Jilid : 6 Juz : 3 | Ali Imran : 50
Ali Imran 3 : 50
Mushaf Madinah | hal. 56 | Mushaf Kemenag RI

وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَلِأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ ۚ وَجِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ

Kemenag RI 2019 :

(Aku diutus untuk) membenarkan Taurat yang (diturunkan) sebelumku dan untuk menghalalkan bagi kamu sebagian perkara yang telah diharamkan untukmu. Aku datang kepadamu dengan membawa tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.


Prof. Quraish Shihab :

"Dan (aku diutus kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagi kamu sebagian yang telah diharamkan untuk kamu, dan aku datang kepada kamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Maka, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. "


Prof. HAMKA :

Dan membenarkan apa yang di hadapanku dari Taurat dan untuk menghalalkan bagi kamu apa yang pemah diharamkan atas kamu, dan aku datang kepada kamu dengan ayat dari Tuhan kamu. Maka, takwalah kepada Allah dan taatilah aku."



Lafazh mushaddiqan (مُصَدِّقًا) adalah isim fail dari asalnya (صَدّقَ - يُصَدِّقُ) yang maknanya : membenarkan. Yang dimaksud membenarkan dalam konteks Nabi Isa alaihisalam mungkin sedikit berbeda kalau dibandingkan dengan Nabi Muhammad SAW. Membenarkan Taurat dalam konteks Nabi Isa adalah menjalankan dan menjadikan Taurat sebagai sumber hukum agama.

Perlu diketahui bahwa kitab Taurat meski diturunkan kepada Nabi Musa di zamannya, namun menjadi kitab suci bagi Bani Israil sepanjang masa, bahkan hingga datang masa Nabi Isa alaihissalam, Taurat tetap menjadi kitab suci bagi Bani Israil.

Dan untuk itu secara khusus Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Isa isi ajaran Taurat, sebagaimana yang sudah kita bedah pada ayat sebelumnya.

وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ

Dia (Allah) mengajarkan kepadanya (Isa) kitab, hikmah, Taurat, dan Injil. (QS. Ali Imran : 48)

Sedangkan lafazh lima baina yadayya (لِمَا بَيْنَ يَدَيْ) secara bahasa maknanya : kepada apa yang ada di hadapanku, yaitu kitab suci samawi yang sudah pernah Allah SWT turunkan.

Namun dalam terjemahan Kemenag RI dan juga Prof. Quraish Shihah, lafazh baina yadayya diterjemahkan menjadi : yang kitab turun sebelumnya. Sedangkan Buya HAMKA tetap dengan makna aslinya yaitu : yang ada di depannya.

Penulis agak cenderung mengatakan bahwa tidak terlalu keliru kalau memaknainya dengan : kitab yang ada di depannya, yaitu di hadapan Nabi Isa alaihissalam. Maksudnya yang ada di depannya adalah yang memang sudah ada di masa itu.

Namun lepas dari perbedaan cara menafsirkan, yang pasti maksudnya adalah kitab Taurat. Lafazh min at-taurat (مِنَ التَّوْرَاةِ) yang bermakna : dari Taurat, memang menegaskan bahwa sikap Nabi Isa alaihissalam adalah membenarkan Taurat.

Lafazh wa-li-uhilla lakum (وَلِأُحِلَّ لَكُمْ) artinya : dan untuk menghalalkan bagi kamu, ba’dha (بَعْضَ) sebagian, alladzi hurrima alaikum (الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ) yang diharamkan untukmu.

Maksudnya kedatangan Nabi Isa alaihissalam salah satunya adalah demi memberikan keringanan dari sisi syariat, yaitu memberikan kemudahan dalam beberapa hal yang di masa lalu diharamkan kepada Bani Israil.

Namun penggalan ini kalau dibaca sekilas akan sedikit menimbulkan kontradiksi, khususnya dengan penggalan sebelumnya. Bukankah Nabi Isa alaihissalam telah menyatakan dirinya  membenarkan Taurat (مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ), lantas kenapa justru penggalan ini seperti menyatakan hal yang bertentangan? Kenapa malah menghalalkan apa yang telah diharamkan dalam Taurat?

Dalam hal ada dua alternatif penjelasan yang dikemukakan para ulama, sebagaimana dituliskan oleh Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib.

Pertama : yang dimaksud bahwa sebenarnya bukan Allah SWT yang mengharamkan, tetapi hanya akal-akalan para rahib dan pendeta Yahudi saja. Mereka telah menyelewengkan hukum Taurat dan mengotorinya dengan tangan-tangan mereka sendiri.

Maka kedatangan Nabi Isa alaihissalam pada dasarnya merupakan gerakan pemurnian Taurat dari berbagai macam hukum karangan para rahib dan pendeta yang terlanjur menyusup ke dalam kitab suci Taurat.

Kedua : sebelum turun Taurat, sebenarnya Allah SWT tidak terlalu banyak mengharamkan ini dan itu kepada Bani Israil. Namun karena perilaku buruk orang-orang Yahudi, maka ketika Allah SWT menurunkan Taurat dengan segala hukum yang berat-berat pada dasarnya merupakan bentuk hukuman Allah STW kepada mereka.

Maka kedatangan Nabi Isa alaihissalam itu mengentikan hukuman dari Allah SWT dan mengembalikan mereka kepada hukum asal yang tidak terlalu berat.

Ketiga : ini adalah tambahan dari Ibnu Katsir yang mengutipkan pendapat sebagian ulama, bahwa posisi Nabi Isa alaihissalam sesungguhnya tidak mengubah apapun hukum Taurat. Yang Beliau lakukan hanya menjelaskan kebenaran dari apa yang telah diperselisihkan oleh para pendeta Yahudi dan berbagai kekeliruan mereka dalam ijtihad.

وَلأبَيِّنَ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي تَخْتَلِفُونَ فِيهِ

Dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya. (QS. Az-Zukhruf : 63)

Dan ternyata yang benar justru yang lebih ringan, sedangkan yang diperselisikan oleh para rahib dan pendeta justru berat sekali tapi malah keliru.

Apa Yang Diringankan?

Lepas dari perbedaan pendapat di atas, kita penasaran, kira-kira hukum apa saja yang kemudian mendapatkan keringanan lewat kedatangan Nabi Isa ‘alaihissalam?

At-Thabari menuliskan bahwa telah diharamkan bagi mereka dalam Taurat yang dibawa oleh Musa adalah :

  • Daging unta
  • Sapi jantan muda
  • Lemak
  • Beberapa jenis ikan
  • Beberapa jenis burung yang tidak memiliki cangkang telur

Dan masih beberapa lagi yang diharamkan, lalu kemudian semua itu dihalalkan oleh Nabi Isa alaihissalam.

Lafazh wa ji’tu-kum (وَجِئْتُكُمْ) artinya : dan aku datang kepada kamu. Maksudnya bahwa Nabi Isa alaihissalam telah datang kepadamu, yaitu Bani Israil.

Al-Quran seringkali menggunakan istilah ‘mendatangi’ bagi para nabi. Seolah-olah para nabi utusan Allah SWT itu berada di langit bersama Allah, lalu mereka turun ke bumi. Padahal sebenarnya para nabi itu tetap ada di bumi bersama kaumnya. Sedangkan secara sesungguhnya yang diutus dari langit sebenarnya adalah Malaikat Jibril alaihissalam. Maka turunlah Jibril dari atas langit ke permukaan planet bumi dengan membawa serta kitab suci berupa firman dan kalamullah.

Maka kalau dibahasakan bahwa para nabi itu merupakan utusan Allah, sebenarnya secara teknis mereka itu tidak turun dari langit dan juga tidak datang kepada suatu kaum. Namun memang begitulah gaya bahasa Al-Quran dalam mengungkapkan segala sesuatu, penuh dengan gaya bahasa yang unik.

Lafazh biayatin (بِآيَةٍ) artinya : dengan membawa tanda, sedangkan makna min rabbikum (مِنْ رَبِّكُمْ) adalah : dari Tuhanmu.

Dalam hal ini tanda yang dimaksud adalah kejadian-kejadian yang luar biasa dan tidak masuk akal alias ajaib. Kejadiannya tentu atas izin dan kehendak Allah, disebut dengan mukizat yang maknanya secara harfiyah adalah sesuatu yang melemahkan hujjah orang-orang yang mengingkarinya.

Lafazh fa-taqullah (فَاتَّقُوا اللَّهَ) merupakan fi'il amr atau perintah untuk melakukan sesuatu. Asalnya dari (اتقى - يتقى)  yang maknanya bisa bertaqwa, bisa bermakna takut, dan bisa juga memelihara diri atau menjaga diri dari sesuatu.

Namun dalam konteks ayat ini tentu makna yang paling cocok adalah perintah untuk bertaqwa kepada Allah. Perintah untuk bertaqwa inilah yang dipilih dalam tiga versi terjemahan di atas.

Setelah menyaksikan langsung semua mukjizat Nabi Isa alaihissalam yang luar biasa, dimana semua mata melihat secara langsung, sudah seharusnya mereka bertaqwa kepada Allah SWT. Apalagi kedatangan Nabi Isa memberikan banyak keringanan beban syariat, sebagaimana sudah dijelaskan pada ayat sebelum ini.

Maka logika yang paling dasar mengatakan, Bani Israil seharusnya bertaqwa kepada Allah dan mentaati ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa.

Dan lafazh wa athi’un (وَأَطِيعُونِ) artinya : dan taatilah Aku. Bani Israil diperintahkan agar mentaati Nabi Isa alaihissalam.

Ali Imran : 50

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 25-4-2024
Subuh 04:36 | Zhuhur 11:52 | Ashar 15:13 | Maghrib 17:52 | Isya 19:01 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia