Kemenag RI 2019:Setelah itu, Kami memaafkan kamu agar kamu bersyukur. Prof. Quraish Shihab:Kemudian, sesudah itu Kami maafkan kamu, supaya kamu bersyukur. Prof. HAMKA:Kemudian telah Kami beri maaf kamu sesudah itu, supaya kamu bersyukur.
Lafazh 'afauna (عفونا) bermakna : Kami memberi maaf. Maaf adalah penghapusan dosa, baik setelah dijatuhkan hukuman ataupun tanpa adanya hukuman.
Lalu adakah perbedaan antara maaf dengan istilah lain yang berdekatan seperti ampunan (مغفرة)?
Banyak ulama yang membedakan kedua istilah ini, di antaranya Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H). Beliau menjelaskan perbedaan keduanya di dalam Al-Maqshid Al-Atsna hal 140, sebagai berikut :
Maaf itu menghapus dosa dan membebaskan pelakunya, dekat sekali maknanya dengan ampunan, namun lebih kuat. Karena ampunan itu sifatnya menutupi dosa, sedangkan maaf itu menghapus dosa. Menghapus itu jauh lebih kuat daripada sekedar menutupinya.
Hal yang cenderung sama juga dikatakan oleh Al-Fakrurazi dalam Tafsirnya Mafatih Al-Ghaib jilid 7 hal 124.
Maaf itu mengugurkan hukuman sedangkan ampunan itu menutupi dosa, sebagai perlindungan atasnya dari adzab.
مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ
Maksudnya setelah Bani Israil melakukan kesalahan fatal yaitu menyembah ijil (عِجْل) atau patung anak sapi yang terbuat dari emas.
Disebutkan bahwa patung anak sapi dari emas itu berasal dari emas perhiasan wanita-wanita Mesir yang dipinjam oleh wanita-wanita Bani Israil saat mereka meninggalkan Mesir. Emas perhiasan itu dilebur dan dibentuk oleh Samiri menjadi patung anak sapi.
Menurut ath-Thabari, emas-emas itu dipinjam dari gelang emas tanda perbudakan Bani Israil oleh penduduk asli Mesir. Keinginan Bani Israil menyembah patung anak sapi sebagai tuhan selain Allah ini adalah pengaruh dari kebiasaan mereka di Mesir dahulu.
Patung anak sapi yang disembah sebagai tuhan oleh Bani Israil itu, berupa patung anak sapi yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga jika ditiupkan angin ke dalamnya ia akan dapat bersuara. Suara dari patung anak sapi itu keluar adalah karena masuknya angin ke dalam rongga mulut dan keluar dari lubang yang lain, sehingga menimbulkan suara.
Hal ini dapat dibuat dengan memasukkan alat semacam pipa yang dapat berbunyi dalam rongga patung anak sapi itu. Jika pipa itu terembus angin, maka berbunyilah patung anak sapi itu seperti bunyi anak sapi sebenarnya. Karena hal seperti itu dipandang aneh oleh Bani Israil, maka dengan mudah timbul kepercayaan pada diri mereka bahwa patung anak sapi itu berhak disembah, sebagaimana halnya menyembah Allah.
Di dalam Surat Al-A'raf disebutkan secara lebih lengkap terkait patung anak sapi ini :
"Dan kaum Musa, setelah kepergian (Musa ke Gunung Sinai) mereka membuat patung anak sapi yang bertubuh dan dapat melenguh (bersuara) dari perhiasan (emas). Apakah mereka tidak mengetahui bahwa (patung) anak sapi itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan). Mereka adalah orang-orang yang zalim." (QS. Al-A'raf Ayat 148)
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Lafazh la'allakum (لَعَلَّكُمْ) sering diterjemahkan menjadi : 'semoga' atau 'agar supaya' yang intinya harapan.
Secara rasa bahasa, ungkapan semacam ini pantasnya diucapkan oleh manusia sebagai bentuk harapan akan terjadinya sesuatu di masa datang yang saat ini masih belum terjadi. Namun bagaimana kita terima kalau ungkapan harapan ini justru muncul dari perkataan Allah SWT sendiri? Masak sih Allah SWT berharap akan terjadinya sesuatu di masa mendatang? Bukankah Allah SWT tidak perlu berharap karena Dia Maha Kuasa?
Lagi pula di sisi lain, ada juga harapan Allah SWT sampaikan namun tidak pernah menjadi kenyataan. Misalnya harapan agar Fir’aun bisa mengambil pelajaran seperti dalam ayat ini :
Sungguh, Kami telah menghukum Fir‘aun dan kaumnya dengan (mendatangkan) kemarau panjang dan kekurangan buah-buahan agar mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf : 130)
Namun dalam kenyataannya harapan yang disebut oleh ayat ini ternyata tidak pernah terjadi, sebab Fir’aun dan rezimnya terus menerus melakukan kedurhakaan sehingga pada akhirnya mereka ditenggalamkan di laut Merah.
Oleh karena itulah ada sebagian ahli tafsir yang menanggapi masalah harapan di balik lafazh (لعل) sebenarnya merupakan perintah Allah SWT kepada yang sedang diajak bicara agar membuat harapan. Sehingga yang berharap pada dasarnya bukan Allah SWT, melainkan manusia. Jadi lengkapnya perintah itu sebagai berikut :
Wahai manusia, silahkah kamu mengharap agar dirimu bisa menjadi orang yang bertaqwa lewat cara mengerjakan ibadah.
Pakar tafsir dan bahasa Arab az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata (لعل) merupakan majaz dan bukan dalam arti harapan yang sebenarnya. Bahwa Allah SWT menciptakan hamba-hamba-Nya agar mereka menyembah-Nya sambil memberi mereka kebebasan untuk memilih. Dia menghendaki untuk mereka kebaikan dan agar mereka bertakwa.
Dengan demikian, mereka sebenarnya berada dalam posisi yang diharapkan memperoleh bersyukur tetapi dalam kerangka kebebasan memilih antara taat atau durhaka. Ini serupa dengan, situasi sesuatu yang belum jelas apakah ia terjadi atau tidak. Ketidakjelasan itu lahir karena adanya pilihan untuk yang bersangkutan apa memilih yang ini atau yang itu.
Betapapun, pada akhirnya kita dapat berkata bahwa tidak ada sesusatu yang merupakan harapan bagi Allah jika maknanya dikaitakan dengan ketidakpastian. Keyakianan setiap penganut agama tentang kemahaluasan pengetahuan Allah menjadi dalil yang sangat kuat untuk menghindarkan makna ketidakpastian itu dari kandungan makna la'alla bila pelakunya adalah Allah swt. Bila Anda telah menghindarkan makna itu, maka silahkan pilih makna yang Anda anggap tepat.