Kemenag RI 2019:(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah ) di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Prof. Quraish Shihab:(Ingatlah), ketika Tuhan Pemelihara kau berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan satu khalifah di bumi." Mereka (para malaikat) berkata: `Apakah Engkau hendak menjadikan di (bumi) .siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami (selalu) bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan Mu? Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Prof. HAMKA:Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat, "Sesungguhnya, Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah." Berkata mereka, "Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau?" Dia berkata, "Sesungguhnya, Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Lafazh idz (إذ) yang terdapat di antara huruf waw dan qaala dipahami oleh para ulama secara berbeda.
Abu Ubaidah mengatakan lafazh itu adalah shilah zaidah (صلة زائدة), yaitu penyambung yang sifatnya hanya tambahan saja dan sama sekali tidak mempengaruhi makna. Maknanya tetap sama ada atau tidak ada lafazh itu menjadi :"Dan ketika tuhanmu berfirman".
Namun pendapat lain mengatakan lafadz 'idz' disitu bukan shilah zaidah melainkan kalimah maqshurah (كلمة مقصورة) atau kata yang dikurangi. Dalam hal ini mereka katakan maknanya adalah : ingatlah ketika, sehingga makna secara utuhnya menjadi : "Dan ingatlah ketika tuhanmu berfirman".
Pendapat kedua inilah nampaknya yang dipilih oleh Team Penerjemah Kemenag RI, Prof Quraish Shihab dan juga HAMKA. Dalam terjemahan masing-masing ada kata '(ingatlah)' yang disisipkan meskipun diapit dengan tanda kurung yang mengandung makna meski tidak secara eksplisit.
لِلْمَلَائِكَةِ
Lafazh malaikat (ملائكة) adalah bentuk jamak dari malak (ملك). Namun ketika diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi malaikat, baik jumlahnya satu atau banyak tetap disebut malaikat.
Padahal kalau bahasa Arab bila jumlahnya hanya satu malaikat disebut malak. Kalau jumlahnya banyak, barulah disebut malaikat. Tapi dalam bahasa Indonesia tidak dikenal kata 'malak' yang maknanya satu malaikat, sehingga meski hanya satu tetap disebut malaikat. Kita terbiasa menyebut Malaikat Jibril, padahal jumlahnya hanya satu.
Kasusnya mirip istilah 'ikhwan' yang bermakna beberapa orang saudara laki-laki dan istilah 'akhawat' yang bermakna beberapa orang saudari perempuan. Secara salah kaprah ikhwan atau akhawat ini terlanjur dianggap satu orang.
Padahal kalau satu orang bukan ikhwan tetapi akh (أخ) dan akhawat melainkan : ukht (أخت). Maka ungkapan seorang ikhwan itu keliru, seharusnya seorang akh. Begitu juga keliru kalau menyebut seorang akhwat, yang benar seorang ukt. Mungkin karena dua kata ini sudah dianggap menjadi bahasa Indonesia, sehingga penggunaannya sudah tidak lagi mengindahkan kaidah tata gramatika bahasa Arab. Entah lah apakah sudah resmi jadi bahasa Indonesia atau belum.
Yang jelas kalau istilah malaikat memang sudah resmi jadi bahasa Indonesia. Tidak ada bedanya dalam bahasa Indonesia apakah hanya satu atau banyak, semua disebut malaikat. Bahkan kalau maksudnya menyebut banyak, lebih mudah digunakan istilah : para malaikat.
* * *
Secara asal-usul bahasa, malak dalam bahasa Arab maknanya adalah risalah (الرسالة) atau pengutusan. Malaikat adalah utusan-utusan Tuhan untuk berbagai fungsi.
Dan dalam beberapa ayat Al-Quran, ada disebutkan bahwa malaikat itu utusan Allah SWT, salah satunya seperti perkataan Jibril kepada Maryam :
Ia (jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci". (QS. Maryam : 19)
Secara umum, malaikat adalah makhluk Allah mulia dan teramat tinggi kedudukannya di depan semua makhluk Allah lainnya. Malaikat itu sangat taat kepada Allah dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Menjalankan semua perintah Allah tanpa banyak alasan.
Allah SWT menciptakan malaikat dari jenis makhluk ghaib yang kasat mata, namun atas izin Allah bisa berubah wujud menyerupai manusia yang teramat sempurna. Saking sempurnanya, para malaikat itu sampai tidak butuh makan, tidak perlu minuman bahkan tidak punya hawa nafsu.
Malaikat juga tidak berketurunan atau beranak pinak, meski pun begitu jumlah sangat banyak melebihi jumlah umat manusia. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Perlu diketahui bahwa para malaikat itu sudah Allah SWT ciptakan sejak jauh sebelum manusia diciptakan, namun sampai hari ini dan hari kiamat, tak satu pun dari malaikat yang jatuh sakit atau apalagi mati. Semuanya hidup terus sepanjang zaman (immortal) hingga akhir dunia nanti.
Selain itu juga ada hadits yang menggambarkan betapa banyaknya malaikat Allah :
Neraka Jahannam pada hari kiamat memiliki tujuh puluh ribu kendali, setiap kendali ditarik oleh tujuh puluh ribu malaikat.” (HR. Muslim)
Al-Bukhari meriwayatkan ketika Nabi Muhammad SAW bertanya kepada malaikat Jibril tentang Baitul Ma’mur, malaikat penyampai wahyu itu mengungkapkan:
“Ini adalah Baitul Ma’mur. Setiap hari tujuh puluh ribu malaikat shalat di sana dan yang telah shalat tidak lagi kembali sesudahnya.” (HR. Bukhari)
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ
Lafazh ja'ilun (جاعل) bermakna menciptakan namun juga bermakna menjadikan. Maksudnya dalam hal ini Allah SWT menciptakan Nabi Adam dari tidak ada menjadi ada dan sekaligus juga langsung menjadikannya Khalifah di bumi.
Boleh jadi seandainya Allah SWT hanya sekedar menciptakan Nabi Adam saja, para malaikat tidak akan mempertanyakan. Namun karena manusia langsung diposisikan sebagai Khalifah, maka wajar kalau dipertanyakan.
Lafazh fil Ardhi (في الأرض) secara umum maksudnya adalah di bumi. Namun dalam kenyataannya bukan hanya jadi Khalifah di bumi tetapi juga di depan semua makhluk Allah, termasuk hewan, jin dan setan.
Walaupun sebagian mufassir malah ada yang membatasi bahwa makna di bumi itu sebatas di Mekkah saja.
خَلِيفَةً
Lafazh Khalifah (خليفة) berasal dari kata khalafa yang makna dasarnya adalah orang yang berdiri di tempat orang lain. (القائم مقمام غيره).. Dalam bahasa Indonesia lebih sering diungkap sebagai : pengganti atau orang yang menggantikan.
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam : 59)
Kalau istilah 'khalifah' itu bermakna pengganti, bagaimana dengan makna khalifah sebagai pemimpin? Kenapa banyak pihak yang memahami Khalifah itu sebagai pemimpin? Atau setidaknya apa hubungan antara 'pengganti' dan 'pemimpin'.
Agak sulit juga menjelaskannya, namun ada ayat yang menyebut kata khalifah dan nampaknya dipahami oleh sebagian kalangan bermakna : penguasa.
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil. (QS. Shad : 26)
Dalam terjemahan Kementerian Agama RI kata khalifah itu diberi penjelasan dalam tanda kurung (penguasa). Hal sama persis juga dituliskan oleh Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, termasuk juga dalam Al-Quran dan Maknanya.
Namun dalam beberapa kitab tafsir makna khalifah tidak langsung dimaknai sebagai penguasa namun tetap bermakna sebagai pengganti.
Berikut kutipan dari beberapa kitab tafsir klasik :
1. Tafsir Jamiul Bayan : Ath-Thabari (w. 310 H)
يقول تعالى ذكره: وقلنا لداود: يا داود إنا استخلفناك في الأرض من بعد من كان قبلك من رسلنا
Allah SWT berfirman : Kami katakan kepada Daud,"Wahai Daud, Kami jadikan kamu sebagai pengganti dari para rasul sebelum kamu.
2. Tafsir Mafatih Al-Ghaib : Ar-Razi (w. 606 H)
جَعَلْناكَ تَخْلُفُ مَن تَقَدَّمَكَ مِنَ الأنْبِياءِ في الدُّعاءِ إلى اللَّهِ تَعالى
Kami jadikan kamu pengganti dari para nabi sebelum kamu dalam rangka doa kepada Allah SWT
Kami jadikan kamu (Daud) sebagai pengganti dari para nabi sebelum kamu yang menegakkan kebenaran.
Hal lain yang juga ikut menguatkan pergeseran makna dari pengganti menjadi penguasa adalah kemungkinan terbawa-bawa dari istilah yang digunakan untuk menggelari para shahabat yang menggantikan posisi Nabi SAW ketika wafat.
Nabi SAW itu adalah pemimpin umat Islam, ketika Beliau SAW wafat, umat Islam tidak lagi punya nabi dan pemimpin. Kalau kenabian tidak mungkin digantikan, maka kenabian pun kosong sampai hari kiamat. Sedangkan urusan kepemimpinan, tidak boleh terjadi kekosongan, tetap harus ada yang jadi pemimpin. Atau lebih tepatnya orang yang posisinya 'menggantikan' kepemimpinan Nabi SAW.
Sampai disini semoga mulai jelas hubungan antara penggantian dan kepemimpinan yang sama-sama menggunakan istilah khalifah.
Untuk mengisi kekosongan kepempimpinan itu lantas seluruh shahabat berijma' bahwa kedudukannya 'dikhalifahkan' oleh Abu Bakar. Saat itulah para shahabat menyebut Abu Bakar sebagai khalifah atau lebih lengkapnya khalifatu Rasulillah (خليفة رسول الله). Maknya jelas sekali yaitu : pengganti Rasulullah.
Maka jangan keliru bahwa sebenarnya makna asli kata 'khalifah' itu bukan pemimpin tetapi pengganti. Namun dalam kasus kosongnya kepemimpinan Nabi SAW, para shahabat yang menggantikan posisi Nabi SAW sebagai pemimpin lantas disebut Khalifah.
Makanya ketika dua tahun kemudian Abu Bakar wafat dan kedudukannya digantikan oleh Umar bin Al-Khattab. Umar pun awalnya disebut sbagai : khalifatu khalifati Rasulillah. Maknanya adalah pengganti dan pengganti Rasulullah. Namun karena dirasa sebutan itu agak kepanjangan, Umar minta agar disebut sebagai : Amirul mukminin saja dan bukan Khalifah. Sejak itu sebenarnya panggilan yang lebih baku adalah : Amirul Mukminin.
Tidak mungkin Utsman dan Ali disebut dengan khalifatu khalifati khalifati khalifati rasulillah.
Namun demikain tetap saja sebutan Khalifah banyak digunakan dan nampaknya sudah terlanjur mengalami pergeseran makna dari sekedar pengganti menjadi pemimpin.
Lebih jauh lagi kemudian ada saja pihak-pihak yang seolah-olah menyebut istilah khilafah sebagai sebuah model negara dan pemerintahan, dengan menghadap-hadapkannya dengan sitem negara dan pemerintah demokrasi. Seolah-olah keduanya saling bertentangan. Padahal kedua sistem itu berada di dalam dua timeline yang berbeda.
Seandainya syariat Islam memiliki bentuk baku tentang sistem negara dan pemerintahan, seharusnya Nabi SAW memerintahkan Raja An-Najasyi yang masuk Islam saat itu untuk mengubah bentuk dan model negaranya.
Padahal kita semua tahu meski An-Najasyi seorang raja dan masuk Islam, sama sekali Nabi SAW pernah memerintahkannya untuk mengubah sistem negara dan pemerintahannya. An-Najasyi tetap saja seorang raja dan tidak mengubah sebutan dirinya sebagai : khalifah.
Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri pun tidak pernah menyebut diri beliau sebagai khalifah. Dan tak seorang pun dari para shahabat yang menyapa Nabi SAW dengan sebutan : Wahai khalifah.
Kalau pun Nabi SAW pernah menyebut istilah khalifah, maksudnya jelas yaitu orang yang nantinya menggantikan posisi beliau sepeninggalnya.
Siapa Yang Digantikan Oleh Nabi Adam?
Apabila kita kembali kepada makna Khalifah yang asli yaitu pengganti, pertanyaannya adalah : Nabi Adam ini mau dijadikan Allah sebagai pengganti dari siapa?
Para ulama berbeda pandangan.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa dahulu di bumi ada bangsa jin yang hidup terlebih dahulu. Sayangnya mereka melakukan perbuatan kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Maka Allah membinasakan bangsa jin itu, sehingga Allah mengganti mereka dengan manusia.
Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa sesama anak keturunan Adam rebutan saling ingin menggantikan dengan sesama mereka dalam menegakkan kebenaran dan kepemimpinan bumi. Maka Allah kembalikan kepada Adam.
Ibnu Mas'ud berkata bahwa Adam dijadikan pengganti dari Allah SWT, dalam hal ini maksudnya menjadi wakil Allah dalam menjalankan hukum dan ketentuan di muka bumi.
Banyak para tokoh agama hari ini menyebut-nyebut istilah manusia adalah khalifatullah fil ardhi atau wakil Allah di muka bumi. Nampaknya ungkapan ini menggunakan pendapat Ibnu Masud radhiyallahuanhu.
Beberapa raja di tanah Jawa sebagiannya ada yang bergelar khalifatullah yaitu khalifah Allah. Amangkurat IV (1719-1724) tercatat sebagai sultan Mataram yang pertamakali menggunakan gelar khalifatullah. Konon untuk menegaskan eksisten raja-raja Jawa dari perwujudan dewa-dewa menjadi wakil Allah.
Ketika Mataram pecah jadi dua yaitu Solo dan Jogja, para raja di Solo menggunakan gelar Sunan dan raja di Jogja menggunakan gelar Khalifatullah. Namun di tahun 2015 Sultan Hamengkubowono X kemudian menghilangkan gelar Khalifatullah.
Makhluk Sebelum Adam : Antara Tafsir dan Mitos
Ketika sedang menuliskan tema tentang khalifah ini, perhatian Penulis tertumbuk pada Tafsir Al-Azhar karya Buya HAMKA. Cukup panjang lebar Beliau mengutip berbagai versi, termasuk dari kalangan Syiah.
1. Versi Syiah
Rupanya di kalangan Syiah ada semacam kepercayaan unik, bahwa sebelum era Nabi Adam kita, sudah ada beberapa Nabi Adam yang lain, konon jumlahnya sampai 30 orang Adam yang berbeda.
Antara satu Adam ke Adam lainnya berjarak sekitar 50.00 tahun. Buya HAMKA mengatakan bahwa penjelasan itu Beliau temukan di Tafsir Alusi, yang membicarakan kitab Jamiul Akhbar dari kalangan Syiah Imamiyah.
Versi yang lain, masih dari kutipan Tafsir Al-Azhar, disebutkan bahwa ada sejuta Adam sebelum Adam kita. Konon ini merupakan perkataan Imam Ja'far Ash-Shodiq, sebagaimana dikuitp oleh Buya HAMKA.
Buya HAMKA juga memuat adanya kepercayaan dogeng bangsa Persia kuno tentang adanya makhluk di muka bumi sebelum Adam, yaitu Himm dan Binn, namun ada yang bilang namanya Timm dan Rimm.
Setelah keduanya habis dimusnahkan, lalu datanglah era jin. Semua makhluk itu musnah sebab mereka rusak merusak dan bunuh membunuh.
Akhirnya menurut dongeng itu dikirimkanlah bala tentara Tuhan berupa pasukan malaikat yang dikepalagi oleh Iblis. Lalu jin itu diperangi sehingga musnah. Sisanya lari ke pulau-pulau dan lautan, kemudian barulah Allah SWT menciptakan Adam.
2. Versi Sufi
Di kalangan sufi pun ada juga legenda unik terkait makhluk sebelum Adam. Dalam kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah karya Ja'far Ash-Shodiq bahwa 40.000 tahun sebelum Nabi Adam, Allah SWT sudah menciptakan Nabi Adam yang lain.
Bahkan uniknya disebutkan bahwa selain alam kita ini, Allah SWT telah menciptakan 12 ribu alam lainnya. Masing-masing terdapat 7 langit dan 7 bumi.
مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا
Sudah dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya bahwa meskipun sering diterjemahkan sebagai berbuat kerusakan, namun maksudnya bukan merusak alam dan lingkungan sebagaimana yang diperjuangkan oleh para aktifis lingkungan.
Ayat Al-Quran yang turun di masa kenabian tentunya mengangkat isu-isu yang dikenal di masa itu. Tidak mungkin mengangkat isu yang belum dikenal di masanya, seperti penggundulan hutan, pencemaran air dan udara dengan limbah beracun, atau pun juga buang sampah sembarangan.
Kalau orang di masa sekarang mau mencocok-cocokkan silakan saja, tapi yang jelas jangan paksakan ayat Al-Quran dengan selera pribadi.
وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
Lafazh yasfiku (يسفك) maknanya menuangkan atau menumpahkan, sedangkan lafazh dima' (الدماء) bermakna darah, sehingga maknanya menjadi : menumpahkan darah. Namun yang dimaksud tentu saja bukan menumpahkan darah ke tanah secara teknis, melainkan merupakan ungkapan dari tindakan perang atau saling berbunuhan antara sesama manusia.
Dan ini adalah hal yang kekhawatiran oleh para malaikat setelah mereka mengkhawatirkan manusia berbuat kerusakan, alias melakukan dosa dan menentang Allah SWT.
Dan kekhawatiran itu pada akhirnya memang terbukti, ketika dua anak Adam, yaitu Qabil dan Habil saling berbunuhan. Allah SWT berfirman :
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. (QS. Al-Maidah : 30)
Itulah kasus pertumpahan darah pertama kali di tengah anak manusia. Itu pula yang sejak awal dikhawatirkan terjadinya oleh malaikat ketika Allah SWT berkehendak menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi.
نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ
Lafazh nusabbihu bi hamdika (نسبح بحمدك) secara bahas bermakna : bertasbih dengan memuji-Mu. Secara teknis yang disebut bertasbih itu mengucapkan lafazh-lafazh seperti : subhanallah.
Namun para mufassir agak berbeda pandangan ketika menyebutkan maksud dari bertasbih dalam ayat ini. Setidaknya ada tiga pandangan berbeda terkait makna musabbihu bihamdika
1. Pendapat Pertama
Makna tasbih adalah shalat, sehingga makna kalimatnya menjadi : "Kami melakukan shalat kepada-Mu". Dan ini pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhuma.
Meski pun makna aslinya bertasbih, namun yang dimaksud adalah melakukan shalat. Dan di antara bacaan dalam shalat adalah bertasbih.
Di dalam ayat lain juga disebutkan bahwa makna bertasbih adalah shalat, sebagaimana tertuang dalam ayat berikut
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ
Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk musabbihin (QS. Ash-Shaffat : 143)
Para ulama mengatakan bahwa musabbihin disini maknanya adalah orang-orang shalat.
2. Pendapat Kedua
Maknanya : Kami mengagungkan Engkau. Ini pendapat Mujahid.
3. Pendapat Ketiga
Maknanya : mengucapkan lafazh subhanallah seperti yang kita pahami secara umum. Di dalam hadits disebutkan :
Dari Abi Dzar bahwa Rasulullah SAW ditanya orang,"Ucapan apakah yang paling utama?". Beliau SAW menjawab,"Bacaan yang Allah SWT pilihkan untuk para malaikatnya yaitu : subhanallah wa bihamdih". (HR. Muslim)
Ketika Rasulullah SAW diisra'kan di malam hari, Beliau mendengar suara tasbih di langit yang tinggi berbunyi : Subhanal aliyyil a'la subahanhu wa ta'ala. (HR. Al-Baihaqi)
وَنُقَدِّسُ لَكَ
Lafazh nuqaddisu laka (نُقَدِّسُ لَكَ) berasal dari kata taqdis yang maknanya menurut para ulama berbeda-beda :
Ibnu Mas'ud : mengatakan maknanya adalah shalat kepada Allah
Ibnu Abbas : mengatakan maknanya mensucikan Allah dari najis dan kotoran.
Mujahid : mengatakan maknanya mengagungkan Allah dan membesarkan-Nya.
Muhammad bin Ishaq : mengatakan bertasbih itu tidak bermaksiat dan nuqaddis itu tidak melakukan hal yang makruh.
Dengan demikian tahulah kita bahwa para malaikat itu memang diciptakan Allah SWT dengan tugas utama yaitu bertasbih dan mensucikan Allah SWT, selain tugas-tugas tertentu yang rinci sebagimana yang telah Allah SWT tentukan.
Satu hal yang penting untuk dicatat bahwa ketika para malaikat menyebutkan amalan mereka, bukan dalam rangka pamer, ujub atau riya' di hadapan Allah. Sebab para malaikat tidak punya hawa nafsu untuk pamer-pamer amalan mereka.
Yang bisa pamer-pamer seperti itu manusia, karena manusia memang dibekali dengan hawa nafsu, sehingga beribadah hanya sedikit, tetapi mereka sudah banyak.
Sedangkan para malaikat ketika mengatakan bahwa diri mereka telah bertasbih dan mensucikan Allah hanya menyatakan bahwa biasanya secara sunnatullah perilaku mereka yang akan menjadi khalifah Allah di bumi, yaitu bertasbih dan mensucikan Allah. Sedangkan manusia dengan segala wewenang dan kebebasannya, boleh jadi tidak melakukan itu justru malah sebaliknya.
أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Lafazh inni a'lamu (إِنِّي أَعْلَمُ) maknanya adalah : Aku (Allah) mengetahui. Sedangkan lafazh maa laa ta'lamun (مَا لَا تَعْلَمُونَ) maknanya adalah : hal-hal yang tidak kamu (malaikat) ketahui.
Ungkapan ini sebenarnya merupakan tanggapan dari apa yang sebelumnya disampaikan oleh para malaikat, namun nampaknya kekhawatiran dan pertanyaan dari para malaikat tidak dijawab oleh Allah SWT secara tegak lurus, apakah ditolak atau dibenarkan. Tetapi seperti menjadi rahasia Allah SWT yang menjadi bagian dari taqdir masa depan dan kehendak-Nya.
Jawabannya seperti mengambang dan tidak secara tegas membenarkan atau menolak. Allah SWT hanya berkata bahwa Allah mengetahui apa-apa yang para malaikat tidak mengetahuinya. Namun apa yang dimaksud dengan 'para malaikat tidak mengetahuinya' dalam hal ini? Para ulama berbeda pendapat :
1. Pendapat Pertama
Sebagian mengatakan bahwa Allah SWT sedang bicara tentang masa depan, dimana tidak ada satu pun makhluk yang diberikan ilmu terkait masa depan. Kalau sekedar memprediksi, mungkin bisa saja, tetapi apakah semua pasti terjadi, tetap saja itu masih menjadi rahasia Allah SWT. Jawaban ini menunjukkan bahwa urusan prediksi masa depan, apapun bisa terjadi. Apakah seperti yang diprediksi oleh para malaikat, ataukah tidak seperti itu.
Pesan dari ungkapan ini bahwa kita tidak boleh mendahului taqdir, karena taqdir itu urusan Allah SWT saja. Boleh jadi apa yang diprediksi buruk ternyata berubah menjadi baik. Sebaliknya apa yang diprediksi baik, pada kenyataannya bisa berubah jadi buruk.
2. Pendapat Kedua
Jawaban ini bukan jawaban atas pertanyaan para malaikat, karena apa yang disampaikan para malaikat itu bukan pertanyaan dan bukan dalam rangka mempertanyakan. Malaikat mengungkapkan rasa ta'ajub bahwa Allah SWT menjadikan makhluk yang bisa menumpahkan darah sebagai khalifah.
Dan Allah SWT sedang mengomentari para malaikat untuk tidak usah takjub dengan kehendak-Nya itu. Sebab di balik semua itu pasti ada hikmah yang para malaikat tentu saja belum atau tidak diberi tahu.
Dan Allah SWT tahu bahwa tidak semua manusia akan melakukan tindakan menumpahkan darah dan berbuat kerusakan di bumi.
3. Pendapat Ketiga
Para malaikat itu memang bertanya, tapi bukan mempertanyakan tindakan dan rencana Allah SWT untuk menjadikan manusia sebagai khalifah. Namun para malaikat bertanya hikmah apa di balik rencana Allah SWT menjadi manusia akan berbuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah menjadi khalifah. Jadi pertanyan atas hikmah di balik yang Allah SWT rencanakan.
Dan jawabannya bahwa ada banyak hikmah yang nantinya para malaikat akan tahu, namun sementara ini mereka belum tahu dan belum diberi tahu.