Kemenag RI 2019:Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi) itu.” Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman bahwa sapi itu tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Prof. Quraish Shihab:Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Tuhan Memeliharamu untuk kami supaya Dia menerangkan kepada kami, sapi apakah itu?” Dia (Nabi Mumus.1 menjawab: “Sesungguhnya Dia berfirman bahwa (sapi itu) adalah sapi yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara yang demikian itu: maka kerjakanlah apa yang diperintahkan (kepada kamu)” Prof. HAMKA:Mereka berkata, "Serulah untuk kami kepada Tuhan engkau, supaya diterangkan-Nya bagaimana lembu itu?" Berkata dia, "Sesungguhnya, Dia bersabda bahwa dia hendaklah lembu betina yang belum tua benar dan tidak sangat muda, pertengahanlah di antara ltu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu ltu."
Untuk menutupi sikap enggannya dalam menjalankan perintah Allah SWT, Bani Israil pun berpura-pura tanya ini dan tanya itu, padahal sebenarnya niatnya hanya untuk menunda-nunda pelaksaaan perintah menyembelih sapi. Dan cara semacam ini dinilai sebagai salah satu bentuk kesalahan yang fatal, sehingga mereka pun dihukum dengan cara diperberat syarat dan ketentuan terkait sapi yang harus disembelih.
Para ulama yang mengatakan seandainya mereka segera saja melakukan penyembelihan secepatnya tanpa harus menunda-nundanya, boleh jadi Allah SWT akan menerima apa adanya tanpa memberikan syarat-syarat khusus yang memberatkan. Namun karena mereka bersifat demikian, jadilah akhirnya mereka kesulitan dalam mencari sapi yang dimaksud.
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ
Lafazh ud’u (أُدْعُ) merupakan fi’il amr dari kata dasar (دعى - يدعو) yang punya beberapa makna, antara lain berdoa, memanggil, menyeru, mengajak, meminta, berdakwah dan seterusnya. Seandainya disambung dengan ilaa (إلى) maknanya jadi “mengajak kepada”, sebagaimana firman Allah SWT :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu. (QS. An-Nahl : 125)
Namun ketika disambungkan dengan huruf lam (ل), maknanya lebih spesifik menjadi : berdoa atau meminta dan bukan mengajak atau berdakwah. Maksudnya mereka meminta Nabi Musa alahissalam untuk berdoa dan isi doanya minta penjelasan terkait spesifikasi sapi yang diperintahkan untuk disembelih. Namun terasa agak janggal adalah bahasa yang mereka gunakan ketika menyebut Allah SWT dengan menggunakan ungkapan : rabbaka (رَبَّكَ) bermakna : “Tuhan-mu”. Rasanya memang agak janggal dan aneh di telinga kita. Benar bahwa Allah SWT itu Tuhannya Nabi Musa alaihissalam, tetapi tuhan mereka juga, bukan? Seharusnya mereka cukup mengatakan begini,”Doakanlah kami”.
Namun nampaknya memang begitulah bahasa yang digunakan oleh Musa kepada kaumnya. Musa tidak membahasakan Allah SWT dengan tuhan kita, tetapi dengan ungkapan : “Tuhan-ku”. Perhatikan ucapan Musa ketika terpojok di Laut Merah nyaris dikejar oleh Fir’aun, Musa berkata
قَالَ كَلَّا ۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
Musa menjawab: "Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku". (QS. Asy-Syuara : 62)
Bandingkan dengan ucapan Nabi Muhammad SAW ketika berada di dalam Gua Tsour bersama dengan Abu Bakar :
Ketika Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita. (QS. At-Taubah : 40)
Nabi SAW tidak mengatakan Allah bersama-ku tetapi Allah beserta kita. Disitu jelas sekali ada pesan bahwa tidak ada jarak antara Allah SWT dengan semua hamba-Nya. Tidak seperti Musa yang seolah menjadi perantara antara Allah SWT dengan kaumnya, sampai kaumnya sendiri pun menyebut Allah SWT dengan sebutan : “Tuhan-mu”.
يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ
Lafazh yubaiyyin (يُبَيِّن) berasal dari bayan (بيان) yang bermakna penjelasan, sebagaimana firman Allah SWT :
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS. Al-Baqarah : 219)
Penjelasan yang dimintakan memang terkait dengan spesifikasi sapi yang diperintah untuk disembelih. Terkesan sebegitu seriusnya mereka ingin menyembelih sapi, seolah-olah mereka sudah akan segera melakukannya. Padahal di balik permintaan penjelasan itu, sebenarnya terkandung sikap penolakan halus namun cukup kentara.
Padahal kalau niatnya memang mau menjalankan perintah Allah SWT, buat apa pula pakai pura-pura bertanya-tanya ini dan itu terkait spesifikasi sapi. Sembelih saja sembarang sapi, toh Allah SWT sejak awal tidak memberikan syarat-syarat tertentu yang spesifik. Namun dalam hal ini memang masih belum terlalu kentara keenggan mereka, sehingga Nabi Musa pun memanjatkan doa kepada Allah sekaligus meminta penjelasan terkait sapi sebagaimana yang ditanyakan oleh kaumnya.
قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ
Dan Allah SWT pun mulai menjelaskan secara lebih spesifik terkait sapi yang dimaksud. Maka Musa pun diperintahkan untuk menyampaikan pesan-pesan dari Allah SWT terkait urusan sapi.
Lafazh qaala (قال) maknanya berkata, maksudnya yang berkata adalah Nabi Musa alaihissalam. Sedangkan lafazh innahu (إِنَّهُ) adalah isi perkataan Musa dan dhamir hu (ـه) kembali kepada Allah SWT, sehingga maksudnya adalah : “Musa berkata bahwa Allah SWT berfirman”.
إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ
Lafazh faaridh (فَارِض) secara bahasa maknanya adalah luas (واَسِع), maksudnya luas perutnya karena sudah berkali-kali beranak. Dan ungkapan sapi yang faaridh biasanya digunakan untuk menyebut sapi yang usainya sudah tua.
Sedangkan lafazh bikr (بِكْر) maknanya tidak atau belum pernah beranak. Jadi faaridh dan bikr adalah lawan kata. Bahkan para wanita yang masih perawan pun disebut juga dengan bikr (بِكْر) dan bentuk jama’-nya adalah abkaar (أَبْكَار), sebagaimana firman Allah SWT :
فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا
dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. (QS. Al-Waqiah : 36)
عَوَانٌ بَيْنَ ذَٰلِكَ
Lafazh ‘awaanun (عَوَان) sebenarnya merupakan jenis sapi yang yang dimaksud, yaitu sapi yang mungkin sudah pernah beranak satu atau dua kalisaja. Yang jelas bukan sapi yang sudah tua sekali dan juga bukan sapi yang sama sekali belum pernah beranak.
Namun dalam beberapa terjemahan dimaknai sebagai “sapi yang usianya pertengahan”. Dan inilah sapi yang paling mahal nilai harganya, karena sapi yang paling produktif, bukan yang sama sekali belum berproduksi dan juga bukan yang sudah expired masa produksinya. Sehingga bisa kita katakan bahwa sapi yang dimaksud adalah sapi mahal yang lagi sedang berada pada posisi paling produktif.
فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ
Perkataan ini dipahami oleh banyak ulama sebagai perkataan Nabi Musa alahissalam yang ingin agar kaumnya bersegera menjalankan perintah penyembelihan sapi dan tidak usah terlalu bertele-tele dalam bertanya, agar tidak terkesan seperti tidak berniat mau menjalankan. Kalau dalam bahasa kita, boleh jadi Nabi Musa berkata, “Sudahlah kalian jangan banyak cakap, kerjakan saja secepatnya”.
Namun apa yang sempat dikhawatirkan Nabi Musa alaihissalam atas kaumnya ternyata memang malah kejadian. Alih-alih segera menjalankan perintah itu, mereka masih saja berusaha mengulur-ulur waktu dengan menggunakan trik pura-pura bertanya ini dan itu. Padahal seandainya segera mereka kerjakan saja, tentu tidak akan jadi masalah di kemudian hari. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda :
Seandainya mereka menyembelih sapi yang termurah pastilah sudah cukup syaratnya. Namun mereka sendiri yang sengaja bikin berat permasalaham, sehingga Allah SWT pun memberikan mereka beban yang berat.
Pelajaran penting yang bisa kita ambil bahwa perintah Allah SWT itu pastinya ada kebaikan di dalamnya dan kita harus berhusnuzhzhan atas semua perintah itu. Jangan pakai acara protes apalagi sampai menawar-nawar, yang akibatnya malah akan menjadi semakin dipersulit dan nyaris membuat kita tidak mampu menjalankan perintah Allah SWT.
Maka itu Nabi Muhammad SAW selalu berdoa dan meminta kepada Allah SWT agar umatnya jangan diberi beban yang sekiranya tidak akan mampu dijalankan.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. (QS. Al-Baqarah : 286)