| ◀ | Jilid : 1 Juz : 1 | Al-Baqarah : 65 | ▶ |
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Kemenag RI 2019: Sungguh, kamu benar-benar telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!”| TAFSIR AL-MAHFUZH | REFERENSI KITAB TAFSIR |
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ
Kalau pada ayat-ayat sebelumnya selalu diawali dengan lafazh wa idz (وإذ), maka di ayat ke-65 ini Allah mengawalinya dengan lafazh : walaqad alimtum (ولقد علمتم) yang maknanya : "Dan telah kamu ketahui".
Pertanyaannya : kenapa tiba-tiba berbeda lafazh pembukanya? Bukan kah isinya masih sama saja, yaitu mengingatkan kelompok Yahudi Madinah lewat kisah-kisah para leluhur mereka yang diberi Allah SWT bergitu banyak kenikmatan, namun banyak yang ingkar dan membangkang.
Banyak mufassir yang menjelaskan bahwa ketika Allah SWT mengingatkan kisah-kisah leluhur Bani Israil dengan dibuka menggunakan lafazh wa idz (وإذ), rupanya kisah-kisah itu memang terkonfirmasi di dalam kitab Taurat mereka.
Namun kisah yang terkandung dalam ayat ini, yaitu bagaimana Bani Israil dikutuk jadi kera, bukan di masa Nabi Musa namun di masa Nabi Daud. Maka kisahnya tidak sampai termuat di dalam Taurat. Nabi Daud alaihissalam diperkirakan hidup dua ratus tahun setelah masa Nabi Musa. Kalau Nabi Musa hidup pada abad ke-13 atau tepatnya wafat tahun 1.237 SM, maka Nabi Daud diperkirakan antara tahun 1040–970 SM.
Sehingga kisahnya tidak ada dalam Taurat, namun Al-Quran kemudian membuka kisah yang amat memalukan itu lewat beberapa ayat, yaitu selain ayat ini juga ada nanti diulang kembali di ayat yang lain.
Intinya, meskipun kisah dikutuk jadi kera itu tidak pernah tercantum dalam Taurat, namun ternyata Nabi Muhammad SAW mengetahui kisah itu. Padahal Bani Israil mendapatkan kisah leluhur mereka secara lisan dan turun temurun, tidak pernah tertuang dalam lembar kitab suci.
Kalau sampai seorang Muhammad yang bukan bagian dari Bani Israil serta tidak paham bahasa kitab Taurat yaitu bahasa Ibrani itu tiba-tiba bisa tahu kisah itu, maka ini merupakan bagian dari mukjizat Nabi SAW yang luar biasa. Bani Israil pasti dibuat kebingungan ketika tiba-tiba Nabi SAW tahu banyak kisah leluhur mereka yang pernah dikutuk menjadi kera.
الَّذِينَ اعْتَدَوْا
Lafazh i'tadaa (اعتدى) bermakna : melampaui batas-batas hukum yang telah ditetapkan. Dan di tiga terjemahan sama-sama diterjemahkan sebagai : pelanggaran. Asal katanya dari aduwwun (عدو) yang bermakna musuh.
Dan bentuk pelanggarannya adalah dengan 'menangkap ikan' di hari Sabtu yang sesungguhnya amat terlarang dalam syariat mereka. Walaupun sesungguhnya mereka tidak secara langsung melakukannya. Konon mereka membuat tambak dengan menggali tanah biar pada air yang mengalir masuk terbawa pula ikan-ikannya.
Memang secara logika fiqih di masa kita, tehnik semacam itu seharusnya tidak terkena delik hukum, sebab pada hari Sabtu mereka benar-benar datang ke rumah ibadah dan menjalankan seluruh ritualnya dengan khidmat dan khusyu'.
Adapun ikan-ikan itu bisa masuk dan terjebak dengan sendirinya ke tambak-tambak yang mereka gali, jelas-jelas atas kemauan dari para ikan sendiri dan bukan tangan mereka yang menangkapnya.
Namun dalam syariat mereka, hilah semacam ini dianggap sebagai bentuk 'mengakali' hukum yang fatal dan menadatangkan murka dari Allah SWT.
فِي السَّبْتِ
Banyak orang salah duga dikira makna Sabtu itu tujuh, karena nama-nama hari memang diambil dari angka. Hari Ahad itu hari ke satu. Lalu hari kedua adalah Senin, itu berasal dari itsnain yang artinya dua. Hari ketiga adalah Selasa, dari bahasa Arab yaitu Tsulasa' yang artinya tiga. Rabu dan Kamis masing-masing dari kata arba'ah yang artinya empat dan khamsah yang artinya lima.
Lalu hari Jumat bukan representasi dari angka, tetapi maksudnya hari berkumpulnya orang-orang.
Dan Sabtu yang jadi titik pembahasan, dikira orang Sabtu itu artinya tujuh, padahal tujuh itu sab'ah. Lalu Sabtu itu apa artinya?
Ternyata Sabtu itu diambil dari bahasa Ibrani, yang maknanya : istirahat.
Konon dalam Taurat disebutkan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dalam 6 hari, lalu di hari ketujuh dia berhenti dan istirahat.
Lalu dijadikanlah hari itu hari khusus bagi Bani Israil untuk beribadah dan dilarang untuk melakukan hal-hal yang bersifat duniawi, termasuk bekerja mencari nafkah.
Maka diceritakanlah sebuah desa di tepi pantai yang penghasilan mereka dari menangkap ikan. Selama enam hari dalam seminggu mereka mencari ikan, tapi khusus sehari dalam seminggu mereka dilarang mencari ikan, yaitu hari Sabtu.
Jadi kesimpulannya bahwa makan Sabtu itu istirahat dan bukan hari ketujuh. Memang ada kemiripan dengan bahasa Sansekerta yaitu Sapta berarti tujuh. Namun ketika kita menyebut hari Sabtu, sebenarnya kita merujuk ke hari Sabat milik Bani Israil.
وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ
Lafazh fadhdhaltukum (فضلتكم) berasal dari kata (فَضّلَ - يُفَضِّلُ) yang punya beberapa makna, diantaranya bermakna melebihkan dan juga memuliakan. Maksudnya bahwa Allah SWT melebihkan derajat Bani Israil di atas bangsa-bangsa yang lainnya. Buya HAMKA dalam tafsirnya menerjemahkan ayat ini menjadi : Aku telah pemah memuliakan kamu atas bangsa-bangsa.
Namun ayat ini secara tidak langsung bertentangan dengan beberapa ayat lain, khususnya yang terkait dengan keunggulan umat Nabi Muhammad SAW yang juga disebut-sebut sebagai umat yang terbaik. Misalnya ayat berikut :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran : 110)
Maka untuk menengahinya, para ulama mengajukan beberapa alternatif jawaban :
1. Terbaik Ukuran Zamannya
Bahwa Bani Israil disebut sebagai umat terbaik kalau diukur dari zamannya, yaitu sebelum datangnya era kenabian Muhammad SAW. Sedangkan setelah kenabian Muhammad SAW, maka Allah SWT sendiri yang menetapkan bahwa umat terbaik adalah umat Nabi Muhammad SAW, khususnya pada tiga generasi awal dari umat ini.
2. Terbanyak Punya Nabi dan Kitab Suci
Sebagian kalangan mengatakan bahwa umat terbaik adalah Bani Israil karena mereka paling banyak punya nabi dan kitab suci. Itu kalau dibandingkan dengan umat lainnya yang kadang malah tidak ada seorang nabi pun yang diutus kepada mereka.
Dan kalau ukurannya adalah banyaknya nabi yang diutus, tentu saja juaranya adalah Bani Israil, sebab bangsa Arab hanya punya satu orang nabi saja. Pendapat ini menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar hujahnya :
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain". (QS. Al-Maidah : 20)
3. Yang Terbaik Hanya Sebagian Saja
Pendapat yang lain lagi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan umat terbaik bukan seluruh Bani Israil, tetapi hanya mereka yang benar-benar beriman saja. Sedangkan yang tidak beriman atau malah membangkang serta memusuhi nabi hingga membunuhnya tidak termasuk bagian dari umat terbaik.
Sebab Al-Quran sendiri yang menunjukkan kejelekan sifat mereka, hingga sampai ada yang dikutuk berubah menjadi monyet, babi dan bahkan menjadi penyembah berhala.
مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ ۚ أُولَٰئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?". Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah : 60)
Dan tidak sedikit dari mereka yang malah membunuh para nabi yang Allah SWT kirimkan.
أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَىٰ أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ
Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (QS. Al-Baqarah : 87)
Ibnul Qoyim menyebutkan dalam kitab Hidayah al-Hayara fi Ajwibati Al-Yahud wa An-Nashara bahwa Bani Israil pernah membunuh 70 nabi dalam sehari. Berikut petikannya :
وأما خلفهم فهم قتلة الانبياء قتلوا زكريا وابنه يحي وخلقا كثيرا من الانبياء حتى قتلوا في يوم سبعين نبيا واقاموا السوق في آخر النهار كأنهم لم يصنعوا شيئا
Sementara generasi yang datang setelah Musa, mereka adalah pembunuh para nabi. Mereka membunuh Zakariya dan putranya nabi Yahya dan banyak nabi-nabi yang lainnya. Hingga dalam waktu sehari mereka membunuh 70 nabi, lalu mereka mengadakan pasar di sore hari, seolah-oleh mereka tidak berbuat kesalahan apapun.[1]
4. Yang Terbaik Adalah Leluhur Mereka
Yang dimaksud dengan umat terbaik adalah orangtua dan leluhur Bani Isra'il di masa kenabian Musa ‘alaihissalam. Di antaranya yang jelas-jelas orang baik adalah 70 orang para pengikut setia Beliau yang diajak bermunajat ke atas gunung Thursina.
وَاخْتَارَ مُوسَىٰ قَوْمَهُ سَبْعِينَ رَجُلًا لِمِيقَاتِنَا
Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan". (QS. Al-Araf : 155)
Sedangkan kelompok-kelompok Yahudi yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW kebanyakannya malah jadi penentang dakwah. Hanya sebagian kecil saja yang sampai beriman dan memeluk agama Islam. Di antara orang-orang Yahudi yang memeluk Islam dan menjadi sahabat, ada beberapa tokoh yang dikenal, antara lain:
1. Abdullah bin Salam
Lengkapnya Beliau bernama Abdullah bin Salam bin Al-Harits, seorang Yahudi dari klan Bani Qainuqa’, masih berada di garis keturunan Nabi Yusuf alaihissalam. Kun-yah Beliau adalah Abu Yusuf. Menguasai Taurat dan menjadi pemimpin komunitas Yahudi di Madinah.
Ketika mendengar tentang kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Madinah, ia pergi menemui Nabi SAW dan memeluk Islam. Abdullah bin Salam adalah salah satu sahabat yang setia dan membela Islam.
Dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala’, Adz-Dzahabi menyebutnya sebagai Imamul Habr, orang yang disaksikan masuk surga, dan termasuk shahabat Nabi SAW yang unik. Tentang kabar masuk surganya ada hadits riwayat Muadz bin Jabal tentang Beliau :
إِنَّهُ عَاشِرُ عَشْرَةٍ فِي الجَنَّةِ
Dia adalah orang kesepuluh dari 10 orang yang dikabari masuk surga (HR. Tizmizy)[2]
Banyak mufassir yang menyebutkan bahwa secara khusus Allah SWT menyebutkan Abdullah bin Salam dalam ayat ini :
قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كَانَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَكَفَرْتُمْ بِهِ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ مِثْلِهِ فَآمَنَ وَاسْتَكْبَرْتُمْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al Quran itu datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang tersebut dalam) Al Quran lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (QS. Al-Ahqaf : 10)
2. Shafiyyah binti Huyayy
Selain Abdullah bin Salam, orang yahudi yang masuk Islam adalah salah satu istri Nabi SAW yaitu Safiyyah binti Huyayy bin Akhthab. Beliau masih keturunan Nabi Harun alaihissalam, dan di Madinah termasuk klan Bani Nadhir.
Sebagai istri Nabi SAW, maka kedudukan Shafiyyah sangat tinggi di tengah masyarakat Madinah kala itu, karena bergelar ibu dari orang beriman (ummul mukminin).
Pasca perang Khandaq, Shafiyah menjadi salah satu tawanannya kaum muslimin. Awalnya Shafiyah dijadikan budak oleh seorang shahabat.
Namun setelah mendengar bahwa Shafiyah puteri Huyay bin Akhthab, pemimpin tertinggi Bani Nadhir yang pernah terusir dari Madinah dan bergabung dengan Yahudi Khaibar lantas dieksekusi mati, maka Nabi SAW pun merasa iba pada nasib puteri dari musuh bebuyutannya. Maka Nabi SAW pun menawarkan kepada Shafiyah agar mau masuk Islam agar bisa dibebaskan dari perbudakan serta dimuliakan kedudukannya di tengah kaum muslimin.
Shafiyah pun menerima tawaran Nabi SAW untuk masuk Islam. Dan Nabi SAW kemudian memenuhi janjinya, Shafiyah dibebaskan dan menjadi wanita merdeka. Bahkan kemudian Nabi SAW melamarnya untuk dijadikan sebagai istri dan menjadi wanita mulia di Madinah dengan status ummul mukminin.
3. Ka’ab Al-Ahbar
Orang yahudi lain yang masuk Islam adalah Ka’ab Al-Ahbar. Sebenarnya dia bukan termasuk level shahabat, karena masuk Islamnya agak telat yaitu setelah Nabi SAW wafat dan baru mengikrarkan dua kalimat syahadat di masa pemerintahan Umar bin Al-Khattab radhiyallahanhu.
Beliau asalnya dari kelompok Yahudi yang menetap di negeri Yaman. Sudah mendengar kabar tentang Nabi Muhammad SAW, namun belum sempat bertemu langsung. Nabi SAW sudah wafat ketika akhirnya Ka’ab memutuskan untuk hijrah ke Madinah dan masuk Islam.
Namun demikian, Ka’ab adalah seorang pakar dan ulama di kalangan Yahudi. Ada begitu banyak ayat Al-Quran yang Beliau komentari, khususnya apabila terkait dengan urusan keyahudian.
Sumbangsihnya dalam memberikan tafsir atas ayat-ayat Al-Quran cukup besar, meskipun termasuk jenis tafsir israiliyat yang masih harus dipastikan dulu kebenarannya. Dan banyak yang sudah dipastikan kebenarannya, sehingga kita sebagai kaum muslimin bisa menjadikan apa yang dijelaskan Beliau sebagai rujukan dalam tafsir. Khususnya yang menyangkut kisah-kisah Bani Israil di masa lalu.
Itulah kisah para shahabat yang asalnya dari kalangan Yahudi. Sayangnya kita tidak menemukan lebih banyak lagi kisah yang menyebutkan masuk Islamnya orang-orang yahudi di masa kenabian. Padahal jumlah mereka cukup besar dan sempat mendominasi Madinah. Kebanyakan kelompok Yahudi ikut kepada para pemimpin dan pendeta mereka. Kalau pemimpin dan pendetanya tidak mau masuk Islam dan memilih jalan konfrontasi, maka semuanya ikut-ikutan saja.
Wajar kalau Allah SWT menyebut bawah orang-orang Yahudi itu menyembah para rahib dan pendeta mereka, sebagaimana tertuang dalam ayat berikut :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At-Taubah : 31)
Orang yahudi amat sangat taat kepada penguasa mereka, sudah seperti orang beribadah kepada tuhan yang sesungguhnya. Tetapi lucunya ketika Abdullah bin Salam yang juga termasuk petinggi kalangan Yahudi Bani Qainuqa’ menyatakan diri masuk Islam, para pemelum Yahudi khususnya anggota suku Bani Qainuqa’ tidak lantas mau ikut masuk Islam.
Justru sebaliknya malahan Abdullah bin Salam mereka caci-maki dan mereka cemooh, padahal yang mencemooh justru mantan-mantan muridnya sendiri. Sayangnya mereka tetap ngotot mempertahankan agama nenek moyang mereka.
[1] Ibnul Qayyim, Hidayah al-Hayara fi Ajwibati Al-Yahud wa An-Nashara, hlm. 19
[2] At-Tirmizy, Sunan At-Tirmizy, jilid 6 hal. 147
فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا
Lafazh faqulna lahum (فقلنا لهم) secara bahasa berarti : "Kami berkata kepada mereka". Namun yang dimaksud dengan berkata disini tentu saja bukan dalam arti berdialog dengan mereka. Perkataan Allah SWT itu merupakan perintah Allah SWT kepada makhluk-Nya seperti ketika berkata (كن فيكون) : "Jadilah, maka jadilah dia".
Dan sebagaimana perintah Allah SWT kepada api untuk berubah menjadi dingin :
يا نار كوني بردا وسلاما على إبراهيم
Wahai api, menjadi dingin lah kamu dan keselamatan bagi Ibrahim.
Perkataan Allah SWT kepada mereka pun merupakan perintah yang sifatnya mengubah wujud mereka dari manusia menjadi wujud lain yaitu kera-kera yang hina.
Lafazh kuunuu (كونوا) merupakan fi'il amr dari (كان - يكون) yang artinya : "Jadilah kamu". Memang demikianlah salah satu teknik Allah SWT dalam menciptakan makhluk, ada yang dengan cara proses seperti penciptaan alam semesta yang memakan waktu 6 hari, juga penciptaan manusia lewat proses pembuahan janin dalam perut ibu, lalu tumbuh membesar dan melahirkan bayi.
Namun ada juga dengan cara singkat dan sekejap, dimana Allah SWT cukup memerintahkan saja dengan kata-kata, maka apa yang diperintahkan itu segera terjadi. Berbagai mukjizat yang sudah diceritakan dalam surat Al-Baqarah ini, seperti mengubah tongkat kayu menjadi ular atau membelah lautan, ada sebagian dari cara Allah SWT dalam mencipta. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surat Yasin :
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. Yasin : 82)
Maka urusan mengubah manusia secara biologis menjadi kera tentu saja bukan hal yang sulit bagi Allah. Sebab tongkat yang terbuat dari kayu saja bisa langsung berubah menjadi ular besar. Apalagi sekedar menurunkan level dari manusia menjadi kera, tentu sebuah hal yang simple dan sederhana bagi Allah SWT.
Para ulama mengatakan perintah untuk menjadi kera itu diarahkan kepada jasad atau tubuh manusia dan bukan kepada jiwanya. Sebagai bagian dari makhluk Allah, tubuh manusia pun menuruti semua perintah Allah SWT, apapun yang diperintahkan. Tentu saja bukan karena tubuh manusia itu saksi dan punya kekuatan ghaib, melainkan karena Allah SWT yang menciptakan tubuh itu yang mengubahnya dari wujud manusia menjadi wujud kera.
Dan urusan ubah-mengubah makhluk dari satu wujud ke wujud yang lain bagi Allah SWT adalah hal yang teramat mudah, semudah kita mengatakannya, semudah itu pula Allah SWT melakukannya.
قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Lafazh qaradatan (قِرَدَةً) bermakna kera. Kera adalah jenis makhluk Allah yang dalam beberapa hal cukup mirip dengan manusia, namun tetap punya perbedaan yang teramat jauh dengan manusia. Secara biologis, terdapat beberapa persamaan antara manusia dan kera, antara lain misalnya :
Keduanya termasuk dalam kelompok primata, dengan ciri khas seperti jari yang dapat memegang, mata yang menghadap ke depan, dan otak yang berkembang.
Keduanya memiliki sistem saraf yang kompleks dan dapat belajar melalui pengalaman.
Keduanya memiliki kemampuan untuk memproses informasi dan memecahkan masalah.
Keduanya memiliki kemampuan untuk merasakan emosi dan menunjukkan perilaku sosial.
Namun baik kera maupun manusia punya perbedaan yang amat mendasar, sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa manusia bisa berubah wujud menjadi kera atau sebaliknya, kecuali semata-mata hanya karena mukjizat dan kekuasaan Allah SWT semata. Setidaknya kita menemukan fakta secara saintifik bahwa kera dan manusia itu teramat jauh berbeda, dari beberapa sisi, antara lain :
Anatomi dan Morfologi : Manusia memiliki postur tubuh yang lebih tegak dan lebih langsing, memiliki bentuk kaki dan tangan yang khas, dan memiliki struktur wajah yang berbeda dari kera. Otak manusia juga lebih besar dibandingkan dengan kera.
Kemampuan Berbicara: Manusia memiliki kemampuan unik untuk berbicara, dengan menggunakan alat bicara dan bahasa yang kompleks dan fleksibel. Kera hanya dapat mengeluarkan suara-suara tertentu dan tidak memiliki kemampuan untuk berbicara atau menggunakan bahasa seperti manusia.
Kemampuan Berpikir: Manusia memiliki kemampuan untuk memproses informasi secara kompleks, memecahkan masalah, dan memiliki kecerdasan emosional. Sementara itu, kera memiliki kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan memecahkan masalah sederhana, tetapi tidak sekompleks manusia.
Perbedaan Genetik: Manusia memiliki perbedaan genetik yang signifikan dengan kera, yang mencerminkan sejarah evolusi yang berbeda. Misalnya, manusia memiliki jumlah kromosom yang berbeda dengan kera, serta perbedaan genetik dalam struktur DNA.
Apakah Perubahan Ini Hakiki atau Majazi?
Kalau kita renungkan kutukan Allah SWT kepada Bani Israil ini memang teramat dahsyat bahkan masuk ke level sangat di luar nalar dan logika. Bagaimana mungkin orang sekota tiba-tiba berubah jadi kera? Selain sulit diterima akal sehat, bukan kah manusia itu sudah berada pada posisi yang paling tinggi dan sempurna? Bagaimana mungkin manusia kemudian diubah jadi kera? Apakah setelah jadi kera mereka jadi tidak akan dihisab di hari kiamat, karena hanya manusia saja yang nanti akan dihisab, sedangkan hewan itu aman-aman saja tidak ada hisab bagi mereka.
Oleh karena itu dalam tafsir klasik kita temukan ada juga sebagian ulama yang menafsirkan ayat ini bukan secara hakiki tapi secara majazi, walaupun mayoritas ulama meyakini perubahan manusia jadi kera itu fakta dan hakiki sifatnya.
1. Pendapat Mayoritas : Kejadian Nyata
Mayoritas ulama termasuk di antaranya Ibnu Abbas radhiyallahuanhu mengatakan bahwa tubuh mereka benar-benar diubah dari wujud manusia menjadi beruwjud kera lengkap dengan ekor, bulu dan ukurannya.
Namun secara status mereka tetap manusia, yaitu tetap akan dihisab nanti di hari kiamat untuk mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya. Jadi yang berubah itu hanya tubuh biologisnya saja, sedangkan isi dan jiwanya tetap jiwa manusia. Boleh dibilang mereka itu manusia berpenampilan kera.
Kalau dalam budaya kita mungkin akan dikatakan mereka itu adalah siluman, setengah manusia dan setengah hewan. Namun tanpa kesaktian atau kekuasan apapun, sebab mereka pada dasarnya sedang menjalani hukuman sementara sebelum Allah SWT matikan mereka semuanya.
2. Pendapat Mujahid : Perilaku Kera
Mufassir besar bernama Mujahid dalam hal ini punya pandangan agak berbeda. Menurutnya kutukan Allah SWT kepada Bani Israil itu sifatnya majazi dan bukan hakiki. Dalam pandangan Beliau, tubuh mereka tidak berubah tetap sebagai manusia dan tidak berubah menjadi tubuh kera. Yang Allah SWT ubah hanya sebatas perikalku atau jiwanya saja yang disamakan dengan sikap dan perilaku kera. Sehingga kalau menurut mendapat ini, secara fisik tubuh mereka tetap tubuh manusia biasa.
Kalau dalam bahasa kita, ini semacam penghinaan yang sifatnya sarkastik seperti makian kasar,"Ah, dasar moyet kau!!!".
Dikatakan monyet itu bukan berarti tubuh orang berubah jadi monyet. Karena itu ungkapan hinaan, makian dan cemoohan di level ekstrim yang keluar dari Allah SWT kepada makhluk-Nya yang kurang ajar dan keterlaluan. Sudah tidak pantas lagi sekedar disindir atau diingatkan, tapi sudah buuth makian dan hinaan yang kasar.
Mujahid mendasarkan tafsirannya ini dengan mengacu kepada ayat lain dimana Allah SWT pernah juga mempersamakan Bani Israil dengan keledai, sebagaimana yang bisa kita baca dalam surat Al-Jumuah ayat 5 :
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا ۚ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. Al-Jumuah : 5)
Jawaban Jumhur Ulama
Namun kebanyakan ulama sepakat bahwa tubuh mereka memang dikutub berubah jadi kera, sebab kisahnya bukan hanya sekali ini saja diceritakan dalam Al-Quran, namun Allah SWT berkali-kali menceritakan peristiwa dimana manusia diubah menjadi kera. Selain ayat ini kisah ini kita temukan dalam ayat lain seperti :
1. Surat Al-Maidah
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَٰلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ ۚ أُولَٰئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?". Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah : 60)
2. Surat Al-A'raf
فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina. (QS. Al-Araf : 166)
Mungkinkah Ada Manusia Keturuan Kera?
Ada sebagian orang yang bertanya, kalau ada orang satu kampung dihukum semua berubah jadi kera, lalu mungkin kah pada hari ini kita temukan keturunan mereka? Apakah anak-anak mereka tetap menjadi kera ataukah kembali lagi menjadi manusia tetapi menyandang status sebagai keturunan kera?
Jawabannya bahwa mereka tidak pernah punya keturunan, karena setelah berubah jadi kera, tiga hari kemudian semuanya mati tak bersisa. Intinya mereka dihukum mati oleh Allah SWT, namun sebelum dieksekusi mati, sempatlah mereka dipermalukan dulu selama tiga hari dengan cara diubah tubuh mereka menjadi monyet.
Dengan demikian tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa bangsa tertentu adalah keturunan dari kera, sebab Allah SWT sudah mematikan mereka semua dan tidak ada satu pun yang punya keturunan. Ada hadits yang menjelaskan hal itu :
لَمْ يُهْلِكِ اللَّهُ قَوْمًا أوْ يُعَذِّبْ قَوْمًا فَيَجْعَلَ لَهم نَسْلًا
Tidak lah Allah memusnahkan suatu kaum atau menurunkan adzab dengan melahirkan keturunan.