Jilid : 3 Juz : 2 | Al-Baqarah : 196
Al-Baqarah 2 : 196
Mushaf Madinah | hal. 30 | Mushaf Kemenag RI

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Kemenag RI 2019 : Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Akan tetapi, jika kamu terkepung (oleh musuh), (sembelihlah) hadyu56) yang mudah didapat dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.57) Apabila kamu dalam keadaan aman, siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Ketentuan itu berlaku bagi orang yang keluarganya tidak menetap di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Keras hukuman-Nya.
Prof. Quraish Shihab : Sempurnakanlah (ibadah) haji dan umrah karena Allah. Maka jika kamu terkepung (terhalang), maka (sembelihlah) hewan kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur (rambut) kepala kamu sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah utasnya berfidyah, (yaitu) berpuasa (selama tiga hari) atau bersedekah (makanan untuk enam orang miskin) atau berkurban (dengan menyembelih seekor kambing). Maka, apabila kamu telah (merasa) aman, maka barang siapa ingin mengerjakan haji) tamattu` dengan (mengerjakan) umrah sebelum haji, maka wajiblah dia menyembelih) hewan kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkan (binatang kurban atau tidak mampu inuud.ipalkannya). maka dia wajib berpuasa (selama! tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hati lagi? apabila kamu telah kembali, itulah sepuluh yang sempurna. Demikian itulah (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di Masjid al-Haram. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras pembalasan-(Nya).
Prof. HAMKA : Dan, sempumakanlah haji dan umrah itu karena Allah. Namun, jika kamu dihalangi, kirimkan kurban sedapatnya. Dan, jangan kamu cukur kepalamu hingga kurban ke penyembelihan. Maka, barangsiapa yang sakit atau ada gangguan di kepalanya, berfidyahlah dengan puasa, sedekah, atau kurban. Namun, jika kamu telah aman, lalu siapa yang bersenang-senang dengan umrah pada haji, hendaklah dibayar dengan kurban sedapatnya. Namun, barangsiapa yang tidak mendapat, hendaklah puasa tiga hari ketika haji dan tujuh hari apabila telah kembali kamu. ltulah sepuluh hari yang sempuma. Yang demikian itu bagi orang yang tidak ada dirinya jadi penduduk Masjidil Haram. Dan, takwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwasanya Allah adalah sangat berat siksaan-Nya.

Ayat ke-196 hingga ayat ke-203 secara berturut-turut akan berbicara tentang ibadah haji. Namun rangkaian ayat-ayat ini bukan ayat pertama yang bicara tentang haji. Sebelumnya ada beberapa ayat yang sudah bicara tentang ibadah haji, misalnya :

  • Ayat ke-125 : Baitullah sebagai tempat kumpul manusia dan tempat yang aman. (وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا)
  • Ayat ke-126 : Nabi Ibrahim yang mendoakan Mekkah menjadi aman dan penduduknya mendapat rejeki. (وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا).
  • Ayat ke-127 : Nabi Ibrahim membangun Ka’bah (وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ).
  • Ayat ke-128 : Nabi Ibrahim minta diajarkan manasik haji (وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا).
  • Ayat ke-158 : ibadah sa’i antara Shafa dan Marwah sebagai syi’ar Allah (إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ).

Kata atimmu (أَتِمُّوا) merupakan fi’il amr yang asalnya dari (أَتَمَّ - يُتِمُّ)  dan maknanya : sempurnakanlah. Sedangkan al-hajj (الْحَجَّ) artinya ibadah haji dan al-umrah (الْعُمْرَةَ) artinya ibadah umrah. Lalu makna lillah (لِلَّهِ) artinya : hanya untuk Allah SWT.

Namun para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan perintah untuk menyempunakan haji dan umrah dalam penggalan ayat ini menjadi beberapa pendapat sebagaimana dijelaskan oleh Al-Mawardi dalam An-Nukat wa Al-‘Uyun: [1]

  • Pertama : Mujahid dan Al-Qamah bin Qais mengatakan bahwa kerjakan haji dan umrah hingga ke semua sunnah-sunnahnya secara keseluruhan.
  • Kedua : Ali, Thawus dan Said bin Jubair mengatakan maksudnya mulai berihram sejak dari keluar rumah.
  • Ketiga : Qatadah berkata umrah yang sempurna apabila dilaksanakan di luar bulan-bulan yang diharamkan yaitu bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Sedangkan haji yang sempurna adalah yang dilakukan semua sunnah-sunnahnya, hingga tidak sampai terkena kewajiban membayar dam.
  • Keempat : Sufyan At-Tsauri mengatakan haji dan umrah yang sempurna itu bila tanpa disertai dengan niat lain seperti berdagang dan lainnya.
  • Kelima : Asy-Sya’bi, Abu Burdah, Ibnu Zaid dan Masruq mengatakan bahwa haji dan umrah yang sempurna itu yang dikerjakan menjadi satu ibadah yang menyatu alias haji qiran.

Mazhab Asy-Syafi’i menjadikan penggalan ayat ini sebagai dasar kewajiban mengerjakan ibadah umrah selain ibadah haji. Meskipun umrah tidak masuk ke dalam deretan rukun Islam yang lima, namun melakukan ibadah umrah hukumnya wajib dan selevel dengan kewajiban berhaji.

Dasarnya karena perintah haji dan umrah di ayat ini disetarakan dan perintahnya adalah untuk menyempurnakan. Selain itu juga karena Nabi SAW berkali-kali melaksanakan ibadah umrah sebelum mengerjakan ibadah haji.

Sedangkan mazhab Hanafi dan Maliki tidak menjadikan penggalan ayat ini sebagai dasar kewajiban ibadah umrah. Namun mereka menggunakan dalil yang lain ketika mewajibkannya.

Adapun mazhab Maliki dan khususnya Imam Malik sendiri menjadikan penggalan ayat ini sebagai ibadah sunnah tapi berubah menjadi wajib ketika sudah terlanjur dimulai.

Kesimpulan dari pendapat empat mazhab atas hukum menjalankan ibadah umrah sebagai berikut :

  • Sunnah : ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
  • Wajib : ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

[1] Al-Mawardi (w. 450 H), An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut, Darul-kutub Al-Ilmiyah, Cet. 1), jilid 1 hal. 254

Lafazh uhshirtum (أُحْصِرْتُمْ) artinya : kamu terkepung atau terhalang. Umumnya para ulama sepakat mengatakan bahwa ayat ini turun terkait dengan umrah Nabi SAW di tahun keenam yang dihalangi masuk oleh para pemuka Mekkah. Di ayat lain bisa juga kita temukan maknanya memang terhalang, yaitu :

لِلْفُقَراءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا في سَبِيلِ اللَّهِ

Bagi orang-orang fakir yang terhalang dari ikut berjihad di jalan Allah. (QS. Al-Baqarah : 273)

Tetapi yang menerjemahkan dengan mengepung sebenarnya juga tidak keliru, karena ada ayat lain yang dimaknai sebagai mengepung, yaitu :

وخُذُوهم واحْصُرُوهُمْ

Dan tangkaplah mereka serta kepunglah mereka. (QS. At-Taubah : 5)

Maka makna uhshirtum di penggalan ayat ini nampaknya akan memang lebih tepat diterjemahkan menjadi : terhalang. Karena intinya Nabi SAW ingin masuk Mekkah, namun dihalangi oleh penguasa Mekkah yang musyrik. Posisi Beliau SAW sebenarnya tidak sedang terkepung, hanya sedang terhalangi.

Lafazh ma istaisara (اسْتَيْسَرَ) artinya apa-apa yang mudah atau ringan. Quraish Shihab memaknainya sebagai menyembelih hewan hadyu yang mudah didapat.

Sedangkan makna al-hadyu (الهَدْيُ) asal katanya dari hadiah, namun maksudnya dalam konteks ayat ini adalah hadiah atau tepatnya oleh-oleh yang dibawa oleh pelaku haji atau umrah untuk diserahkan kepada Allah SWT. Wujud fisiknya berupa hewan seperti kambing, sapi atau unta.

Istilah hadyu maksudnya adalah menyembelih hewan, baik berupa kambing atau pun bisa juga unta, tergantung dari jenis pelanggaran yang dilakukan. Umumnya yang disembelih berupa kambing. Namun dalam kasus tertentu, diwajibkan menyembelih unta. Misalnya dalam kasus orang yang berjima’ dengan istri saat berihram, apabila dilakukan pada saat wuquf di Arafah. Dalam kasus seperti itu, selain ibadah hajinya rusak, orang tersebut juga diwajibkan menyembelih unta, serta diwajibkan mengganti hajinya di tahun depan.

Hadyu juga seringkali diistilahkan secara populer dengan istilah dam, yang aslinya bermakna darah. Tetapi maksudnya adalah menyembelih hewan.

Dalam Tafsir Al-Kasysyaf dikatakan kalimat ini ada yang mahdzuf dan taqdirnya adalah  (فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فعليكم  ماسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ), apabila kamu terhalang masuk Mekkah, maka wajiblah kalian menyembelih hewan hadyu.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘apa yang mudah dari hewan sembelihan hadyu’ adalah dibolehkannya mereka bersekutu dalam satu ekor hewan untuk tujuh orang. Hitungannya bahwa mereka berjumlah mereka 1.400 orang. Sehingga diperkirakan jumlah unta yang mereka sembelih sekitar 200-an ekor.

أَمَرَنَا رسولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَقَرَةٍ

Rasulullah SAW perintahkan kami untuk bersekutu pada unta atau sapi untuk satu sapi tujuh orang.

Namun ada juga yang mengatakan bahwa istilah ‘yang mudah dari hadyu’ adalah dibolehkanya menebus pelanggaran ihram hanya dengan menyembelih kambing sebagai ganti dari unta. Hal itu mengingat pada awalnya hadyu itu hanya sebatas unta saja.

Lafazh la tahliqu (لَا تَحْلِقُوا) artinya : janganlah menggunduli kepala, maksudnya jangan dulu bertahallul dari ihram, kecuali setelah hewan hadyu sudah mereka sembelih.  Ungkapannya adalah : hingga hewan-hewan hadyu sampai di tempat penyembelihannya (حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ).

Lafazh tahliqu (تحلق) asal katanya dari al-halq (الحلق) yaitu mencukur gundul kepala setelah usai menjalani ihram haji atau ihram umrah. Ritual ini disebut juga dengan ber-tahallul, yang menandakan berakhirnya ibadah ihram. Namun pilihannya bukan hanya tahliq, bisa juga taqshir atau memotong sebagian rambut, tidak harus sampai gundul botak plontos. Khusus untuk wanita justru tidak boleh tahlik hanya boleh taqshir.

Kata al-halq (الحلق) secara bahasa bermakna izalatu asy-sya’ri (إزالة الشعر), artinya menghilangkan atau menggunduli rambut kepala hingga habis. [1]

Dan secara istilah dalam ilmu fiqih, khususnya fiqih haji, yang dimaksud dengan al-halq tidak berbeda dengan makna secara bahasa, yaitu mencukur habis semua rambut sampai licin alias gundul plontos.

Sedangkan istilah at-taqshir (التقصير) adalah isim mashdar dari kata dasar qashshara (قَصَّرَ) yang maknanya adalah  farratha (فَرَّطَ), artinya mengurangi sebagian atau meringkas sesuatu.

Dan secara istilah dalam ilmu fiqih khususnya fiqih haji, maknanya tidak berbeda dengan makna secara bahasa, yaitu mengurangi jumlah rambut dengan mengguntingnya sebagian.

Adapun dasar masyru’iyah kedua amalan ini, adalah firman Allah SWT  ketika membuat Rasulullah SAW bermimpi menunaikan ibadah haji. Dalam mimpinya itu, Allah SWT  menceritakan bahwa beliau SAW dan para shahabat telah melakukan al-halq dan at-taqshir.

لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاء اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لاَ تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَلِكَ فَتْحاً قَرِيباً   

Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan menggunduli rambut kepala dan menggunting sebagian, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. (QS. Al-Fath : 27)

 

[1] Lisanul Arab pada madah : (حلق)

Makna penggalan ini adalah : “jika ada di antara kamu yang sakit”. Tentu saja maksudnya sakit tertentu yang jadi penyebab seseorang harus menghentikan ihram dengan melakukan hal-hal yang sekiranya termasuk yang dilarang.

Namun larangan berihram tidak seperti larangan puasa. Orang yang sedang ihram boleh makan dan minum seperti biasa. Sehingga sakit yang dimaksud disini adalah sakit yang membuat seseorang tidak bisa meneruskan ibadah haji atau umrahnya, padahal dia sudah memulainya dengan niat ihram dan melewati miqat.

Penggalan ini bermakna : “atau ada gangguan di kepala”. Diriwayatkan bahwa seorang shahabat bernama Ka’ab bin Ujrah yang kepalanya dipenuhi dengan kutu.

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ أَتَى عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أُوقِدُ تَحْتَ قِدْرٍ وَالْقَمْلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي أَوْ قَالَ عَلَى حَاجِبَيَّ فَقَالَ أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَاحْلِقْهُ وَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ أَوْ انْسُكْ نَسِيكَةً

Ka'ab bin Ujrah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang menemuiku saat aku sedang menyalakan api di bawah periuk (untuk masak), sementara saat itu banyak kutu yang bertebaran di mukaku, atau ia mengatakan, "di alisku. Beliau kemudian bertanya: "Apakah kutu itu melukai kepalamu?" Ka'ab berkata, "Saya menjawab, "Benar." Beliau bersabda: "Kalau begitu maka cukurlah rambutmu. Lalu berpuasalah tiga hari, atau berilah makan kepada enam orang miskin.(HR. Ahmad)

Satu-satunya cara untuk menghindarinya hanya dengan cara menggundulinya, padahal dalam ibadah haji atau umrah ada larangan untuk memotong rambut, apalagi sampai menggundulinya.

Namun penggalan ayat ini memberikan keringanan kepadanya untuk menggunduli rambutnya ketika sedang berihram.

Lafazh fa-fidyatun (فَفِدْيَةٌ)  asal katanya dari fida’ (فِدَاء) yang berarti tebusan. Maksudnya boleh saja orang yang sakit atau kepalanya harus digunduli untuk membatalkan larangan dalam ihram, asalkan dia membayar tebusan.

Penggalan ayat ini menyebutkan tiga bentuk tebusan atas pelanggaran ihram, yaitu berpuasa, bersedekah dan menyembelih hewan.

Para ulama dari empat mazhab sepakat bahwa tiga pilihan itu sifatnya setara, yang mana saja yang mau diambil, boleh-boleh saja.

  • Puasa  : tentang puasanya, ada dua pendapat. Pendapat pertama yaitu pendapat Mujahid, Alqamah, Ar-Rabi’ dan Ibrahim. Mereka  mengatakan puasa yang yang diperintahkan 3 hari lamanya. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat Al-Hasan dan Ikrmah mengatakan puasa yang diwajibkan adalah 10 hari sebagaimana puasanya orang yang berhaji secara tamattu’.
  • Sedekah : Menurut pendapat mereka yang mewajibkan puasa 3 hari, bila seseorang memilih untuk bersedekah, maka yang wajib diberi sedekah adalah 6 orang miskin. Sedangkan pendapat mereka yang mewajibkan puasa 10 hari, kalau pilihannya bersedekah, maka bersedekahnya untuk 10 orang miskin.
  • Menyembelih : semua sepakat bahwa yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah kambing.

Penggalan ini maknanya : apabila kamu sudah aman, maksudnya sudah tidak lagi terhalang oleh musuh. Namun ada juga yang meluaskan makna menjadi bila telah sembuh dari penyakit.

Penggalan (فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ) secara harfiyah maknanya : “orang yang bertamattu’ dengan umrah sampai kepada haji”.

Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Atha’ dan Asy-Syafi’i mengatakan bahwa yang dimaksud adalah haji tamattu’ sebagaimana yang kita kenal, yaitu datang ke Mekkah di bulan-bulan haji, namun masuk miqat dengan niat bukan haji tapi hanya umrah. Kemudian tinggal di Mekkah dengan bersenang-senang hingga tibanya tanggal 9 Dzulhijah. Dan mulai berhaji dengan miqat dari tempat tinggalnya selama di Mekkah.

Inilah yang dimaksud dengan haji tamattu’ dan resikonya terkena kewajiban membayar denda.

Pendapat yang lain adalah pendapat Az-Zubair yang mengatakan bila ada orang yang terhalang masuk ke Mekkah, lalu terpaksa bertahallul saat masih dalam posisi terhalang, kemudian pulang ke negerinya tanpa berhasil masuk Mekkah, kemudian di tahun depan kembali lagi untuk berhaji, maka statusnya hajinya menjadi haji tamattu’. Untuk itu dia wajib membayar tebusan menyembelih hewan kambing.

Selain itu juga ada pendapat As-Suddi yang mengatakan maksudnya orang yang membatalkan hajinya menjadi umrah, lalu bertamattu’ dengan umrahnya itu, maka dia terkena denda tebusan.

Maka wajib menyembelih apa yang mudah dari hewan hadyu, yaitu kambing.

Penggalan ayat ini menjelaskan teknis puasa untuk membayar tebusan dari pelanggaran ihram haji atau umrah, yaitu puasa tiga hari selama masih di tanah suci, lalu diteruskan puasa lagi tujuh hari setelah pulang dan tiba di tanah air. Sehingga jumlahnya menjadi 10 hari lamanya.

Dalam teknisnya, para ulama berbeda pendapat terkait kapan puasa tiga hari saat masih di tanah suci. Ibnu Abbas, Al-Hasan, Mujahid, Qatadah, Thawus, As-Suddi, Said bin Jubair, Atha’ dan Asy-Syafi’i dalam qaul jadid mengatakan puasanya dilakukan setelah ihram sebelum hari nahr.

Namun ada juga yang mengatakan bahwa puasanya justru pada hari tasyrik.  Ini merupakan pendapat Aisyah, Urwah, Ibnu Umar, dan Asy-Syafi’i dalam qaul qadim.

Penggalan ayat ini bermakna : “itulah sepuluh yang sempurna”. Para ulama lagi-lagi berbeda pandangan tentang kenapa Allah SWT seperti mengulangi ungkapan yang tidak terlalu penting untuk dikatakan, karena sudah jelas puasanya tujuh hari di tanah suci ditambah tiga hari di tanah air.

Ada yang bilang bahwa ungkapan (تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ) untuk menyamakan nilai pahala puasa tujuh di tanah air dengan pahala puasa tiga hari di tanah suci. Semuanya adalah 10 hari yang sempurna.

Namun ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa kalimat ini meski berstruktur khabariyah, tetapi maknanya justru merupakan perintah dari Allah. Kurang lebih ungkapannya begini : Itu adalah sepuluh hari yang sempurna, maka wajiblah atas kalian berpuasa untuk sepuuh hari.

Ketentuan rinci di atas itu berlaku bagi orang yang keluarganya tidak menetap di sekitar Masjidilharam. Sedangkan apabila keluarganya menetap disana, ketentuan semacam ini tidak berlaku.

Para ulama sedikit berbeda tentang yang dimaksud dengan ‘sekitar’ masjid Al-Haram.

  • Ibnu Abbas mengatakan rumahnya masih terbilang tanah haram.
  • Mak-hul dan Atha’ mengatakan batasan rumahnya itu antara Masjid Al-Haram dan batasan miqat makani.
  • Az-Zuhri dan Imam Malik mengatakan batasannya sekitaran Arafah dan yang berdekatan dengan Masjid Al-Haram.
  • Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan jaraknya ke Masjid Al-Haram tidak sampai jarak mengqashar shalat.

Al-Baqarah : 196

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 29-3-2024
Subuh 04:40 | Zhuhur 11:59 | Ashar 15:14 | Maghrib 18:03 | Isya 19:10 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia