◀ | Jilid : 12 Juz : 6 | Al-Maidah : 54 | ▶ |
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Kemenag RI 2019 : Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut pada celaan orang yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.TAFSIR AL-MAHFUZH | REFERENSI KITAB TAFSIR |
Ketika kita bicara tentang berbagai keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW yang terjadi di bagian-bagian akhir masa Madinah, Allah SWT ternyata juga bicara tentang potensi kemurtadan dari sebagian mereka yang masuk Islam di tengah eforia itu.
Maka ayat ke-54 ini bicara tentang siapa yang murtad dari kalangan orang-orang beriman. Padahal rata-rata para shahabat itu selama ini digambarkan sebagai orang-orang yang sangat kuat imannya. Bahkan Nabi SAW membanggakan mereka sebagai generasi terbaik.
Ayat ini memandang dengan cara yang lebih kritis, yaitu tetap saja ada residu di dalam generasi terbaik, yaitu orang-orang yang murtad. Pesan yang termuat dari ayat ini nampaknya jelas, yaitu jangan terlalu pedulikan mereka. Sebab yang tidak murtad itu tetap lebih banyak, selain juga punya kualitas yang bukang kaleng-kaleng.
Allah SWT menggambarkan para shahabat yang utama itu adalah mereka yang cinta kepada Allah dan Allah SWT cinta kepada mereka.
Kata yaa ayyuha (يَا أَيُّهَا) artinya : wahai. Kata alladzina aamanu (الَّذِينَ آمَنُوا) artinya : orang-orang yang beriman. Di masa kenabian, kalau ada yang disapa dengan sapaan ini, tentu yang dimaksud tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW dan para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim.
Begitulah memang gaya bahasa Arab, pada umumnya seringkali mengawali pembicaraan dengan gaya menyapa siapa yang diajak bicara. Memang ini bukan gaya bahasa hukum sebagaimana yang biasa kita baca dalam kitab undang-undang. Ini adalah bahasa yang sifatnya dialogis, sifatnya menyapa dan mengajak bicara.
Kalau dihitung sejak awal surat Al-Maidah, sapaan ‘wahai orang-orang yang beriman’ ini sudah yang ke-6 dari 16 ayat lain yang sama-sama diawali dengan ungkapan yaa ayyuhalladzina aamanuu (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا).
Kata man yartadda (مَنْ يَرْتَدَّ) artinya : siapa yang murtad. Kata minkum (مِنْكُمْ) artinya : dari kamu. Kata ‘an diinihi (عَنْ دِينِهِ) artinya : dari agamanya.
Sebenarnya ayat ini sangat unik, karena Allah SWT di satu sisi menyapa orang-orang beriman di masa kenabian. Pastinya mereka itu adalah para shahabat nabi yang mulia. Orang-orang yang banyak sekali mendapatkan pujian di dalam Al-Quran, seperti ungkapan bahwa Allah SWT ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah.
Tapi di ayat ini justru Allah SWT seperti mengancam para shahabat, ada kemungkinan yang murtad di antara kalian. Maka muncullah pertanyaan nakal, kenapa tiba-tiba Allah SWT mengancam siapa yang murtad di kalangan shahabat? Bukankah para shahabat itu adalah generasi terbaik yang Nabi SAW akui sendiri? Kenapa mereka diancam seperti itu?
Tentunya tidak ada asap bila tidak ada api. Lalu apinya apa kok sampai turun ayat yang seperti merendahkan kredibilitas para shahabat?
Jawabannya wallahu a’lam, tetapi Penulis coba membuat semacam analisa, mungkin benar tapi mungkin juga salah.
Pertama, bahwa yang disebut dengan para shahabat itu memang orang-orang yang telah menyatakan keislaman. Namun Allah SWT sendiri juga menceritakan kaum munafikin, dimana mereka itu terbiasa mengaku-ngaku muslim, tetapi banyak sekali ayat yang menyebutkan orang munafik itu matinya masuk neraka.
Kedua, para ulama menyebutkan bahwa kriteria shahabat itu bukan sekedar orang yang bertemu Nabi SAW dan beragama Islam, tetapi masih ditambahkan syarat ketiga, yaitu matinya dalam keadaan muslim. Pertanyaannya, kenapa harus ada syarat yang ketiga? Kenapa harus ditegaskan matinya dalam keadaan muslim?
Jawabannya karena ada kasus dimana ada orang yang masuk Islam di masa kenabian, yaitu dia bertemu Nabi SAW dalam keadaan muslim, lalu meski kasusnya tidak terlalu banyak, ada saja yang murtad dan keluar dari agama Islam.
Maka wajar saja bila Allah SWT meskipun menyapa mereka sebagai orang beriman, belum tentu imannya kuat dan istiqamah, bisa saja dia murtad dan keluar dari agama Islam.
Lalu yang jadi pertanyaan berikutnya, kalau memang ada di kalangan orang muslim di masa kenabian yang murtad, lantas siapa sajakah mereka?
Jawabannya ada beberapa, namun sebagai catatan, rata-rata mereka itu bukan shahabat yang banyak diceritakan dalam Al-Quran tentang keimanan mereka. Kebanyakannya adalah orang-orang yang sekedar menjadi residu alias sampah saja. Umumnya mereka baru masuk Islam belakangan, itupun hanya karena ikut-ikutan trend yang sedang terjadi.
Jadi ketika melihat perkembangan luar biasa dari kemajuan dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah, banyak kalangan yang kemudian merasa penting sekali untuk menjalin hubungan baik dengan Nabi SAW. Bukan apa-apa, karena Nabi SAW telah berhasil membuktikan diri telah memenangkan hampir semua peperangan, baik dengan kalangan musyrikin Mekkah, bahkan juga berhasil mencukur gundul semua kelompok Yahudi.
Maka di negeri Arab terjadi semacam eforia, banyak kalangan yang dulunya masih bermusuhan dengan Madinah, kemudian tiba-tiba banting setir dan berbelok tajam. Tiba-tiba mereka pun ikut-ikutan masuk Islam. Padahal mereka selama ini jadi musuh Islam. Namun karena posisi sudah berbalik 180 derajat, mereka pun cari aman dengan cara masuk Islam.
Ternyata begitu masuk Islam, mereka tidak siap sama sekali. Sebab perilaku mereka sejak awal memang tidak pernah sejalan dengan semangat keimanan. Budaya kehidupan jahiliyah mereka sudah sangat kental dan berurat berakar yang sulit ditinggalkan. Lagi pula keislaman mereka itu hanya secara politis, sekedar mengikuti arah angin bertiup. Begitu ada kesempatan untuk membangkang dan memberontak, biasanya mereka cepat sekali pindah orientasi.
Menurut hemat Penulis, kelompok-kelompok seperti inilah nampaknya yang disasar dari ayat yang bicara tentang kemurtadan. Hal itu sebagaimana penjelasan dari Al-Alusy dalam kitab Ruh Al-Ma'ani[1]. Mufassir ini menuliskan ada sebelas kelompok orang-orang yang telah murtad dari agama Islam, tiga kelompok di antaranya terjadi pada masa Rasulullah SAW, yaitu :
1. Bani Mudlij
Pemimpin Bani Mudlij adalah Dzul Himar alias al-Aswad al-‘Ansi. Sebenarnya dia seorang dukun lalu mengaku sebagai nabi di Yaman, menguasai wilayahnya, dan mengusir para pejabat Nabi SAW dari sana.
Maka Nabi SAW menulis surat kepada Mu'adz bin Jabal dan para tokoh Yaman. Lalu Allah membinasakannya melalui tangan Fairuz ad-Daylami. Dia membunuhnya secara diam-diam di malam hari.
Nabi SAW diberitahu tentang kematiannya pada malam saat ia dibunuh, maka kaum Muslimin pun bergembira karenanya. Nabi SAW wafat pada keesokan harinya. Berita kematiannya datang pada bulan Rabi’ul Awwal.
2. Bani Hanifah
Bani Hanifah adalah kaumnya Musailamah al-Kazzab bin Habib. Dia juga mengaku sebagai nabi dan menulis surat kepada Rasulullah SAW:
“Dari Musailamah, utusan Allah, kepada Muhammad, utusan Allah: Salamun ‘alaika. Amma ba’du: Sesungguhnya aku telah diajak berbagi dalam urusan ini bersamamu. Kami memiliki setengah bumi dan Quraisy memiliki setengah bumi. Tetapi Quraisy adalah kaum yang zalim.”
Lalu datanglah dua utusan Musailamah kepada Rasulullah SAW dengan membawa surat tersebut. Maka ketika Rasulullah SAW membaca suratnya, beliau berkata kepada keduanya, “Apa pendapat kalian berdua?”. Mereka menjawab: “Kami berkata sebagaimana yang Musailamah katakan.” Maka Rasulullah SAW bersabda:
أما واللَّهِ لَوْلا أنَّ الرُّسُلَ لا تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ أعْناقَكُما
“Demi Allah, kalau bukan karena utusan tidak boleh dibunuh, sungguh aku akan memenggal leher kalian berdua.”
Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-10 Hijriah. Sepeninggal Nabi SAW, Abu Bakar sebagai khalifah pertama lantas memeranginya dengan pasukan kaum Muslimin. Musailamah akhirnya terbunuh di tangan Wahsyi, yaitu orang yang dahulu membunuh Hamzah.
3. Bani Asad
Yang ketiga adalah Bani Asad, yaitu kaumnya Thulaihah bin Khuwailid, yang lagi-lagi juga mengaku sebagai nabi. Maka Abu Bakar mengutus Khalid bin al-Walid untuk memeranginya.
Lalu terjadilah pertempuran sengit. Singkat kata, Thulaihah kemudian melarikan diri ke wilayah Syam. Kemudian ia masuk Islam dan keislamannya menjadi baik.
