Jilid : 3 Juz : 2 | Al-Baqarah : 191
Al-Baqarah 2 : 191
Mushaf Madinah | hal. 30 | Mushaf Kemenag RI

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ ۚ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ ۖ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ ۗ كَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ

Kemenag RI 2019 : Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu. Padahal, fitnah53) itu lebih kejam daripada pembunuhan. Lalu janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangimu di tempat itu. Jika mereka memerangimu, maka perangilah mereka.
Prof. Quraish Shihab : Dan bunuhlah mereka karena memerangi dan bermaksud membunuh kamu di mana saja kamu temukan mereka dan (bila mereka tidak bermaksud membunuh, dan hanya mengusir kamu) usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekkah); dan fitnah itu lebih keras lebih besar bahaya dosanya I dari pembunuhan, dan janganlah` kamu memerangi mereka di Masjid al-Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di rempar im. Maka, jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikirmlali balasan bagi orang-orang kafir.
Prof. HAMKA : Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, dan keluarkanlah mereka sebagaimana mereka telah mengeluarkan kamu. Dan, fitnah adalah lebih ngeri daripada pembunuhan. Dan jangan kamu perangi rnereka di Masjidll Haram sehingga mereka perangi kamu padanya. Maka, jika mereka perangi kamu maka bunuhlah rnereka. Demikianlah balasan untuk orang-orang yang kafir.

Ayat ke-191 ini tentu saja masih erat kaitannya dengan ayat ke-190 sebelumnya, yaitu sama-sama memerintahkan kaum muslimin untuk angkat senjata memerangi orang kafir musyrikin Mekkah. Bedanya di ayat sebelumnya diperintahkan berperang yang tentunya terikat dengan tempat peperangan, sedangkan ayat ini yang diperintahkan adalah membunuh. Lalu apa bedanya antara perang dan membunuh?

Sebagian orang mengatakan bahwa membunuh itu tidak harus terjadi di medan pertempuran yang resmi, dimana pun bertemu orang kaum musyrikin Mekkah, silahkan dibunuh hingga mati.

Namun yang dimaksudkan sebenarnya bukan jadi tukang bunuh yang berkeliaran. Tetapi kaum muslimin sudah memenangkan peperangan dan menjadi penguasa, lalu musuh yang kalah itu dihukum mati sesuai dengan kejahatan perang yang mereka lakukan.

Lafazh (وَاقْتُلُوهُمْ) adalah fi’il amr dari kata asalnya yaitu (قَتَلَ - يَقْتُلُ) yang artinya membunuh. Dhamir hum (هُمْ) yang menjadi maf’ul bihi bermakna mereka, yaitu orang-orang kafir musyrikin Mekkah. Sehingga penggalan ayat ini bisa diterjemahkan menjadi : “Dan bunuhlah mereka”, maksudnya orang-orang musyrikin Mekkah.

Sedangkan makna ungkapan (حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ) dimaknai menjadi : “di mana saja kamu jumpai mereka”. Dengan adanya perintah khusus ini, maka halal hukumnya membunuh orang musyrikin Mekkah dimana saja tanpa harus dalam situasi peperangan yang resmi dan formal.

Satu hal yang penting untuk digaris-bawahi dalam penggalan ayat ini, perintah di ayat ini bukan perintah untuk berperang, tetapi perintah untuk membunuh. Kesan yang didapat bahwa membunuh itu lebih tinggi derajatnya dari pada sekedar memerangi. Membunuh itu posisinya sudah berhasil mengalahkan musuh dalam peperangan dan sudah menjadi penguasa yang berhasil menaklukkan. Dan dalam posisi sebagai pemenang perang itulah Nabi SAW diperintahkan untuk membunuh mereka.

Ibnu Asyur menyebutkan bahwa ayat ini semacam janji Allah SWT kepada Nabi SAW bahwa sebentar lagi akan terjadi pembebasan kota Mekkah. Mengingat ketika ayat ini turun, posisi umat Islam belum berada pada posisi untuk bisa mengusir penduduk Mekkah, karena mereka masih tinggal di Madinah, sementara kekuatan Mekkah masih sangat besar. Tidak mungkin untuk melakukan penyerbuan begitu saja.

Lafazh wa-akhrijuhum (وَأَخْرِجُوهُمْ) asalnya dari (أخْرَجَ - يُخْرِجُ) yang arti harfiyahnya adalah mengeluarkan. Namun maksudnya dalam ayat ini adalah mengusir, yaitu mengusir orang dari tempat tinggal mereka bahkan dari negeri mereka. Wajar bila diterjemahkan menjadi : “dan usirlah mereka”. Dhamir hum (هُمْ) disini kembali lagi maksudnya adalah penduduk Mekkah yang dahulu mengusir kaum muslimin hingga terpaksa berhijrah ke Madinah.

Sedangkan ungkapan (مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ) maknanya adalah :  “dari tempat mereka telah mengusir kamu”, maksudnya dari tempat dahulu mereka pernah mengusir kamu dari tempat asalmu yaitu kota Mekah Al-Mukarramah.

Ath-Thabari mengatakan bahwa khitab ayat ini diarahkan kepada Nabi SAW dan juga kepada para shahabat muhajirin yang asalnya dari Mekkah. Mereka dahulu hidup bahagia di Mekkah, sampai akhirnya mereka harus hengkang dari kampung halaman sendiri karena kerasnya permusuhan yang dilancarkan oleh keluarga mereka sendiri yang masih musyrik.

Dengan diturunkannya ayat ini maka Allah SWT meminta Nabi SAW dan para muhajirin untuk membalas apa yang orang-orang musyrikin Mekkah pernah lakukan kepada mereka, yaitu membalas dengan mengusir mereka dari Mekkah.

Sebagian ulama menyatakan bahwa penggalan ayat ini merupakan dalil dari haramnya orang yang agamanya bukan Islam untuk masuk ke Mekkah, apalagi sampai bertempat tinggal di dalamnya.

Menurut Ibnu Asyur, ayat ini turun setidaknya dua tahun sebelum peristiwa pembebasan Mekkah. Bahkan sebelum perjanjian Hudaibiyah di tahun keenam hijriyah. Posisinya kurang lebih bersisian dengan ayat lain yang juga menggambarkan bahwa Nabi SAW akan masuk Masjidil Haram  dengan keadaan aman bukan dalam keadaan masih berperang.

لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ ۖ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ ۖ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَٰلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا

Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan menggunduli rambut kepala dan menguranginya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. (QS. Al-Fath : 27).

Itupun sempat Nabi SAW salah duga, dikiranya ayat ini jadi semacam isyarat bahwa Nabi SAW bisa langsung masuk Masjid Al-Haram, sehingga segera setelah ayat ini turun, Beliau SAW mengajak para shahabat untuk mengadakan perjalanan ke Mekkah demi untuk mengerjakan umrah.

Namun begitu tiba di Hudaibiyah, ternyata dugaan Nabi SAW meleset. Para pemimpin Mekkah rupanya tidak mengizinkan kaum muslimin masuk ke Mekkah. Saat itulah kemudian terjadi perjanjian Hudaibiyah, dimana salah satu klausulnya bahwa Nabi SAW dan para shahabat tidak diperkenankan masuk ke Mekkah di tahun itu yaitu tahun keenam hijriyah, tetapi dipersilahkan masuk Mekkah untuk tahun berikutnya yaitu tahun ketujuh hijriyah. Maka setahun kemudian Nabi SAW melaksanakan umrah qadha’.

Namun demikian, apa yang digambarkan bahwa Nabi SAW dan para shahabat bisa masuk Mekkah dalam keadaan aman dan tidak takut apapun sebenarnya belum terwujud di tahun ketujuh itu. Baru tahun depannya lagi, yaitu tahun kedelapan terjadi peristiwa Fathu Mekkah, dimana apa yang digambarkan dalam dua ayat di atas benar-benar terwujud.

Hanya saja ternyata Nabi SAW tidak menjalankan apa yang telah Allah SWT perintahkan untuk membunuh penduduk Mekkah serta mengusir mereka keluar dari Mekkah. Dasarnya karena hampir seluruhnya sudah menyerah kalah dan hampir semuanya kemudian masuk Islam.

Sedangkan yang tidak masuk Islam, kalau pun ada, mereka sudah ambil langkah seribu sejak beberapa saat Mekkah ditaklukkan.

Lafazh al-fitnah (الْفِتْنَةُ) diartikan menjadi fitnah juga. Fakruddin Ar-Razi mengatakan bahwa secara makna bahasa asalnya, kata fitnah ini adalah tindakan membakar atau mencairkan emas dengan dibakar sehingga unsur yang bukan emasnya bisa dibersihkan menjadi emas murni (عَرْضُ الذَّهَبِ عَلى النّارِ لِاسْتِخْلاصِهِ مِنَ الغِشِّ). Kemudian semua bentuk-bentuk kekerasan atau penyiksaan terhadap sesuatu akhirnya menggunakan kata fitnah[1].

 Lafazh asyaddu (أَشَدُّ) diterjemahkan menjadi : lebih besar bahayanya, sedangkan lafazh minal-qatl (مِنَ الْقَتْلِ) maknanya : dari pembunuhan. Yang sedikit menjadi ganjalan adalah kata fitnah yang terjemahannya  bermasalah dari dua sisi.

Pertama, kata fitnah dalam bahasa Arab punya banyak sekali makna, namun fitnah dalam bahasa Indonesia diartikan jadi : menuduh orang lain dengan tuduhan yang tidak berdasar.

Kedua, masalahnya dari sekian banyak makna fitnah dalam bahasa Arab, tidak ada satu pun yang maknanya sesuai dengan kata fitnah dalam bahasa Indonesia.

Sehingga kalau kata fitnah dalam ayat ini diartikan menjadi : menuduh orang lain dengan tuduhan yang keji, tentu akan sangat-sangat bermasalah. Dan kalau benar menuduh orang lain lebih kejam dari pada pembunuhan, kenapa tidak kita bunuh saja sekalian? Toh dosanya lebih ringan ketimbang kita tuduh dengan tuduhan negatif.

Khusus untuk ayat ini makna fitnah menurut Ibnu Abbas adalah al-kufru (الكُفْرُ) atau kekafiran kepada Allah SWT. Kekafiran itu disebut dengan fitnah karena sama-sama membawa kepada malapetaka. Hal itu sebagaimana dikutipkan oleh Al-Mawardi[2] di dalam An-Nukat wa Al-Uuyun, sebagaimana juga dikutipkan oleh Ibnu Katsir[3] dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim.

As-Syaukani dalam Fathul Qadir mengatakan bahwa fitnah itu punya beberapa makna, antara lain[4] :

§  Kembalinya seorang muslim kepada kekafiran (رُجُوعُكم إلى الكُفْرِ).

§  Cobaan dan ujian yang menimpa seseorang baik nyawa, keluarga, harta atau pun kehormatan (المِحْنَةُ الَّتِي تَنْزِلُ بِالإنْسانِ في نَفْسِهِ أوْ أهْلِهِ أوْ مالِهِ أوْ عِرْضِهِ،)

§  Perbuatan syirik yang dilakukan oleh kaum musyrikin (الشِّرْكُ الَّذِي عَلَيْهِ المُشْرِكُونَ)

§  Melarang masuknya orang ke Masjid Al-Haram (بِصَدِّكم عَنِ المَسْجِدِ الحَرامِ)

Namun pada akhirnya Asy-Syaukani menegaskan bahwa segala macam bentuk metode dalam rangka memerangi umat Islam bisa termasuk ke dalam fitnah.

Lantas apa saja makna fitnah yang biasa digunakan di dalam bahasa Al-Quran?

1. Syirik

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ

Dan fitnah (syirik) itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. (QS. Al-Baqarah : 191)

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (syirik) dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. (QS. Al-Anfal : 39)

2. Kesesatan

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah (kesesatan) untuk mencari-cari ta´wilnya. (QS. Ali Imran : 7)

وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. (QS. Al-Maidah : 41)

3. Penyerangan

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (QS. An-Nisa : 101)

4. Memalingkan

وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS. Al-Maidah : 49)

5. Permintaan maaf

ثُمَّ لَمْ تَكُنْ فِتْنَتُهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا وَاللَّهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِينَ

Kemudian tiadalah permintaan maaf mereka, kecuali mengatakan: "Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah". (QS. Al-Anam : 23)

6. Vonis Hukuman

أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِنَّا ۖ إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ

Apakah Engkau membinasakan  kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan (hukuman) dari Engkau. (QS. Al-Araf : 155)

7. Dosa

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ ائْذَنْ لِي وَلَا تَفْتِنِّي ۚ أَلَا فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُوا

Di antara mereka ada orang yang berkata: "Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah". Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. (QS. At-Taubah : 49)

8. Penyakit

أَوَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ

Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji dengan penyakit sekali atau dua kali setiap tahun. (QS. At-Taubah : 126)

9. Pelajaran

فَقَالُوا عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Lalu mereka berkata: "Kepada Allahlah kami bertawakkal! Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami fitnah (pelajaran) bagi kaum yang´zalim, (QS. Yunus : 85)

10. Hukuman

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan (hukuman) atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nur : 63)

11. Ujian

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. (QS. Al-Ankabut : 3)

12. Azab

فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ

Maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah (azab) manusia itu sebagai azab Allah. (QS. Al-Ankabut : 10)

13. Dibakar

يَوْمَ هُمْ عَلَى النَّارِ يُفْتَنُونَ

(Hari pembalasan itu) ialah pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (QS. Adz-Dzariyat : 13)

14. Gila

بِأَيْيِكُمُ الْمَفْتُونُ

siapa di antara kamu yang gila. (QS. Al-Qalam : 6)

 

[1] Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H), jilid hal.

[2] Al-Mawardi (w. 450 H), An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1), jilid hal.

[3] Ibnu Katsir (w. 774 H), Tafsir Al-Quran Al-Azhim (Cairo, Dar Thaibah lin-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 2,  1420 H – 1999 M) , jilid hal.

[4] Asy-Syaukani (w. 1250 H), Fathul Qadir, (Beirut, Darul Kalim ath-Thayyib, Cet. 1, 1414 H), jilid hal.

Lafazh wala tuqatiluhum (وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ) maknanya : dan janganlah kamu memerangi mereka, sedangkan al-masjid al-haram (الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ) maknanya Masjid A-lHaram, namun para ulama sepakat maksudnya bukan hanya sebatas masjid melainkan kota Mekkah.

Penggalan ayat ini sangat erat kaitannya dengan penggalan sebelumnya yang memerintahkan untuk membunuh penduduk Mekkah dimana saja ditemukan. Namun kalau bertemunya di Mekkah, maka perintah untuk membunuh mereka menjadi tidak berlaku.

Dan kejadiannya sebagaimana sudah dijelaskan adalah ketika peristiwa Fathu Mekkah di tahun kedelapan hijriyah. Saat itu Nabi SAW berhasil mengepung kota Mekkah dari seluruh penjuru mata angin. Beliau memasang tenda-tenda di atas bukit-bukit yang mengelilingi Mekkah, sambil menyalakan api unggun di malam hari. Sehingga kemana pun mata penduduk Mekkah memandang, yang mereka lihat adalah nyala api unggun yang nyaris mengepung mereka.

Malam itu penduduk Mekkah tidak ada yang bisa tidur, karena membayangkan kematian di depan mata esok harinya. Dan mereka pun sudah mendengar firman Allah SWT yang memerintahkan Nabi SAW untuk membunuh seluruh penduduk Mekkah. Maka jadilah malam itu lebih menyeramkan bagi penduduk Mekkah dari pada kematian itu sendiri.

Lafazh hatta yuqatilukum fihi (حَتَّىٰ يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ) artinya : sampai mereka membunuhmu di dalam kota Mekkah. Maksudnya Nabi SAW dan para shahabat dilarang membunuh penduduk Mekkah di dalam kota Mekkah.

Kata fain qatalukum (فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ) bermakna : jika mereka memerangi kamu, maksudnya penduduk Mekkah yang kafir mencoba memerangi NAbi SAW dan para shahabat di dapan Mekkkah, maka bunuhlah mereka. Ungkapannya adalah faqtululhum (فَاقْتُلُوهُمْ) artinya : bunuhlah mereka.

Jadi tidak mengapa membunuh mereka di dalam kota Mekkah, yaitu apabila mereka yang nekat melanggar larangan Allah SWT dengan cara mau membunuh kaum muslimin di dalam kota Mekkah. Padahal seluruh bangsa Arab sepakat bahwa haram hukumnya melakukan bunuh-bunuhan dan pertumpahan darah di dalam kota Mekkah.

Namun kalau mereka nekat mau main bunuh kaum muslimin, maka Allah SWT menghalalkan untuk membunuh di dalam kota Mekkah. Kehalalannya itu karena terpaksa demi untuk membela diri dari orang yang berusaha membunuh. Sebab kalau tidak boleh membunuh mereka, mereka lah yang akan membunuh kaum muslimin.

Makna (كَذَٰلِكَ) adalah : demikianlah, maksudnya dibunuh meski pun mereka ada di Masjid Al-Haram adalah balasan bagi orang-orang kafir. Ungkapannya adalah jaza’ul-kafirin (جَزَاءُ الْكَافِرِينَ).

Kalau dikaitkan dengan konteks ayat ini, maksudnya adalah balasan yang sifatnya duniawi, bukan yang terkait dengan balasan di akhirat. Namun balasan dibunuh ini hanyalah manakala mereka melawan atau berusaha membunuh.

Ayat ini dan juga ada beberapa ayat lain sering disebut dengan ayatus- saif (آيات السيف) alias ayat-ayat pedang, karena isinya perintah untuk angkat pedang demi memenggal kepala orang kafir dimanapun ditemui. Lebih dari itu, muncul juga pandangan yang mengatakan bahwa ayat-ayat ini menghapus berlakunya ayat yang mengajak kepada perdamaian dengan non muslim.

Tidak sedikit di antara kaum tekstualis yang menyerah tanpa syarat dengan diajukannya fakta terkait bahwa ayat pedang menghapus semua ayat perdamaian. Sehingga terjebak ikut-ikutan menjadi penganut Islam garis keras, yang suka menghunus pedang dan main bunuh siapa pun yang dianggap kafir. Malah lebih itu, sesama muslim pun mereka halalkan juga darahnya.

Lantas bagaimana kita menjawab masalah ini?

Jawabnya sederhana sekali, yaitu jangan lihat teks ayatnya tetapi perhatikan lebih seksama pelaksanaannya di masa kenabian. Karena yang mendapatkan perintah dari langit dengan ayat ini bukan kita yang hidup di abad ke 21 ini, melainkan Nabi SAW dan para shahabat yang hidup di masa itu. Seratus persen dipastikan bahwa yang dapat memahami apa yang menjadi kandungan dan konten hukum ayat ini adalah Nabi SAW.

Salah satu kekeliruan fatal yang banyak membuat kaum muslimin terjebak ketika membaca ayat ini dan juga ayat lain yang senada adalah mereka membaca teks ayat ini secara harfiyah, padahal dalam prakteknya seringkali isi ayat ini tidak dikerjakan oleh Nabi SAW.

Sekedar contoh kecil adalah ayat yang menegur Nabi SAW saat menghentikan perang Badar dan tidak meneruskan membunuh musuh-musuhnya, sebagai gantinya mereka hanya dijadikan tawanan semata. Kala itu turunlah ayat dari langit yang menegur dengan amat keras.

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal : 67)

Dengan turunnya ayat ini, lantas apakah Nabi SAW meneruskan perang dan membunuhi semua tawanan perang?

Ternyata jawabannya tidak. Karena setelah itu rupanya Allah SWT malah memberikan keringanan khusus bagi umat Nabi Muhammad SAW, yaitu dibolehkan untuk tidak meneruskan perang, musuh tidak harus dibunuh, boleh saja mereka dijadikan tawanan untuk nanti keluarganya membayar tebusan.

Begitu juga terkait perintah untuk membunuh semua penduduk Mekkah di ayat ini. Perintahnya nampak sangat menyeramkan. Bayangkan, Nabi SAW dan kaum muslimin diperintahkan menggorok leher mereka dimana pun bertemu mereka. Dan dalam kenyataannya, ternyata tidak ada satupun nyawa penduduk Mekkah yang direnggut. Sebab tidak lama setelah ayat ini turun, justru terjadi Perjanjian Hudaibiyah. Maka kedua belah pihak menahan diri untuk tidak saling berperang, setidaknya untuk masa sepuluh tahun. Dan Nabi SAW sangat menghormati isi perjanjian ini. Beliau SAW larang para shahabat untuk angkat senjata karena terikat perjanjian.

Dan ketika Perjanjian Hudaibiyah baru berumur dua tahun, tiba-tiba sekutu pihak musyrikin Mekkah lah yang justru membunuh sekutu Nabi SAW. Hal ini juga yang pada akhirnya memicu peristiwa Fathu Mekkah. Memang dalam perang itu Nabi SAW membawa 10.000 tentara yang sangat kuat demi untuk menggempur Mekkah. Namun terjadi plot-twis karena Abu Sufyan menyerah pasrah di malam itu serta menyatakan diri masuk Islam.

Lagian kalau pun mereka tidak menyerah, tetap saja Nabi SAW tidak bisa membunuh mereka begitu saja, selama mereka tidak melawan dan mereka berada di dalam kota Mekkah. Memang begitu ketentuannya dari Allah yaitu :

وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ

Janganlah kalian bunuh mereka di Masjid Al-Haram, kecuali bila mereka berusaha membunuhmu.

Dari situ kita mendapatkan pelajaran bahwa tidak semua ayat Al-Quran otomatis dipraktekkan oleh Nabi SAW secara harfiyah.  Banyak juga yang dalam prakteknya ternyata tidak sempat berjalan.

Klaim yang banyak diajukan oleh kalangan tertentu bahwa Al-Quran memerintahkan membunuh semua orang kafir ternyata tidak pernah terbukti. Seandainya klaim bahwa semua orang kafir wajib dibunuh itu benar, pastilah kita menemukan tumpukan mayat orang kafir bergelimpangan dan menggunung dalam sejarah kenabian. 

Maka jadilah syariat jihad umat Nabi Muhammad SAW menjadi sangat unik dan berbeda dengan syariat jihad yang dilakukan oleh para nabi sebelumnya, yaitu boleh menghentikan perang dan tidak harus semua musuh dibunuh.

Padahal kita punya data otentik dari apa yang diteliti pakar sirah nabawiyah yaitu Dr. Muhammad Imarah tentang jumlah korban perang yang pernah terjadi di masa kenabian. Angkanya justru sangat mencengangkan, karena jumlah korban nyawa hanya sedikit sekali, yaitu hanya 386 orang  saja. Itu pun sudah termasuk korban dari pihak muslimin dan non muslim.

Berikut rinciannya dalam bentuk tabel :

Al-Baqarah : 191

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 19-4-2024
Subuh 04:37 | Zhuhur 11:53 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:54 | Isya 19:02 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia