Jilid : 4 Juz : 2 | Al-Baqarah : 228
Al-Baqarah 2 : 228
Mushaf Madinah | hal. 36 | Mushaf Kemenag RI

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Kemenag RI 2019 : Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qur?’ (suci atau haid). Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Prof. Quraish Shihab : Wanita-wanita yang ditalak menunggu dengan menahan diri mereka, tiga kali quru`. Dan tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka,`: jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Dati suami-suami mereka lebih berhak merujuk mereka dalam (masa menanti) itu, jika mereka (suami-suami) menghendaki islah (rujuk). Dan mereka (istri-istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cam yang yang patut, Tetapi, suami-suami memunyai (satu) derajat. (tingkatan) atas mereka. Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana,
Prof. HAMKA : Dan perempuan-perempuan yang ditalak itu hendaklah menahan diri mereka tiga kali bersih, dan tidaklah halal bagi mereka menyembunyikan apa yang dijadikan Allah di dalam peranakan-peranakan mereka jika memang mereka beriman kepada Allah dan hari yang akhir. Sedang suami mereka lebih berhak mengembalikan mereka kepada keadaan yang demikian, jika semuanya hendak mencari damai. Dan, bagi mereka adalah (hak) seumpama (kewajiban) yang atas mereka jua, dengan patut. Dan, laki-laki mempunyai derajat atas mereka. Dan, Allah adalah Mahagagah lagi Bijaksana.

Ayat ke-228 ini kalau mau dicari-cari keterkaitannya dengan ayat ke-227 sebelumnya memang ada, yaitu sama-sama bicara tentang talak. Di ayat sebelumnya itu memang Allah SWT memberikan pilihan kedua dari kasus ilaa’ yaitu bisa rujuk kembali atau bisa juga berujung dengan talak.

Maka kaitannya dengan ayat ke-228 ini, seandainya berujung dengan talak, maka wanita yang ditalak itu harus menjalani masa iddah selama 3 kali masa quru’.

Padahal kalau kita usut lagi ke belakang yaitu ayat ke-226, pembicaraan terkait perceraian diawali dari suami yang terlanjur bersumpah tidak mau menyetubuhi istri atau disebut dengan ilaa’.

Uniknya lagi pembicaraan tentang ilaa’ adalah cabang dari pembicaraan di ayat sebelumnya lagi yaitu ayat ke-225 pembicaraan tentang sumpah yang laghwi.

Dan alur pembicaraan akan menjadi semakin unik lagi kalau nanti kita teruskan di ayat ke-229 dan ke-230, yang akan membicarakan tentang jenis-jenis talak satu, talak dua dan talak tiga.

Maka bisa dikatakan bahwa rangkaian ayat-ayat ini saling terkait dengan pola kirarki bagian ke sub bagian, ke sub bagian lagi, ke sub bagian lagi dan begitu seterusnya.

Lafazh al-muthallaqat (وَالْمُطَلَّقَاتُ) adalah bentuk jamak, bentuk tunggalnya adalah muthallaqah (وَالْمُطَلَّقَة), artinya istri yang dijatuhkan talak oleh suaminya. Asal katanya dari (طَلَّقَ – يُطَلِّقُ - طَلاَقًا) , secara makna bahasa adalah melepaskan dan membuka ikatan (الْحَل وَرَفْعُ الْقَيْدِ). Namun secara makna istilah dalam disiplin ilmu fiqih, thalaq didefinisikan menjadi :

رَفْعُ قَيْدِ النِّكَاحِ فِي الْحَال أَوِ الْمَآل بِلَفْظٍ مَخْصُوصٍ أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهُ

Membuka ikatan pernikahan baik berlaku saat itu juga atau pun di masa yang akan datang, dengan menggunakan lafadz tertentu atau hal-hal yang senilai dengannya. [1]

Definisi ini mengandung beberapa unsur penting, antara lain :

1. Membuka Ikatan Pernikahan

Dalam hal ini para ulama menggunakan istilah raf’u (رفع), yang aslinya bermakna mengangkat atau tidak memberlakukan lagi suatu hukum. Talak itu terjadi bila sebelumnya memang ada pernikahan yang sah. Sedangkan bila sebelumnya tidak ada pernikahan, maka tidak ada talak.

Dalam hal ini talak berbeda dengan fasakh, dimana fasakh itu bukan mengangkat ikatan pernikahan, melainkan membatalkan kalau pernah terjadi ikatan pernikahan dan dianggap pernikahan tidak pernah terjadi. Seperti kasus dimana suami istri akhirnya terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa mereka berdua adalah saudara sesusuan. Mereka tidak bercerai melainkan pernikahan mereka batal demi hukum.

2. Saat Ini atau di Masa Mendatang

Maksudnya detik-detik terlepasnya hubungan suami istri itu bisa dua macam, yaitu langsung terjadi atau menunggu waktu tertentu.

Pertama, ikatan suami istri itu langsung terlepas begitu selesai diucapkan. Seperti yang terjadi pada talak untuk yang ketiga kalinya, dimana tidak ada lagi masa iddah bagi istri sehingga tidak mungkin lagi untuk terjadi rujuk.

Kedua, ikatan suami istri baru terlepas pada waktunya nanti, yaitu setelah istri menyelesaikan masa iddahnya dan suaminya tidak merujuknya. Kasus ini bisa terjadi pada talak pertama dan talak kedua.

3. Dengan Menggunakan Lafadz Tertentu

Talak itu jatuh apabila suami mengucapkan lafadz tertentu, seperti kalimat : “Aku menceraikan dirimu”, yang diucapkan oleh suami kepada istrinya.

Atau juga bisa dengan lafadz yang tidak secara tegas menyebutkan perceraian, namun diniatkan oleh suami sebagai cerai. Contohnya ketika suami berkata kepada istrinya,”Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu”. Suami tegas berniat di dalam hati bahwa maksud dari lafadz itu adalah menceraikan. Namun bila niatnya bukan untuk menceraikan, tetapi untuk minta beras yang sudah habis persediaannya, maka hukumnya bukan cerai.

4. Atau Dengan Hal Yang Senilai

Maksudnya talak itu bisa dijatuhkan dengan selain perkataan, seperti tulisan di atas kertas, atau dengan bahasa isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara.

Rukun Talak 

Agar talak menjadi sah dan berlaku, maka talak harus terpenuhi rukun-rukunnya. Bila salah satu dari rukun itu tidak terdapat, maka talak itu menjadi tidak sah.

Namun ketika menetapkan apa saja yang termasuk ke dalam rukun talak, ternyata para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa rukun talak hanya satu, tapi ada juga yang mengatakan ada empat atau lima.

1. Shighat

Shighat adalah pernyataan dari suami yang intinya menegaskan bahwa dirinya telah menjatuhkan talak kepada istrinya. Seluruh ulama dari empat mazhab sepakat bahwa shighat talak adalah rukun dari sebuah talak.

Dalam prakteknya, shighat itu bisa berupa lafadz atau kalimat yang diucapkan dengan lisan, tetapi juga bisa berupa tulisan atau pun juga bisa berupa bahasa isyarat.

Shighat talak yang diucapkan dengan lisan disebut dengan lafadz talak. Lafadz ini ada dua macam, yaitu lafafz  sharih dan lafadz ghairu sharih atau kina’i, kadang disebut juga dengan lafadz majazi.

Contoh lafadz yang sharih adalah perkataan suami kepada istri,”Kamu saya cerai”, atau “Kamu saya talak”. Intinya, lafadz sharih adalah lafadz yang tidak bisa ditafsirkan selain cerai.

Contoh lafadz ghairu sharih misalnya perkataan suami kepada istrinya,”Kamu sudah menjadi orang lain”. Bisa ditafsirkan bahwa istrinya itu sudah bukan lagi istrinya, tetapi maksudnya juga bisa bahwa istrinya itu tetap masih istrinya, hanya sifat dan kelakuannya berbeda.

Selain lewat lisan, ungkapan talak juga bisa dilakukan lewat tulisan. Yang penting tulisan itu jelas bisa dibaca dan punya arti yang tidak bisa ditafsirkan kecuali talak.

Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang mampu berbicara tidak boleh menyatakan talak hanya dengan isyarat, tetapi diharuskan mengeluarkan suara. Penggunaan isyarat hanya berlaku buat mereka yang tidak mampu berkata-kata atau tidak mampu menulis.

2. Ahliyah

Yang dimaksud dengan ahliyah adalah bahwa orang yang menjatuhkan talak itu memang orang yang berhak untuk menjatuhkan. Dalam hal ini adalah suami, yaitu orang yang menikahi seorang wanita dengan akad nikah yang sah.

Selain itu yang termasuk ahliyah dalam hal ini adalah  orang atau pihak yang diberi kuasa oleh suami untuk menjatuhkan talak kepada istrinya. Selain itu yang juga termasuk ahliyah adalah qadhi atau hakim yang dalam hal tertentu berhak untuk memutuskan perceraian.

3. Al-Qashdu

Sesungguhnya yang dimaksud dengan al-qashdu disini adalah mengucapkan lafadz talak dengan sengaja, meski pun di dalam hatinya tidak berniat untuk menjatuhkan talak. Sehingga definisinya menjadi :

قَصْدُ اللَّفْظِ الْمُوجِبِ لِلطَّلاَقِ مِنْ غَيْرِ إِجْبَارٍ

Sengaja mengucapkan lafadz talak tanpa ada tekanan

Maka bila seseorang secara sengaja mengucapkan lafadz talak kepada istrinya, jatuhlah talak itu. Walau pun niatnya tidak ingin mentalak, barangkali hanya bercanda, atau bermain-main, bahkan berpura-pura dalam sebuah sandiwara. Tetapi karena mengucapkannya dengan sengaja, maka kesengajaan itulah yang justru menjatuhkan talak. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ : النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ

Tiga perkara yang apabila dilakukan dengan serius maka hukumnya menjadi serius, namun bila dilakukan dengan main-main maka hukumnya tetap serius, yaitu : nikah, talak dan rujuk. (HR. Tirmizy)

Yang tidak jatuh talak adalah bila seseorang tidak sengaja mengucapkan lafadz talak, karena kesalahan atau keseleo lidah ketika mengucapkan sesuatu. Misalnya seorang suami ingin menyapa istrinya dengan sapaan,”Hai cantik”, tetapi lidahnya keseleo sehingga yang keluar dari mulutnya,”Hai talik”. Talik bermakna wanita yang dicerai.

Dalam hal ini jumhur ulama sepakat bahwa bila seseorang keseleo lidah, tidak berniat mengucapkan lafadz talak dan di hatinya tidak ada niat untuk mentalak, maka tidak jatuh talak. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah SWT mengangkat dari umat-Ku kesalahan, lupa dan apa yang dipaksakan atasnya. (HR. Ibnu Majah dan Hakim)

4. Al-Mahal

Yang dimaksud dengan al-mahal secara bahasa adalah orang yang menjadi objek atau sasaran talak, yaitu tidak lain adalah istri sah yang dinikahi sesuai dengan aturan syariah dengan memenuhi syarat dan rukun nikah, dimana statusnya pada saat talak itu dijatuhkan masih menjadi istri yang sah.

Meski seorang wanita belum disetubuhi, asalkan sudah terjadi akad nikah, maka wanita itu sah bila dijatuhi talak. Demikian juga wanita yang sudah dijatuhkan talak, tetapi masih dalam masa iddah, maka sah juga untuk dijatuhkan talak. Namun istri yang sudah ditalak dan sudah habis masa iddahnya, tidak sah apabila dijatuhkan talak, karena pada saat itu wanita itu sudah bukan lagi menjadi istri.

Yang juga tidak sah untuk dijatuhkan talak adalah istri yang dinikahi secara fasid, misalnya nikah tanpa wali yang benar, atau tanpa saksi yang cukup syaratnya. Wanita seperti itu tidak sah kalau dijatuhkan talak, lantaran status hukumnya bukan istri yang sah.

[1] Mughni Al-Muhtaj, jilid 3 hal. 279

Secara bahasa, makna tarabbush (التربص) adalah al-intizhar (الإنتطار) yang berarti menunggu. Sedangkan makna secara istilah adalah :

التثبت والإنتطار

Memastikan hukum suatu masalah dan menunggunya.

Dan hubungan antara tarabbush dengan iddah bahwa menjalani masa iddah bagi seorang wanita itu berarti memastikan hukum apakah dirinya itu punya janin di dalam perutnya, memastikan hukum apakah suaminya tidak akan merujuknya lagi, dimana kedua hal itu dilakukan dengan cara : menunggu beberapa waktu.

Bentuk Tarabbush

Seorang wanita yang terpisah dari suaminya, baik karena dicerai atau karena suaminya wafat, maka dia wajib menjalani masa ’iddah dengan konsekuensi antara lain :

1. Tidak Berhias

Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dalam istilah fiqih disebut dengan al-ihdad (الإحداد) atau al-ihtidad (الإحتداد). Dan diantara kategori berhias itu antara lain adalah :

  • Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau sutera
  • Menggunakan parfum atau wewangian
  • Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.
  • Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna`) dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
  • Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan warna-warna seperti merah dan kuning.

2. Tidak Keluar Rumah 

Seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah diwajibkan melakukan apa yang disebut dengan mulazamtu as-sakan (ملازمة السكن). Artinya adalah selalu berada di dalam rumah, tidak keluar dari dalam rumah, selama masa iddah itu berlangsung.

Wanita itu tidak diperkenankan keluar meninggalkan rumah tempat dia dimana menjalani masa iddah itu, kecuali ada udzur-uzdur yang secara syar'i memang telah diperbolehkan, atau ada hajat yang tidak mungkin ditinggalkan.

Pelanggaran ini berdampak pada dosa dan kemaksiatan. Dan bagi suami yang mentalak istrinya, ada kewajiban untuk menegur dan mencegah istrinya bila keluar dari rumah.

Dalilnya adalah apa yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Al-Quran Al-Karim :

لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ

Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah para wanita itu keluar dari rumah. (QS. Ath-Talak : 1)

Namun para ulama, di antaranya mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, serta Ats-Tsuari, Al-Auza’i, Allaits dan yang lainnya, mengatakan bahwa bagi wanita yang ditalak bain, yaitu talak yang tidak memungkinkan lagi untuk dirujuk atau kembali, seperti ditalak untuk yang ketiga kalinya, maka mereka diperbolehkan untuk keluar rumah, setidak-tidaknya pada siang hari.

Alasannya karena wanita yang telah ditalak seperti itu sudah tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Dan dalam keadaan itu, dia wajib mencari nafkah sendiri dengan kedua tangannya. Maka tidak masuk akal bila wanita itu tidak boleh keluar rumah, sementara tidak ada orang yang berkewajiban untuk menafkahinya.

Selain itu memang ada nash yang membolehkan hal itu, sebagaimana hadits berikut ini :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ t قَال : طَلُقَتْ خَالَتِي ثَلاَثًا فَخَرَجَتْ تَجِدُّ نَخْلاً لَهَا فَلَقِيَهَا رَجُلٌ فَنَهَاهَا فَأَتَتِ النَّبِيَّ r فَقَالَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَال لَهَا : اخْرُجِي فَجُدِّي نَخْلَكِ لَعَلَّكِ أَنْ تَصَدَّقِي مِنْهُ أَوْ تَفْعَلِي خَيْرًا

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu, dia berkata,”Bibiku ditalak yang ketiga oleh suaminya. Namun beliau tetap keluar rumah untuk mendapatkan kurma (nafkah), hingga beliau bertemu dengan seseorang yang kemudian melarangnya. Maka bibiku mendatangi Rasulullah SAW sambil bertanya tentang hal itu. Dan Rasululah SAW berkata,”Silahkan keluar rumah dan dapatkan nafkahmu, barangkali saja kamu bisa bersedekah dan mengerjakan kebaikan. (HR. Muslim).

Dalam hal ini yang menjadi ‘illat atas kebolehannya semata-mata karena wanita itu tidak ada yang memberinya nafkah untuk menyambung hidup. Sedangkan bila ada yang memberinya nafkah, atau dia adalah wanita yang punya harta, yang dengan hartanya itu cukup untuk menyambung hidup tanpa harus bekerja keluar rumah, maka kebolehan keluar rumah itu tidak berlaku.

Selain itu juga ada hadits yang membolehkan para wanita untuk berkunjung ke rumah tetangga pada saat-saat menjalani masa ‘iddah, dan hal itu atas seizin dan sepengetahuan Rasulullah SAW.

اسْتَشْهَدَ رِجَالٌ يَوْمَ أُحُدٍ فَآمَ نِسَاؤُهُمْ وَكُنَّ مُتَجَاوِرَاتٍ فِي دَارٍ فَجِئْنَ النَّبِيَّ  rفَقُلْنَ : يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّا نَسْتَوْحِشُ بِاللَّيْل فَنَبِيتُ عِنْدَ إِحْدَانَا فَإِذَا أَصْبَحْنَا تَبَدَّرْنَا إِلَى بُيُوتِنَا فَقَال النَّبِيُّ  r: تَحَدَّثْنَ عِنْدَ إِحْدَاكُنَّ مَا بَدَا لَكُنَّ فَإِذَا أَرَدْتُنَّ النَّوْمَ فَلْتَؤُبْ كُل امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ إِلَى بَيْتِهَا

Beberapa laki-laki telah gugur dalam perang Uhud, maka para istri mereka yang saling bertetangga berkumpul di rumah salah seorang mereka. Mereka pun mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya,”Ya Rasulullah, kami merasa khawatir di malam hari dan kami tidur bersama di rumah salah seorang dari kami. Bila hari telah pagi, maka kami kembali ke rumah masing-masing”. Nabi SAW bersabda,”Kalian saling menghibur di rumah salah seorang kalian. Bila kalian akan tidur, maka kembali masing-masing ke rumahnya. (HR. Al-Bahaqi)

Mengomentari hadits ini, para ulama mengatakan bahwa hal itu termasuk dibolehkan, asalkan kondisinya amanat dan pada saat menjelang tidur, mereka kembali ke rumah mereka masing-masing.

3. Tidak Menerima Khitbah

Seorang wanita yang baru saja ditalak suaminya, atau ditinggal mati, maka dia harus menjalani masa iddah, dimana ketika masa iddah itu dia tidak boleh menerima ajakan atau lamaran (khitbah) dari seorang laki-laki.

Kalau pun laki-laki itu punya keinginan untuk menikahinya, maka tidak boleh disampaikan dalam bentuk terang-terangan. Yang dibolehkan hanya bila dilakukan lewat bentuk sindiran. Hal itu telah diatur Allah SWT di dalam ayat berikut ini :

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاء أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرّاً إِلاَّ أَن تَقُولُواْ قَوْلاً مَّعْرُوفاً وَلاَ تَعْزِمُواْ عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىَ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ   

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 235)

4. Tidak Menikah

Kalau sekedar menerima lamaran saja diharamkan, maka tentu saja bila menikah lebih diharamkan lagi. Sehingga kalau seorang wanita yang dicerai suaminya atau ditinggal mati mau menikah lagi, dia harus menunggu sampai masa iddahnya selesai terelbih dahulu.

Pernikahan seorang wanita yang dilakukan ketika masa iddah belum selesai adalah pernikahan yang haram, dan hukumnya tidak sah dalam syariat Islam. Maka hukum pernikahan semacam ini bisa diabaikan dan dianggap pernikahan itu tidak pernah terjadi. Bila sudah terlanjur, maka keduanya dipisahkan atau difasakh dan tidak perlu diceraikan. Karena cerai itu hanya berlaku manakala pernikahan sudah terjadi terlebih dahulu sebelumnya sebagai pernikahan yang sah.

Sebuah pertanyaan menarik, apa hikmah di balik adanya syariat iddah bagi wanita yang berpisah dengan suaminya, baik karena perceraian atau kematian?

Para ulama mencoba mencarikan beberapa hikmah itu, antara lain :

1. Kepastian Kosongnya Rahim

Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada isteri yang dicerai. Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dan bayi tersebut.

2. Agungnya Nilai Sebuah Pernikahan

Menegaskan betapa agungnya nilai sebuah perkawinan, sehingga selepas dari suaminya, seorang wanita tidak bisa begitu saja menikah lagi, kecuali setelah melewati masa waktu tertentu.

3. Memberi Kesempatan Rujuk

Memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk kembali kepada ke hidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.

4. Menunaikan Hak Suami

Agar isteri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya danjuga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut di karenakan oleh kematian suami.

Makna tsalastah (ثَلَاثَةَ) adalah tiga, maksudnya tiga kali. Sedangkan lafazh quru’ (قُرُوءٍ) adalah bentuk jamak dari bentuk tunggalnya yaitu al-qur’u (القُرْء). Lafazh ini menjadi salah satu contoh keunikan bahasa, yaitu punya dua makna yang berlawanan. Para ahli bahasa, di antaranya Al-Fayoumi dalam Al-Misbah Al-Munir  menyebutkan kata bahwa al-qur’u termasuk jenis kata yang punya makna ganda dan sekaligus bertentangan artinya. Menurut mereka al-qur’u bermakna suci dari haidh, dan juga bermakna haidh itu sendiri. [1]

Perbedaan makna secara bahasa ini kemudian berpengaruh kepada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menetapkan masa iddah wanita yang dicerai suaminya.

1. Quru Adalah Masa Suci

Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, al-qur’u berarti ath-thuhru (الطُّهْر). Maksudnya adalah masa suci dari haidh.  Jadi tiga kali quru’ artinya adalah tiga kali suci dari haidh.

Kebanyakan para shahabat ridhwanullahi alaihim, juga para fuqaha Madinah, berpendapat bahwa quru' adalah masa suci dari haidh.

Al-Malikiyah : Ad-Dasuqi, salah seorang ulama mazhab Al-Malikiyah, dalam kitab Hasyiyatu Ad-Dasuqi 'ala Asy-Syarh Al-Kabir menyebutkan :[2]

اعْلَمْ أَنْ كَوْنَ الأَقْرَاءِ الَّتِي تَعْتَدُّ بِهَا الْمَرْأَةُ هِيَ الأَطْهَارُ مَذْهَبُ الأَئِمَّةِ الثَّلاثَةِ خِلافًا لأَبِي حَنِيفَةَ وَمُوَافِقِيهِ مِنْ أَنَّ الأَقْرَاءَ هِيَ الْحَيْضُ

Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan aqra' sebagai ukuran masa iddah seorang wanita adalah masa suci merupakah pendapat dari tiga mazhab. Dan itu berbeda dengan pandangan Al-Hanafiyah serta para pendukungnya yang mengatakan bahwa aqra itu adalah masa haidh.

Asy-Syafi'iyah : Dan hal yang sama dikemukakan oleh An-Nawawi dalam kitab Raudhatu Ath-Thalibin. [3]

وَالْمُرَادُ بِالأَقْرَاءِ فِي الْعِدَّةِ : الأَطْهَارُ

Yang dimaksud dengan aqra' dalam urusan iddah adalah : masa suci.

2. Quru Adalah Masa Haidh

Sedangkan dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, al-qur’u justru bermakna haidh, atau hari-hari dimana seorang wanita menjalani masa haidhnya.

Al-Hanabilah : Ada dua riwayat yang berbeda tentang pendapat Al-Imam Ahmad dalam hal ini. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa beliau berpandangan bahwa quru' itu adalah suci dari haidh. Sebagian riwayat yang lain sebaliknya, bahwa Al-Imam Ahmad dianggap telah mengoreksi pendapat sebelumnya dan cenderung berpendapat bahwa quru' adalah haidh itu sendiri.

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni memberikan penjelasan akan hal ini :

قَالَ الْقَاضِي : الصَّحِيحُ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّ الأَقْرَاءَ الْحَيْضُ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ أَصْحَابُنَا وَرَجَعَ عَنْ قَوْلِهِ بِالأَطْهَارِ

Al-Qadhi berkata bahwa yang benar tentang Imam Ahmad bahwa aqra itu adalah haidh, dan seperti itulah pendapat ulama kami. Beliau telah mengoreksi pendapat sebelumnya bahwa aqra itu suci.

Menurut Ibnul Qayyim dalam kitab I'lam Al-Muwaqqi'in, Imam Ahmad itu awalnya berpendapat bahwa quru itu suci dari haidh, namun kemudian beliau mengoreksi pendapatnya dan berpendapat bahwa quru itu adalah haidh.[4]

 

[1] Al-Fayoumi, Al-ishbah Al-Munir,

[2] Ad-Dasuqi, Hasyiyah Ad-Dasuqi 'ala Asy-Syarhi Al-Kabir, jilid 2 hal. 469

[3] An-Nawawi, Raudhatu Ath-Thalibin, jilid 8 hal. 366

[4] Ibnul Qayyim, I'lamul Muqaqqi'in, jilid 1 hal. 25

Lafazh la yahillu (لَا يَحِلُّ) artinya tidak halal, maksudnya tidak diperbolehkan. Sedangkan lafazh yaktumna (يَكْتُمْنَ) adalah fi’il mudhari’ dari asalnya (كَتَمَ – يَكْتُمُ - كِتْمَانًا) artinya menutupi, merahasiakan atau tidak memberitahukan.

Maksud penggalan ini bahwa para istri harus terbuka dan tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang terjadi pada dirinya, karena akan berkonsekuensi hukum yang berbeda.

Lafazh ma khalaqallah (مَا خَلَقَ اللَّهُ) maknanya : apa-apa yang Allah SWT ciptakan, lafazh arhamihinna (أَرْحَامِهِنَّ) artinya  adalah rahim mereka. Maksudnya apa-apa yang terdapat di dalam rahim mereka tidak boleh mereka rahasiakan, harus diberitahukan.

Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya’bi, Al-Hakam bin Uyainah, Ar-Rabi’ bin Anas, Adh-Dhahhak dan lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka’ (مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ) bisa dua hal, yaitu kehamilan atau haidh (مِنْ حَبَل أَوْ حَيْضٍ).

Dua hal itu adalah antitesis, dimana seorang wanita yang hamil tidak akan mengalami haidh, sebaliknya wanita yang haidh tidak akan hamil. Status yang mana saja, tetap harus dijelaskan secara terbuka, karena masing-masingnya mengandung konsekuensi hukum.

Kehamilan yang dialami oleh pihak istri tidak boleh dirahasiakan, bukan hanya kepada suaminya, tetapi juga untuk pihak-pihak lain. Apalagi bila dalam kasus perceraian. Karena masa iddah yang diberlakukan bagi wanita yang sedang hamil akan berbeda dengan wanita yang tidak hamil.

Lafazh in-kunna (إِنْ كُنَّ) merupakan syarat, bisa dimaknai menjadi  : jika atau apabila. Lafazh yu’minna (يُؤْمِنَّ) artinya beriman, maksudnya percaya dan membenarkan.

Lafazh yaumil akhir (وَالْيَوْمِ الْآخِرِ) maksudnya adalah kehidupan hari akhir, mencakup terjadinya kiamat kubra, kemudian kebangkitan lagi dimana semua yang mati dihidupkan kembali, kemudian ada hari mahsyar, dimana semua manusia dikumpulkan, lalu ada hari hisab, dimana semua manusia akan dihitung semua amal baik dan amal buruknya, sampai akhirnya nanti ada yang masuk ke surga atau neraka. Semua itu termasuk dalam kategori dan ruang lingkup hari akhir.

Dalam konteks kehidupan di masa kenabian, mereka yang tidak beriman kepada hari akhir umumnya dari kalangan musyrikin Arab. Dalam pandangan hidup mereka, hidup hanya sekali saja, begitu kita mati, matilah jadi tanah. Adapun adanya kehidupan setelah kematian, menurut mereka itu hanya mitos orang terdahulu. Faktanya, tidak ada satupun dari mereka yang sudah mati kemudian hidup lagi.

Adapun di kalangan kafir Yahudi, tidak ada masalah dengan  beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang jadi urusan di tengah mereka hanya mereka tidak mau mengimani kenabian Muhammad SAW dan tidak mau mengikuti Al-Quran sebagai sumber hukum di tengah mereka. Tentang kiamat, surga dan neraka, mereka termasuk yang mengimani dan membenarkan.

Kalau melihat realitas seperti ini, maka nampaknya ayat ini lebih diarahkan kepada mereka yang termasuk dari kalangan kaum musyrikin Arab, yang memang tidak mempercayai kehidupan akhirat. Wallahu ‘alam

Lafazh bu’ulatu-hunna (بُعُولَتُهُنَّ) artinya : suami-suami mereka. Lafaz ahaqqu (أَحَقُّ) artinya lebih berhak, atau lebih diutamakan atau lebih diprioritaskan dalam hal mengembalikan. Istilah yang digunakan dalam ayat ini adalah bi-raddi-hinna (بِرَدِّهِنَّ) yaitu dimana suami punya hak untuk melakukan ruju’ kepada istrinya yang terlanjur dijatuhi talak, selama belum habis masa iddahnya.

Rujuk atau ar-raj’ah (الرَّجْعَة) dalam bahasa Arab  merupakan isim mashdar dari kata dasarnya dalam fi’il madhi dan mudhari’ : (رَجَعَ - يرْجِعُ) yang bermakna : kembali.

Al-Khatib Asy-Syarbini dalam kitab Mughni Al-Muhtaj yang mewakili mazhab Asy-Syafi’iyah mendefinisikan rujuk sebagai : [1]

رَدُّ الْمَرْأَةِ إِلَى النِّكَاحِ مِنْ طَلاَقٍ غَيْرِ بَائِنٍ فِي الْعِدَّةِ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوصٍ

Mengembalikan wanita ke dalam pernikahan dari perceraian yang bukan talak bain dalam masa iddah dengan cara tertentu.

Untuk sahnya tindakan merujuk istri yang telah terlanjur ditalak, ada beberapa persyaratan, antara lain :

1. Rujuknya Atas Talak Raj'i

Talak raj’i adalah talak yang dimungkinkan setelah itu terjadi rujuk, yaitu talak yang baru satu kali atau talak yang untuk yang kedua kali.

Sedangkan bila talak itu sudah sampai ketiga kalinya, maka talak itu sudah bukan lagi talak raj’i, sehingga tidak bisa terjadi lagi rujuk. Talak untuk yang ketiga kalinya sering diistilahkan dengan bainunah kubra.

Kalau pun mantan pasangan suami istri ingin tetap kembali, walau sudah tiga kalil diceraikan, syariat Islam mengharuskan wanita itu menikah dengan laki-laki lain dengan nikah yang sah dan hubungan seksual harus terjadi. Hal itu ditegaskan di dalam Al-Quran :

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِل لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَه فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 230)

2. Dalam Masa Iddah

Syarat kedua bahwa rujuk itu dilakukan dalam masa iddah dan sebelum habis masanya. Dan masa iddah itu adalah tiga kali quru' sebagaimana ditetapkan di dalam Al-Quran.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . (QS. Al-Baqarah : 228)

Sedangkan bila wanita itu dalam keadaan hamil dan tidak mungkin mendapat haidh, maka batas masa iddahnya hingga melahirkan, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran.

وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Perempuan-perempuan yang hamil masa iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan (QS. Ath-Talak : 4)

Kalau sudah lewat masa iddah, maka sudah tidak bisa lagi dirujuk begitu saja.

Kalau dikatakan tidak bisa dirujuk begitu saja, maksudnya bukan berarti pasangan itu tidak boleh bersatu kembali di bawah mahligai rumah tangga, tetapi maksudnya tidak cukup suami hanya menyebutkan kata rujuk. Kalau masa iddah sudah selesai, sementara pasangan itu ingin bersatu kembali, maka kembalinya mereka hanya bisa dilakukan lewat pernikahan ulang.

3. Sudah Dukhul Sebelumnya

Syarat ketiga masih terkait dengan syarat kedua di atas, yaitu bahwa rujuk terjadi setelah sebelumnya ada dukhul, yaitu hubungan badan alias jima' antara suami dan istri. Mengapa demikian?

Sebab kalau suami istri itu tidak pernah melakukan persetubuhan, kemudian suami menceraikan istrinya, maka tidak ada masa iddah. Padahal syarat kedua di atas menyebutkan bahwa rujuk itu hanya bisa dilakukan di dalam masa iddah. Kalau masa iddahnya saja sudah tidak ada, maka rujuk pun tidak bisa dilakukan.

Kalau pasangan itu mau bersatu kembali, jalurnya bukan lewat rujuk tetapi lewat sebuah pernikahan yang baru dari awal. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْل أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS. Al-Ahzab : 49)

4. Sebelum Terjadinya Fasakh

Syarat keempat bahwa rujuk itu bisa dilakukan asalkan pernikahan itu belum sempat dibubarkan lewat jalur fasakh.

Fasakh berbeda dengan talak. Fasakh adalah pembatalan pernikahan yang sudah terlanjur terjadi, seolah-olah tidak pernah terjadi pernikahan sebelumnya. Sedangkan talak bukanlah pembatalan pernikahan, melainkan menyudahi hubungan pernikahan yang sudah berjalan sampai disitu.

Lalu kenapa bila pisahnya lewat fasakh tidak bisa dilakukan rujuk?

Karena daam fasakh tidak dikenal masa iddah. Maka istri yang pisah dengan suaminya lewat cara fasakh tidak perlu menjalani masa iddah. Sebab masa iddah yang wajib dijalani itu hanya berlaku bila terjadi talak.

5. Talaknya Tanpa 'Iwadh (Bukan Khulu')

Syarat kelima bahwa rujuk bisa dilakukan asalkan bubarnya pernikahan itu bukan lewat jalur khulu'. Khulu’ adalah terlepasnya hubungan perkawinan dengan cara istri memberi uang tebusan kepada suami, dengan tujuan agar suami menceraikannya.

Yang menjadi titik pentingnya dalam khulu' bukan pada status perpisahan, namun justru terletak harta atau uang tebusan itu sendiri. Adanya harta atau uang tebusan inilah yang membedakan khulu' dengan jenis-jenis perpisahan lainnya secara unik dan spesifik.

6. Rujuk Tanpa Syarat

Syarat keenam bahwa rujuk yang dilakukan itu tidak boleh bersyarat, dalam arti digantungkan kepada suatu kejadian lain. Suami harus menyebutkan status rujuk secara pasti dengan lafadz yang tidak menggantung.

Bila suami berkata,"Aku akan merujukmu bila nanti malam turun hujan", maka hal itu belum bisa dikatakan sebagai rujuk. Begitu juga bila dia berkata,"Aku akan merujukmu minggu depan", itupun belum termasuk rujuk yang sah.

7. Syarat Ahliyah

Syarat terakhir adalah ahliyah, maksudnya suami yang merujuk itu harus berstatus muslim, akil dan baligh. Bahkan dalam mazhab Asy-syafi'iyah ditambahkan syarat lagi yaitu tidak dalam keadaan terpaksa dan bukan suami yang murtad.

 

[1] Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, jilid 3 hal. 335

Lafazh in (إِنْ) adalah ism syarth yang bisa dimaknai menjadi : apabila atau jika. Sedangkan kata aradu (أَرَادُوا) adalah fi’il madhi yang dimaknai menjadi : mereka menghendaki, sedangkan lafazh ishlaha (إِصْلَاحًا) maknanya : perbaikan atau ishlah.

Makna yang terkandung dalam penggalan ini adalah pesan bahwa bila kedua belah pihak menginginkan perbaikan dalam arti menyelamatkan biduk rumah tangga biar tidak karam, maka masih ada kemugkinan, yaitu dengan jalan melakukan ruju’.

Lafazh lahunna (لَهُنَّ) artinya hak-hak yang dimiliki oleh seorang istri. Lafazh mitslu (مِثْلُ) artinya : setara, seimbang, seperti, sebagaimana. Sedangkan lafazh ‘alaihinna (عَلَيْهِنَّ) artinya adalah kewajiban-kewajiban istri. Lafazh bil-ma’ruf (بِالْمَعْرُوفِ) banyak diartikan oleh para ulama menjadi : kepatutan, bisa juga diartikan dengan kewajaran.

Namun istilah ‘wajar’ ini memang agak blunder juga, karena standar kewajaran itu sendiri tentu tidak sama pada setiap masyarakat. Makanya kata ma’ruf ini akan lebih tepat bila dimaknai dengan istilah ‘urf atau kebiasaan, tradisi atau bahasa yang lebih kekiniannya adalah : kearifan lokal di suatu tempat.

Namun kearifan lokal ini pun masih juga bisa tidak disepakati nilainya. Oleh karena dalam implementasinya kalau mau lebih pasti, nilai uang tebusan itu ditetapkan bukan berdasarkan ‘urf tetapi berdasarkan undang-undang yang ditetapkan secara konstitusional di suatu wilayah hukum.

Penggalan ayat ini yang dijadikan dasar bahwa antara kewajiban dan hak istri itu seimbang. Istri memang berhak untuk mendapatkan mahar, nafaqah dan juga jima’ dari suaminya. Namun demikian, istri juga dibebani dengan berbagai kewajiban yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

Hanya saja nanti dalam perinciannya, mana saja yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri, para ulama bisa berbeda pendapat.

Meskipun agama Islam tidak terjebak dengan bias gender, namun Al-Quran tetap memberikan ruang nyata bahwa pada suami ada derajat yang lebih tinggi. Namun yang dimaksud dengan derajat disini bukan derajat kemuliaan, melainkan derajat dalam hal fisik dan penciptaan.

Laki-laki diciptakan oleh Allah SWT dengan beberapa kelebihan secara fisik dan juga psikis, namun bukan berarti jaminan atas ketinggian derajat keimanan. Kalau kita kaitkan derajat kelebihan itu dengan ayat lain, maka akan lebih jelas apa yang dimaksud.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa : 34)

Ayat ke-34 Surat An-Nisa’ ini menegaskan bahwa kelebihan suami adalah karena dialah yang berkewajibkan memberikan nafkah kepada istri dari sebagian hartanya.

Memang demikian kesepakatannya, dimana-mana dalam kehidupan keseharian kita bahwa pihak yang membiayai pastilah pihak yang paling berkuasa. Bahkan meskipun biaya ditanggung oleh semua pihak, namun dalam usaha korporasi dan perusahaan patungan, pihak yang saham modalnya paling besar atau saham mayoritas akan menjadi pihak yang lebih berkuasa.

Dalam kasus rumah tangga antara suami dan istri, wajar kalau suami lebih punya wewenang menjadi imam, karena normalnya memang suami yang membiayai semua kebutuhan rumah tangga.

Ayat ke-228 ini ditutup dengan penggalan yang unik, dimana sifat Allah SWT yang diekspose adalah Maha Perkasa namun juga Maha Bijaksana. Maha Perkasa melambangkan kekuatan atau power yang tinggi, sedangkan Maha Bijaksana melambangkan kearifan atau ketepatan.

Kedua sifat itu sangat dibutuhkan saling berpadu. Manakala hanya super power saja, yang terjadi adalah kesewenang-wenangan. Sebaliknya bila hanya arif bijaksana belaka tapi tidak punya power, maka yang bisa dikerjakan hanya menghimbau, bahkan hanya menghiba. Tidak bisa memaksa. Dua-duanya adalah kelemahan.

Sedangkan Allah SWT, Dia Maha Perkasa dalam arti mutlak dan absolut. Namun bersamaan dengan itu Allah SWT juga Maha Bijaksana. Inilah bentuk kesempurnaan sifat-sifat Allah yang tidak dimiliki oleh makhluk-Nya.

Al-Baqarah : 228

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 18-4-2024
Subuh 04:37 | Zhuhur 11:54 | Ashar 15:14 | Maghrib 17:54 | Isya 19:02 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia