Kemenag RI 2019 : Janganlah kamu merasa lemah dalam mengejar kaum itu (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan sebagaimana yang kamu rasakan. (Bahkan) kamu dapat mengharapkan dari Allah apa yang tidak dapat mereka harapkan. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Prof. Quraish Shihab : Dan janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh-musuh kamu). Jika kamu kesakitan, maka sesungguhnya mereka juga menderita kesakitan sebagaimana kamu, sedangkan kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana. Prof. HAMKA : Dan janganlah kamu lengah dalam mengejar kaum itu. Jika kamu menderita sakit, maka sesungguhnya mereka pun menderita sakit pula sebagaimana yang kamu derita. Sedang kamu mengharapkan dari Allah, hal yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah itu Maha Mengetahui, lagi Bijaksana.
You said:
Ayat ke-104 ini diriwayatkan terkait dengan keengganan yang melanda sebagian shahabat pasca kekalahan mereka Perang Uhud di tahun ketiga hijriyah. Kejadiannya setelah perang usai, kaum musyrikin Mekkah menyiapkan pasukan baru untuk melakukan pembalasan ke Madinah. Dalam Sirah Nabawiyah, peristiwa ini dikenal dengan Perang Hamratul Asad, yaitu perang susulan pasca Perang Uhud.
Mendengar kabar itu maka Nabi SAW memerintahkan para shahabat untuk keluar mengejar jejak kaum musyrik. Namun di tengah kalangan kaum muslimin yang baru saja kalah dalam Perang Uhud sangat berat. Sebab memang sudah banyak jatuh korban, baik yang wafat hingga yang luka-luka akibat perang.
Beliau SAW saat itu memerintahkan para shahabat agar ikut keluar bersamanya menghadapi pertempuran tersebut serta memompakan semangat jihad.
Ternyata perang yang pada awalnya mereka takuti itu sama sekali tidak pernah terjadi, berhubung lawannya yaitu orang-orang musyrikin Mekkah membatalkan secara sepihak perang yang nyaris pecah. Rupanya Allah SWT telah membantu kaum muslimin dengan cara dimasukkan rasa takut dan gentar di hati kaum musyrikin Mekkah, sehingga pada akhirnya mereka urungkan niat untuk menyerbu kembali Madinah. Allah SWT menegaskannya dalam ayat yang sudah kita lalui pembahasannya :
Kami akan memasukkan rasa takut ke dalam hati orang-orang yang kufur karena mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan keterangan tentangnya. (QS. Ali Imran : 151)
وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ
Kata wa la tahinu (وَلَا تَهِنُوا) Kata ini berakar dari tiga huruf yaitu huruf wawu (و), huruf ha’ (هـ) dan huruf nun (ن) yang punya makna dasar : lemah, tidak berdaya, atau menjadi kurang kuat. Bentuk fi'il madhi, mudhari’ dan mashdarnya adalah (وَهَنَ – يَهِنُ - وَهْن). Contoh dalam bentuk fi’il madhi adalah ayat berikut :
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي
Ia berkata "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah melemah (QS. Maryam : 4)
Contoh dalam bentuk mashdar adalah ayat berikut :
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. (QS. Luqman : 14)
Contoh dalam bantuk isim tafdhil adalah ayat berikut :
Dan wahan akan ditanamkan di hati kalian." Para sahabat bertanya: "Kami bertanya: Apa itu wahan itu?" Beliau SAW menjawab: "Cinta kepada kehidupan dunia dan takut terhadap kematian.” (HR. Ahmad)
Makna wahan ini menunjukkan sikap tidak bersungguh-sungguh, kehilangan semangat, atau merasa gentar dalam menghadapi sesuatu. Maksudnya Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk tidak merasa gentar atau melemah dalam perjuangan mereka, khususnya saat menghadapi kaum yang menjadi musuh. Pesan ini mengarah pada pentingnya menjaga kekuatan fisik, mental, dan iman dalam situasi sulit.
Kata fi ibtighai (فِي ابْتِغَاءِ) adalah bentuk mashdar dari kata kerja yangbentuk madhi, mudhari serta mashdar-nya adalah (ابتغى – يبتغي - ابتغاء). Dalam bentuk fi’il madhi, contohnya adalah ayat berikut :
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran : 85)
Dalam bentuk fi’il amr, contohnya adalah ayat berikut :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat. (QS. Al-Qashash : 77)
Dan secara umum bisa dimaknai menjadi : mencari, menghendaki, mengejar, mengusahakan dan lainnya.
Kata al-qaum (الْقَوْمِ) artinya : suatu kaum itu, yang maksudnya adalah hal ini tidak lain adalah para musuh.
Pesan yang paling utama dari penggalan ini bahwa Allah SWT melarang kaum muslimin menjadi lemah dan bermalas-malasan dalam menghadapi orang-orang kafir dengan peperangan. Mereka diminta agar memulai serangan terlebih dahulu, biar bisa dengan mudah mematahkan kekuatan lawan di saat mereka lengah.
Dengan memulai serangan terlebih dahulu setidaknya bisa jadi unsur yang mengejutkan serta menimbulkan rasa gentar di hati musuh.
Sedangkan jika kita kaitkan dengan kejadian di masa kenabian waktu itu, maka perintah ini adalah agar para shahabat yang sudah kalah di Perang Uhud itu segera move on, jangan terbawa rasa takut, sedikh, cemas atau pun jatuh mental dengan kekalahan yang baru saja mereka terima. Allah SWT mereka segera bangkit lagi untuk menghadapi serangan-serangan berikutnya.
Dalam hal ini ada informasi bahwa Abu Sufyan mengumpulkan kembali pasukannya yang sudah terlanjur kembali ke Mekkah untuk kembali lagi ke Madinah meneruskan perang yang mereka anggap belum mencapai target.
Dalam keadaan seperti itu, maka wajiblah para shahabat bangun dan tuurn lagi ke medan pertempuran. Jangan takut dan jangan lemah dengan keadaan yang memang sangat tidak menguntung saat itu.
Kata in takunu (إِنْ تَكُونُوا) artinya :Jika kamu. Kata ta’lamuna (تَأْلَمُونَ) adalah kata kerja dalam bentuk fi’il mudhari. Bentuk fi’il madhi, mudhari dan mashdar-nya adalah (أَلِمَ – يَاْلَمُ - أَلَمٌ) bukan dengan a’in (ع) tetapi hamzah atau alif(أ).
Kata ini di dalam Al-Quran hampir semuanya muncul dalam bentuk mashdar, sedangkan dalam bentuk kata kerja, hanya dalam bentuk fi’il mudhari dan satu-satunya hanya di ayat ini saja. Selebihnya tampil dalam bentuk mashar, misalnya istilah adzabun alim (عذاب أليم) yaitu siksa yang menyakitkan.
Kata alam (ألم) ini tentu berbeda maknanya dengan maradh (مَرَضٌ), meskipun terjemahannya bisa bikin salah paham, yaitu sama-sama diterjemahkan menjadi : sakit. Tapi ‘sakit’ itu berbeda dengan ‘merasakan sakit’.
Perang itu tidak membuat orang sakit, tetapi membuat orang merasakan kesakitan. Oleh karena itu banyak orang secara naluri tidak suka dengan perang, karena menyakitkan. Termasuk juga para shahabat nabi yang secara naluri kemanusiaan pastinya juga membenci peperangan.
Kata fainnahum (فَإِنَّهُمْ) artinya :sesungguhnya mereka pun. Kata ya’lamuna (يَأْلَمُونَ) artinya :menderita kesakitan. Kata kama (كَمَا) artinya :sebagaimana. Kata ta’lamuna (تَأْلَمُونَ) artinya :yang kamu rasakan.
Perang itu pastinya menimbulkan rasa sakit, itu adalah resiko. Perang memiliki dampak yang sangat dahsyat dan kompleks bagi penduduk negara yang terlibat,baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Perang dapat menyebabkan hilangnya nyawa, kerusakan fisik, trauma psikologis, kerusakan ekonomi dan sosial, serta dampak jangka panjang seperti generasi yang hilang, dendam dan kebencian, dan kerusakan lingkungan.
Maka sudah benar ketika Allah SWT menyebut bahwa perang di ayat ini dengan sebutan : suu’ yang artinya keburukan. Dan sudah benar ketika Allah SWT menyebutkan bahwa perang itu sesuatu yang dibenci.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. (QS. Al-Baqarah : 216)
Maka Allah SWT memompakan semangat dalam menghadapi musuh dengan menjelaskan bahwa rasa sakit yang dialami oleh kedua pihak yang berperang itu sama, karena masing-masing pihak takut terhadap kekuatan pihak lain.
وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ
Kata wa tarjuna (وَتَرْجُونَ) artinya :(Bahkan) kamu dapat mengharapkan. Kata minallahi (مِنَ اللَّهِ) artinya :dari Allah. Kata maa laa (مَا لَا) artinya :apa yang tidak dapat. Kata yarjuna (يَرْجُونَ) artinya :mereka harapkan.
Kalau bicara rasa sakit, kedua belah pihak, baik kaum muslimin ataupun orang kafir, semua sama-sama merasakan sakit. Namun bedanya adalah bahwa kaum mukmin memiliki keistimewaan dibandingkan kaum kafir, yaitu mereka mengharapkan sesuatu dari Allah yang tidak diharapkan oleh kaum kafir.
Kalau secara hitung-hitungan logika semata, seharusnya para shahabat saat itu bisa saja untuk tidak perlu berangkat maju berperang. Sebab baru saja mereka menderita kekalahan dalam Perang Uhud.
Namun karena turun perintah langsung dari langit kepada Nabi SAW untuk berangkat perang, maka yang ada hanya satu pilihan saja, yaitu tetap berangkat menuju medan perang, meski keadaan mereka tidak dalam kondisi yang paling baik.
Semua itu bisa mereka lakukan hanya bilamana mereka semata-mata mengikuti keridhaan Allah SWT semata. Dan terkadang di balik keridhaan Allah yang sulit didapat itu tersembunyi berbagai karunia yang besar. Dan memang demikian, sebab ujung-ujungnya para shahabat itu memang mendapatkan begitu banyak karunia yang besar.
Harapan itu adalah adanya keimanan di dalam hati kaum muslimin bahwa setelah kematian akan ada kehidupan lagi, yaitu adanya surga yang mengalir di bawahnya sungai. Maka mereka tidak takut menghadapi kematian, mengingat mati itu hanya pindah alam saja.
Sebaliknya di pihak orang kafir, karena mereka tidak pernah paham konsep akhirat dan sama sekali tidak percaya adanya kehidupan pasca kematian, maka mereka sangat takut mati. Sebab sekali mati, maka musnahlah mereka untuk selama-lamanya.
Dalam beberapa ayat Al-Quran memang Allah SWT menceritakan konsep kematian dalam kepercayaan mereka, yaitu tidak ada kehidupan setelah kematian.
Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan". (QS. Al-Anam : 29)
kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi, (QS. Al-Mukminun : 37)
Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?" (QS. Al-Isra : 49)
Orang (kafir) berkata, “Betulkah apabila telah mati kelak, aku sungguh-sungguh akan dibangkitkan hidup kembali?”(QS. Maryam : 66)
أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ
Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, (QS. Al-Muthaffifin : 4)
Namun ada juga yang menyebutkan bahwa yang menjadi harapan bagi para shahabat bukan semata-mata mendapatkan surga dalam kehidupan di akhirat nanti, tetapi juga untuk bisa mendapatkan status sebagai orang yang Allah ridhai, sebagaimana yang tertuang dalam surat Ali Imran ayat 174.
Dan mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh keridhaan Allah. Dan Allah Pemilik karunia yang sangat besar (QS. Ali Imran : 174)
Gelar sebagai : “orang-orang yang diridhai oleh Allah” kepada para shahabat itu merupakan gelar yang sangat mereka rindukan, karena hanya orang-orang khusus saya yang punya gelar dimana ditetapkan mereka adalah orang-orang yang Allah ridhai.
Di beberapa ayat Al-Quran memang Allah SWT menyebut-nyebut para shahabat sebagai orang-orang yang mendapatkan keridhaan dari Allah. Misalnya ayat berikut ini :
Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar". (QS. Al-Maidah : 119)
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah : 100)
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. Al-Fath : 18)
Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. (QS. Al-Mujadilah : 22)
Gelar radhiyallahuanhu bukan gelar yang didapat karena faktor genetis, keturunan ataupun keberuntungan. Tetapi juga diiringi dengan begitu banyak pengorbanan habis-habisan.Salah satunya dengan berangkat perang di saat-saat yang sangat kurang menguntungkan.
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Kata wa kaanallahu (وَكَانَ اللَّهُ) artinya : dan adalah Allah.
Kata ini menunjukkan sifat Allah yang tetap atau azali dan tidak pernah berubah. Allah selalu memiliki sifat-sifat kesempurnaan ini tanpa batas waktu. Ini menunjukkan kesinambungan dan keabadian sifat-Nya, baik pada masa lalu, sekarang, maupun masa depan. Karena Allah SWT adalah satu-satunya wujud yang tidak mengalami perubahan. Yang berubah adalah makhluk.
Oleh karena itu, ketika kita membaca atau mendengar kata kana yang dikaitkan dengan Allah, seperti dalam sebutan Maha Mengetahui, Maha Penyayang, dan lainnya, kita harus memahami bahwa meskipun kata tersebut mengandung makna "dahulu," makna tersebut harus disertai dengan pemahaman bahwa Allah tetap demikian hingga kini dan seterusnya.
Kata ‘aliman (عَلِيمًا) artinya Maha Mengetahui. Allah memiliki ilmu yang sempurna, mencakup segala sesuatu, baik yang tersembunyi maupun yang nyata, yang telah terjadi maupun yang akan terjadi. Ilmu Allah mencakup niat, pikiran, dan perbuatan manusia. Tidak ada sesuatu pun, sekecil apa pun, yang luput dari pengetahuan-Nya.
Dalam konteks ayat ini, sifat ‘alim (عَلِيم) ini mengingatkan manusia bahwa Allah mengetahui semua tindakan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Kata hakiman (حَكِيمًا) artinya : Maha Bijaksana. Allah selalu bertindak dengan hikmah dan penuh dengan kebijaksanaan, yaitu menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Kebijaksanaan Allah tampak dalam syariat-Nya, keputusan-Nya, serta penciptaan dan pengaturan alam semesta. Dalam konteks ini, Allah mengatur kehidupan manusia dengan hikmah yang sempurna, meskipun kadang tidak selalu dipahami oleh manusia.
Pelajaran yang bisa ditarik dari penggalan ayat ini bahwa setiap keputusan Allah, baik berupa perintah, larangan, atau takdir, selalu berdasarkan ilmu Allah yang Maha Sempurna serta juga sudah berlapis dengan hikmah dan kebijaksanaan yang mendalam. Oleh karena itu, manusia hendaknya selalu berprasangka baik kepada Allah dan menerima dengan ridha ketentuan-Nya.