Jilid : 1 Juz : 1 | Al-Baqarah : 16
Al-Baqarah 2 : 16
Mushaf Madinah | hal. 3 | Mushaf Kemenag RI

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

Kemenag RI 2019 : Mereka itulah orang­-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka, tidaklah beruntung perniagaannya dan mereka bukanlah orang-­orang yang mendapatkan petunjuk.
Prof. Quraish Shihab : Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan bukanlah mereka orang-orang yang mendapat petunjuk.
Prof. HAMKA : Mereka itulah orang-orang yang telah membeli kesesatan dengan petunjuk; sebab itu, tidaklah berlaba perniagaan mereka dan tidaklah mereka dapat pimpinan.

Lafazh ‘mereka’ ini maksudnya adalah kalangan kafir yang berpura-pura masuk Islam di masa kenabian. Ungkapan ini menunjukkan posisi yang jauh, menurut Quraish Shihab mengesankan bahwa kesesatan mereka, yang disebut sifat-sifatnya dalam ayat-ayat yang lalu sangat jauh merasuk ke dalam jiwa mereka.[1]

 

[1] Al-Mishbah, 1/111

Lafazh isytara (اشترى) bermakna jual-beli yang pada dasarnya bermakna istibdal (استبدال) yaitu menukar sesuatu. Dan pada dasarnya jual-beli itu bagian dari tukar menukar, namun tidak semua tukar menukar itu jual-beli.

Para mufassir menyibak pesan mendalam di balik penggunaan istilah ‘jual-beli’ ketimbang menukar agar maknanya lebih dalam. Diibaratkan mereka menjual sesuatu yang nilainya lebih mahal yaitu petunjuk ditukar dengan sesuatu yang nilainya sangat rendah yaitu kesesatan.

Dan secara gaya bahasa, penggunaan jual-beli sebagai ganti dari menukar disebut isti’arah tashrihiyah.

Orang-orang di masa kita mungkin akan mengungkapkan masalah tukar menukar yang jatuh rugi ini dengan istilah ‘menggadaikan’, seperti ungkapan : ‘kau gadaikan cintaku’, atau bisa juga dengan ungkapan ‘menjual murah’.

Qatadah berpendapat bahwa yang terjadi bukan sekedar mengambil kesesatan dan menukarkanya dengan petunjuk, tapi sudah sampai kepada taraf yang lebih parah, yaitu lebih mencintai kesesatan sehingga rela menukarnya dengan petunjuk.[1]

 


[1] Ibnu Katsir

Lafazh dhalalah diartikan sebagai kesesatan sedangkan huda diartikan sebagai petunjuk. Para ulama mengatakan kedua lafazh itu merupakan lawan kata. Petunjuk yang dimaksud tidak lain adalah menerima dan mengimani pokok-pokok keimanan, sementara kesesatan adalah mengingkari keimanan itu.

Quraish Shihab menyebutkan bahwa mereka itu pada dasarnya menanggalkan fitrah keberagamaan dan menggantikannya dengan kekufuran.

Lafazh rabiha dari kata ribh (رِبح)  yang bermakna keuntungan, yaitu tambahan harta di atas modalnya. Karena sebelumnya Allah SWT menggunakan istilah jual-beli, maka perumpamaan berikutnya yang menjadi ikutan bahwa jual-beli itu tidak menguntungkan, malah sebaliknya justru merugikan.

(تِجَارَتُهُمْ)

Istilah tijarah (تجارة) sering disamakan dengan jual-beli (شراء), karena keduanya memang punya hubungan erat, yaitu sama-sama melakukan tindakan jual-beli.

Namun bila ditelisik lebih jauh, keduanya tetap berbeda. Dikatakan sebuah jual-beli itu termasuk tijarah ketika seseorang melakukan demi untuk mendapatkan keuntungan. Kalau jual-beli tidak demi keuntungan, maka tidak disebut tijarah.

Memang tidak semua tindakan jual-beli dilakukan demi untuk mendapatkan keuntungan. Contohnya tindakan yang dilakukan pemerintah ketika mengadakan operasi pasar. Jualannya seperti itu jelas tidak untuk mencari keuntungan dari selisih harga, tetapi untuk menormalkan harga-harga yang melambung yang dimainkan oleh para tengkulak.

Atau misalnya ada orang menjual hartanya karena terlilit utang. Jelas sekali motivasinya bukan untuk mendapatkan keuntungan, buktinya barang itu dijualnya dengan harga yang miring lantaran kepepet butuh uang. Maka jual-beli semacam itu tentu tidak disebut dengan tijarah, karena orientasinya bukan semata mendapatkan keuntungan.

Di zaman modern sekarang, banyak perusahaan start-up yang melakukan praktek burning the money, yaitu menjual dengan harga semurah-murahnya, jauh di bawah harga modalnya. Secara teknis, jual-beli seperti itu jelas rugi, sehingga tindakan seperti ini tidak cocok dilakukan oleh pengusaha dengan modal pas-pasan, cocoknya dilakukan oleh perusahaan dengan modal besar.  Dan tujuan banting harga memang bukan demi keuntungan dari selisih harga, namun keuntungan dari sisi yang lain yaitu mendapatkan banyak pelanggan royal dan terikat.

( وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ)

Lafazh muhtadin merupakan isim fail dari (اهتدى - يهتدي) yaitu orang yang mendapatkan petunjuk. Namun dalam kaitan ayat ini dimaknai sebagai orang yang terkena musibah dalam usahanya.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa ada yang memaknai orang itu bukan tidak bisa berdagang, namun keliru dalam memilih barang dagangan, sehingga tidak dapat keuntungan bahkan modalnya pun ludes. Modal yang dimaksud adalah fitrah kesucian, namun justru mereka abaikan, padahal seharusnya modal tersebut mereka manfaatkan guna memperoleh keuntungan berupa amal-amal saleh. Tetapi nyatanya, jangankan sekadar tidak memperoleh keuntungan, modal pun lenyap karena keimanan tidak menghiasi jiwa mereka.

Yang unik penafisran Buya HAMKA, bahwa muhtadin dimaknai orang yang tidak punya pemimpin, karena menolak menjadikan Nabi SAW sebagai pemimpin dengan menolak keimanan kepadanya.[1]

 


[1] Al-Azhar, 1/113

Istilah tijarah (تجارة) sering disamakan dengan jual-beli (شراء), karena keduanya memang punya hubungan erat, yaitu sama-sama melakukan tindakan jual-beli.

Namun bila ditelisik lebih jauh, keduanya tetap berbeda. Dikatakan sebuah jual-beli itu termasuk tijarah ketika seseorang melakukan demi untuk mendapatkan keuntungan. Kalau jual-beli tidak demi keuntungan, maka tidak disebut tijarah.

Memang tidak semua tindakan jual-beli dilakukan demi untuk mendapatkan keuntungan. Contohnya tindakan yang dilakukan pemerintah ketika mengadakan operasi pasar. Jualannya seperti itu jelas tidak untuk mencari keuntungan dari selisih harga, tetapi untuk menormalkan harga-harga yang melambung yang dimainkan oleh para tengkulak.

Atau misalnya ada orang menjual hartanya karena terlilit utang. Jelas sekali motivasinya bukan untuk mendapatkan keuntungan, buktinya barang itu dijualnya dengan harga yang miring lantaran kepepet butuh uang. Maka jual-beli semacam itu tentu tidak disebut dengan tijarah, karena orientasinya bukan semata mendapatkan keuntungan.

Di zaman modern sekarang, banyak perusahaan start-up yang melakukan praktek burning the money, yaitu menjual dengan harga semurah-murahnya, jauh di bawah harga modalnya. Secara teknis, jual-beli seperti itu jelas rugi, sehingga tindakan seperti ini tidak cocok dilakukan oleh pengusaha dengan modal pas-pasan, cocoknya dilakukan oleh perusahaan dengan modal besar.  Dan tujuan banting harga memang bukan demi keuntungan dari selisih harga, namun keuntungan dari sisi yang lain yaitu mendapatkan banyak pelanggan royal dan terikat.

Lafazh muhtadin merupakan isim fail dari (اهتدى - يهتدي) yaitu orang yang mendapatkan petunjuk. Namun dalam kaitan ayat ini dimaknai sebagai orang yang terkena musibah dalam usahanya.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa ada yang memaknai orang itu bukan tidak bisa berdagang, namun keliru dalam memilih barang dagangan, sehingga tidak dapat keuntungan bahkan modalnya pun ludes. Modal yang dimaksud adalah fitrah kesucian, namun justru mereka abaikan, padahal seharusnya modal tersebut mereka manfaatkan guna memperoleh keuntungan berupa amal-amal saleh. Tetapi nyatanya, jangankan sekadar tidak memperoleh keuntungan, modal pun lenyap karena keimanan tidak menghiasi jiwa mereka.

Yang unik penafisran Buya HAMKA, bahwa muhtadin dimaknai orang yang tidak punya pemimpin, karena menolak menjadikan Nabi SAW sebagai pemimpin dengan menolak keimanan kepadanya.[1]

 


[1] Al-Azhar, 1/113

Al-Baqarah : 16

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 18-4-2024
Subuh 04:37 | Zhuhur 11:54 | Ashar 15:14 | Maghrib 17:54 | Isya 19:02 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia