Kemenag RI 2019:(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, sesungguhnya kamu telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sembahan). Oleh karena itu, bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu. ) Itu lebih baik bagimu dalam pandangan Penciptamu. Dia akan menerima tobatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Prof. Quraish Shihab:Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku! Sesungguhnya kamu telah menganiaya diri kamu sendiri karena kamu telah menjadikan anak sapi (sebagai sembahan), maka bertaubatlah kepada Tuhan Yang menciptakan kamu dan bunuhlah diri kamu. ` Yang demikian itu lebih baik bagi kamu di sisi Tuhan Yang menciptakan kamu; maka Dia akan menerima taubat kamu. Sesungguhnya Dia, (dan hanya) Dia Yang Maha Penerima taubat, lagi Maha Pengasih. Prof. HAMKA:Dan, (ingatlah) seketika berkata Musa kepada kaumnya, "Wahai, kaumku! Sesungguhnya, kamu telah menganiaya diri kamu (sendiri) dengan kamu mengambil anak lembu itu; maka tobatlah kamu kepada Maha Penciptamu, dan bunuhlah diri kamu. ltulah yang lebih baik buat kamu pada sisi Maha Penciptamu, niscaya akan diberi-Nya tobat atas kamu;sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Penyayang."
Ayat ini diawali dengan lafazh wa idz (وَإِذْ) yang sudah dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya dan oleh banyak mufassir dimaknai menjadi : (dan ingatlah ketika). Maksudnya ingatlah nikmat Allah SWT yang lain selain yang sudah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya.
Secara hitungan, ini adalah bentuk kenikmatan nomor lima setelah sebelumnya Allah SWT telah menyebutkan beberapa kenikmatan-kenikmatan yang banyak, antara lain :
Dijadikan umat yang paling unggul : ( وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ)
Diselamatkan dari kejaran Firaun dan dibelah lautan untuk jalan menyeberang : (وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ)
Dimaafkan dari dosa menyembah patung anak sapi : (ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ)
Diberikan Taurat : (وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ)
لِقَوْمِهِ
Lafazh qaum (قوم) sering diterjemahkan dengan kaum atau umat. Maksudnya tidak lain adalah Bani Israil, khususnya yang ikut bersama Nabi Musa alaihissalam keluar dari negeri Mesir dan menyeberang menuju kembali ke tanah leluhur.
Makna kaum secara bahasa adalah kumpulan dari banyak orang baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan dalam hal ini kaum Nabi Musa merupakan keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak-anak. Jumlah mereka mencapai 60 ribu jiwa, semuanya anak keturunan Nabi Ya'qub, cucu Nabi Ibrahim alaihimussalam.
Namun sebagian kalangan ada juga yang mengatakan bahwa kadang Al-Quran membedakan antara laki-laki dan perempuan. Pada sebagian ayat, ketika Allah SWT menyebut kaum, terkadang yang dimaksud hanya mereka yang laki-laki saja dan tidak termasuk di dalamnya para wanita.
Hal itu dibuktikan ketika Allah SWT di dalam ayat lain menyebutkan qaum secara terpisah dengan penyebutan perempuan.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. (QS. Al-Hujurat : 11)
إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ
Lafazh zhalamtum (ظَلَمْتُم) dimaknai sebagai kamu telah melakukan kezhaliman. Kezhaliman itu bisa bermacam-macam bentuknya sebagaimana banyak diungkap dalam Al-Quran. Namun kezhaliman yang dimaksud dalam ayat ini tidak lain adalah ketika Bani Israil menjadikan patung anak sapi sebagai sesembahan disamping mereka juga menyembah Allah SWT.
Latar Belakang
Menarik untuk dipertanyaan, bagaimana Bani Israil yang baru saja diselamatkan Allah dari kematian kejaran Firaun, lalu bisa-bisanya malah melakukan dosa syirik dengan menyembah berhala?
Ada beberapa asumsi yang dikembangkan, antara lain karena memang sifat Bani Israil itu yang buruk. Namun tentu saja kita pun harus paham bahwa Bani Israil itu sendiri adalah keturunan para nabi dan rasul. Bahkan banyak menerima kitab suci dari langit.
Asumsi lain mengatatakan bahwa Bani Israil di Mesir pun cukup lama tidak kedatangan nabi dan kitab suci. Sehingga mereka pun hidup tanpa bimbingan samawi, lalu pastinya tidak bisa terlepas dari pengaruh budaya serta sosial ada juga pengaruh dari imbas dari kehidupan paganisme di Mesir pada waktu itu.
Sebagaimana kita tahu bahwa Bani Israil cukup lama hidup dan tinggal di Mesir, yaitu sejak zaman Nabi Yusuf alaihissalam menjadi pemegang ekonomi Mesir. Kurang lebih selama 400-an tahun lamanya. Dan masa selama itu sedikit banyak pastilah ikut mempengaruhi kepercayaan dan teologi yang dianut oleh bangsa Mesir.
Dan kita juga tahu bahwa bangsa Mesir pada masa itu memiliki sistem kepercayaan yang kompleks dan beragam, yaitu mereka mempercayai bahwa dewa-dewa memiliki peran dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak dewa seperti Ra, Osiris, Isis, dan Anubis. Sistem kepercayaan ini dipengaruhi oleh tradisi-tradisi purba dan filosofi, dan menjadi bagian integral dari budaya dan kebudayaan Mesir kuno.
Bimbingan Agama Belum Terlaksana
Bani Israil selama hidup di Mesir nampaknya belum sempat mendapat bimbingan agama. Ini bisa kita konfirmasi dengan belum diturunkannya Taurat kepada Musa ketika mereka masih di Mesir. Taurat itu baru diturunkan setelah Bani Israil melakukan eksodus keluar dari Mesir dan sampai di Gurun Sinai.
Jadi kalau ketika ditinggal oleh Nabi Musa bermunajat selama 40 malam mereka lantas terbuai dengan ajakan Samiri untuk menyembah patung anak sapi, boleh jadi karena mereka belum sempat mendapat bimbingan agama dengan baik.
Kalau hal seperti itu terjadi pada kita sekarang, yaitu diselamatkan dari kejaran Firaun, mana lah mungkin kita malah menyembah patung anak sapi? Hal itu karena kita ini sudah punya bekal bimbingan agama sejak kecil, sejak awal sudah diajarkan haramnya menyekutukan Allah.
باتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ
Deskripsi patung anak sapi buatan Bani Israil tidak tersedia dalam Alkitab atau sumber-sumber lain. Legenda patung anak sapi dalam Alkitab hanya menyebutkan bahwa patung itu adalah patung anak sapi emas dan digunakan sebagai simbol bagi Tuhan yang disembah oleh pengikut Nabi Musa.
Konsep dan bentuk patung tersebut tidak dijelaskan secara rinci dalam Alkitab, jadi kita tidak tahu bagaimana patung tersebut sebenarnya terlihat. Beberapa interpretasi modern menggambarkan patung itu sebagai patung anak sapi emas dengan ukiran-ukiran dan hiasan-hiasan, tetapi ini hanya sebuah interpretasi dan tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya.
فَتُوبُوا إِلَى
Lafazh fatuubuu (فَتُوبوُا) adalah bentuk fi'il amr yang bermakna perintah untuk bertaubat.
Makna Taubat
Makna taubat dalam bahasa Arab adalah arruju’ (الرجوع) yaitu kembali. Maksudnya kembali dari dosa-dosa.
Dan secara istilah di dalam kitab Kifayah At-Thalib Ar-Rabbani dan juga kitab Lisanul Arab, taubah itu didefinisikan sebagai :[1]
Kembali dari berbagai perbuatan yang tercela kepada perbuatan yang terpuji secara syariah.
Perintah bertaubat ini Allah SWT wajibkan kepada mereka yang telah terlanjur melakukan kesalahan besar, yaitu menyembah patung anak sapi yang terbuat dari emas.
Di dalam hadits nabi, apa yang mereka lakukan itu termasuk jenis dosa besar nomor satu, yaitu menyekutukan Allah SWT.
Jauhilah tujuh macam dosa yang bertingkat–tingkat (besar), diantaranya ialah : mempersekutukan Allah, sihir, membunuh diri yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita yang berimana yang tidah tahu menahu dengan perbuatan buruk dengan apa yang difitnakan kepadanya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kewajiban Segera Bertaubat
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk bersegera menuju kepada ampunan-Nya. Sebab yang namanya bertaubat itu adalah pekerjaan yang tidak boleh ditunda-tunda. Kita diperintahkan untuk bersegera menuju kepada ampunan dari Allah SWT, sebagaimana perintah-Nya di dalam Al-Quran :
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS. Ali Imran : 133)
Namun demikian, bila seseorang terlambat untuk bertaubat sejak masih muda, lalu ketika sudah renta, lemah dan sakit-sakitan, baru tergerak untuk bertaubat, tentu tetap masih ada kesempatan. Sebab pintu taubat belum lagi ditutup, selama ajal masih dikandung badan dan selama matahari belum terbit dari barat (kiamat). Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
Lafazh baari' (بارئ) bermakna Pencipta. Lalu apa perbedaan antara khaliq (خالق) dengan baari' (بارئ), padahal sama-sama bermakna : Pencipta?
Jawabannya bahwa bari' (بارئ) itu Pencipta menciptakan dari sesuatu yang tidak ada sama sekali, sedangkan khaliq (خالق) itu menciptakan sesuatu yang dengan bahan baku lain yang sudah ada, seperti menciptakan Nabi Adam alaihissalam dari tanah, menciptakan malaikat dari cahaya dan menciptakan jin dan setan dari api.
فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
Lafazh faqtuluu anfusakum (فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ) merupakan fi'il amr yang maknanya merupakan perintah untuk membunuh diri sendiri, sebagai bentuk ritual resmi dan ketentuan tata cara syar'i demi untuk bisa menebus kesalahan dan dosa syirik kepada Allah SWT.
Tentu saja perintah ini hanya berlaku kepada Bani Israil pada waktu itu saja dan sama sekali tidak berlaku buat umat Nabi Muhammad SAW. Sebab apapun alasannya, dalam syariat kita membunuh diri sendiri itu sama sekali tidak pernah dibenarkan, bahkan ancaman orang yang melakukan bunuh diri itu dipastikan mati masuk neraka dan tidak keluar lagi.
Al-Quran sendiri secara langsung telah mengharamkan tindakan seseorang yang membunuh dirinya sendiri.
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah : 195)
Selain Al-Quran, juga ada banyak hadits Nabawi yang mengharamkan tindakan membunuh diri sendiri.
Orang yang menjatuhkan dirinya dari atas gunung, berarti dia melempar dirinya masuk ke dalam neraka jahanam, kekal untuk selama-lamanya. (HR. Bukhari)
Dan masih banyak lagi dalil-dalil umum yang mengharamkan tindakan bunuh diri dalam syariat Nabi Muhammad SAW.
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ
Lafazh dzalikum (ذَٰلِكُمْ) dimaknai sebagai : 'hal yang demikian itu', maksudnya perintah untuk membunuh diri sendiri sebagai syarat untuk diterimanya taubatnya, merupakan hal yang lebih baik di sisi Allah. Allah SWT sendiri yang menyatakan bahwa itu adalah khairun lakum (خَيْرٌ لَكُمْ)
Pertanyaannya : bagaimana mungkin mati bunuh diri dianggap lebih baik kedudukannya di sisi Allah? Bukankah bunuh diri itu sebuah larangan dan kekeliruan yang harus dijauhi?
Jawabannya sebagai berikut :
Pertama, bahwa syariat yang berlaku pada setiap umat pastinya beda-beda. Apa yang diharamkan di satu umat, bisa saja menjadi boleh bahkan wajib di umat yang lain.
Kedua, perintah untuk membunuh diri pada dasarnya sama saja dengan hukuman mati yang ada di semua jenis agama dan peradaban. Perbedaannya hanya siapa yang melakukan eksekusinya. Dan untuk kasus ini para mufassir ramai-ramai mengatakan bahwa perintah bunuh diri itu hanya ungkapan saja, karena yang melakukan eksekusi tetap orang lain dan bukan diri sendiri.
Ketiga, bahwa meskipun mereka mati namun pada dasarnya bukan mati sia-sia, karena dianggap atau disetarakan dengan mati syahid yang mendapatkan jaminan masuk surga.
Keempat, meskipun perintah untuk membunuh diri itu berlaku pada Bani Israil yang sempat menyembah patung anak sapi, namun dalam kenyataannya Allah SWT menghentikan perintahnya ketika jumlah korbannya sudah mencapai 70 ribu orang.
فَتَابَ عَلَيْكُمْ
إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Allah SWT berkali-kali menyebut diri-Nya sebagai Maha Penerima taubat atas dosa-dosa hamba-Nya. Penyebutan itu ada yang dalam bentuk nama-Nya, atau sifat-Nya, atau pun perilaku-Nya.
Dalam ayat ini ada dua macam sifat Allah SWT yang disebutkan sekaligus, yaitu Maha Penerima tobat, dan Maha Pengasih. Hal ini merupakan isyarat tentang jaminan Allah kepada setiap orang yang bertobat menurut cara-cara yang tersebut di atas, bahwa Allah swt akan melimpahkan kepadanya kebajikan dan ampunan-Nya.
Syarat Diterima Taubat
Agar taubat bisa diterima Allah, maka harus memenuhi syarat-syaratnya, antara lain :
Menyesali dan meninggalkan segala kesalahan yang telah dilakukan.
Menjauhi dan tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan dan perbuatan-perbuatan semacam itu.
Mengiringi perbuatan dosa itu dengan perbuatan-perbuatan yang baik. Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda: Iringilah perbuatan jahat itu dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan dosanya. (Riwayat at-Tirmizi dari Abt Zarr)