaan apa pun kalian berada, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berbaring.
Teruslah mengingat-Nya dengan bertakbir, bertahlil, dan berdoa memohon kemenangan, terutama dalam keadaan peperangan.
Ibnu Asyur menuliskan dalam At-Tahrir wa At-Tanwir[2] penjelasan terkait penggalan ayat ini bahwa yang dimaksud dengan dzikir disini adalah ibadah-ibadah sunnah, atau dzikir dengan lisan seperti tasbih dan tahmid. Ketika mereka berada dalam keadaan aman, mereka biasa duduk hingga selesai dari tasbih dan semisalnya.
Namun, ketika dalam keadaan takut, mereka diberi keringanan untuk mengingat Allah dalam segala kondisi. Yang dimaksud dengan berdiri, duduk, dan berbaring di atas sisi tubuh adalah posisi yang dilakukan dalam keadaan perang, bukan untuk tujuan istirahat.
Ada yang mengatakan bahwa penggalan ini memerintahkan untuk melaksanakanlah shalat yang telah masuk waktunya, menyempurnakannya, memperbaiki rukun-rukunnya, memperhatikan syarat-syaratnya, dan menjaga batas-batasnya.
Riwayat dari Ibn Zayd menyebutkan bila sudah tidak lagi dalam keadaan perang, maka kerjakanlah shalat dengan rukun-rukunnya yang benar dan jangan shalat sambil berjalan, naik kendaraan, atau duduk.
. Kata qiyaman (قِيَامًا) artinya : baik ketika kamu berdiri, Kata wa qu’udan (وَقُعُودًا) artinya : duduk. Kata wa ‘ala junubikum (وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ) artinya : maupun berbaring.
Fakhruddin Ar-Razi menuliskan dalam Mafatih Al-Ghaib [1] bahwa penggalan ini memiliki dua penafsiran:
Pertama: Jika kalian telah menyelesaikan shalat khauf (shalat dalam keadaan takut), maka teruslah berdzikir kepada Allah dalam semua keadaan. Sesungguhnya, apa yang kalian alami berupa rasa takut dan kewaspadaan terhadap musuh sangat layak untuk terus berdzikir kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya.
Kedua: Yang dimaksud dengan dzikir di sini adalah shalat, yakni shalatlah dalam keadaan berdiri ketika kalian sibuk dalam perlombaan dan pertarungan, dalam keadaan duduk ketika kalian sibuk dengan pelemparan, dan dalam keadaan berbaring ketika luka-luka banyak menimpa kalian sehingga kalian jatuh ke tanah.
Setelah kalian merasa tenang ketika peperangan mereda, maka tegakkanlah shalat dan lakukanlah pengganti shalat yang telah kalian tinggalkan saat sibuk dalam peperangan.
Ini jelas menurut mazhab Syafi'i yang mewajibkan shalat bagi para peserta perang dalam keadaan pertarungan jika waktu shalat telah tiba. Jika mereka telah merasa tenang, maka mereka wajib mengqadha shalat.
Al-Baghawi dalam tafsir Ma’alim At-Tanzil fi Tafsir Al-Quran[2] menuliskan bahwa kata fadzkurullah ﴿فَاذْكُرُوا اللَّهَ﴾ maksudnya shalatlah kepada Allah. Kata qiyaman ﴿قِيَامًا﴾ maksudnya dalam keadaan sehat. Kata qu’udan ﴿وَقُعُودًا﴾ maksudnya dalam keadaan sakit. Sedangkan kata ﴿وَعَلَى جُنُوبِكُمْ﴾ maksudnya dalam keadaan kesulitan atau terbaring.
Ada juga yang mengatakan: berdzikirlah kepada Allah dengan tasbih, tahmid, tahlil, dan tamjid dalam segala keadaan.
Ibnu Athiyah menuliskan dalam tafsir Al-Muharrar Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz[3] bahwa berdasarkan penggalan ayat ini, Ibn al-Mawaz menetapkan tata cara shalat bagi orang sakit, yaitu shalat dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu, maka dalam keadaan berbaring di sisi kanan. Jika masih tidak mampu, maka di sisi kiri. Jika masih tidak mampu, maka di atas punggungnya.
Sedangkan menurut mazhab Malik dalam Al-Mudawwanah, penafsiran ayat ini memberi pilihan-pilihan, silahkan pilih sebagaimana fatwa Imam Malik,”Silahkan shalat di sisi kanan atau di punggungnya.
[1] Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H)
[2] Al-Baghawi (w. 516 H),Ma’alim At-Tanzil fi Tafsir Al-Quran (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats, Cet. 1, 1420 H)
[3] Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusi (w. 542 H), Al-Muharrar Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet-1, 1422 H)
Kata fa-idza (فَإِذَا) artinya : maka apabila. Kata ithma’nantum (اطْمَأْنَنْتُمْ) artinya : kamu telah merasa aman.
Al-Alusi dalam tafsir Ruh Al-Ma’ani [1] meriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa yang dimaksud dengan ithma’nantum (اطْمَأْنَنْتُمْ) adalah aqamtum (أقَمْتُمْ), yaitu setelah kembali di tempat pemukiman, dalam arti sudah tidak lagi dalam status sebagai musafir.
Kata at-ṭuma'ninah (الطمأنينة) berarti ketenangan, maksudnya adalah ketenangan jiwa dari rasa takut. Maksudnya setelah merasa aman karena tidak ada lagi perang, atau sudah tidak lagi di medan peperangan, atau bisa juga perang sudah usai, baik karena kemenangan, penaklukan, gencatan senjata atau pun karena kesepakatan atas perdamaian.
Kata fa-aqimuu (فَأَقِيمُوا) artinya : maka dirikanlah. Kata ash-shalata (الصَّلَاةَ) artinya : shalat, maksudnya adalah perintah untuk mengerjakan shalat secara normal alias itmam dan tidak diqashar lagi atau dikerjakan seperti halnya shalat khauf.
Maka dirikanlah shalat, yaitu: lakukanlah shalat pada waktunya dengan cara yang benar, yaitu dengan dzikir dan rukun-rukun yang disyariatkan, dan janganlah kalian melakukan apapun yang mungkin dilakukan. Karena hal ini hanya berlaku dalam keadaan takut. Sehingga ketentuan shalat khauf ini memang hanya berlaku ketika peperangan sedang berlangsung.
Kata inna (إِنَّ) artinya : Sesungguhnya. Kata ash-shalata (الصَّلَاةَ) artinya : salat itu. Kata ‘alal-mukminina (عَلَى الْمُؤْمِنِينَ) artinya : atas orang-orang mukmin.
Kata kitaban (كِتَابًا) artinya : merupakan kewajiban. Kata mauquta (مَوْقُوتًا) artinya : yang waktunya telah ditentukan.
Ibnu Mas'ud berkata:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ وَقْتًا كَوَقْتِ الحَجِّ
"Sesungguhnya shalat memiliki waktu tertentu sebagaimana waktu untuk haji."
Mujahid dan Az-Zajjaj mengatakan maksudnya adalah :
فَرْضًا مُؤَقَّتًا وَقَتَّهُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ.
Kewajiban yang ditentukan waktunya yang Allah menetapkannya atas mereka.
Zaid bin Aslam mengatakan makna kitaban mauquta (كِتَابًا مَوْقُوتًا), maksudnya adalah ditentukan waktunya secara munajjaman (منجَّمًا) alias berurutan. Setiap kali satu waktu selesai, datang waktu yang lain. Artinya, setiap kali suatu waktu berlalu, datang waktu lain sebagai gantinya.
Ibnu Hayyan Al-Andalusi dalam tafsir Al-Bahru Al-Muhith fi At-Tafsir[1] mengutipkan pendapat Abdullah al-Razi yang berkata: "penggalan ini maksudnya ingin menjelaskan waktu-waktu shalat, khususnya menguraikannya lima waktu shalat.
Yang dimaksud dengan kitab (كتاب) maknanya bukan buku, tetapi sesuatu sudah tercatat, seakan-akan dikatakan: (مكتوبة موقوتة), yaitu tercatat dengan jadwal waktu yang sudah ditentukan. Lalu huruf (ة) pada kata mauqūtah (موقوتة) dihilangkan, karena mashdar-nya menempati posisi maf’ul bihi. Kata mauqūtah (موقوتة) yang merupakan mashdar itu mudzakkar.
Makna dari kata mauqūt (موقوت) adalah sesuatu yang telah ditentukan waktunya bagi mereka.
Intinya bahwa shalat lima waktu adalah kewajiban yang telah ditetapkan waktu-waktunya secara khusus, dimana shalat tidak sah dan tidak diterima bila dikerjakan sebelum masuk waktunya. Oleh karena itu dalam syarat sah Shalat, ada ketentuan bahwa waktunya sudah masuk. Jika seseorang tahu bahwa waktu shalat belum masuk, tetapi sudah dia kerjakan secara sengaja, maka shalat itu tidak diterima.
Begitu juga bila secara sengaja mengerjakan shalat ketika waktunya sudah habis, maka hukumnya berdosa besar, meskipun shalatnya tetap wajib dikerjakan dan karena itu tetap sah dan diterima.
Jumhur Ulama : Shalat Yang Terlewat WajibDikerjakan
Mayoritas ulama dari mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah, dan Al-Hanabilah sepakat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tetap wajib mengganti shalatnya dengan shalat qadha'.
Alasannya adalah jika seseorang yang meninggalkan shalat karena lupa atau tidak sengaja tetap diwajibkan mengganti, maka orang yang sengaja meninggalkannya tentu lebih wajib untuk menggantinya. Saat seseorang meninggalkan shalat, ia sudah berdosa, dan jika tidak menggantinya, dosa tersebut akan semakin besar.
Mazhab ini mewajibkan orang yang meninggalkan shalat secara sengaja untuk menggantinya dengan shalat qadha'. Asy-Syirazi menyebutkan bahwa siapa pun yang telah diwajibkan atasnya untuk mengerjakan shalat tetapi tidak melakukannya hingga waktunya terlewat, wajib baginya untuk mengerjakan shalat itu dengan cara mengqadha'nya.
Al-Imam An-Nawawi menegaskan bahwa siapa pun yang terlewat shalatnya wajib mengqadha'nya, baik karena adanya uzur maupun tanpa uzur.
Menurut mazhab ini, dengan sengaja tidak melaksanakan shalat tidak menggugurkan kewajiban shalat tersebut dan juga tidak menghanguskannya. Dalilnya adalah Rasulullah SAW tetap mewajibkan mengganti puasa ketika seseorang secara sengaja membatalkan puasanya di siang hari bulan Ramadhan.
Sengaja Tinggalkan Shalat : Kafirkah?
Ada segelintir tokoh yang meyakini bahwa seorang muslim yang secara sadar dan sengaja meninggalkan shalat, maka statusnya menjadi kafir. Misalnya Ibnu Hazm dan Syeikh Bin Baz yang mengatakan bahwa sekali saja seorang muslim meninggalkan shalat, maka otomatis dia kafir. Sedangkan Ibnu Taimiyah dan Syaikh Al-Utsaimin mengatakan bila seorang muslim seumur hidup tidak pernah shalat, maka barulah dia kafir.
a. Bin Baz: Sekali Tidak Shalat Sudah Kafir
Syeikh Bin Baz (w. 1420 H) dalam kitabnya Nur 'ala Ad-Darbi[2], memvonis orang yang meninggalkan shalat langsung menjadi kafir, meskipun hanya sekali meninggalkannya dengan sengaja tanpa uzur syar’i.
وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ تَارِكَ الصَّلَاةِ يُسَمَّى كَافِرًا وَيُسَمَّى مُشْرِكًا، وَهَذَا هُوَ الْحَقُّ، وَهُوَ الْمَعْرُوفُ عَنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.
Dalil ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu disebut kafir dan musyrik. Itulah kebenaran dan yang dikenal dari para sahabat radhiyallahu 'anhum.
وَهَذَا يُدِلُّ عَلَى أَنَّ تَرْكَ الصَّلَاةِ عِنْدَ الصَّحَابَةِ يُعْتَبَرُ كُفْرًا أَكْبَرَ، وَيُسَمَّى تَارِكُهَا كَافِرًا وَمُشْرِكًا.
Hal ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat menurut para sahabat dianggap sebagai kufur akbar. Pelakunya disebut kafir dan musyrik.
Pendapat ini berbeda dari jumhur ulama yang menyatakan bahwa seseorang tidak dihukumi kafir kecuali jika ia mengingkari kewajiban shalat, sedangkan Bin Baz tegas memvonis kafir meskipun pelaku masih mengakui kewajiban shalat tetapi meninggalkannya dengan sengaja.
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya Al-Muhalla bil Atsar[3] menegaskan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dihukumi sebagai kafir. Karena statusnya sebagai kafir, orang tersebut tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkannya secara sengaja.
وَإِنْ كَانَ هَذَا الْأَمْرُ قَدْ حَصَلَ بِعُذْرٍ، فَإِنَّ التَّوْبَةَ تَجِبُ عَلَيْهِ وَيُكَثِّرُ مِنْ الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَالصَّلَوَاتِ النَّوَافِلِ، لِتَزِنَ مَا نَقَصَ مِنْ فَرَائِضِهِ، وَلْيَسْتَغْفِرَ اللَّهَ جَلَّ وَعَلَا.
Jika hal ini terjadi karena uzur, maka ia wajib bertaubat, memperbanyak amal shalih dan shalat sunnah, untuk menutupi kekurangan dari kewajibannya, serta memohon ampun kepada Allah SWT.
Dasar logika yang digunakan Ibnu Hazm adalah beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ - الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya. (QS. Al-Ma’un: 4-5)
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datanglah setelah mereka generasi yang meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat. Maka mereka akan menemukan kesesatan. (QS. Maryam: 59)
Ayat-ayat ini menunjukkan ketetapan yang pasti bahwa siapa saja yang meninggalkan shalat akan mendapatkan celaka dan sesat. Jika meninggalkan shalat dapat diganti dengan qadha’, maka konsekuensi tersebut menjadi tidak berlaku, dan ayat-ayat tersebut akan kehilangan maknanya.
وَلَوْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا يُؤْمَرُ بِقَضَائِهَا، لَمَا كَانَ لَهُ أَنْ يَقَعَ فِي الْوَيْلِ وَالضَّلَالِ، فَكَأَنَّ كِلَيْهِمَا مَعْدُومٌ.
Seandainya orang yang sengaja meninggalkan shalat diperintahkan untuk menggantinya, maka ia tidak akan terkena ancaman celaka dan sesat. Seolah-olah kedua ancaman itu tidak ada.
c. Ibnu Taimiyah : Kafir Bila Tidak Pernah Shalat
Meski termasuk dalam jajaran ulama mazhab Hambali, Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dalam Syarhul 'Umdah[4] mengkafirkan orang yang tetap mengakui kewajiban shalat, tetapi seumur hidupnya tidak pernah melaksanakan shalat dan tidak pernah berniat untuk melakukannya.
فَإِنْ طَالَ عُمُرُهُ وَلَمْ يَعْزِمْ عَلَى الصَّلَاةِ، وَلَمْ يُصَلِّ قَطُّ، فَمَاتَ عَلَى غَيْرِ تَوْبَةٍ أَوْ خُتِمَ لَهُ بِذَلِكَ، فَهَذَا كَافِرٌ قَطْعًا.
Jika seorang muslim hidup panjang umurnya, tetapi tidak pernah berniat untuk shalat, tidak pernah melakukannya sama sekali, lalu dia mati tanpa bertaubat atau mengakhiri hidupnya dalam keadaan seperti itu, maka dia benar-benar kafir tanpa keraguan.
d. Utsaimin: Kafir Bila Tidak Pernah Shalat
Senada dengan pendapat Ibnu Taimiyah, Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (w. 1421 H) juga berpendapat bahwa meskipun seseorang tidak ingkar atas kewajiban shalat dan masih meyakininya sebagai kewajiban, namun jika dia selalu meninggalkan shalat sepanjang hidupnya, maka dia dianggap kafir. Pendapat ini disampaikan dalam kitab kumpulan fatwanya, Fatwa Arkan Al-Islam[5], sebagai berikut:
فَإِنْهُمْ إِذَا كَانَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ لَا يُصَلُّونَ أَبَدًا كُفَّارًا مُرْتَدِّينَ خَارِجِينَ عَنِ الْإِسْلَامِ.
Apabila mereka tidak pernah shalat selamanya, maka mereka adalah kafir, murtad, dan keluar dari Islam.
Dalam kitab lain, Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin[6], beliau juga menyatakan:
وَالَّذِي يَظْهَرُ لِي أَنَّهُ لَا يُكَفَّرُ إِلَّا إِذَا تَرَكَ الصَّلَاةَ تَرْكًا مُطْلَقًا، بِمَعْنَى أَنَّهُ كَانَ لَا يُصَلِّي، وَلَمْ يُعْرَفْ عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى وَهُوَ مُسْتَمِرٌّ عَلَى تَرْكِ الصَّلَاةِ.
Menurut pandangan saya, seseorang tidak dianggap kafir kecuali bila ia benar-benar meninggalkan shalat secara mutlak, artinya tidak pernah shalat sama sekali dan terus-menerus meninggalkan shalat.
فَأَمَّا إِذَا كَانَ أَحْيَانًا يُصَلِّي وَأَحْيَانًا لَا، مَعَ إِقْرَارِهِ بِالْفَرْضِيَّةِ فَلَا أَسْتَطِيعُ الْقَوْلَ بِكُفْرِهِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ"، فَمَنْ كَانَ يُصَلِّي أَحْيَانًا لَمْ يُصَدَّقْ عَلَيْهِ أَنَّهُ تَرَكَ الصَّلَاةَ.
Namun, jika seseorang sesekali shalat dan kadang tidak shalat, selama ia masih mengakui kewajiban shalat, saya tidak dapat mengatakan dia kafir. Sebab Nabi SAW bersabda bahwa antara seseorang dengan syirik dan kafir adalah meninggalkan shalat. Sedangkan bila ia kadang shalat, kadang tidak, ia tidak disebut sebagai orang yang meninggalkan shalat.
Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa Syeikh Utsaimin hanya mengkafirkan seseorang yang benar-benar tidak pernah shalat sepanjang hidupnya, bukan bagi mereka yang sesekali meninggalkan shalat.
Jumhur Ulama Tidak Mengkafirkan
Di luar keempat tokoh di atas, semua ulama dari empat mazhab dan mazhab-mazhab fiqih lainnya sepakat bahwa orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja atau tidak sengaja, statusnya tetap muslim. Hanya saja memang dia berdosa besar, maka dia wajib bertaubat atas dosa besarnya itu. Tetapi statusnya tetap sebagai muslim.
Dan bukan hanya wajib bertaubat, tetapi juga wajib untuk mengganti shalat yang terlewat. Sebab kewajiban shalat itu tetap berlaku, meskipun waktunya sudah lewat. Maka kaitannya dengan ketentuan bahwa shalat itu adalah ibadah yang sudah ditentukan waktunya, adalah :
§ Pertama : Tidak sah mengerjakan shalat fardhu sebelum waktunya, kecuali dalam konteks jama’ taqdim.
§ Kedua : Shalat wajib dikerjakan pada waktunya. Yang paling afdhal di awal waktu, namun bila dikerjakan di akhir waktu, masih dibenarkan dengan pahala yang berkurang.
§ Ketiga : Bila waktunya sudah habis dan belum mengerjakan shalat, maka tetap diwajibkan mengerjakan shalat itu. Pelakunya berdosa besar dan wajib bertaubat, tetapi taubatnya itu bukan menghapus kewajiban shalatnya. Shalatnya masih tetap wajib dilakukan, meskipun waktunya sudah berlalu.
Khusus untuk ketentuan yang nomor tiga, Rasulullah SAW menegaskan bahwa shalat yang terlewat harus diganti begitu ingat.
مَن نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، وَلَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا إِقَامَتُهَا. وَمَنْ أَذْهَرَ صَلَاتِي فَلْيُقِمْهَا لِتُحْيِيَ ذِكْرِي.
Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari[7] menuliskan bahwa Ibrahim berkata bahwa orang yang telah meninggalkan shalat satu kali sejak 20 tahun yang lalu, maka ia wajib menggantinya.
Selain itu Nabi SAW sendiri juga pernah kesiangan bangun shubuh bersama dengan para shahabat. Maka Beliau pun mengganti shalat yang terlewat itu.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: "كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَقالَ بَعْضُ القَوْمِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ مَكَثْتَ فِي مَكَانِكَ حَتَّى نَرْتَاحَ؟ فَقَالَ: "أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا فَتَفُوتَكُمُ الصَّلَاةُ." فَقَالَ بِلَالٌ: "أَنَا سَأُوقِظُكُمْ." فَاضْطَجَعَ القَوْمُ وَانْتَفَضَ بِلَالٌ فِي جَانِبِهِ. فَلَمَّا رَجَعَ رَجَعُوا لِيَسْتَيْقِظُوا فَإِذَا بِهِمْ قَدْ نَامُوا فَتَفَجَّأَ بِلَالٌ فَقالَ: "إِنَّا لَمْ أَحْسَبْ إِلَّا النَّومِ قَدْ جَاءَ." فَقالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَسْتَوْدِعُ الرُّوحَ فِي مَرَاحٍ. فَلَمَّا وَجَدَ قَوْمِي مِنْ نُومِهِمْ قَامُوا وَصَلَّوْا".
Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya berkata: “Kami pernah berjalan bersama Nabi SAW pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, sekiranya Anda mau istirahat sebentar bersama kami?' Beliau menjawab: 'Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.' Bilal berkata, 'Aku akan membangunkan kalian.' Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun, ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: 'Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan?' Bilal menjawab, 'Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.' Beliau lalu bersabda: 'Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!' Kemudian beliau SAW berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.”(HR. Bukhari)
Nabi SAW juga pernah meninggalkan shalat Ashar bahkan beberapa shalat fardhu yang banyak dalam perang Khandaq di tahun kelima hijriyah.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "لَمَّا كَانَتْ غَزْوَةُ خَنْدَقٍ وَفَجَأَتِ الْمُدَافَعَةُ عَلَيْهِمْ وَحِينَ رَجَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّمَا لَمْ نُصَلِّ مَعَ تَفَجُّهِ" قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا قَالَ عُمَرُ: "يَغْرُبُهُ النَّبِيُّ وَيَنْفَجَرُ عَلَيْهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَيَرْتَجِعُ."
Pada hari Perang Khandaq, setelah matahari terbenam, Umar bin Khattab radhiyallahuanhu mendekati Nabi SAW sambil berkata, “Wahai Rasulullah, saya belum melaksanakan shalat Ashar hingga matahari hampir terbenam!” Nabi SAW menjawab, “Demi Allah, saya pun belum melaksanakannya.” Kemudian kami berdiri menuju Bath-han, beliau berwudhu dan kami pun ikut berwudhu, kemudian beliau melaksanakan shalat Ashar setelah matahari terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib.” (HR. Al-Bukhari)
عَنْ نَافِعٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: "إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى لَمْ يَصْلِحْ أَرْبَعَ صَلَوَاتٍ فِي غَزْوَةِ خَنْدَقٍ حَتَّى مَسَّتْهُ الظُّلْمَةُ فِي اللَّيْلِ، فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ."
Dari Nafi' dari Abi Ubaidah bin Abdillah, beliau berkata, "Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga beliau tidak dapat melaksanakan empat shalat pada saat Perang Khandaq hingga malam hari sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan, lalu iqamah. Maka Rasulullah SAW melaksanakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Setelah itu iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib, dan iqamah lagi untuk shalat Isya." (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan Al-Imam An-Nasa’i. Riwayat dari An-Nasa’i ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An-Nasa’i.
[1] Ibnu Hayyan Al-Andalusi (w. 745 H), Al-Bahru Al-Muhith fi At-Tafsir, (Beirut, Darul-Fikr, Cet1, 1420 H)
[2] Syeikh Bin Baz, Nur 'ala Ad-Darbi, hal. 232
[3] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, jilid 2 hal. 242
[4] Ibnu Taimiyah, Syarhul Umdah, jilid 1 hal. 85
[5] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fatawa Arkan Al-Islam, hal. 277
[6] Muhammad bin Shalih Al-Utsiamin, Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsiamin, jilid
12 hlm. 54
[7] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4 hal. 59