Jilid : 2 Juz : 1 | Al-Baqarah : 106
Al-Baqarah 2 : 106
Mushaf Madinah | hal. 17 | Mushaf Kemenag RI

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Kemenag RI 2019 : Ayat yang Kami nasakh (batalkan) atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Prof. Quraish Shihab : Kami tidak menasakhkan (membatalkan atau menggantikan) satu ayat pun, atau Kami menangguhkan (hukum)-nya (kecuali) Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Prof. HAMKA : Tidaklah Kami mansukh-kan dari suatu ayat atau Kami jadikan dia terlupa (niscaya) Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang seumpamanya. Tidaklah engkau ketahui bahwasanya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa.

Ayat ke-106 ini kalau dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya, sesungguhnya masih punya hubungan yang kuat, yaitu terkait dengan keengganan kalangan Yahudi untuk memeluk Islam dan sikap antipati mereka terhadap berbagai ketentuan syariat terbaru yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Rupanya yang jadi titik penolakan mereka adalah munculnya nasakh atau perubahan bahkan penghapusan syariat mereka dengan syariat-syariat yang baru. Dan nasakh ini semakin lama semakin terus bertambah tanpa terbendung lagi sehingga semakin meresahkan mereka. Penyempurnaan syariat itu kalau dilihat dari sudut pandang mereka, terasa seperti menghapus dan mengoreksi berbagai ketentuan syariat dalam agama mereka. Karena itulah mereka meradang dan tegas-tegas menolak nasakh.

Salah satu contoh yang paling fenomenal adalah nasakh atas arah kiblat shalat. Awalnya ketika turun wahyu samawi kepada Nabi Muhammad SAW, Beliau diperintahkan untuk shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis. Padahal kala itu Beliau SAW justru berdomisili di Mekkah, yaitu di depan Ka’bah yang berada di dalam Masjid Al-Haram. Paling tidak selama 13 tahun menetap di Mekkah dan ditambah beberapa tahun lagi di Madinah, Nabi SAW dan para shahabat masih shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Sampai akhirnya turunlah ayat yang menasakh arah kiblat lama ke arah kiblat yang baru berikut ini :

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (QS. Al-Baqarah : 144)

Rasa tidak suka dan penolakan kalangan Yahudi atas nasakh arah kiblat ini kemudian dikisahkan dalam Al-Quran :

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا

Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" (QS. Al-Baqarah : 142)

Padahal urusan nasakh dan berbagai perubahan ketentuan syariat itu bukan kehendak Nabi Muhammad SAW, melainkan itu merupakan hak preogratif Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut ini :

وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 144)

Maka kisah penolakan kalangan Yahudi yang sakit hati atas kehendak Allah SWT untuk menasakh beberapa ketentuannya itulah yang melatar-belakangi turunnya ayat ke-106 ini.

Lafazh nansakh (نَنْسَخْ) adalah fi’il mudhari dari asal kata (نَسَخَ - يَنْسَخُ), secara bahasa punya beberapa makna seperti menghapus, menyalin, mengubah, mengganti dan lainnya. Secara etimologis, Azl-Zarqani dalam Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur`an menyebutkan bahwa makna nasakh itu adalah penghapusan (الإبطال),  peniadaan (الإزالة) dan menyalin tulisan (النقل).[1] Dalam ayat Al-Quran kita temukan nasakh dengan makna izalah yaitu menghapus atau menghilangkan pada ayat berikut :

فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ

Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. (QS. al-Ḥajj : 52)

Namun nasakh itu juga bisa berarti menukar sesuatu yang lama dengan sesuatu yang baru, termasuk dalam masalah ketentuan hukum dalam ayat-ayat Al-Quran. Dan buat Allah SWT, melakukan tabdil atau menukar satu ayat dengan ayat yang lain bukan hal aneh dan tidak perlu dipertanyakan, karena itu seratus persen memang hak preogratif Allah.

 وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ۙ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ

Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya.( An-Nahl : 101)

Sedangkan lafazh min ayatin (مِنْ آيَةٍ) secara bahasa makna kata ayat itu adalah : tanda. Sebagaimana firman Allah SWT yang menyebutkan tanda-tanda kekuasaannya menggunakan istilah ayat dalam banyak firman-Nya :

ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al-Araf : 26)

Namun makna ayat dalam hal ini tentu bukan tanda-tanda kekuasaan Allah, melainkan maksudnya adalah firman Allah, kalamullah, kitab suci samawi, wahyu ilahi, yang terdiri dari ribuan ayat dan ratusan surat.

Ayat-ayat yang dianggap mansukh memang bukan ditetapkan oleh Allah SWT secara wahyu, melainkan dari hasil ijtihad pada ulama berdasarkan banyak informasi dan konfirmasi. Maka ayat mana saya dan berapa jumlah ayat yang mansukh, pastinya tidak akan sama dalam pandangan para ulama. Berikut ada data ayat yang dimansukh menurut para ulama :

§  Ibnu Al-Jauzi                    : 246 ayat

§  As-Sakari                            : 218 ayat

§  Ibnu Hazm                        : 214 ayat

§  Ibnu Salamah                   : 213 ayat

§  Al-Ajhuri                            : 213 ayat

§  Ibnu Barakat                    : 210 ayat

§  Makki bin Abi Thalib    : 210 ayat

§  An-Nahhas                        : 134 ayat

§  Abdul Qahir                      :  66 ayat

§  Az-Zarqani                        :  22 ayat

§  AS-Suyuthi                        :  20 ayat

§  Ad-Dahlawi                       :    5 ayat

Terkait penghapusan ayat dan hukum dalam Al-Quran, kita bisa membaginya menjadi tiga kelompok, yaitu teks ayatnya tetap ada tapi hukumnya saja yang dinasakh, atau teksnya dinasakh namun hukumnya justru tetap masih berlaku, atau teks dan hukumnya sama-sama dinasakh.  :

Pertama : Teks Tetap dan Hukum Dinasakh

Ada banyak ayat Al-Quran yang hanya hukumnya saja Allah nasakh, sedangkan teks ayatnya masih tetap ada dipertahankan dalam mushaf. Salah satu contohnya adalah ayat ke-67 dari Surat An-Nahl yang isinya seolah masih menghalalkan khamar dan malah mengatakan bahwa bisnis jual-beli khamar itu sebagai sumber rejeki yang baik.

وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا

Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. (QS. An-Nahl: 67)

Tentu saja hukum yang terkandung dalam ayat ini sudah dinasakh alias sudah dihapuskan dan sudah tidak berlaku lagi. Ternyata ayat ini Makkiyah, turun di masa Nabi SAW masih berdakwah di Mekkah. Namun setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, turunlah tiga ayat lain menghapus keberlakuan status hukumnya, yaitu surat Al-Baqarah 219 (يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ), Surat An-Nisa 43 (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى) dan surat Al-Maidah ayat 90-91. Ayat terakhir ini memastikan secara tegas bahwa khamar itu najis dan para shahabat secara tegas disuruh berhenti minum khamar.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ - إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan kejitermasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu. (QS. Al-Maidah: 90-91)

Maka buat kita yang berlaku adalah ayat terakhir ini saja, sedangkan ayat-ayat lainnya, apalagi ayat yang turun di Mekkah, jelas sudah tidak berlaku lagi hukumnya. Namun demikian, teks ayatnya tetap kita baca setiap hari dan masih tercantum dengan jelas di dalam mushaf kita.

Kedua : Teks Dinasakh dan Hukum Tetap

Kondisi yang kedua adalah kebailkan dari yang pertama, yaitu teks ayatnya telah Allah SWT nasakh, namun ternyata hukumnya masih ada dan tetap berlaku. Contohnya adalah hukum rajam. Meskipun syariat Islam memberlakukan hukum rajam bagi pezina muhshan, namun coba cari ayatnya dalam Al-Quran, ternyata tidak kita temukan. Satu-satunya hukuman buat orang yang berzina hanyalah dicambuk 100 kali, sebagaimana tertuang di awal surat An-Nur.

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali. (QS. An-Nur : 2)

Sedangkan ayat tentang merajam pezina ternyata tidak kita temukan di dalam Al-Quran. Lantas apakah hukum rajam ini tidak perlu dijalankan karena tidak ada dalam Al-Quran?

Jawabannya tetap ada hukum rajam, khususnya buat peniza muhshan, meksipun teks ayatnya tidak ada. Ternyata Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu bercerita bahwa aslinya dahulu memang pernah ada ayat Al-Quran untuk merajam pezina, malah Beliau masih ingat teks ayatnya, yaitu:

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَياَ فَارْجُمُوْهُمَا البَتَّة

Laki yang sudah menikah dan perempuan yang sudah menikah apabila mereka masing-masing berzina, maka rajamlah sampai mati.

Sayangnya beliau tidak menyebutkan posisi letaknya di dalam surat apa dan nomor berapa. Namun kita jadi tahu bahwa terkadang ada teks Al-Quran yang pernah turun lalu dihapus dan hari ini tidak kita temukan dalam mushaf. Namun penghapusan atau nasakh ini terjadinya di masa turunnya Al-Quran, bukan terjadi di masa selanjutnya.

Ketiga: Teks dan Hukum Dinasakh

Kondisi terakhir adalah baik teks ayat maupun hukumnya sama-sama dinasakh alias dihapus, lafadznya sudah tidak kita temukan dan hukumnya pun juga sudah tidak berlaku. Contohnya adalah dihapuskannya ayat yang menetapkan bahwa penyusuan bayi itu disyaratkan harus 10 kali, lalu ayat dan hukumnya dihapus, diganti hanya hukumnya saja menjadi 5 kali. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قالت: كَانَ فِيمَا أُنْزِلُ فِي اَلْقُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ, ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ, فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اَللَّهِ وَهِيَ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ اَلْقُرْآنِ

“dahulu yang dibaca dalam Al-Quran ialah 10 kali susuan itu menyebabkan ke-mahram-an, kemudian itu dihapus (naskh) dengan 5 kali susuan yang, kemudian Nabi saw wafat dan itu (5 kali susuan) bagian yang dibaca di dalam Al-Quran” (HR Muslim)

Contoh Ayat-ayat Mansukh

Untuk lebih melengkapi wawasan dan pemahaman tentang ayat-ayat yang dinasakh, berikut ini adalah contoh ayat yang dinasakh dan juga ayat yang menasakhnya.

1. Masa Iddah Suami Wafat Setahun

Masa iddah yang harus dijalani oleh seorang istri ketika suaminya wafat pada awalnya harus genap selama satu tahun lamanya.

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah. (QS. Al-Baqarah : 240)

Kemudian turun ayat lain yang mengangulir ketentuan itu dan diturunkan menjadi hanya 4 bulan 10 hari saja.

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah : 234)

2.  Kesalahan Dalam Hati Tetap Dihisab

Salah satu bentuk rukhshah yang hanya diberikan kepada umat Muhammad SAW adalah bila seseorang baru sekedar punya niat untuk berbuat kejahatan, maka belum lagi dianggap berdosa. Padahal pada awalnya, apa pun yang disembunyikan di dalam hati, pasti akan dihisab di sisi Allah SWT dan ada perhitungannya. Hal itu sebagaimana yang disebutkan di ayat berikut ini :

وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ

Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. (QS. Al-Baqarah : 284)

Namun setelah itu Allah SWT memberikan rukhshah atau keringanan, sehingga apa-apa yang tidak dilakukan dan hanya terdapat dalam hati, menjadi tidak dihisab oleh Allah. Ayat yang menasakhnya adalah ayat berikut :

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 285)

3. Taqwa Secara Maksimal

Sebagian ulama menyebutkan bahwa ada dua ayat yang sama-sama memerintahkan kita untuk bertaqwa. Ayat yang pertama memerintahkan kita bertaqwa dengan sebenar-benar taqwa.

اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

Bertaqwalah kalian dengan sebenar-benar taqwa. (QS. Ali Imran : 102)

Namun bertaqwa secara maksimal seperti itu ternyata sangat memberatkan buat orang-orang. Sehingga turunlah lagi ayat lain yang memerintahkan taqwa, namun hanya sekedar semampu yang bisa kita lakukan saja.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertaqwa-lah kamu kepada Allah dengan semampunya. (QS. At-Taghabun : 16)

Sedangkan ayat 120 Ali Imran di atas sudah dinasakh atau dihapuskan isi perintahnya. Tidak lagi seseorang harus bertaqwa dengan sebenar-benarnya, cukuplah sebatas kemampuannya saja

4. Perang Fardhu ‘Ain

Para ulama ahli tafsir menyebutkan bahwa pada awalnya kewajiban berperang berlaku untuk semua  umat Islam, tidak perduli apakah memberatkan atau tidak. Perintahnya wajib berperang baik dalam keadaan ringan atau pun berat telah dihapus dengan ayat lain yang tidak mewajibkan semuanya harus pergi berperang

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا

Berangkatlah baik dalam keadaan ringan atau pun berat (QS. At-Taubah : 41)

Namun di kemudian hari, perintah itu kemudian dinasakh dan diganti dengan perintah yang lebih meringankan, yaitu tidak semuanya harus ikut.

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً

Tidak harus semua orang-orang mukmin itu semuanya pergi berperang. (QS. At-Taubah : 122)

5. Tahajud Sepanjang Malam

Pada awal mula turunnya syariat Islam, kewajiban shalat berupa shalat sepanjang malam, yaitu kira-kira separuh malam, sebagaimana yang diperintahkan dalam surat Al-Muzzammil.

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلا  نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلا

Wahai orang yang berselimut. Bangunlah sepanjang malam, kecuali sedikit, yaitu setengahnya atau kurang dari itu. (QS. Al-Muzzammil : 1-3)

Namun di kemudian hari Allah SWT mengurangi kewajiban shalat pada malam hari itu serta menyatakan bahwa Allah mengetahui betapa beratnya hal itu.

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa bahwa kamu shalat kurang dari dua pertiga malam. (QS. AlMuzzammil)

Juga ada ayat lain yang menegaskan bahwa tahajjud sudah bukan lagi kewajiban, melainkan hanya ibadah tambahan.

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ

Dan pada sebahagian malam tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. (QS. Al-Isra : 79)

6. Kesempurnaan Baca Quran

Kita nampaknya lebih sering mendengar adanya perintah membaca Al-Quran secara sempurna, tartil dan sesuai dengan makharij huruf dan sifatnya. Dan benar bahwa ada ayat yang memerintahkan untuk itu, yaitu :

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil. (QS. Al-Muzzammil : 4)

Oleh banyak ulama, perintah untuk mentartilkan bacaan Al-Quran maksudnya adalah membaca Al-Quran sesuai dengan tata cara orang Arab membacanya, yaitu dengan menyempurnakan makharijul hurufnya, sifat-sifatnya, termasuk tajwid dan hukumhukum bacaan yang berlaku.

Ayat ini kemudian sering ditafsirkan seakan menutup kesempatan orang yang non-Arab untuk masuk surga. Dari 1.9 milyar penduduk muslim di muka bumi ini, hanya kurang lebih 300 jutaan saja yang menggunakan bahasa Arab. Selebihnya, ada 1,6 Ma sisanya yang tidak akan masuk sorga, lantaran tidak benar bacaan Al-Fatihahnya. Untungnya kewajiban harus baca Al-Quran dengan sempurna 100% kemudian diringankan dalam Al-Quran.

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

Maka bacalah apa yang mudah dari Al-Quran (QS. Al-Muzzammil : 4)

Dengan adanya ayat ini, maka umat Islam sedunia yang rata-rata tidak bisa melafalkan huruf-huruf Arab dengan benar tidak menjadi berdosa atau tidak sah bacaan shalatnya. Karena Allah SWT tidak lagi mengharuskan bacaan Al-Quran yang sesempurna orang Arab dalam melafalkannya.

 

[1] Muhammad Abd al-`Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an, (Kairo: `Isa al-Babi al-Halabi, 1957), hlm. 175. Lihat pula Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fî Ulum al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 200. Lihat pula Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 149.

Lafazh nunsi-ha (نُنْسِهَا) asal katanya dari (نَسِيَ - يَنْسَى)  yang artinya lupa, sedangkan (أَنْسَ - يُنْسِي) artinya : membuat lupa, sehingga secara bahasa bermakna : “kami membuatnya dilupakan”. Adapun dhamir ha (هَا) kembali kepada ayat Al-Quran. Sehingga maksudnya : “Allah menjadikan ayat itu terlupakan dan tidak ada dalam ingatan Nabi Muhammad SAW”.

Dalam hal apakah bisa suatu ayat Al-Quran yang sudah turun kemudian atas kehendak Allah SWT ayat itu hilang dari ingatan manusia dan khususnya dari benak Nabi SAW? Dalam hal ini para ulama agak berbeda-beda dalam menyikapinya.

1. Dihapuskan

Pendapat pertama mengatakan memang benar ada ayat yang pernah turun lalu atas kehendak Allah SWT, ayat itu kemudian dihapuskan dengan cara dihilangkan dari ingatan siapapun, termasuk dari ingatan Nabi Muhammad SAW. Seolah-olah ayat itu tidak pernah turun ke bumi.

Pendapat ini menjadikan makna lahiriyah ayat ini sebagai dasar dari sikap dan pendapat mereka. Memang secara tegas ayat ini menyebut kata nunsi-ha (نُنْسِهَا) yang maknanya secara harfiyah adalah : Kami jadikan ayat itu dilupakan.

Dan fenomena pelenyapan ayat Al-Quran juga disebut-sebut dalam ayat yang lain meskipun Ibnu Mas’ud mengaitkannya dengan fenomena hari kiamat nanti, dimana seluruh Al-Quran akan dihapus dari mushaf bahkan dari hati semua orang.

وَلَئِنْ شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ

Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu. (QS. Al-Isra : 86)

2. Tidak Dihapus

Ada sebagian kalangan ulama yang menolak kalau ada ayat yang pernah turun lantas Nabi SAW sampai terhapus atau pun dilupakan dalam hati sanubari Beliau. Sebab menurut mereka hal itu bertentangan dengan firman Allah SWT di ayat lain :

سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَىٰ

Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa (QS. Al-A’laa : 6)

Lalu kalau maknanya bukan dihapus, lantas bagaimana mereka menafsirkan kata itu? Setidaknya ada dua jawaban. Yang pertama, menurut mereka makna nunsi-ha bukan Allah SWT membuat Nabi SAW jadi tidak ingat bahwa pernah turun ayat itu, tetapi maknanya (التَّرْكُ) yaitu meninggalkan. Maksudnya Allah SWT memang secara sengaja memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk meninggalkan ayat itu. Dan memang sah-sah saja bila ada perintah untuk meninggalkan. Yang kurang logis adalah tidak mungkin bagi Allah SWT membuat Nabi Muhammad SAW melupakan suatu ayat yang pernah turun kepadanya.

Dan untuk menguatkan pendapat ini, ada ayat Al-Quran yang maksudnya meninggalkan namun dengan menggunakan istilah melupakan, yaitu :

نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ

Mereka telah lupa (meninggalkan) kepada Allah, maka Allah melupakan (meninggalkan) mereka. (QS. At-Taubah : 67)

Kalau pakai logika pendekatan pendapat ini, maka format nasakh suatu ayat ada dua macam. Pertama, ada ayat yang dinasakh lalu diganti dengan ayat lain. Kedua, ada juga ayat dinasakh tanpa ada penggantinya.

3. Bermakna Mengakhirkan

Ada lagi pendapat yang ketiga yang mengatakan bahwa maknanya mengakhirkan. Hal itu mereka menggunakan qiraat yang berbeda dimaan bacanya bukan nunsi-ha (نُنْسِهاَ) tetapi nunsi’-ha (نُنْسِئْهَا), yang asalnya dari nasa’ (نَسَأْ) yang artinya menangguhkan atau mengakhirkan. Dalam hal ini yang ditangguhkan atau diakhirkan adalah penasakhannya.

Kalau pakai pendekatan ini, maka pengertiannya menjadi selain ada ayat yang dinasakh saat itu, ada juga yang nasakhnya diakhirkan. Sehingga sepanjang sirah nabawiyah terkesan ayat itulah yang berlaku, padahal di akhir masa pensyariatan, kemudian ayat itu dinasakh.

Namun terkait penolakan mereka yang mengatakan tidak mungkin ada ayat yang turun kemudian Nabi SAW dibuat lupa, ada juga yang menjawab bahwa bisa dan boleh saja Allah SWT membuat Nabi SAW terlupa pada suatu ayat yang pernah turun. Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini:

سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَىٰ إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى

Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. (QS. Al-A’laa : 7)

Lafazh na’ti (نَأْتِ) asalnya bermakna : kami datang, dari (أَتَى - يَاْتِي), namun kalau disambungkan dengan lafazh berikutnya yaitu bi-khairin (بِخَيْرٍ), dimana kata khair (خَيْر) itu maknanya bukan hanya baik tapi : “lebih baik”, maka maknanya bergeser menjadi : “Kami datangkan dengan yang lebih baik”.

Dan lafazh min-ha (مِنْهَا)  itu terdiri dari min (مِنْ) yaitu dari dan dhamir ha (هَا) adalah dhamir yang kembali kepada ayat yang dinasakh. Lafazh au mitsliha (أَوْ مِثْلِهَا) terdiri dari huruf au (أَوْ) yang artinya : “atau”. Maknanya adalah pilihan yang menunjukkan bisa A atau B. Sedangkan makna mitsliha (مِثْلِهَا) artinya : “yang seperti itu” atau “setara dengan itu”.

Jadi secara utuh bisa kita simpulkan bahwa ketika Allah SWT mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain, maka dipastikan bahwa ayat yang lain itu lebih baik dari ayat sebelumnya, atau setidak-tidaknya sepadan atau setara.

Tinggal yang jadi pertanyaan : ayat yang turun kemudian bisa dibilang lebih baik atau setara dengan ayat sebelumnya itu dalam hal apa? Dalam hal ini ada beberapa pendapat dari para ulama.

§  Manfaat :  ada yang mengatakan bahwa lebih baik itu maksudnya lebih besar dan lebih banyak manfaatnya. Pendapat ini datang dari Ibnu Abbas radhiyallahunahu.

§  Kemudahan : ada lagi yang bilang bahwa lebih baik itu maksudnya lebih mudah untuk dijalankan dan lebih ringan, sehingga lebih mudah dijalankan oleh seluruh umat manusia. Ini adalah pendapat Qatadah.

§  Pahala : ada juga yang berpendapat bahwa lebih baik itu maksudnya lebih besar pahala dan ganjarannya di sisi Allah SWT. Ini pendapat yang lain.

Dan bisa saja ketiga hal di atas berlaku juga secara bersamaan. Sehingga kita katakan setiap ada nasakh suatu ayat, pastilah akan berdampak pada manfaat yang lebih banyak, atau level kemudahan yang lebih ramah pada kaum muslimin, atau lebih banyak mendatangkan pahala.

Ayat ini ditutup dengan sebuah pertanyaan yang bersifat retoris, sehingga tidak butuh jawaban, karena pada dasarnya bukan pertanyaan yang butuh jawaban, melainkan sebuah pernyataan. “Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah SWT itu Maha Kuasa atas segala sesuatu?”

Dalam hal ini urusan mengubah atau mengganti bahkan menghapus suatu ketentuan syariah yang pernah diturunkan merupakan hak dan wewenang Allah SWT sepenuhnya. Karena Allah SWT itu biar bagaimana pun adalah Tuhan yang amat sangat berkuasa, sehingga Dia tidak perlu ditanya atas semua tindakannya. Terserah pada penguasa, apapun yang Dia kehendaki, maka itu haknya sepenuhnya.

Al-Baqarah : 106

TAFSIR KLASIK
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H)
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA

 

 

Jadwal Shalat DKI Jakarta 18-4-2024
Subuh 04:37 | Zhuhur 11:54 | Ashar 15:14 | Maghrib 17:54 | Isya 19:02 | [Lengkap]

Rumah Fiqih Indonesia
www.rumahfiqih.com
Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940
Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia