| ◀ | Jilid : 1 Juz : 1 | Al-Baqarah : 66 | ▶ |
فَجَعَلْنَاهَا نَكَالًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ
Kemenag RI 2019: Maka, Kami jadikan (yang demikian) itu sebagai peringatan bagi orang-orang pada masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.| TAFSIR AL-MAHFUZH | REFERENSI KITAB TAFSIR |
فَجَعَلْنَاهَا نَكَالًا
(فَجَعَلْنَاهَا نَكَالًا)
Lafazh faja’alnaa-ha (فجعلناها) artinya : “Maka Kami jadikan hal itu sebagai”. Namun para ulama berbeda pendapat tentang dhahir ha (ها) di ayat ini kembali kepada apa?
§ Manusia Jadi Kera : Ada yang mengatakan yang dimaksud tidak lain adalah peristiwa dikutuknya manusia menjadi kera.
§ Ikan : ada pendapat lain yang dimaksud adalah perilaku ikan yang hanya muncul di hari Sabtu saja.
§ Kampung : sebagian ulama lain mengatakan bahwa yang dijadikan pelajaran adalah kampung itu sendiri yaitu kampung Ailah.
Sedangkan lafazh nakaalan (نكالا) menurut Ibnu Abbas radhiyallahuanhu maknanya adalah : hukuman”, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa dimaknai sebagai siksaan:
وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنْكِيلًا
Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). (QS. An-Nisa : 84)
Sedangkan Al-Qaffal mengatakan bahwa di dalam surat Al-Muzzammil lafazh ankalan dimaknai sebagai belenggu :
إِنَّ لَدَيْنَا أَنْكَالًا وَجَحِيمًا
Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang menyala-nyala. (QS. Al-Muzammil : 12)
وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ
Lafazh mau’dizah (موعظة) artinya adalah pelajaran, sedangkan yang dimaksud dengan al-muttaqin (المتقين) dalam ayat ini maksudnya adalah umat Nabi Muhammad SAW. Kesimpulan dari ayat ini bahwa kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengambil pelajaran dari apa yang pernah dialami oleh Bani Israil di masa lalu.
Pesan Nabi SAW kepada kita sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut :
لَا تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُودُ فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللَّهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ
Janganlah kalian melakukan dosa seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Mereka menghalalkan apa-apa yang telah haramkan dengan hilah yang rendahan.
Hilah Syar’iyah
Salah satu ciri khas syariat umat Nabi Muhammad SAW adalah diberikannya kesempatan untuk melakukan hilah, asalnya masih dalam batas-batas ketentuan syariah. Dan ketentuan ini berbeda 180 derajat dengan yang berlaku pada umat terdahulu, khususnya Bani Israil. Salah satunya apa yang diuraikan dalam ayat ini bahwa mereka tidak sedikitpun diberi celah untuk melakukan hilah.
Dalam bahasa Indonesia kata hilah bisa dimaknai dengan trik atau muslihat. Namun dari segi rasa bahasa, istilah trik atau muslihat ini terkesan kurang tepat. Maka Penulis lebih cenderung untuk menyebutnya dalam bahasa Arab aslinya, agar tidak kehilangan makna.
Tujuan digunakannya hilah dalam mazhab Al-Hanafiyah tentu bukan untuk menentang hukum-hukum syariah, dan juga bukan untuk menipu Allah SWT. Hilah ini digunakan justru untuk memberi jalan keluar sesuai dengan ketentuan Allah SWT sendiri.
Oleh karena itu hilah ini disebut dengan istilah hilah syar’iyah, artinya trik yang digunakan dalam rangka memberi solusi syariah, namun tetap dalam koridor hukum syariah itu sendiri. Dan tidak lah hilah ini dibutuhkan, kecuali memang telah terjadi kejadian yang dramatis dan kotradiksi.
Yang banyak menggunakan metode hilah syar’iyah memang Mazhab Al-Hanafiyah, dibandingkan dengna mazhab-mazhab fiqih lainnya. Namun bukan berarti di luar mazhab Hanafi tidak ada hilah. Hanya saja porsinya lebih sedikit.
A. Dalil Kebolehan Hilah Syar’iyah
Ada beberapa ayat Al-Quran yang sering dijadikan para ulama sebagai dasar dari hilah syar’iyah, di antaranya kisah sumpah Nabi Ayyub alaihissalam dan kisah Nabi Yusuf bersama saudara sekandungnya, Bunyamin.
Dikisahkan bahwa Nabi Ayyub alaihissalam merasa gundah karena telah terlanjur bersumpah untuk memukul atau mencambuk istrinya 100 kali, lantaran kurang bersabar dalam merawat Nabi Ayyub yang cukup lama menderita sakit. Namun setelah itu Nabi Ayyub pun merasa bersusah hati karena sumpah yang dia ucapkan sendiri. Disitulah Allah SWT kemudian memberikan ’jalan keluar’ atau hilah sebagaimana tertuang dalam surat Shad berikut :
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ ۗ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا ۚ نِعْمَ الْعَبْدُ ۖ إِنَّهُ أَوَّابٌ
Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya). (QS. Shad : 44)
Dengan cara ini, sumpah tidak terlanggar tetapi istri pun juga tidak kesakitan, karena hanya dicambuk sekali saja, itu pun hanya dengan menggunakan rumput sebanyak 100 batang.
Sedangkan yang terkait dengan Nabi Yusuf adalah trik yang sengaja dilakukan demi untuk bisa mengajak saudara kandungnya yaitu Bunyamin tinggal bersamanya. Lalu dibuatlah skenario yang sebenarnya hanya pura-pura saja, seolah-olah saudranya itu mencuri piala atau gelas minum milik raja. Begitu diperiksa dan ternyata gelas sebagai barang bukti memang ditemukan di perbekalannya, ditangkaplah Bunyamin sehingga tidak bisa ikut pulang bersama saudara-suaudaranya ke negeri asal mereka.
فَلَمَّا جَهَّزَهُمْ بِجَهَازِهِمْ جَعَلَ السِّقَايَةَ فِي رَحْلِ أَخِيهِ ثُمَّ أَذَّنَ مُؤَذِّنٌ أَيَّتُهَا الْعِيرُ إِنَّكُمْ لَسَارِقُونَ
Maka tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan mereka, Yusuf memasukkan piala (tempat minum) ke dalam karung saudaranya. Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan: "Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri". (QS. Yusuf : 70)
B. Dalil Keharaman Hilah
Diterimanya hilah memang tidak bersifat mutlak dalam hukum Islam. Ada hilah yang bisa diterima namun jangan lupa bahwa ada juga hilah yang diharamkan. Dasarnya karena ada juga beberapa ayat Al-Quran yang mengharamkan hilah, di antaranya ayat-ayat berikut ini :
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. (QS. Al-Baqarah : 9)
Ayat ini meski pun tidak menyebut kata ‘hilah’, namun esensinya melarang kita melakukan tipu daya kepada Allah SWT. Dan salah satu titik lemah hilah itu adalah sangat erat dengan tindakan menipu Allah SWT.
Disebutkan bahwa kepada Yahudi Allah SWT haramkan atas mereka untuk memakan hewan yang berkuku, juga lemak dari hewan yang mereka sembelih.
وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar. (QS. Al-Anam : 146)
Mereka memang tidak memakannya karena sudah tahu bahwa semua itu haram bagi mereka. Masalahnya kemudian mereka menjualnya kepada orang lain, lantas uang hasil penjualannya digunakan membeli makanan halal. Secara teknis sebenarnya mereka tidak memakan makanan yang diharamkan, namun ternyata dalam syariat mereka telah ditetapkan bahwa tehnik menghindar seperti tidak diperkenankan Allah SWT dan mereka pun mendapatkan laknat dari Allah SWT atas tindakan itu.
لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ حُرِّمَت عَلَيهِم الشُّحُومُ فَجَمَّلُوهَا فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا
“Semoga Allah melaknat Yahudi, telah diharamkan lemak hewan atas mereka namun mereka mempolesnya lalu menjualnya dan memakan uang hasil penjualannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena ada dualisme dalam ayat-ayat Al-Quran inilah maka perkara hilah ini menjadi polemik di kalangan ulama fiqih. Sebab terus terang saja memang ada perkara-perkata hilah yang dibenarkan, juga ada yang diharamkan dan ada juga yang para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya.
C. Hilah Syar’iyah Yang Dibenarkan
Sebagian dari hilah memang dibenarkan secara syariah, karena itu biasanya penyebutannya dilengkapi dengan atribut ’syar’iyah’, untuk membedakannya dengan yang tidak dibenarkan. Di antara contoh hilah syar’iyah yang bisa diterima dan dibenarkan dalam syariat Islam antara lain :
1. Terlanjur Bersumpah Menyetubuhi Istri Siang Hari Bulan Ramadhan
Misalnya ada seorang suami karena satu dan lain hal, dia bersumpah untuk menyetubuhi istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Keadaan ini jelas kontradiksi, karena di satu sisi bersetubuh dengan istri di siang hari bulan Ramadhan hukumnya haram, namun di sisi lain menjalankan sumpah itu hukumnya wajib.
Maka dalam hal ini dibutuhkan sebuah hilah, atau trik yang sekiranya tidak melanggar keduanya. Caranya adalah dia mengajak istrinya bepergian ke luar kota pada bulan Ramadhan, maka dia boleh menyetubuhi istrinya itu bila tidak dalam keadaan berpuasa. Dan musafir memang termasuk orang yang dibolehkan untuk tidak berpuasa.
2. Terlanjur Memojokkan Istri Dengan Talak
Seorang suami menjatuhkan talak, ketika istrinya sedang naik di atas tangga. Bunyi lafadznya begini,”Kamu saya jatuhkan talak, bila kamu terus naik tangga ke atas dan juga bila kamu menuruni tangga itu ke bawah”.
Syarat talak ini dilematis, naik ke atas kena talak dan turun ke bawah kena talak juga. Lalu apa yang bisa dilakukan biar tidak jatuh talak?
Maka Abu Hanifah menjawab agar tidak jatuh talak, si istri itu diam di atas tangga, jangan naik dan jangan melangkah turun. Lalu ada orang lain yang mengangkat istrinya yang sedang diam saja itu, kemudian diletakkan di atas tanah.
Dalam hal ini istri tidak terkena talak, karena dia tidak melangkah turun. Dia diam saja, ada pun badannya kemudian mendarat di atas tanah, itu karena dikerjakan oleh orang lain.
B. Hilah Yang Diharamkan
Sedangkan hilah yang diharamkan biasanya disebut tanpa atribut ‘syar’iyah’ untuk membedakannya yang dibenarkan. Di antara contohnya adalah nikah muhallil, memahramkan lewat penyusuan dan juga riba yang disembunyikan di balik jual-beli emas.
1. Nikah Muhallil
Kasus nikah muhallil ini terjadi dalam bab talak tiga, dimana suami yang sudah terlanjur menjatuhkan talak untuk yang ketiga kalinya itu merasa menyesal dan ingin kembali. Sementara aturan baku dari syariat Islam mengharamkan untuk menikahi kembali istri yang telah ditalak untuk yang ketiga kalinya.
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
Kemudian jika si suami mentalaknya, maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (QS. Al-Baqarah : 230)
Untuk itu agar boleh dinikahi kembali, maka diaturlah sebuah hilah yang merupakan sandiwara jadi-jadian. Dicarinya seorang joki laki-laki yang bersedia berpur-pura menikahi mantan istrinya yang sudah ditalak tiga itu. Perjanjiannya si joki tidak boleh menggaulinya dan setelah itu diharuskan untuk menceraikannya. Seolah-olah sudah terjadi pernikahan namun pada hakikatnya cara ini hanya merupakan siasat, alibi dan trik untuk menghalalkan apa yang telah Allah haramkan.
2. Memahramkan Lewat Penyusuan
Ada sebagian kalangan yang berpikir bahwa kemaharaman kemahraman antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram bisa disebabkan dengan cara penyusuan. Oleh karena itu pasangan yang bukan mahram itu kemudian bercumbu sambil menelan air susu wanita itu. Maksudnya barangkali biar antara mereka berdua terjadi kemahraman.
Tentu saja ini trik yang sangat tidak pintar. Pertama, usia maksimal bayi yang bisa mengakibatkan kemaharaman hanya dua tahun saja. Lebih dari dua tahun tidak lagi bisa mengakibatkan kemahraman. Kedua, kalau pun laki-laki itu benar-benar jadi mahram, maka keduanya justru malah tidak halal menikah. Jadi ini adalah trik bunuh diri yang semua orang mencelanya.
3. Riba Bersembunyi di Balik Jual-beli Emas
Rentenir yang kerjanya membungakan uang pinjaman mencoba mencari-cari dalih agar tindakan haramnya itu bisa dibenarkan. Lalu dilakukanlah trik konyol dengan meminjamkan uang rupiah, namun berpura-pura yang dipinjamkan itu adalah emas.
Setelah jatuh tempo, dia akan menagih yang itu dengan tambahan ribanya, namun dia beralasan bahwa kelebihan itu disesuaikan dengan harga emas yang naik. Letak kesalahannya adalah ketika secara teknis yang dipinjamkan adalah uang rupiah dan mengambilnya pun uang rupiah pula. Seandainya ketika meminjamkan itu benar-benar berwujud emas dan ketika menagih pun juga berupa emas, maka dia benar-benar terbebas dari riba.
C. Khilafiyah
Sedangkan contoh hilah yang diperselisihkan para ulama misalnya terkait dengan mangkirnya orang kaya dari kewajiban membayar zakat, serta trik menikahkan puteri yang masih kecil dengan sopir pribadi istri.
1. Mangkir Bayar Zakat
Contoh hilah yang para ulama berbeda pendapat tentang kebolehanya adalah kasus mangkirnya seseorang yang seharusnya wajib membayar zakat. Tehnik yang dilakukan adalah beberapa saat sebelum jatuh tempo, dia hibahkan hartanya yang sudah melebihi nishab dan nyaris mencapai satu haul itu kepada orang lain.
Dalam hal ini para ulama di kalangan mazhab Hanafi berpendapat hal itu dibolehkan, dalam arti dia memang tidak terkena delik kewajiban membayar zakat. Alasannya karena secara syar’i syaratnya belum terpenuhi, yaitu karena belum mencapai hitungan haul yang cukup.
2. Menikahkan Gadis di Bawah Umur
Problematika sopir pribadi yang punya majikan seorang wanita. Kemana-mana berdua padahal mereka bukan mahram. Untuk menghindari dosa, maka sopir itu dinikahkan dengan puteri majikan yang masih dibawah umur.
Maka antara sopir dan majikan wanita itu pun otomatis menjadi mahram, karena hubungan sudah jadi hubungan antara mertua dan menantu yang sifatnya mahram muabbad.
Hilah seperti ini sebagian kalangan ada yang memperbolehkan tapi tidak semua sepakat dengan trik semacam itu, karena dianggap mempermainkan hukum pernikahan yang sangat agung.
لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا
Lafazh maa baina yadaiha (بين يديها) secara bahasa kalau diterjemahkan per kata menjadi : “apa yang ada di antara kedua tangannya”. Namun ini adalah ungkapan khas dalam bahasa Arab yang maksudnya tidak lain adalah : “apa yang ada di depan”, sedangkan maa khalfaha (ما خلفها) bermakna : “apa yang berada di belakang”.
Namun apakah yang dimaksud dengan ‘depan’ dan ‘belakang’ dalam ayat ini, lima punggawa mufassir umat ini ternyata masing-masing memberi penjelasan yang berbeda satu sama lain, sebagaimana dirinci oleh Al-Mawardi dalam An-Nukat wa Al-‘Uyun berikut :[1]
§ Ikrimah : secara teknis yang dimaksud memang bagian depan dan bagian belakang dari kampung Ailah itu.
§ Adh-Dhahhak : yang didepan mereka maksudnya orang-orang yang hidup setelah generasi penduduk kampung itu. Sedangkan yang dibelakang maksudnya adalah mereka yang tersisa dari penduduk kampung itu dan tidak sampai terkena adzab.
§ As-Suddi : yang di depan maksudnya adalah penduduk kampung lain yang bukan termasuk penduduk kampung itu, sedangkan yang di belakang maksudnya adalah umat-umat lain yang hidup sesudah masa penduduk kampung itu.
§ Qatadah : yang di depan maksudnya adalah dosa-dosa mereka, sedangkan yang di belakang maksudnya adalah ikan-ikan yang jadi pancingan atas dosa mereka.
§ Mujahid : yang di depan maksudnya adalah dosa-dosa mereka yang sudah ada sebelum kejadian itu, sedangkan yang di belakang mereka maksudnya adalah dosa-dosa yang menyebabkan mereka jadi dihukum mati.
[1] An-Nukat wa Al-Uyun