Kemenag RI 2019:Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, Prof. Quraish Shihab:Mohonlah pertolongan (kepada Allah swt.) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Prof. HAMKA:Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya hal itu memang amat berat, kecuali atas orang-orang yang khusyu.
Lafazh isti'inu (اسْتَعِيْنُوا) merupakan fi'il amr, asalnya dari kata dasar ‘aun (عون) yang berarti pertolongan. Lalu kata itu ketambahan tiga huruf : yaitu hamzah, sin dan ta’ dengan wazan istaf’ala (استفعل), sehingga maknanya menjadi permintaan (thalab), yaitu minta tolong atau thalabul ‘aun (طلب العون).
Ayat ini kalau dikaitkan dengan surat Al-Fatihah ayat kelima yaitu (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) memang sangat erat hubungannya. Sebab kalau di dalam Al-Fatihah itu kita menyatakan kepada Allah SWT bahwa hanya kepada-Nya saja kita menyembah dan meminta pertolongan, maka di dalam ayat ini justru kita diberitahu teknis untuk mendapatkan pertolongan yaitu dengan mengerjakan shalat dan sabar.
Ada sementara kalangan yang mengatakan bahwa khitab ayat ini sudah tidak lagi kepada Bani Israil seperti pada ayat-ayat sebelumnya, namun perintahnya diarahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan para shahabat.
Pertanyaannya : dari mana kita mengetahui bahwa mukhatab atau yang diajak bicara bukan kalangan Yahudi Bani Israil, padahal pada ayat-ayat sebelumnya justru pembicaraan di arahkan ke mereka?
Jawabnya karena isi perintahnya bukan sekedar perintah mengerjakan shalat, tetapi menjadikan shalat dan sabar sebagai jalan untuk mendapatkan pertolongan. Dan tidak mungkin orang yang kafir sejak awal dan tidak percaya kepada Allah SWT diperintah tiba-tiba untuk menjadi shalat dan sabar sebagai jalan untuk mendapatkan pertolongan. Dan tidak mengapa bila tiba-tiba terjadi semacam pembelokan objek yang diajak bicara.
Walauun demikian, membuka kemungkinan bahwa mukhatab-nya termasuk juga kalangan Bani Israil sekalian, sehingga perintah menjadi shalat dan sabar sebagai sarana mendapatkan pertolongan dalam ayat ini berlaku untuk kaum Yahudi sekaligus juga untuk kaum muslimin.
Namun Al-Fakhurrazi dalam Mafatih Al-Ghaib menolak anggapan bahwa yang diajak bicara dalam hal ini bukan Bani Israil, dengan alasan bahwa ayat-ayat sebelumnya justru menegaskan bahwa yang sedang diajak bicara memang Bani Israil.
Sedangkan alasan bahwa Bani Israil itu tidak mengenal shalat, juga bukan alasan yang tepat. Sebab perintah shalat itu ada di semua agama samawi, hanya berbeda teknis dan tata caranya saja. Begitu juga dengan bersabar, juga merupakan ajaran semua agama samawi.
Sehingga kita tetap bisa menerima secara logis kalau Allah SWT memerintahkan Bani Israil untuk menjadikan shalat mereka dan kesabaran sebagai jalan untuk mendapatkan pertolongan.
الصَّبْرِ
Lafazh ash-shabru (الصبر) secara bahasa berarti menahan, atau lengkapnya adalah :
حَبْسُ النَّفْسِ عَمّا تُنازَعُ إلَيْهِ
Menahan diri atas apa yang menimpa
Namun para mufassir punya beberapa pandangan yang berbeda terkait dengan apa yang dimaksud dengan sabar dalam ayat ini.
1. Puasa
Sebagian ulama seperti Miujahid ada yang menafsirkan sabar dalam ayat ini maksudnya adalah puasa, sehingga perintah lengkapnya kita disuruh puasa dan shalat. Oleh karena itu sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qurtubi bahwa bulan Ramadhan disebut dengan bulan sabar, karena sabar itu maknanya adalah puasa.
Sufyan At-Tsauri meriwayatkan hadits yang menjelaskan bahwa puasa setengah dari sabar.
الصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ
Puasa adalah setengah kesabaran
2. Menahan Diri Dari Maksiat
Sebagian ulama lainya mengatakan bahwa sabar itu adalah menahan diri dari perbuatan maksiat. Pendapat ini mendasari perkataan mereka di atas atsar dari Umar bin Al-Khattab yang berkata :
Sabar itu ada dua macam. Pertama, sabar ketika mendapat musibah dan itu baik. Kedua, sabar dari mengerjakan perbuatan diharamkan Allah dan itu lebih baik.
وَالصَّلَاةِ
Lafazh shalat secara bahasa bermakna doa, sebagaimana firman Allah SWT di dalam ayat berikut :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.(QS. At-Taubah : 103)
Kalau kita menggunakan pendapat bahwa khitab ayat ini adalah kaum muslimin, maka yang dimaksud shalat dalam ayat ini adalah ibadah ritual lima waktu, yaitu Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh. Hal itu mengingat bahwa ayat ini turun di Madinah, setelah terjadi peristiwa Mi’raj yang pada intinya mewajibkan shalat lima waktu.
Namun apabila kita menggunakan pendapat bahwa yang sedangkan diajak bicara justru kalangan Yahudi Bani Israil, maka tentu saja shalat mereka tidak sama dengan shalat kita. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa mereka hanya melakukan shalat tiga waktu dalam sehari semalam, juga tidak mengenal sujud dan hanya berdiri serta ruku saja.
وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ
Lafazh kabirah (كبيرة) secara bahasa bermakna besar, namun menurut sebagian mufassir yang dimaksud adalah tsaqilah (ثقيلة) yaitu ibadah yang teramat berat untuk dikerjakan. Dalam Al-Quran ada beberapa kali Allah SWT menggunakan kata kabirah ini untuk menggambarkan sesuatu yang berat dikerjakan.
Misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 143 Allah SWT digambarkan betapa berat rasanya berpindah arah shalat dari Baitul Maqdis ke Masjid Al-Haram di Mekkah. Dalam hal ini ungkapannya sebagai berikut :
Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka (maka buatlah). (QS. Al-Anam : 35)
Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. Asy-Syura : 13)
Dan yang dimaksud dengan berat untuk dikerjakan dalam ayat ini tidak lain adalah ibadah shalat itu sendiri, karena Allah SWT menggunakan ungkapan kabirah yang konotasinya muannatats sehingga lebih tepat untuk mensifati lafazh shalat yang juga sama-sama muannats.
Walaupun ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa yang berat itu bukan hanya shalatnya, tetapi termasuk juga sabarnya juga ikut berat juga. Malahan buat sebagian kalangan, bersabar itu jauh lebih berat ketimbang hanya sekedar shalat.
Namun ada juga pendapat mufassir lain yang justru mengatakan bahwa yang berat itu bukan shalat dan juga bukan sabar, melainkan yang berat itu adalah bisa menerima agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Secara bahasa, kata khusyu' (خشوع) berasal dari kata khasya'a (خشع) yang artinya adalah as-sukun (السكون) : tenang dan at-tadzallul (التذلل) : menunduk karena merasa hina. Disebutkan dalam Al-Quran :
Telah beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang di dalam shalatnya khusyu'. (QS. Al-Mu'minun: 1-2)
Apabila kita buka kitab tasfir untuk mengetahui apa latar belakang turunnya ayat ini, kita dapati bahwa Rasulullah SAW dan beberapa shahabat sebelumnya pernah melakukan gerakan tertentu di dalam shalatnya, lalu diarahkan agar tidak lagi melakukannya. Bentuk arahannya adalah menerapkan shalat yang khusyu'.
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa dahulu Rasulullah SAW bila shalat mengarahkan pandangannya ke langit. Maka turunlah ayat: yaitu orang yang di dalam shalatnya khusyu'. Maka beliau menundukkan pandangannya. (HR. Al-Hakim)
Ibnu Mardawaih meriwayatkan bahwa sebelumnya beliau SAW menoleh saat shalat. Saad bin Manshur dari Abi Sirin meriwayatkan secara mursal bahwa beliau SAW sebelumnya shalat dengan memejamkan mata, lalu turunlah ayat ini. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan mursal bahwa para shahabat dahulu pernah shalat dengan memandang ke langit. lalu turunlah ayat ini.[1]
[1] Tafsir Al-Baidhawi hal. 451 dan Tafsir Al-Munir oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 18 hal. 10.