Fenomena Kemurtadan Berikutnya
Biar lengkap sekalian, Penulis juga tambahkan bahwa fenomena kemurtadan di masa kenabian ini ternyata belum semuanya ditumpas. Maka Abu Bakar saat diangkat menjadi khalifah, berusaha untuk menuntaskan penumpasan mereka. Al-Alusy menambahkan :
"Dan tujuh kelompok lainnya murtad pada masa Abu Bakar –semoga Allah meridhainya–, yaitu:
1. Kabilah Fazarah, kaumnya ‘Uyainah bin Hushain.
2. Kabilah Ghathafan, kaumnya Qurrah bin Salamah al-Qusyairi.
3. Bani Sulaim, kaumnya al-Fuja’ah bin ‘Abd Yalil.
4. Bani Yarbu‘, kaumnya Malik bin Nuwayrah.
5. Sebagian dari Bani Tamim, kaumnya Sajāḥ binti al-Mundzir.
6. Kabilah Kindah, kaumnya al-Asy‘ats bin Qais.
7. Bani Bakr bin Wa’il di Bahrain, kaumnya al-Hatham bin Zaid.
Dan satu kelompok lainnya murtad pada masa Umar bin Al-Khattab yaitu kaum Ghassān, kaumnya Jabalah bin al-Ayham, yang masuk agama Nasrani dan pergi ke negeri Syam, lalu meninggal dalam keadaan murtad, meskipun ada yang mengatakan bahwa ia akhirnya masuk Islam.
Kata fa-sawfa (فَسَوْفَ) artinya : maka kelak. Ungkapan ini merupakan kabar ghaib tentang kejadian yang belum terjadi dan masih akan datang kemudian. Setidaknya untuk ukuran pada saat ayat ini diturunkan.
Kata ya’tillahu-bi (يَأْتِي اللَّهُ بِ) artinya : Allah mendatangkan. Sebenarnya makna asalnya adalah : Allah datang dengan. Tetapi maksudnya adalah Allah mendatangkan.
Kata qawmin (بِقَوْمٍ) artinya : suatu kaum. Biasanya kata kaum itu berarti sekelompok orang, bahkan bisa juga untuk menyebut suku, masyarakat, atau pun generasi.
Allah SWT menyebut kata qaumin itu dalam bentuk nakirah, sehingga bisa siapa saja tanpa pernah menunjuk hidung. Maka wajar bila para ulama kemudian main tebak-tebakan tentang kaum yang manakah yang dimaksud. Mereka tentu saja saling berbeda pendapat tentang siapakah kaum yang dimaksud dalam ayat tersebut. Berikut ini beberapa tafsiran mereka :
1. Abu Bakar
Menurut Ali bin Abi Thalib, al-Hasan, Qatadah, adh-Dhahhak, dan Ibnu Juraij, yang dimaksud dengan ‘suatu kaum’ di ayat ini adalah Abu Bakar dan para sahabat di masanya. Alasannya karena merekalah yang memerangi kaum murtad orang-orang yang keluar dari Islam.
Pendapat ini juga disepakati oleh ‘Aisyah radhiyallahuaha yang berkata bahwa Rasulullah SAW wafat dan bangsa Arab pun murtad. Kemunafikan pun menjadi nyata. Maka kepemimpinan Abu Bakar tertimpa beban yang amat berat”.
2. Ali bin Abi Thalib
Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu, dengan didukung pandangan bahwa Nabi SAW pernah bersabda pada saat Perang Khaibar.
لَأدْفَعَنَّ الرّايَةَ غَدًا إلى رَجُلٍ يُحِبُّ اللَّهَ ورَسُولَهُ ويُحِبُّهُ اللَّهُ ورَسُولُهُ
“Sungguh, besok aku akan menyerahkan bendera pasukan kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah serta Rasul-Nya pun mencintainya.”
Dan orang itu adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu.
Kalau melihat kedua pendapat ini, nampaknya ada dua kutub yaitu yang mengatakannya Abu Bakar dan Ali. Ternyata ayat ini kemudian memang jadi bahan pertentangan antara kelompok syiah dan ahlussunnah.
Kelompok syiah mengklaim bahwa ayat ini menjadi isyarat dari Allah SWT terkait siapa yang nantinya akan menjadi pemimpin yang meneruskan khilafah pasca kenabian Muhammad. Maka para pendukung syiah menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil yang menandakan isyarat kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Sementara kalangan ahli sunnah justru mengatakan bahwa yang paling layak menjadi penerus Nabi SAW adalah Abu Bakar. Sebab ayat ini terkait dengan penumpasan kelompok yang murtad. Dan dalam sejarah, tokoh besar yang memberantas kemurtadan itu bukan Ali, melainkan Abu Bakar.
3. Kaum Anshar
Namun ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘suatu kaum’ adalah kaum anshar. As-Suddi berkata bahwa ayat ini turun mengenai kaum Anshar, karena mereka yang telah menolong Rasul dan membantunya untuk menampakkan agama Islam."
4. Penduduk Yaman
Ada pendapat yang lain, yaitu bahwa yang dimaksud dengan ‘suatu kaum’ adalah penduduk Yaman. Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid yang berkata, "Ayat ini diturunkan mengenai penduduk Yaman."
Diriwayatkan pula secara marfu’ bahwa ketika ayat ini turun, Nabi SAW menunjuk kepada Abu Musa al-Asy‘ari dan bersabda: “Mereka adalah kaumnya.” Abu Musa al-Asy‘ari adalah shahabat yang Nabi SAW utus ke negeri Yaman.
5. Bangsa Persia
Sebagian lainnya punya pendapat berbeda dan berkata bahwa ‘suatu kaum’ itu adalah bangsa Persia. Dasarnya karena diriwayatkan bahwa ketika Nabi SAW ditanya tentang ayat ini, Beliau
SAW menepuk pundak Salman al-Farisi seraya berkata: “Ini orangnya dan kaumnya.”
Lalu beliau bersabda: "Seandainya agama berada di bintang Tsurayya sekalipun, pasti akan diraih oleh orang-orang dari kalangan anak-anak Persia."
Kata yuhibbuhum (يُحِبُّهُمْ) artinya : Dia mencintai mereka. Dia yang dimaksud disini tidak lain adalah Allah SWT. Tentu saja kalau dikatakan Allah SWT mencintai mereka, maksudnya tidak seperti cinta seorang suami kepada istrinya atau sebaliknya. Kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah bentuk keridaan-Nya kepada hamba tersebut dan pemberian kemudahan dalam kebaikan untuknya.
Kata wa yuhibbuunahu (وَيُحِبُّونَهُ) artinya : dan mereka mencintai-Nya. Kecintaan hamba kepada Tuhannya adalah suatu getaran jiwa yang timbul karena pengagungan terhadap-Nya, kenikmatan ketika mengingat-Nya, ketaatan dalam menjalankan perintah-Nya, dan kesungguhan dalam membela agama-Nya.
Maka urusan cinta kepada Allah dan Allah cinta kepadanya ini adalah sifat yang muncul dalam diri seorang hamba sebagai hasil dari banyaknya perenungan terhadap keagungan Allah SWT dan nikmat-nikmat-Nya, hingga perasaan itu melekat kuat dalam hati. Maka asal mula cinta ini adalah pendengaran dan perenungan mengenai Allah dan sifat-sifat-Nya.
Cinta ini bukanlah seperti cinta terhadap sesuatu karena keindahan bentuk atau zatnya. Bukankah kita mencintai Nabi SAW karena begitu banyak yang kita dengar tentang keutamaannya, kepeduliannya terhadap kebaikan kita di dunia dan akhirat?
Bahwa cinta kita kepada Nabi SAW itu semakin menguat seiring dengan banyaknya kita membaca sabdanya, mengingat sifat-sifatnya, melihat bagaimana sikap dan petunjuk hidupnya.
Demikian pula, kita mencintai para khalifah yang empat karena seringnya kita mendengar kecintaan mereka kepada Nabi SAW dan kesungguhan mereka dalam memberi nasihat demi kebaikan kaum Muslimin.
Kata adzillatin (أَذِلَّةٍ) artinya : bersikap lemah lembut. Kata ‘alal mu’miniin (عَلَى الْمُؤْمِنِينَ) artinya : terhadap orang-orang beriman.
Dua kata ini merupakan dua sifat yang saling berlawanan. Dua sifat ini digunakan untuk menggambarkan suatu kaum, tergantung kepada siapa mereka bersikap seperti itu.
Kata ini adzillah (لأذِلَّةُ) adalah bentuk jamak dari kata adz-dzalil (الذَّليل) yaitu orang yang bersifat dzull (ذلّ) alias kerendahan diri atau tunduk. Bisa diucapkan dengan dhammah (ذُلٌّ) atau dengan kasrah (ذِلٌّ). Dengan dhammah (ذُلٌّ), maknanya adalah lawan dari kemuliaan, yaitu kehinaan atau kerendahan. Dengan kasrah (ذِلٌّ), sebagian ahli tafsir menyebutnya sebagai lawan dari kekakuan atau kesulitan, namun penjelasan ini tidak memiliki dasar kuat dalam ilmu bahasa Arab. Contoh penggunaannya terdapat dalam firman Allah:
Dan sungguh Allah telah menolong kalian di Badr, padahal saat itu kalian dalam keadaan lemah (أذِلَّةٌ)” (QS. Ali Imran: 123).
Kata (الذُّلُّ) juga digunakan dalam konteks yang bermakna lembut, rendah hati, dan penuh kasih sayang, seperti dalam firman-Nya:
Rendahkanlah dirimu kepada keduanya (orang tuamu) dengan penuh kasih sayang” (QS. Al-Isra: 24)
Jadi dalam ayat ini, makna kerendahan hati yang dimaksud adalah kelembutan, kasih sayang, dan kepedulian yang mendorong seseorang untuk memberikan manfaat.
Oleh karena itu, dalam ayat yang dibahas digunakan kata ‘alal-mu’minin (عَلى المؤمنين) yaitu terhadap sesama mukmin, karena mereka bersikap lembut dan penuh kasih terhadap orang-orang beriman.
Kata adzillah (أذِلَّةٍ) ini diikuti oleh kata depan ‘ala (على) dan bukan li- (ل). Kalau adzillatin-li (أذلة لـ) maknanya berubah jadi penyayang dan pengasih.
Kata a‘izzatin (أَعِزَّةٍ) artinya : bersikap tegas. Kata ‘alal kaafiriin (عَلَى الْكَافِرِينَ) artinya : terhadap orang-orang kafir. Ini adalah bentuk jamak dari bentuk tunggalnya yaitu al-‘aziz (العَزِيز) yang berarti orang yang memiliki kemuliaan, kekuatan, dan kemandirian.
Dalam budaya Arab, karena kuatnya karakter mereka, kata “izzah” (kemuliaan) kadang menunjukkan sifat dominan bahkan cenderung menyerang, sebagaimana pepatah Arab:
مَن عَزَّ بَزَّ
Siapa yang kuat, dia menang
Dua sifat ini yaitu adzillah dan a’izzah (أذِلَّة وأعِزَّة) menjadi dua hal yang berlawanan, sehingga jika disandingkan, dalam ilmu balaghah disebut thibaq atau pertentangan makna yang indah, serta merupakan salah satu gaya bahasa dalam sastra Arab yang sangat dikagumi.
Gaya seperti ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, dan memberikan isyarat bahwa orang-orang yang disifati demikian memiliki karakter yang seimbang dan bijaksana, tidak bertindak hanya berdasarkan emosi, tetapi berdasarkan pertimbangan yang tepat.
Mereka bukanlah orang yang lembut terus-menerus dalam setiap situasi, tapi tahu kapan harus lembut dan kapan harus tegas, sesuai dengan kondisi. Itulah akhlak yang paling seimbang, yakni mampu bersikap tepat dalam setiap situasi. Di ayat lain Allah SWT berfirman terkait keseimbangan ini pada kaum muslimin.
أشِدّاءُ عَلى الكُفّارِ رُحَماءُ بَيْنَهُمْ
“Keras terhadap orang-orang kafir, namun penuh kasih sayang di antara mereka.” (QS. Al-Fath: 29).
Kontradiksi
Berbeda dengan apa yang Allah SWT gambarkan di dalam ayat ini, di masa kita sekarang banyak kaum muslim yang justru berperilaku sebaliknya. Mereka sangat keras terhadap sesama muslim, tetapi justru lunak terhadap non-Muslim. Konflik antarsesama Muslim kerap terjadi di berbagai negara Muslim sepanjang abad ke-15 Hijriyah.
1. Lebanon : Perang saudara 1975–1990 melibatkan Muslim Sunni, Syiah, dan Druze, serta konflik dengan kelompok Kristen dan kehadiran PLO. Hizbullah muncul sebagai kekuatan Syiah dominan. Konflik dilatarbelakangi perebutan kekuasaan sektarian dan dukungan negara asing.
2. Afghanistan : Pasca-mundur Soviet, faksi-faksi mujahidin saling bertikai, seperti antara Jamiat-e Islami dan Hizb-e Islami. Konflik antarfaksi menyebabkan kehancuran besar di Kabul dan memicu lahirnya Taliban.
3. Taliban : Taliban merebut Kabul dan mendirikan pemerintahan syariat. Ditentang Aliansi Utara yang terdiri dari kelompok Tajik, Uzbek, dan lainnya. Perang ini memicu penderitaan rakyat hingga Taliban digulingkan AS tahun 2001.
4. Aljazair : Konflik terjadi setelah kemenangan FIS dibatalkan militer tahun 1991. GIA dan berbagai faksi Islamis bersenjata terlibat perang saudara selama satu dekade (“Dekade Hitam”) yang menewaskan lebih dari 150.000 orang.
5. Mesir : Setelah Morsi (Ikhwanul Muslimin) digulingkan tahun 2013, militer menumpas kelompok Islamis. Di Sinai, kelompok militan berbaiat ke ISIS dan melancarkan serangan terhadap pemerintah. Konflik mencerminkan perbedaan visi dalam memahami jihad dan negara.
6. Libya : Pasca-Qaddafi, Libya terjerumus ke dalam perang saudara. GNA yang didukung milisi Islamis dan Turki bertempur melawan LNA yang dipimpin Haftar dan didukung Mesir dan Rusia. Kota-kota seperti Derna dan Benghazi jadi pusat pertempuran antar faksi mujahidin.
7. Maroko : Maroko relatif stabil pada abad ke-15 Hijriyah, tetapi pernah mengalami ketegangan internal antara suku Rif dan pemerintah pusat pasca-kolonialisme. Potensi konflik tetap ada, terutama terkait isu agama dan reformasi sosial.
8. Yaman : Yaman mengalami konflik bersenjata berkepanjangan yang melibatkan kelompok Houthi (Syiah Zaidiyah) melawan pemerintah yang diakui secara internasional. Sejak 2014, Houthi menguasai ibu kota Sanaa dan memicu intervensi militer oleh koalisi yang dipimpin Arab Saudi. Konflik ini juga melibatkan perpecahan internal di kubu pemerintah, serta milisi lokal yang beragam ideologi. Meskipun sama-sama Muslim, perbedaan mazhab, politik, dan kepentingan regional memperparah konflik. Perang ini menyebabkan krisis kemanusiaan terbesar di dunia menurut PBB.
9. Suriah : Suriah menjadi medan konflik bersenjata yang kompleks sejak 2011. Rezim Bashar al-Assad (Alawi) menghadapi perlawanan dari berbagai kelompok oposisi bersenjata yang mayoritas Sunni. Dalam perjalanan perang, faksi-faksi mujahidin juga saling bertikai, seperti antara Jabhah an-Nusrah (afiliasi Al-Qaidah) dan ISIS, serta antara faksi moderat dan faksi jihadis lainnya. Intervensi asing, baik dari Iran, Rusia, Turki, maupun negara-negara Teluk, memperparah perpecahan. Meskipun semua pihak mengaku memperjuangkan kepentingan Islam atau rakyat, kenyataannya terjadi pertumpahan darah antarsesama Muslim dalam skala besar.
10. Sudan: Perpecahan dalam tubuh umat Islam di Sudan memicu perang saudara yang panjang. Setelah pemisahan Sudan Selatan pada 2011, konflik terus berlanjut di bagian utara, terutama di Darfur dan Kordofan. Di Darfur, perang dimulai pada 2003 antara pemerintah Arab dan pemberontak non-Arab. Sementara di Kordofan dan Blue Nile, pemberontakan muncul antara kelompok Muslim dengan perbedaan pandangan politik dan pemerintahan, memperburuk ketegangan sektarian yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan kehancuran.
11. Somalia : Somalia telah lama dilanda perang saudara yang melibatkan kelompok-kelompok Islamis. Al-Shabaab, kelompok ekstremis yang terkait dengan al-Qaeda, berperang melawan pemerintah federal yang didukung oleh pasukan internasional, termasuk pasukan dari Uni Afrika (AMISOM). Konflik ini banyak melibatkan kelompok Muslim, dengan pertempuran yang keras antara pemerintah dan kelompok-kelompok pemberontak yang berhaluan radikal.
12. Mali : Di Mali, perang saudara antara kelompok-kelompok Muslim yang memiliki pandangan ideologi yang berbeda telah berlangsung lama, terutama setelah pemberontakan kelompok pemberontak Tuareg di utara. Kelompok Islamis yang terkait dengan al-Qaeda seperti Ansar Dine dan kelompok lainnya telah berperang melawan pasukan pemerintah dan pasukan internasional yang dipimpin oleh Prancis. Perang ini juga melibatkan perbedaan antara kelompok Muslim moderat dan ekstremis.
13. Nigeria : Meskipun Nigeria secara keseluruhan memiliki lebih banyak ketegangan antara umat Muslim dan Kristen, beberapa bagian negara, khususnya di utara, telah mengalami konflik bersenjata antar kelompok Muslim, terutama terkait dengan kelompok Boko Haram. Boko Haram, yang merupakan kelompok Islamis ekstremis, berperang melawan pemerintah Nigeria dan telah menyebabkan ribuan kematian dan pengungsi di wilayah utara Nigeria. Konflik ini juga terkait dengan perbedaan antara kelompok Muslim Sunni dan gerakan Salafi-Wahhabi yang lebih radikal.
14. Republik Afrika Tengah : Meskipun mayoritas penduduknya bukan Muslim, di Republik Afrika Tengah terdapat pertempuran sengit yang melibatkan kelompok Muslim (seperti Seleka) melawan kelompok Kristen (Anti-Balaka) dalam perang saudara. Konflik ini memiliki dimensi agama yang kuat dan menyebabkan banyak penderitaan, meskipun perang ini lebih kompleks dengan banyak faksi yang terlibat.
15. Chad : negeri ini berbatasan dengan Libya dan Sudan, juga telah mengalami ketegangan internal dengan kelompok-kelompok Muslim yang terpecah dalam perebutan kekuasaan. Meskipun tidak seintens konflik di negara-negara lain, di Chad ada beberapa kelompok pemberontak yang melibatkan unsur-unsur agama dalam perjuangan mereka.
Kalau mau diteruskan, akan habislah lembaran tafsir Al-Mahfuzh ini dengan catatan berdarah kaum muslimin, yang saling bunuh dengan sesama saudara sendiri. Entah apa latar belakang sumber konfliknya.
Kata yujaahiduuna (يُجَاهِدُونَ) artinya : mereka berjihad. Kata fii sabiilillaah (فِي سَبِيلِ اللَّهِ) artinya : di jalan Allah.
Berjihad di jalan Allah adalah sifat ketiga yang disebutkan sebagai di antara tanda-tanda terbesar yang menunjukkan karakteristik generasi yang Allah SWT janjikan.
Jika dikaitkan dengan fenomena kemurtadan di masa kenabian, jihad adalah jalan yang dipilih oleh Nabi SAW. Mereka ternyata tidak butuh argumentasi dengan dalil dan logika akal semata. Yang mereka butuhkan adalah sabetan pedang dan pertempuran di medan perang yang sesungguhnya.
Padahal Nabi SAW sendiri pada dasarnya bukan nabi yang gemar perang. Beliau sebenarnya justru lebih memilih jalan damai, kompromi, kerjasama, dan juga saling menghargai. Namun yang menarik untuk dikaji disini, ternyata menghadapi kaum yang murtad ini, pilihannya tanpa ragu adalah memerangi mereka.
Pertanyaannya adalah : kenapa Nabi SAW memilih angkat senjata dan memilih jalan kekerangan menghadapi mereka yang murtad? Kenapa tidak pakai jalan damai dan musyawarah yang lebih mencerminkan akhlaq seorang Nabi Muhammad?
Jawabannya adalah bahwa kemurtadan yang terjadi bukanlah sekadar bentuk penolakan pribadi terhadap ajaran agama, melainkan tindakan pembangkangan terbuka terhadap otoritas politik dan sosial negara Islam. Kaum murtad tidak hanya berhenti pada meninggalkan keyakinan, tetapi juga menolak membayar zakat, mencabut bai'at kepada Nabi SAW, dan bahkan sebagian dari mereka seperti Musailamah al-Kazzab mengaku sebagai nabi baru.
Lebih jauh, tindakan kaum murtad saat itu bukan hanya dari sisi aspek teologis semata, tetapi mereka memang secara sungguh-sungguh menyiapkan pasukan perang, melatih tentara, menghimpun banyak pasukan, lalu secara terang-terangan, terbuka dan membabi buta melancarkan serangan terhadap kaum muslimin.
Maka kalaupun Nabi SAW merespon mereka dengan jihad bersenjata, tentu sangat logis dan masuk akal. Jangan dimaknai sebagai kekerasan semata, melainkan bentuk perlindungan terhadap komunitas Muslim yang sah secara hukum.
Imam al-Qurtubi dalam al-Jami' li Ahkam al-Qur'an menjelaskan bahwa bagi orang yang keluar dari agama Islam dan memerangi umat Islam, tidak ada pilihan selain diperangi, karena hal tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan umat dan negara Islam.
Di sisi lain, kemurtadan pada masa itu mengandung unsur pengkhianatan terhadap perjanjian kolektif umat. Penolakan terhadap zakat dan ketaatan kepada pemimpin bukanlah hal ringan, melainkan tindakan yang melemahkan fondasi sosial Islam. Karena itulah, tindakan tegas berupa jihad dilakukan demi mempertahankan tatanan hukum, kesepakatan kolektif umat, dan kelangsungan fungsi negara.
Hal inilah yang juga mendorong Abu Bakar ash-Shiddiq RA untuk melanjutkan perang terhadap kaum murtad pasca wafatnya Nabi SAW.
Tindakan Nabi SAW tersebut juga merupakan upaya untuk melindungi kaum muslimin dari kekacauan akidah dan fitnah sosial. Jika kaum murtad dibiarkan, akan muncul keraguan di kalangan orang-orang beriman, dan timbulnya persepsi bahwa agama bisa diperlakukan secara sembarangan.
Imam al-Māwardī dalam al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah menyatakan bahwa tugas pemimpin adalah menumpas fitnah dan memberantas sebab-sebab yang bisa menggoyahkan ketenangan umat dan kejelasan hukum.
Meskipun Nabi SAW dikenal sebagai sosok yang cinta damai, mengedepankan kompromi dan toleransi dalam banyak urusan, beliau bersikap sangat tegas ketika seluruh jalur damai tertutup dan ketika eksistensi umat Islam berada dalam ancaman serius. Dalam kasus kemurtadan yang disertai pemberontakan, jihad adalah bentuk keberanian dan kebijaksanaan dalam mempertahankan agama, bukan sekadar pilihan militer.
Kata wa laa yakhaafuuna (وَلَا يَخَافُونَ) artinya : dan mereka tidak takut. Kata lawmata laa-im (لَوْمَةَ لَائِمٍ) artinya : celaan orang yang mencela.
Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsir Mafatih Al-Ghaib [1] menuliskan bahwa di dalamnya ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Bahwa huruf waw ini digunakan untuk menunjukkan keadaan. Karena sesungguhnya orang-orang munafik dulu selalu mengamati orang-orang kafir dan takut akan celaan mereka. Maka Allah SWT menjelaskan dalam ayat ini bahwa siapa pun yang kuat dalam agama, maka dia tidak takut terhadap celaan siapa pun dalam memperjuangkan agama Allah dengan tangan dan lisannya.
Pendapat kedua: Bahwa huruf waw ini digunakan untuk penghubung, dan maknanya adalah bahwa seharusnya mereka berjihad di jalan Allah, bukan untuk tujuan lain. Dan seharusnya mereka tegas dalam membela agama, tidak peduli dengan celaan orang yang mencela.
Kata la'im (لَائِمٍ) merujuk pada orang yang mencela. Kata ini datang dalam bentuk nakirah alias tidak terdefinisi, seakan-akan dikatakan: mereka tidak takut sama sekali terhadap celaan siapa pun dari orang yang mencela."
[1] Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H)
Kata dzaalika fadhlullaah (ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ) artinya : itulah karunia Allah.
Lafazh fadhlu (فضل) sering diterjemahkan menjadi : karunia, sebagaimana terjemahan Kemenag RI, Quraish Shihab dan juga Buya Hamka. Memang secara bahasa, fadhlu itu maknanya adalah kelebihan. Dan karunia itu memang sebuah kelebihan dari yang seharusnya diberikan sebagaimana dikatakan (الزيادة في الخيروالأجر).
Namun dalam konteks ayat ini, lebih tepat jika maknanya adalah tingginya kedudukan kaum yang sedang dibicarakan Allah SWT, sebagai kaum yang akan menggantikan, atau bahkan mengalahkan orang-orang yang munafik dan murtad.
Kata yu’tiihi (يُؤْتِيهِ) artinya : Dia berikannya. Kata man yasyaa’ (مَنْ يَشَاءُ) artinya : siapa yang Dia kehendaki.
Kalau Allah SWT menyebutkan : ‘siapa saja yang Dia kehendaki’, biasanya ada hal-hal yang tidak biasanya. Biasanya terjadi semacam plot-twist, sesuatu yang tidak lazimnya terjadi demikian.
Pertama, ungkapan man yasya’ (مَن يَشَاءُ) menunjukkan bahwa pemberian atau karunia Allah tidak terikat oleh standar manusia, seperti keturunan, pangkat, ilmu, atau usaha. Artinya, meskipun manusia mengira bahwa sesuatu hanya layak diberikan kepada orang tertentu, Allah bisa memberikannya kepada siapa saja, bahkan yang secara zahir tampak tidak layak. Ini menegaskan bahwa rahmat Allah bersifat mutlak dan bebas.
Kedua, ayat ini juga mengandung pelajaran keikhlasan dan kerendahan hati, karena kita tidak boleh merasa paling pantas mendapatkan keutamaan hanya karena usaha, keturunan, atau status sosial. Bahkan seorang yang tak dikenal, yang tersembunyi amalnya, bisa saja lebih dicintai Allah dan diberi karunia yang luar biasa — karena Allah memberi kepada siapa yang Dia kehendaki, bukan kepada siapa yang “dianggap pantas” oleh manusia.
Ketiga, dalam konteks sejarah para nabi atau orang-orang pilihan, kita sering menyaksikan plot-twist ini terjadi. Misalnya: Nabi Musa dibesarkan di istana Firaun yang kafir, Nabi Muhammad SAW berasal dari kalangan yatim piatu tanpa harta, atau Salman al-Farisi — mantan budak non-Arab — menjadi salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam. Semua ini bentuk yu’tiihi man yasyaa’.
Keempat, ini juga menjadi penghibur dan harapan besar bagi orang-orang yang merasa kecil atau tak dianggap. Bahwa bukan hanya elite atau bangsawan yang bisa mendapatkan keutamaan. Siapa pun, asal Allah menghendaki, bisa diberi kemuliaan, ilmu, hidayah, atau kemenangan.
Kelima, Allah menggunakan man yasya’ (مَن يَشَاءُ) untuk menegaskan bahwa kita tidak bisa memaksakan kehendak kita kepada Allah, dan tidak bisa memprediksi sepenuhnya siapa yang akan mendapatkan keistimewaan. Ini menanamkan sikap tunduk sepenuhnya kepada kehendak dan rencana Allah yang Maha Bijaksana.
Jadi, benar sekali bahwa ayat ini bisa menyiratkan kemungkinan kejutan atau kejadian luar kebiasaan. Namun yang pasti, semua itu terjadi dalam bingkai hikmah dan keadilan Ilahi.
Kata wallaahu (وَاللَّهُ) artinya : dan Allah. Kata waasi‘un (وَاسِعٌ) artinya : Maha luas.
Lafazh waasi’ (وَاسِعٌ) secara bahasa bermakna luas. Namun apa yang dimaksud dengan Allah SWT Maha luas disini? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, antara lain :
§ Prof. Quraish Shihab menjelakan bahwa yang dimaksud dengan luas adalah rahmat-Nya.
§ Al-Farra’ mengatakan maksudnya luas dalam hal pemberian atau karunia.
§ Ada juga yang mengatakan yang dimaksud luas adalah ilmunya.
§ Ada juga yang mengatakan yang luas itu kekuasaannya.
Kata ‘aliim (عَلِيم) artinya : Maha Mengetahui, asalnya dari ilmu. Orang yang berilmu disebut ‘aalim (عَالِم). Namun kalau kita ingin menyebut orang yang sangat-sangat berilmu atau sangat banyak pengetahuannya, maka sebutannya adalah ‘aliim (عَلِيْم). Dan untuk Allah SWT, kita biasa menyebutnya dengan ungkapan : “Maha mengetahui.”
Luasnya pengetahuan Allah SWT itu digambarkan dalam bentuk tulisan yang akan menghabiskan seluruh air laut di dunia sebagai tintanya dan seluruh pohon sebagai penanya.
وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Luqman : 27)
Dan ada juga ayat lainnya yang senada :
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (QS. Al-Kahfi : 109)