Kemenag RI 2019:dan mereka yang beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan (kitab-kitab suci) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat. Prof. Quraish Shihab:dan mereka yang beriman kepada apa (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad saw.) dan apa yang telah diturunkan sebelumnya, serta tentang (kehidupan) akhirat mereka yakin. Prof. HAMKA:Dan orang-orang yang percaya kepada apa yang diturunkan kepada engkau. Dan kepada akhirat mereka yakin
Kata wahum (وَهُمْ) artinya : dan mereka. Kata raaki‘uun (رَاكِعُونَ) artinya : orang-orang yang rukuk.
Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsir Mafatih Al-Ghaib[1] mengutip pendapat Abu Muslim yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ruku’ disini bukan bagian dari gerakan shalat, tetapi ketundukan. Jadi mereka melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan tunduk dan patuh kepada seluruh perintah dan larangan Allah.
Namun banyak juga pendapat yang menyebutkan bahwa memang maksudnya gerakan ruku’ di dalam ibadah shalat. Namun secara khusus disebut ruku’-nya saja sebagai bentuk pemuliaan terhadapnya, atau bagian dari gaya bahasa, yaitu menyebutkan sebagian namun maksudnya seluruhnya.
Kemudian ada juga sebagian ulama yang mengatakan kenapa Allah SWT menyebutkan kata ruku’ disini, rupanya pada saat ayat ini turun, para sahabat Nabi ketika ayat ini diturunkan sedang berada dalam kondisi yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang telah menyempurnakan shalatnya, maka disebutlah alladzina yuqimunash-shalah (الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ). Sebagian lagi ada yang baru saja memberikan hartanya kepada orang miskin, maka disebutlah di ayat ini : wa yu’tunaz-zakah (وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ).
Dan sebagian lainnya ada pula yang sedang dalam posisi ruku’ dalam shalat, maka disebutlah di ayat ini : wa-hum raki’un (وَهُمْ رَاكِعُونَ).
Jadi menurut pendapat ini, karena mereka berada dalam keadaan yang berbeda-beda, maka Allah SWT pun menyebutkan semua sifat tersebut secara berbeda-beda pula.
Munasabah atau keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya, dibahas oleh para ulama. Yang jadi titik masalah : apakah orang yang beriman dengan yang turun kepada Muhammad atau kepada nabi sebelumnya di ayat ini adalah mereka yang juga disebut di ayat sebelumnya yang mana mereka disebut sebagai orang yang beriman kepada yang ghaib.
Ibnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan, setidaknya ada 3 pendapat yang berbeda :
1. Pendapat Pertama
Bahwa yang disebutkan di ayat ini tentang orang beriman adalah sama dengan yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Dan mereka adalah semua orang yang beriman, baik mukmin dari kalangan orang Arab atau pun dari kalangan ahli kitab.
Pendapat ini didukung oleh Mujahid, Abul Aliyah, Ar-Rabi' bin Anas dan Qatadah.
2. Pendapat Kedua
Bahwa orang mukmin di ayat ini adalah orang mukmin yang ada disebutkan di ayat sebelumnya. Namun mereka adalah dari kalangan ahli kitab.
3. Pendapat Ketiga
Bahwa yang disebutkan di ayat sebelumnya adalah orang mukmin di kalangan orang Arab, sedangkan yang disebutkan di ayat ini adalah orang mukmin dari kalangan ahli kitab.
As-Suddi menukil hal ini dari perkataan Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Anas bin Malik radhiyallahuanhum. Ibnu Jarir At-Thabari juga mendukung pendapat ketiga ini, dengan menggunakan syawahid ayat-ayat Al-Quran, antara lain :
Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah. (QS. Ali Imran : 199)
Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al Kitab sebelum Al Quran, mereka beriman (pula) dengan Al Quran itu. Dan apabila dibacakan (Al Quran itu) kepada mereka, mereka berkata: "Kami beriman kepadanya; sesungguhnya; Al Quran itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya). Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan (QS. Al-Qashash : 52-54)
Dari Abu Musa bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Ada tiga yang diberi pahala dua kali : [1] Seorang dari ahli kitab, dia beriman kepadaku. [2] Seorang budak yang menunaikan kewajibannya pada Allah dan pada tuannya. dan [3] Seorang yang mendidik budak wanitanya dengan sebaik-baiknya, lalu membebaskannya lalu menikahinya. (HR. Bukhari dan Muslim)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بما أنزل إليك
Lafadz ma unzila ilaika dimaknai sebagai apa yang turun kepadamu yaitu Nabi Muhammad SAW. Dan maksudnya tidak lain adalah kitab suci Al-Quran. Dhamir ilaika yang bermakna kepada kamu disini maksudnya adalah kepada Nabi Muhammad SAW.
Al-Qurtubi meriwayatkan bahwa ketika turun ayat sebelumnya yang menyebutkan ciri-ciri orang muttaqin, yaitu beriman kepada yang ghaib, orang-orang Yahudi berkata bahwa kami pun percaya dengan semua itu. Ketika ciri berikutnya disebutkan yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat serta beriman kepada hari akhir, kaum yahudi lagi-lagi menyatakan bahwa mereka pun mendirikan shalat, zakat dan beriman kepada hari akhir.
Namun ketika syaratnya berlanjut yaitu beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, barulah kaum yahudi kemudian pergi berlalu. Sebab mereka tidak mau beriman kepada Al-Quran.
وما أنزل من قبلك
Lafazh ma unzula min qablika secara harfiyah dimaknai sebagai : ‘apa yang turun sebelum kamu’, namun maksudnya disini adalah berbagai kitab suci samawi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelum masa kenabian Muhammad SAW. Dan kitab suci umat terdahulu cukup banyak seperti Zabur, Taurat, Injil, shuhuf Ibrahim dan shuhuf Musa, serta lain-lainnya yang mungkin belum disebutkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini :
Dari Abi Dzar radhiyallahuanhu, dia bertanya,"Ya Rasulllah, berapa kitab yang Allah turunkan?.Nabi SAW menjawab,"Seratus empat kitab. Allah turunkan 50 shahifah kepada Nabi Syits, kepada Akhnun (Nabi Idris) 30 shahifah, kepada Ibrahim 10 shahifah, kepada Musa sebelum Taurat 10 shahifah, dan Allah menurunkan Taurat, Injil, Zabur dan Al-Furqan (Al-Quran).[1]
Namun dalam konteks ayat ini yang dimaksud adalah kitab Taurat yang turun kepada orang-orang Yahudi dan kitab Injil yang turun kepada orang-orang Nasrani.
[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Husaen Al-Ajuri dan Abu Hatim Al-Bastani
وبالآخرة
Mengakui adanya akhirat adalah masalah yang tidak bisa diterima oleh kaum musyrikin Mekkah, selain juga tidak bisa percaya adanya malaikat, kenabian dan kitab suci.
Dan alam akhirat itu dimulai dari kematian yaitu alam barzakh, lalu terjadinya hari kebangkitan, padang mahsyar, hisab, surga dan neraka. Semua itu termasuk dalam kategori akhirat yang tidak bisa mereka terima.
يوقنون
Lafazh yuqinun dimaknai sebagai meyakini, sebagai lawan dari ragu-ragu. Dan pengertian yakin adalah :
Meyakini suatu ilmu dengan membuang semua keraguan dan syubhat atasnya.
Konteks menyakini dalam ayat ini adalah meyakini adanya kehidupan sesudah kematian, termasuk di dalamnya meyakini kebenaran akan datangnya kiamat, dimana semua manusia dan makhluk yang bernyawa akan dimatikan.
Lalu meyakini juga setelah semua dimatikan bahwa akan datangnya hari kebangkitan, dimana semua yang tadi dimatikan itu kemudian dihidupkan kembali dari kematiannya. Manusia yang sudah mati sejak zaman Nabi Adam hingga sesaat sebelum kiamat kubra, semua dihidupkan kembali dan dikumpulkan di padang Mahsyar.
Meyakini juga bahwa kemudian masing-masing manusia akan menjalani proses hisab sesuai dengan amal baik dan buruk. Dan terakhir meyakini bahwa sebagian manusia masuk neraka dan sebagian masuk surga.
Semua itu adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan akhirat. Seorang dikatakan beriman atau tidak beriman itu tergantung apakah dia meyakini semua itu atau merasa ragu.
Karena itulah selain menggunakan istilah iman, Allah SWT juga menekankan dengan istilah yakin, sehingga posisinya bukan sekedar mengimani tapi lebih dari itu sudah sampai level meyakini. Meyakini ini lebih tinggi posisinya karena tak ada keraguan sedikit pun.