Jilid : 2 Juz : 1 | Al-Baqarah : 132
Al-Baqarah 2 : 132
Mushaf Madinah | hal. 20 | Mushaf Kemenag RI

وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Kemenag RI 2019 : Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”
Prof. Quraish Shihab : Dan Ibrahim telah mewasiatkannya (agama aran prinsip ajaran ini) kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Nabi Ibrahim as. berkata); “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama (ini) bagi kamu, maka janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan Muslim (tunduk patuh dan berserah diri kepada Allah swt.).”
Prof. HAMKA : 132. Dan telah memesankan Ibrahim dengan itu kepada anak anaknya dan Ya`kub, "Wahai, anak-anakku. Sesungguhnya, Allah telah memilihkan untuk kamu suatu agama. Maka janganlah kamu mati melainkan hendaklah kamu di dalam Muslimin."

Lafazh washshaa (وَصَّىٰ) artinya wasiat atau pesan. Sedangkan lafazh bihaa (بِهَا) maksudnya berpesan dengan isi pesan yaitu untuk tetap berpegang teguh dalam memeluk agama Islam, sebagaimana sudah disebutkan dalam ayat sebelumnya dan juga yang disebutkan di dalam ayat ini.

Biasanya orang yang menjelang wafat memang akan membuat pesan-pesan terakhir atau biasa disebut dengan wasiat. Oleh karena itu ada ulama yang memperkirakan kejadiannya setelah Nabi Ibrahim sudah mencapai usia lanjut. Di dalam Al-Quran memang ada perintah bagi orang yang sudah merasakan dekatnya kematian untuk berwasiat.

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat (QS. Al-Baqarah : 180)

Beberapa narasi para sejarawan ada yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim hidup selama 169 tahun, ada yang mengatakan bahwa ia hidup di bumi selama 175 tahun dan ada yang mengatakan bahwa usia Nabi Ibrahim adalah 195 tahun. Thahir Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir[1] menuliskan bahwa Nabi Ibrahim dilahirkan pada tahun 1996 SM dan wafat pada tahun 1773 SM.

Lafazh banii-hi (بَنِيهِ) artinya anak-anaknya. Padahal sepanjang yang kita ketahui selama ini anaknya hanya ada dua orang, yaitu Ismail dan Ishak. Lantas kenapa Allah SWT tidak menyebut ibnaihi (اِبْنَيْهِ) yang artinya kedua anaknya? Kenapa disebut dengan bani yang artinya anak-anak lebih dari dua orang?

Sebagian ulama mengatakan bahwa setelah Sarah wafat, Nabi Ibrahim ternyata menikah lagi dan punya beberapa orang anak. Quraish Shihab mengutip dari Perjanjian Lama Kitab Kejadian 25 bahwa konon wanita itu bernama Ketura. Lalu lahir dari rahim wanita itu anak-anak bernama Zimran, Yoksan, Medan, Midian, Isybak dan Suah.

Adapun lafaz ya’qub (يَعْقُوبُ) maksudnya adalah Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, yang dalam hal ini bukan anak Nabi Ibrahim, melainkan cucu dari jalur anak kedua yaitu Nabi Ishak alaihissalam.

Tentang pengkhususan Nabi Ya’qub yang disebutkan secara eksplisit dan unik, tujuannya karena Beliau itulah ayah dari ‘Bani Israil’, bahkan kata israil itu sendiri maksudnya tidak lain adalah Nabi Ya’qub. Sedangkan ayat-ayat yang telah kita bahas ini rupanya masih dan tidak lepas dari membicarakan Bani Israil. Meski sempat sedikit spin-out kepada kisah Nabi Ibrahim, ternyata tema utamanya masih tetap terkait dengan Bani Israil.

Menurut Ibnu Abbas,  dalam bahasa Ibrani, nama Israil itu terdiri dari 'isra' yang bermakna hamba dan 'il' yang maksudnya adalah Allah, sehingga makna Israil adalah : ‘hamba Allah’. Lalu siapakah yang disebutkan dengan Bani Israil?

Tentu saja jawabannya adalah anak-anak Nabi Ya'qub yang jumlahnya 12 orang, semuanya anak laki-laki dan salah satunya adalah Nabi Yusuf alaihissalam.

Az-Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyaf menyebutkan bahwa anak Nabi Ya'qub itu ada 12 orang laki-laki dari beberapa istri. Dari istri pertama yang bernama Laya, Nabi Ya'qub mendapat 6 anak laki-laki. Dari istri kedua mendapatkan 4 anak. Dan dari istri ketiga adalah Yusuf dan Bunyamin.

Nabi Ya'qub terkenal sebagai hamba Allah yang amat saleh, sabar, dan tawakal. Maka Allah memanggil anak cucunya dengan sebutan "Bani Israil" untuk mengingatkan kepada mereka agar mereka mencontoh leluhur mereka itu dalam hal keimanan, ketaatan, kesalehan, ketakwaan dan kesabaran serta sifat-sifat lain yang terpuji.

Hal ini disebabkan karena pada waktu turunnya Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw, tampak gejala-gejala bahwa tingkah laku Bani Israil itu sudah melampaui batas, dan jauh menyimpang dari ajaran dan sifat-sifat nenek moyang mereka, terutama sikap mereka terhadap Al-Qur'an yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.

Mereka tidak mau beriman bahwa Al-Qur'an itu adalah wahyu Allah, bahkan mereka mendustakan kenabian dan kerasulan Muhammad saw. Seharusnya merekalah yang paling dahulu beriman kepada Nabi Muhammad saw, sebab berita tentang kedatangannya telah disebutkan lebih dahulu dalam kitab suci mereka, yaitu Taurat.

Di masa kenabian Muhammad, seringkali orang-orang Yahudi disapa dengan sapaan yang membuat mereka bangga, karena disebut-sebut sebagai anak cucu keturunan para nabi. Dan pada dasarnya yang disebut dengan Bani Israil adalah pemeluk agama Yahudi.

Ketika Nabi SAW hijrah ke Medinah, tempat itu sudah banyak dihuni orang-orang Yahudi yang sejak lama menetap di Madinah, karena mereka membaca dalam kitab suci mereka bahwa nabi yang terakhir akan segera muncul.

 

[1] Thahir Ibnu Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir

Panggilan yaa baniyya (يَا بَنِيَّ) bermakna : wahai anak-anakku, dalam bentuk jamak karena jumlah mereka bukan hanya dua tetapi tidak kurang dari delapan orang.

Lafazh ishthafa (اصْطَفَيْ) merupakan fi’il madhi yang bermakna : Dia (Allah SWT) telah memilih”. Asal katanya dari shafwah (صفوة) yang artinya kemurnian, yaitu memilih yang lebih murni. 

Adapun makna lakum (لَكُم) artinya bagi kamu dan lafazh ad-diin (الدِّينَ) artinya agama.

Inilah inti dari pesan serta wasiat Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya dan juga kepada cucunya yaitu Nabi Ya’qub alaihissalam, yaitu bahwa Allah SWT telah memilihkan bagi mereka agama Islam.

Memang demikianlah pada dasarnya kita dalam beragama, pada dasarnya kita tidak pernah memilih mau beragama apa, tetapi Allah SWT sudah pilihkan agama yang sesuai dengan kita, yaitu agama Islam. Sehingga kita bisa simpulkan bahwa keislaman kita ini pada dasarnya bukan karena kita yang memilih, tetapi Allah SWT memilihkan Islam ini untuk kita.

Lafazh falaa (فَلَا) artinya maka janganlah, tamutunna (تَمُوتُنَّ) terdiri dari  fi’il mudhari (تَمُوتُنَّ) yang artinya kalian mati, kemudian disambung dengan huruf nun taukid (نون التوكيد) yang sifatnya menguatkan. Sehingga dalam terjemahannya Prof. Quraish Shihab menuliskannya menjadi : “maka janganlah sekali-kali kamu mati”. Ungkapan sekali-kali itu bukan berarti mati sekali saja, namun maksudnya : “jangan pernah kamu mati”. Lafazh illaa (إِلَّا) adalah istitsna’ yang artinya kecuali. Lafazh wa antum muslimun (وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ) artinya : “kalian memeluk agama Islam”.

Memang begitulah seharusnya, orang tua atau khususnya seorang ayah harus berwasiat dan mewanti-wanti anak-anaknya untuk berpegang teguh kepada agama yang dipegang oleh orang tuanya, yaitu agama Islam. Jangan sampai dengan alasan kebebasan dan kemajuan zaman, kepada mereka dipersilahkan untuk hidup dengan agama yang berbeda-beda. Dan itu merupakan kewajiban paling asasi dari orang tua kepada anak-anaknya.

Dan wasiat kepada anak keturunan untuk tetap berpegang teguh dalam Islam tentu tidak bertentangan dengan ayat yang melarang kita memaksa pemeluk agama lain agar masuk Islam. Ayat itu adalah sebagai berikut

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama. (QS. Al-Baqarah : 256)

Menurut para mufassir, yang dilarang itu memaksa orang-orang yang sudah memeluk suatu agama agar pindah dan  masuk ke dalam agama Islam. Meski kita meyakiniIslam adalah agama yang benar, tetap main paksa agar orang pindah agama ke agama kita justru diharamkan.

Sedangkan orang yang sudah terlanjur memeluk suatu agama, maka tidak mengapa bisa sesama mereka saling berwasiat agar tetap terus istiqamah dan tidak berpindah ke agama yang lain.

Al-Baqarah : 132

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 18-4-2024
Subuh 04:37 | Zhuhur 11:54 | Ashar 15:14 | Maghrib 17:54 | Isya 19:02 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia