Lafazh dzalika (ذَٰلِكَ) secara bahasa adalah kata tunjuk untuk sesuatu yang jauh dan mudzakkar. Artinya adalah : “itu”. Namun yang jadi pertanyaan di balik kata tunjuk adalah : apa objek yang ditunjuk?
Para ahli tafsir di masing-masing kitab mereka menuliskan penjelasan yang berbeda-beda. Al-Qurtubi merangkumkan beberapa dari beragam pendapat itu. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘itu’ adalah apa yang diungkapkan di ayat sebelum ini. Dan itu adalah hukuman berupa siksa di dalam api neraka yang lebih mereka pilih ketimbang memilih ampunan dan masuk surga.
Namun ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan itu adalah peristiwa turunnya kitab Al-Quran sebagaimana yang ada di dalam ayat ini.
Para ulama berbeda pendapat ketika menjelaskan siapakah yang saling bertikai dan berbeda pendapat dalam penggalan ayat ini.
1. Antar Yahudi dan Nasrani
Sebagian ulama menyebutkan bahwa terjadi perselisihan antara kaum Yahudi dan Nasrani tentang konten yang ada di dalam kitab Taurat. Kaum Nasrani mengklaim bahwa di dalam Taurat ada disebutkan tentang Nabi Isa alaihissalam dengan segala sifatnya yang terpuji. Namun kaum Yahudi menampik klaim sepihak itu dan mengingkari bahwa yang dimaksud adalah Nabi Isa.
2. Antara Sesama Yahudi
Ada juga sebagai yang berpendapat bahwa perselisihan yang terjadi justru antara sesama kaum yahudi sendiri secara internal. Yang mereka perselisihkan adalah selain berkenaan dengan masalah-masalah hukum yang ada di dalam Taurat itu sebagiannya, namun yang paling utama justru terkait dengan informasi kenabian Muhammad.
Sebagian dari mereka meyakini kepastiannya bahwa Nabi Muhammad SAW itu akan segera datang dan harus disambut. Namun yang lain mengatakan bahwa tidak ada cerita tentang kedatangan nabi terakhir di dalam Taurat dan menuduh mereka salah tafsir dan keliru memahami isi Taurat.
3. Antara Sesama Kaum Musyrikin Mekkah
Sebagian mengatakan bahwa yang saling berikhtilaf itu bukan Yahudi secara internal, juga bukan antara Yahudi dan Nasrani, tetapi justru para pemuka musyrikin Arab. Yang mereka perselisihkan adalah sosok Nabi Muhammad SAW dengan ajaran yang dibawanya.
Sebagian dari mereka memprofilkan Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang ulung dalam ilmu sihir. Alasannya ajaran yang dibawanya itu bisa menyihir seluruh penduduk Mekkah menjadi pengikutnya. Bahkan banyak suami istri pasangan-pasangan yang tadinya akur dan hidup rukun, tiba-tiba minta pisah dan bercerai. Dan kalau perpisahan suami istri terjadi dalam bentuk masal dan bersamaan, jelas dia adalah sorang penyihir ulung dengan guna-guna yang tidak ada obatnya. Begitu kental melanda orang satu Mekkah.
قَالَ الْكَافِرُونَ إِنَّ هَٰذَا لَسَاحِرٌ مُبِينٌ
Orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata". (QS. Yunus : 2)
Namun pemuka musyrikin Arab yang lain tidak terima profil Nabi Muhammad dibuat seburuk itu, karena biar bagaimana pun Muhammad itu tidak punya ciri-ciri sebagai tukang sihir. Sehingga profil yang lebih tepat disematkan ke dirinya adalah sebagai penyair yang ulung sehingga kata-kata yang diklaim sebagai wahyu samawi itu adalah karya dan gubahannya.
Dan karena saking indahnya kata-kata itu, sudah seperti sihir yang bisa melenakan banyak orang Arab di masa itu yang pada dasarnya mudah terlena dengan kata-kata yang indah.
بَلْ قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِآيَةٍ كَمَا أُرْسِلَ الْأَوَّلُونَ
Bahkan mereka berkata (pula): "(Al Quran itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan dia sendiri seorang penyair, maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagai-mana rasul-rasul yang telah lalu di-utus". (QS. Al-Anbiya : 5)
Sebagian pemuka musyrikin yang lain tidak terima kedua pendapat di atas, karena menurut pandangannya, apa yang terjadi pada diri seorang Muhamamd itu adalah sebuah kegilaan, namun bercampur dengan kemampuan dalam bersyair. Maka yang lebih tepat menurut pendapat ketiga ini Muhammad itu adalah seorang penyair gila.
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
Dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (QS. Ash-Shaffat : 36)
Kata lafi (لَفِي) artinya : “sungguh benar-benar berada di dalam”. Sedangkan lafazh syiqaq (شِقَاقٍ) itu bermakna perpecahan dan juga bisa bermakna penyimpangan. Dan lafazh ba’id (بَعِيدٍ) itu artinya adalah : jauh.
Memang demikianlah katakteristik dari sebuah perpecahan, boleh jadi awalnya hanya sekedar perbedaan yang amat sedikit dan nyaris tidak berarti. Namun di tangan-tangan yang tidak bertanggung-jawab, seringkali perbedaan yang sedikit itu akhir ya jadi jurang yang amat dalam dan menganga serta membentang jarak yang sedemikian jauh.
Katakanlah misalnya pertentangan kubu-kubu di kalangan kelompok aqidah yang tidak pernah selesai-selesai itu. Kalau kita tarik garis ke belakang, perbedaan aqidah itu awalnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan keyakinan tauhid atau pun keimanan kepada Allah.
Justru diawali dari pertikaian secara politis dan perebutan kekuasaan belaka. Namun karena ditunggangi dengan kekuatan politis itulah sampai akhirnya masing-masing kubu mencoba membuat semacam identitas diri, hingga masuk area yang jauh di luar masalah aslinya.