Kemenag RI 2019:(Dialah) yang menjadikan bagimu bumi (sebagai) hamparan dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui. Prof. Quraish Shihab:(Dia-lah) Yang menjadikan bumi (sebagai) hamparan bagi kamu dan langit (sebagai) atap, dan Dia menurunkan sebagian air dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan (air) itu (sebagian) buah-buahan sebagai bagian rezeki untuk kamu karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, sedangkan kamu mengetahui. Prof. HAMKA:Yang telah menjadikan untuk kamu akan bumi jadi hamparan dan langit sebagai bangunan, dan diturunkan-Nya air dari langit maka keluarlah dengan sebabnya buah-buahan, rezeki bagi kamu; maka, janganlah kamu adakan bagi Allah sekutu-sekutu, padahal kamu mengetahui.
Lafazh Ja'ala (جعل) yang bermakna : 'menjadikan' berbeda makna dengan khalaqa (خلق) yang maknanya menciptakan. Menciptakan itu sama dengan mengadakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Sedangkan 'menjadikan' adalah melakukan perubahan atau tindakan dari sesuatu yang sudah ada menjadi sesuatu yang lain.
Dalam hal ini, ada dua hal yang Allah SWT jadikan, yaitu Allah SWT menjadikan tanah menjadi firasy atau hamparan dan menjadikan langit menjadi atap.
Pertanyaan yang menggelitik untuk dijawab adalah : kalau begitu kayak apa tanah dan langit sebelum Allah SWT jadikan sebagai hamparan dan atap?
Kalau kita agak susah menjawabnya, maka kemungkinan makna yang lebih tepat bukan mengubah wujud suatu benda menjadi benda yang lain, tetapi ada makna lain yang nampaknya lebih cocok yaitu memfungsikan. Seperti ketika Allah SWT memfungsikan malam sebagai waktunya beristirahat.
Atau memfungsikan neraka sebagai penjara :
وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ حَصِيرًا
Kami jadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al-Isra : 8)
لْأَرْضَ فِرَاشًا
Kalau firasy dimaknai hamparan dan hamparan itu dimaksudkan sebagai sesuatu yang rata, sehingga dikatakan bumi itu rata seperti permukaan meja yang rata, sebenarnya agak kurang tepat. Sebab di dalam Al-Quran justru terdapat banyak ayat yang menggambarkan bahwa bumi itu justru tidak rata, karena ada banyak gunung-gunung yang tinggi menjulang.
Dan Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. (QS. Ar-Rad : 3)
Fِaktanya bahwa Relief dan topografi permukaan bumi secara fakta memang tidak rata seperti padang pasir atau padang garam di Salt Lake di benua Amerika. Benar bahwa bumi dibentangkan, tetapi makna membentangkan itu bukan berarti bumi itu harus rata permukaannya. Bumi dibentangkan maksudnya bahwa bumi itu dilebarkan atau digelar.
Seperti orang membentangkan kain layar di atas perahu, bentuknya belum tentu rata, justru ketika layar terbentang itu tertiup angin, bentuknya justru melengkung terkena hembusan angin. Atau seperti orang yang membentangkan payung ketika hujan, jelas sekali permukaan payung itu tidak rata tetapi melengkung membentuk bulatan, agar airnya jatuh ke bawah. Begitu juga seperti orang yang terjun payung dengan parasut, ketika parasutnya dibentangkan, tentu saja bentuknya tidak rata, tetapi melengkung.
Maka kata 'membentangkan' sama sekali tidak sepadan dengan 'meratakan', tetapi lebih tepatnya memasang dan melebarkan, seperti kain layar yang dibentangkan, berarti dipasang dan dilebarkan. Begitu juga payung dan parasut itu ketika dibentangkan, maksudnya dipasang dan dilebarkan.
السماء
Lafazh as-sama’ berasal dari kata as-sumuw (السمو) yang maknanya : ‘tinggi’. Sehingga apapun yang dirasa tinggi, pantas untuk disebut dengan langit, tanpa dibedakan derajat ketinggiannya, apakah tinggi sekali hingga jaraknya tidak terhingga, ataukan ketinggian yang masih belum terlalu jauh. Semuanya bisa masuk dalam kategori tinggi. kk
Oleh karena itu yang dimaksud dengan langit dalam ayat ini tentu saja bukan ruang angkasa di luar planet bumi yang hampa udara dan tidak ada grafitasi. Langit yang dimaksud di ayat ini hanya sebatas atmosfer bumi yang sebenarnya masih menjadi bagian dari bumi. Setidaknya masih dalam pengaruh gravitasi bumi, sehingga tidak berpencaran di luar angkasa.
Sebenarnya langit yang disebut dalam Al-Quran ada banyak macamnya, mulai dari langit yang paling jauh seperti sidratil muntaha tempat Nabi SAW menjalankan mi’raj, hingga langit yang dihias dengan bintang-bintang yaitu ruang angkasa yang jarak bentangnnya bisa sampai bertahun-tahun cahaya. Sekedar informasi saja, bahwa bintang yang paling dekat dengan bumi kita berjarak 4 tahun cahaya.
Namun langit yang dimaksud dalam ayat ini adalah langit paling dekat jaraknya dengan kita, yaitu wilayah seputaran atmosfer bumi. Hal itu karena ayat ini menyebut langit sebagai sumber turunnya air hujan. Secara ilmiyah, langit yang menurunkan hujan itu tidak lain adalah awan-awan hujan yang ukurannya tidak terlalu tinggi, hanya seribuan meter saja dari permukaan bumi. Awan hujan itu memang melayang terbang, tidak sanggup naik ke ketinggian yang jauh. Hal itu karena massa awan cukup berat lantaran mengandung berton-ton titik air,
Awan hujan Cumulus (Cu) misalnya hanya punya ketinggiannya seputar 450 hingga 900 meter saja. Jauh di bawah tempat terbangnya pesawat jet komersial yang bisa mencapaki ketinggian 10 km dari permukaan. Cumulus hujan itu terbentuk dari air berubah menjadi uap dan ‘tebang’ secara vertikal, kemudian para ketinggian tertentu mengalami kodensasi.
Penyebutan langit sebagai tempat adanya awan hujan itu sah-sah saja, karena langit itu tidak harus ruang angkasa dan antariksa. Pokoknya asalkan posisinya di atas mengawang-awang atau menggantung, sudah bisa disebut langit. Burung yang terbang dengan mengepakkan sayapnya pun sudah sah untuk dikatakan terbang di langit.
بناء
Salah satu hal yang menguatkan bahwa langit yang dimaksud dalam ayat ini adalah atmosfer bumi adalah ketika Allah SWT menyebutkannya sebagai atap bagi kita. Boleh jadi orang-orang yang hidup di masa lalu menganggap langit sebagai 'atap' itu merupakan majaz, yaitu seolah-olah langit itu sebagai atap.
Namun tidak bisa kita pungkiri apabila ada ulama di masa lalu yang meyakini bahwa langit biru di atmosfer itu seperti adalah kubah raksasa yang keras dan kaku, lalu benda-benda angkasa seperti matahari, bulan serta bintang-bintang pada menempel di bahan langit yang keras itu. Lalu kubah raksasa ini dianggap ajaib karena bentuknya yang begitu besar dan berat itu ternyata bisa tegak di angkasa tanpa adanya tiang penyangga.
Wajar apabila orang di masa lalu meyakini hal-hal seperti itu, karena baru sebatas itu saja ilmu pengetahuan yang merea ketahui. Apalagi ada banyak ayat Al-Quran yang secara sekilas nampaknya membenarkan anggapan itu. Misalnya tentang langit tidak ada tiangnya :
Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, (QS. Ash-Shaffat : 6)
Tafsir Modern Terkait Langit Sebagai Atap
Lalu bagaimana kita yang hidup di masa modern ini ketika membaca ayat yang menyatakan bahwa langit itu sebagai atap, sebagaimana umumnya terjemahan Al-Quran.
Banyak tafsir modern yang kemudian mengaitkannya dengan fungsi atmosfer yang nyaris seperti atap bumi dari serangan benda-benda di luar bumi. Di antaranya :
1. Sinar Matahari
Sinar matahari sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, hewan dan juga tumbuhan. Tanpa adanya sinar matahari, bumi akan menjadi dingin membeku. Dengan adanya sinar matahari lah kehidupan di dunia bisa berjalan dengan lancar.
Namun bila bumi tidak dibungkus dengan atmosfer, maka panas sinar matahari akan membuat permukaan bumi terbakar membara seperti lahar. Atmosfer berfungsi memantulkan kembali sinar matahari ke ruang angkasa, sehingga panas yang masuk ke permukaan bumi berkurang.
Selain itu di dalam atmosfer terdapat banyak sekali awan yang juga mengurangi intensitas sinar matahari diterima oleh permukaan bumi. Dan awan-awan ini selain menahan sinar matahari, juga ikut mendinginkan bumi dengan air hujan yang turun dan membasahi permukaan bumi.
2. Sinar Ultraviolet
Sinar matahari selain panas juga mengandung jenis sinar yang bernama Ultraviolet (UV). Dalam kadar tertentu, tumbuhan membutuhkannya untuk berfotosintesis mengubah karbondioksida menjadi oksigen yang dibutuhkan manusia dan hewan untuk bernafas. Dalam kadar tertentu juga, tubuh manusia membutuhkan sinar ultraviolet (UV) untuk kesehatan.
Namun bila sinar ultraviolet ini tidak dikurangi kadarnya oleh atmosfer bumi, maka kehidupan manusia dan hewan akan musnah. Sinar UV matahari dapat merusak kulit manusia jika terpapar terlalu lama, terutama jika terpapar pada saat siang hari yang terik. Sinar UV matahari dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit yang terbakar, dan kulit yang mengelupas.
Jika terpapar terlalu lama, sinar UV matahari juga dapat menyebabkan kerusakan DNA pada sel-sel kulit, yang dapat menyebabkan munculnya tanda-tanda penuaan kulit seperti keriput dan garis-garis halus. Selain itu, sinar UV matahari juga dapat meningkatkan risiko terkena kanker kulit.
Atmosfer kita berfungsi menurunkan intensitas sinar ultraviolet yang sangat berbahaya, sehingga masih dalam taraf aman. Begitu kita keluar dari lapisan atmosfer, sinar matahari akan langsung membunuh kita dengan ultravioletnya yang amat mematikan.
3. Meteor
Permukaan bumi sebegitu mulusnya, sangat jauh berbeda dengan permukaan bulan yang bolong-bolong dan banyak kawahnya. Rupanya kawah-kawah di bulan itu karena bulan banyak gunung berapi, namun karena bulan tidak punya lapisan atmosfer yang dapat melindunginya dari hujan meteorid.
Pada dasarnya setiap hari bumi kita dihujani oleh begitu banyak metorid, namun kampir semuanya tidak pernah sampai ke permukaan bumi gara-gara habis terbakar di atmosfer bumi. Penyebab terbakarnya selain karena kerapatan atmosfer yang semakin ke bawah semakin tebal, juga karena gesekan dengan atmosfer yang sangat keras.
Apabila sebuah meteorit terjebak gravitasi bumi, maka dia akan meluncur dengan kecepatan yang sangat tidak terkendali menuju bumi. Kecepatan meteor yang terbakar di atmosfer Bumi bisa berkisar antara 11.000 km/jam hingga 70.000 km/jam. Namun, kecepatan tersebut masih bisa berbeda-beda tergantung pada faktor-faktor yang disebutkan di atas.
Kecepatan yang besar tersebut menurun ketika meteoroid memasuki lapisan atmosfer bumi yang lebih padat. Pada lapisan atas yaitu eksosfer dan termosfer, meteoroid belum mengalami banyak perubahan karena udaranya yang sedikit.
Namun, ketika meteor memasuki lapisan mesosfer yang lebih padat karena lebih banyak mengandung udara, terbakar sampai habis hingga tidak pernah mencapai permukaan bumi. Kecepatan yang amat tinggi namun bergesekan dengan lapisan padat mesosfer menghasilkan gaya gesek yang besar dan menciptakan panas. Panas yang terbentuk dapat mencapai suhu sekitar 1600 derajat celcius.
Pertanyaannya : mengapa pesawat ulang-alik yang masuk kembali ke bumi tidak terbakar habis sebagaimana terbakarnya meteor?
Sebenarnya terbakar juga, hanya saja ada teknik biar awak di dalam wahana luar angkasa itu bisa tetap selamat.
Pertama, wahana itu dilapisi zat tahan panas dan anti api, sehingga tidak mudah terbakar meski berada dalam suhu yang panasnya ekstrim.
Kedua, bagian dalam pesawat ulang-alik dilengkapi dengan sistem pendingin yang dapat mengalirkan panas ke luar pesawat, sehingga suhu di dalam pesawat tetap nyaman bagi penumpang dan awak pesawat.
Ketiga, pesawat ulang-alik juga memiliki sayap yang terbalik (atau sayap delta) yang dapat mengurangi gesekan dengan udara ketika pesawat terbang di atmosfer. Dengan desain tersebut, pesawat ulang-alik dapat terbang dengan stabil di atmosfer Bumi meski terkena panas yang tinggi.
Ketebalan atmosfer Bumi tidak sama di seluruh tempat di Bumi dan juga tidak sama di setiap lapisannya. Pada lapisan yang paling dekat dengan permukaan Bumi, yaitu lapisan troposfer, ketebalan atmosfer Bumi berkisar antara 8-15 kilometer. Lapisan ini merupakan lapisan yang paling penting bagi kehidupan di Bumi karena di sini terdapat udara yang kita hirup. Lapisan troposfer merupakan lapisan yang paling rapuh dan mudah terpengaruh oleh perubahan cuaca.
Di atas lapisan troposfer, terdapat lapisan stratosfer yang ketebalannya berkisar antara 15-50 kilometer. Lapisan ini merupakan lapisan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup di Bumi karena di sini terdapat ozon, yaitu lapisan yang membantu melindungi Bumi dari sinar matahari yang berbahaya.
Setelah lapisan stratosfer, terdapat lapisan mesosfer yang ketebalannya berkisar antara 50-85 kilometer. Lapisan ini terdiri dari udara yang sangat dingin dan memiliki tekanan yang sangat rendah.
Lapisan atmosfer yang terdapat di atas lapisan mesosfer adalah lapisan termosfer dan lapisan exosfer. Lapisan termosfer memiliki ketebalan yang berkisar antara 85-600 kilometer dan merupakan lapisan yang paling atas dari atmosfer Bumi. Lapisan ini terdiri dari udara yang sangat panas dan memiliki tekanan yang sangat rendah. Sedangkan lapisan exosfer merupakan lapisan terluar dari atmosfer Bumi yang memiliki ketebalan yang sangat tipis dan tidak terlalu penting bagi kehidupan di Bumi.
Oleh karena itulah di zaman sains modern telah berhasil menguak banyak misteri yang dulunya belum terpecahkan, ungkapan Al-Quran yang menyebutkan bahwa langit itu bagai 'atap' yang melindungi menjadi semakin mudah mendapatkan pembenaran.
Ternyata atap yang dimaksud bukan genteng atau dak beton, tetapi 'atap' berupa lapisan-lapisan atmosfer yang tebalnya mencapai 560 km dari permukaan bumi.
Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. (QS. Al-Anbiya : 32)
أنزل
Lafazh anzala adalah fi’il madhi yang muhdari’-nya yunzilu (يُنْزِلُ) dan mashdar-nya inzalan (إِنْزَالاً)و bermakna menurunkan.
Lafazh itu mirip dengan nazzla (نَزّلّ – يُنَزِّلُ - تَنْزيْلاً), namun punya perbedaan makna yang cukup penting. Apabila dikaitkan dengan diturunkannya Al-Quran, kedua bentuk itu sama-sama digunakan. Namun ketika Al-Quran diturunkan sekaligus dari sisi Allah SWT ke langit dunia, yang digunakan adalah anzala – yunzilu sebagaimana dalam surat Al-Qadr :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. (QS. Al-Qadar : 1)
Sedangkan bila menceritakan bagaimana Al-Quran diturunkan sedikit demi sedikit dari langit dunia kepada Nabi Muhammad SAW yang memakan waktu hingga 23 tahun, yang digunakan adalah nazzala.
Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al-Isra : 106)
Kalau mengacu pada perbedaan kedua lafazh di atas, berarti hujan yang diturunkan itu adalah air yang turun sedikit demi sedikit, melainkan air dalam jumlah besar.
من السماء
Meskipun as-sama’ bermakna langit, namun para ulama sepakat bahwa yang dimaksud adalah awan yang mengandung air hujan.
Di masa sekarang ini kita mengenal awan hujan dengan nama Cumulus (Cu) misalnya hanya punya ketinggiannya seputar 450 hingga 900 meter saja. Jauh di bawah tempat terbangnya pesawat jet komersial yang bisa mencapaki ketinggian 10 km dari permukaan. Cumulus hujan itu terbentuk dari air berubah menjadi uap dan ‘tebang’ secara vertikal, kemudian para ketinggian tertentu mengalami kodensasi.
Penyebutan langit sebagai tempat adanya awan hujan itu sah-sah saja, karena langit itu tidak harus ruang angkasa dan antariksa. Pokoknya asalkan posisinya di atas mengawang-awang atau menggantung, sudah bisa disebut langit. Burung yang terbang dengan mengepakkan sayapnya pun sudah sah untuk dikatakan terbang di langit.
ماء
Di dalam Al-Quran Allah SWT banyak sekali menyebut air dengan segala macam makna dan bentuknya. Umumnya adalah air seperti yang kita kenal dan banyak disebutkan dengan gunanya, seperti
Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran).QS A-Nahl : 65)
Untuk media bersuci :
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih, (QS. Al-Furqan : 48)
Namun terkadang Al-Quran juga menggunakan lafazh air untuk menyebut benda yang bukan air, seperti misalnya air mani. Perhatikan ayat berikut :
خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ
Diciptakan dari air yang memancar (QS. Ath-Thariq : 6).
Volume Air Hujan
Di masa sekarang ini kita bisa dengan mudah mengukur volume air hujan yang ternyata besar sekali. Para ilmuwan memperkirakan bahwa satu inci (2,5 cm) hujan yang jatuh di area seluas satu mil persegi (setara 2,59 km persegi) sama dengan 17,4 juta galon air. Jika ditimbang, air sebanyak itu memiliki berat 143 juta pound atau setara 64,8 juta kg.[1]
Dasar penghitungannya bila air hujan yang turun kita tampung dan dijaga biar tidak mengalir, meresap ataupun menguap, maka untuk area seluas 1 meter persegi, pada setiap kenaikan permukaan air 1 milimeter setara dengan volume air 1 liter. Jika hujan satu milimeter tersebut jatuh pada luasan 2 meter persegi maka volume air hujan tersebut adalah 2 liter dan seterusnya.
Menurut Wikipedia, luas Jakarta adalah 661,52 km² atau 661.520.000 m². Jika terjadi hujan secara merata di Jakarta kemudian terukur bahwa curah hujan tersebut sebesar 1 milimeter, maka sama artinya hujan yang tumpah dari langit di Jakarta adalah sebanyak 661.520.000 liter.
Bagaimana membayangkan air sebanyak 661.520.000 liter, yang hanya dari 1 milimeter curah hujan tersebut?
Coba kita bayangkan menyimpan air hujan 1 milimeter yang tertampung di Jakarta yang volumenya 661.520.000 liter tersebut dalam sebuah mobil tangki air. Jika 1 mobil tangki air pada gambar di atas bisa menampung air sebanyak 5.000 liter, maka kita akan diperlukan mobil tangki air sebanyak: 661.520.000 liter/5.000 liter = 132.304 mobil tangki air.
Jika 1 mobil tangki air tersebut panjangnya 9 meter, maka panjang antriannya adalah 132.304 mobil tangki air x 9 meter = 1.190.737 m, atau hampir setara 1.200 km. Maka jika 132.304 mobil tangki air tersebut berjejer, maka panjangnya akan setara dengan 1.200 km. Jarak ini setara jarak lurus dari Jakarta sampai dengan Sumbawa di Provinsi NTB.[2]
Lafazh akhraja (أخرج) berasal dari kata kharaja yang bermakna keluar. Lalu ketika berubah menjadi akhraja, makna nya sedikit bergeser menjadi : mengeluarkan.
Lafazh bihi (به) maknanya : dengannya. Dalam hal ini lafaz akhraja ditambahkan dengan lafazh bihi, sehingga maknanya menjadi : mengeluarkan dengan itu.
Makna secara keseluruhannya adalah bahwa dengan air hujan itu maka Allah SWT mengeluarkan tanaman atau menumbuhkannya sehingga bisa dinikmati hasil dari panen tanamannya.
مِنَ الثَّمَرَاتِ
Lafaz tsamarat dalam beberapa versi kitab terjemahan sering diterjemahkan dengan buah-buahan, baik terjemahan versi Kemenag, Quraish Shihab atau pun juga Buya HAMKA. Sebenarnya tidak salah terjemahan itu, namun dalam hal ini ada hal yang perlu sedikit diluruskan, yaitu harus dibedakan antara buah-buahan dengan apa yang dihasilkan oleh tanaman.
Contoh buah-buahan itu seperti pisang, mangga, rambutan, jambu dan sejenisnya, sebutannya dalam bahasa Inggris ada fruit, sedangkan dalam bahasa Arabnya disebut dengan fakihah (فاكهة) atau bentuk jamaknya fawakih (فواكه). Di dalam Al-Quran ada juga disebutkan buah-buahan dalam lafazh tersebut, antara lain :
فِيهَا فَاكِهَةٌ وَالنَّخْلُ ذَاتُ الْأَكْمَامِ
Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. (QS. Ar-Rahman : 11)
Sementara disebut tsamarat itu bisa luas maknanya dan tidak sebatas buah-buahan segar saja. Pendeknya apa saja yang dihasilkan dari tanaman, baik buahnya, kayunya, daunnya, akarnya, getahnya, minyaknya, termasuk juga batang dan rantingnya. Semuanya termasuk tsamarat.
رِزْقًا لَكُمْ
Semua yang dihasilkan dari tanaman itu merupakan rizki buat kamu, baik yang sifatnya makanan, pakaian, tempat tinggal atau apapun segala yang menjadi kebutuhan manusia.
Kalau kita khususkna rizki hanya pada urusan makanan, maka tumbuhan itu secara rantai makanan menjadi sumber makanan manusia. Sebab manusia memang berada pada hirarki tertinggi, posisinya di atas hewan dan apalagi tumbuhan.
Ketika Allah SWT menegaskan bahwa tumbuhan itu dijadikan rizki buat manusia, prakteknya bisa secara langsung atau pun tidak langsung. Secara langsung karena hasil dari tumbuhan jadi bahan makanan yang dikonsumsi secara apa adanya. Sedangkan secara tidak langsung hasil dari karena tumbuhan itu jadi makanan hewan, lalu hewannya jadi sumber rizki bagi manusia.
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ
Konsekuensi dari semua bentuk pemberian Allah SWT itu hanya satu, yaitu janganlah kamu menyembah Allah SWT namun sambilan juga menyembah tuhan-tuhan yang lain. Sikap seperti itu disebut dengan syirik, yaitu menyekutukan Allah SWT.
أَنْدَادًا
Lafazh andadan adalah bentuk jamak, bentuk tunggalnya adalah niddun (نِذّ) yang bermakna mitsl (مثل) yang disamakan atau disetarakan. Al-Mawardi menuliskan bahwa lafazh ini punya tiga makna yaitu akfa’ (أكفاء) atau yang disetarakan, asyhbah (أشباه) atau yang diserupakan dan adh-dad (أدضاض) atau yang dijadikan lawan.
Namun lafazh ini lebih sering diterjemahkan menjadi tandingan-tandingan selain dari Allah SWT. Dan wujudnya bisa bermacam-macam seperti patung, berhala, dewa, roh, setan, malaikat bahkan para nabi dan rasul pun sering dijadikan tandingan buat Allah SWT.
At-Thabari menuliskan bahwa ada riwayat dari Ibnu Masud terkait dengan siapakah yang dimaksud dengan tandingan. Dia adalah manusia yang ditaati dalam rangka maksiat kepada Allah (أكفاءً من الرجال تطيعونهم في معصية الله). [1]
Lafazh : ‘dan kamu tahu’ oleh sebagian mufassir dijelaskan begini : Sesungguhnya semua orang, baik musyrikin Mekkah atau Yahudi Madinah sudah tahu bahwa Allah SWT itu tidak ada tandingannya, maka janganlah pura-pura tidak tahu, agar jangan sampai nanti di akhirat repot bikin.