Kemenag RI 2019:Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api. Setelah (api itu) menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Prof. Quraish Shihab:Keadaan (yang sungguh mengherankan dari) mereka adalah seperti keadaan (yang aneh dari) seorang yang menyalakan api, maka setelah (api itu) menerangi apa yang di sekelilingnya, Allah membawa pergi cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan-kegelapan, (sehingga) mereka tidak (dapat) melihat. Prof. HAMKA:Perumpamaan mereka adalah laksana orang yang menyalakan api; maka, tatkala api itu menerangi apa yang di sekelilingnya, dihilangkan Allah-lah cahaya mereka, dan Dia biarkan mereka di dalam gelap gulita tidak melihat.
Lafazh matsaluhum dimaknai sebagai perumpamaan bagi mereka, sedangkan lafazh kamatsali dimaknai seperti diumpamakan.
Perumpamaan demi perumpamaan memang banyak sekali kita temukan dalam Al-Quran, bahkan menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu amtsalul quran (أمثال القرآن). Penulis secara khusus menulis satu bab dalam buku Ilmu Al-Quran dan Tafsir tentang ilmu yang satu ini.[1]
Ketika membicarakan golongan yang ketiga yaitu orang kafir yang berpura-pura masuk Islam, Allah SWT membuatkan beberapa perumpamaan bagi mereka. Sebenarnya ayat sebelumnya juga sudah merupakan perumpamaan, yaitu mereka diumpamakan dengan orang yang rugi dalam usaha jual-belinya.
Dan salah satu hikmah Al-Quran punya banyak perumpamaan agar pesan yang ingin disampaikan bisa lebih jelas tergambar. Oleh karena itu apa yang dijadikan sebagai perumpamaan harus lah sesuatu yang betul-betul dikenal baik oleh mereka. Perdagangan serta jual-beli tentu saja hal yang akrab dengan umat manusia, karena pada dasarnya manusia itu makhluk ekonomi yang tidak pernah bisa lepas dari perdagangan dan jual-beli. Terlebih lagi Nabi SAW serta para shahabat generasi awal di Mekkah umumnya adalah bangsa Arab yang dikenal sebagai pedagang.
Apalagi Beliau SAW juga bagian dari kaum Quraisy yang dikenal sebagai suku pedagang dan sepanjang tahun tidak pernah lepas dari berdagang, baik di musim dingin atau pun di musim panas. Oleh karena itu sangat tepat ketika Allah SWT memberikan perumpamaan dengan dunia perdagangan yang akrab sekali dalam kehidupan mereka.
Dan bila dikaitkan dengan kaum munafikin yahudi yang berpura-pura masuk Islam seperti yang sedang dibicarakan ayat ini, mereka pun termasuk bangsa pedagang juga di Madinah. Jadi kalau kelakukan mereka diumpamakan seperti orang yang merugi dalam jual-beli sudah sangat tepat, karena benar-benar bisa memberikan gambaran yang terang benderang.
Dalam ayat ke-17 ini keadaan mereka diumpamakan seperti orang yang menyalahkan api demi untuk mendapatkan cahaya di kegelapan, namun ketika di sekelilingnya sudah terang dan bisa menikmati cahaya itu, justru mereka sendiri yang berada dalam kegelapan.
Lafazh istauqada dimaknai sebagai auqada (أوقد) yang artinya menyalahkan api. Asal katanya dari waqud yang bermakna bahan bakar, sebagaimana firman Allah : (فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ – QS. Al-Baqarah :24).
Dan di malam yang gelap tentu saja api harus dinyalakan, selain untuk mengusir hawa dingin, menakuti binatang buas, juga yang paling utama agar semua nampak terlihat dengan adanya cahaya dari api yang menyala. Karena berjalan di tengah kegelapan itu semua kesia-siaan.
فَلَمَّا أَضَاءَتْ
Lafazh adha’at berasal dari kata dhiya’ (ضياء) dimaknai sebagai cahaya yang menerangi, sedikit punya perbedaan dengan lafazh ‘nur’ yang berarti cahaya.
Quraish Shihab menegaskan perbedaan kedua bahwa dhiya’ itu cahaya yang bersumber dari benda yang memang mengeluarkan cahaya seperti halnya matahari, sedangkan ‘nur’ itu cahaya yang terpantul pada benda yang sebenarnya bukan merupakan sumber cahaya tetapi mendapatkan cahaya dan memantulkannya, seperti halnya bulan yang bersinar akibat diterpa cahaya matahari. Hal itu seperti diungkapkan ayat berikut :
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya (QS. Yunus : 5)
مَا حَوْلَهُ
Lafazh maa haulahu dimaknai benda-benda yang ada di sekelilingnya, yang terkena cahaya dari api yang menyala itu menerangi benda-benda yang ada di sekelilingnya. Dengan demikian keadaan di sekeliling berubah menjadi terang benderang. Seharusnya siapa pun yang ada disitu bisa melihat ke sekeliling dengan mudah.
ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ
Dalam perumpamaan ini, orang-orang kafir itu telah dijadikan Allah SWT kehilangan pantulan cahaya, dimana pantulan cahaya itu ‘dibawa pergi’ oleh Allah SWT.
Buya HAMKA mencoba menjelaskan bahwa meski ada cahaya tapi tiak bisa melihat karena terlalu besar cahayanya sehingga silau di mata, atau karena mereka bisu, tuli dan buta.[1]
Namun fenomena ada cahaya tapi tidak bisa melihat secara ilmu fisika bisa dijelaskan, bahwa yang mata kita lihat itu sebenarnya bukan cahaya, melainkan pantulan cahaya yang mengenai permukaan suatu benda. Bila tidak ada benda seperti ruang angkasa yang kosong atau the black hole yang menjebak cahaya, maka cahaya tidak memantul. Dalam keadaan itu mata kita tidak bisa melihat apa-apa.
Contohnya, mata kita bisa melihat langit di siang hari, karena sinar matahari mengenai atmosfer yang menyelubungi bumi, sehingga atmosfir di mata kita jadi nampak berwarna biru. Itu terjadi karena atmosfer kita diterpa cahaya matahari dan dipantulkan oleh atmosfer.
Seandainya cahaya matahari terhalang awan tebal, maka warna langit kita berubah tidak lagi biru tapi jadi gelap abu-abu. Kita yang berada di bahwa awan tebal itu menyebutnya sebagai langit mendung. Padahal di bagian atas awan tebal itu cahaya matahari sangat cerah.
Dan di malam hari ketika tidak ada sama sekali sinar matahari, karena matahari sedang bersembunyi di balik bumi, maka atmosfer kita berwarna hitam pekat dan gulita.
Padahal sebernanya cahaya matahari itu merambat ke seluruh penjuru tata surya lengkap dengan sinar ultraviolet (UV) yang amat mematikan. Astronot yang mengorbit bumi, meski berada di kegelapan jagat raya yang hitam bertabur bintang, namun cahaya matahari tetap akan mengenainya dengan amat sangat mematikan. Para astronot membutuhkan baju khusus yang melindungi mereka dari cahaya matahari, khususnya sinar UV yang mematikan.
Lafazh zhulumat adalah bentuk jamak dari bentuk tunggalnya zhulm yang bermakna kegelapan. Maksudnya bukan hanya satu kegelapan melainkan kegelapan yang berlapis-lapis, sebagaimana ungkapan kegelapan dalam kegelapan (ظلمات بعضها فوق بعض)
Perumpamaan orang munafikin itulah yang disamakan dengan orang yang ditinggal dalam kegelapan yang betul-betul tanpa cahaya. Para ulama menyebutkan bahwa gelap itu mewakli ungkapan atas penginkatan, kekafiran dan kesesatan, sedangkan cahaya mewakili petunjuk, iman dan keislaman.
Qurasih Shihab menyebutkan kegelapan yang bertumpuk satu dengan yang lain adalah kegelapan malam, kegelapan awan hitam, dan kegelapan padamnya cahaya. Mereka adalah orang-orang kafir atau munafik yang serupa dengan orang-orang kafir, yakni kegelapan kesesatan, kegelapan murka Allah di dunia, dan kegelapan siksa-Nya di akhirat nanti.[1]
Sebagian ulama tafsir memaknai ungkapan ‘ditinggalkan dalam kegelapan’ sebagai siksaan di alam kubur ketika nanti mati. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa amalan orang munafik di akhirat nanti hilang ditelan kegelapan atas sikap menduanya.
Lafazh la yubshirun dimaknai tidak melihat dengan mata. Alasannya jelas karena meski di sekitarnya ada cahaya, namun cahaya pantulannya dihilangkan oleh Allah SWT.
Namun maksud dari tidak bisa melihat menurut para mufassir bahwa mereka tidak mendapatkan hidayah terkait jalan yang benar, lalu mereka tersesat di tengah-tengah kegelapan tanpa cahaya.