Kemenag RI 2019:Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman,” mereka menjawab, “Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang picik akalnya itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang picik akalnya, tetapi mereka tidak tahu. Prof. Quraish Shihab:Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang yang lain telah beriman,” mereka menjawab: “Akankah kami beriman sebagaimana orang-orang yang picik akalnya telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka, (dan hanya) mereka itulah orang-orang yang picik, tetapi mereka tidak mengetahui. Prof. HAMKA:Dan apabila dikatakan orang kepada mereka, "Berimanlah sebagaimana telah beriman manusia (lain)." Mereka menjawab, "Apakah kami akan beriman sebagaimana berimannya orang-orang yang bodoh-bodoh itu?" Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah yang bodoh-bodoh, tetapi mereka tidak tahu.
Siapakah yang mengatakan kepada mereka dengan lafazh : ‘apabila dikatakan kepada mereka’? Jawabannya bisa saja Nabi Muhammad SAW, atapun juga para shahabat.
آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ
Yang dimaksud dengan manusia disini adalah para shahabat nabi ridhwanullahi ‘alaihim, baik dari kalangan muhajirin ataupun anshar. Dalam hal ini yang dimaksud dengan beriman sebagaimana berimannya para shahabat adalah membenarkan kenabian Muhammad SAW serta rukun-rukun iman lainnya.
Namun Al-Kalbi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun ditujukan untuk orang-orang yahudi. Salah satu yahudi ada yang mendapat hidayah dan masuk Islam, yaitu Abdullah bin Salam, sehingga yang dimaksud dengan ungkapan : ‘sebagaimana berimannya manusia’, adalah Abdullah bin Salam.[1]
Lafazh : ‘apakah kami beriman’ berupa pertanyaan yang tidak perlu jawaban karena maksudnya ingin menegaskan kebalikannya. Gaya bahasa seperti ini sering disebut istifham lil-inkar (استفهام للإنكار).
Pertanyaan ini ditujukan oleh sesama mereka, dimana bila sesama mereka sudah saling tahu bahwa keimanan mereka hanya sekedar pura-pura saja. Maka oleh sebagian mufassir dikatakan jawaban mereka ini bukan ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi kepada sesama internal mereka. Sebab bila kepada kaum muslimin, mereka memang mengaku telah beriman, sebagaimana disebutkan sebelumnya.
كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ
Lafazh sufaha’ itu bentuk jama’ dari tunggalnya safih (سفيه) yang berarti bodoh, tidak berakal, tidak cerdas dan sejenisnya. Quraish Shihab memaknainya dengan picik pemikiran. Abdullah bin Salam menyebutkan bahwa contoh safih adalah orang yang minum khamar alias orang mabuk. [1]
Al-Fakrurrrazi dalam Mafatih Al-Ghaib menyebutkan bahwa orang-orang munafik menjuluki para shahabat nabi dengan bodoh karena faktanya mereka memang rata-rata orang pintar, cerdas serta berpengetahuan. Maka banyak dari mereka yang jadi tokoh di masyarakat dan para petinggi. Sementara umumnya para shahabat tidak seperti mereka dalam urusan kecerdasan serta mereka dari kalangan masyarakat biasa, bahkan secara ekonomi mereka termasuk lemah.[2]
Ibnu Asyur[3] menyebutkan bahwa ungkapan bodoh dalam Al-Quran dikaitkan dengan ayat yang melarang menyerahkan pengelolaan harta kepada pemiliknya yang safih pada ayat-ayat berikut : Pertama dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 (فَإنْ كانَ الَّذِي عَلَيْهِ الحَقُّ سَفِيهًا أوْ ضَعِيفًا) diterjemahkan menjadi : ‘orang yang lemah akalnya’. Kedua dalam QS. An-Nisa’ ayat 5 (ولا تُؤْتُوا السُّفَهاءَ أمْوالَكُمُ) yang diterjemahkan menjadi : ‘orang yang belum sempurna akalnya’.[4]